Jin kembali berulah, Irwan yang telah menjalani pernikahan diganggu. Saluran reproduksi, ginjal dan jantung menjadi incaran mereka sehingga keinginan untuk menimang seorang anak belum juga kesampaian. Tiga belas bulan lamanya, Irwan menunggu. Kini, setelah mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib, harapan untuk segera menimang anak tingal menunggu waktu. Istrinya telah hamil lima bulan. Irwan, seorang karyawan laboratorium kimia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Berikut petikannya.
Sejak berusia tujuh belas tahun, saya sudah menderita penyakit aneh. Aneh karena sekian banyak dokter yang saya datangi berbeda pendapat dalam mendiagnosa penyakit saya. Satu dokter menyarankan untuk operasi, sementara dokter yang lain tidak merekomendasikannya. Beberapa paranormal yang saya kunjungi juga menyerah.
Penyakit itu datang secara tiba-tiba. Tanpa ada gejala dan pemberitahuan sebelumnya. Berawal ketika suatu pagi saat jarum jam sudah menunjuk angka enam. Saya bersiap untuk segera bangun. Tapi… ‘aduuuh’ saya dikejutkan dengan rasa nyeri yang menyerang pinggang. Saya tidak kuat beranjak dari tempat tidur. Tulang punggung bagian bawah terasa nyeri. Gerakan gerakan ringan untuk segera duduk pun semakin menambah rasa nyeri. Akhirnya saya menyerah.
Saya memanggil teman- teman dan meminta mereka untuk menghubung Bapak di Cilegon, Jawa Barat. Waktu itu saya masih kelas dua STM di Bandung, praktis saya kos jauh dari sekolah. Bapak yang kemudian menjemput, membawa saya menginap di rumah kakek di daerah Garut. Sehari di rumah kakek tetap tidak ada perubahan, akhirnya keesokan harinya bapak membawa saya berobat ke seorang paranormal muda yang cukup terkenal di Garut. Sebut saja namanya Ki Gandi. Rumahnya di pedesaan masih jauh dari keramaian.
Setelah menyampaikan keluhan yang saya derita, Ki Gandi yang berusia empat puluhan tahun itu pun menerawang badan saya. “Oh, itu cuma syaraf kejepit di punggung. Bisa diobati,” tutur Ki Gandi kemudian.
la kemudian menyodorkan sebutir pil kepada saya. Lima belas menit kemudian saya disuruh masuk ke dalam ruangan seluas 2 x 3 meter. Saya disuruh membuka baju dan celana lalu duduk di atas dipan. Dalam hati saya penasaran mengapa harus membuka baju dan celana. Pertanyaan saya terjawab begitu Ki Gandi muncul dengan selembar handuk panas di tangannya. Handuk yang katanya telah dicelup dengan air garam itu ditaruh di pinggang saya. Asap mengepul dari handuk yang menempel di kulit. Dengan sekuat tenaga saya berusaha menenangkan diri. Urat syaraf di lutut bagian bawah juga disetrum pakal listrik, yang katanya untuk memperlancar aliran darah.
Sepulang dari Garut, keadaan saya membaik. Rasa nyeri di punggung tidak terlalu parah. Dan saya kembali ke Bandung. Tapi itu pun tidak lama. Hanya berselang tiga bulan, saya kembali tersungkur. Kejadiannya berlangsung ketika saya sedang jalan-jalan di sekolah pada jam istirahat. Tiba-tiba saja, punggung saya sakitnya bukan main. Sebelah kaki saya tidak bisa digerakkan. Hingga untuk berjalan ke mushalla yang tidak jauh dari saya berdiri, saya harus terpincang-pincang. Kembali saya digotong teman- teman ke kos-kosan.
Untuk kedua kalinya. Bapak membawa saya ke Garut. Waktu itu kebetulan sudah banyak pasien yang datang dari berbagai daerah Ketika tiba giliran saya, penanganannya tidak semaksimal dulu. Mungkin karena sudah pernah terapi saya langsung diberi pil yang harus ditebus dua ratus ribu, jumlah yang cukup besar pada tahun 1995.
Terapi yang kedua ini tidak banyak membawa perubahan. Rasa nyeri di punggung masih terasa. Sebuah keadaan yang menggerogoti rasa percaya diri saya. Bila dulu, saya sering menjadi ketua dalam berbagai kegiatan di sekolah, kini hal itu tidak lagi menjadi impian. Saya merasa minder dan malu di hadapan teman-teman. Karena kondisi saya yang terkadang berjalan terpincang-pincang. Dan sesekali mengeluhkan rasa sakit di punggung. Untuk bertemu dengan guru pun saya tidak berani.
Nyeri di punggung semakin menggila di akhir kelas tiga, setelah saya mempelajari pernafasan pamacan dan jurus- jurus pembuka dari seorang teman yang bernama Rinto. Awalnya Rinto mendemonstrasikan kemampuannya. Di loteng rumahnya, ia mencoba menghadirkan macan dan merasuk ke dalam dirinya. Setelah melakukan pernapasan sejenak dan gerakan-gerakan tertentu, Rinto mulai berubah. la mengaum dengan tangan yang mencakar kesana kemari.
Rasa sakit terus terbawa hingga saya kuliah di daerah Depok, Jawa Barat, bahkan semakin parah. Punggung bagian atas juga mulai terasa nyeri. Hingga saya pun dibawa berobat ke dokter ahli tulang. Menurut diagnosanya ada semacam lemak yang mau keluar dari persendian. Dokter menyarankan untuk dioperasi. Sebelum menjalani operasi Bapak berkonsultasi dengan dokter ahli syaraf. Hasilnya saya dinyatakan normal dan tidak perlu menjalani operasi. Kami sekeluarga benar-benar merasakan keanehan yang terjadi. Orang pintar dan dokter yang saya datangi masih belum bisa menyembuhkan saya. Rencana operasi tahun 1997 itu pun digagalkan.
Suatu hari, seorang kerabat menjenguk saya dan mengatakan bahwa di daerah Serang ada seorang dukun yang hebat. Katanya dia sendiri sudah pernah ke sana dan penyakitnya sembuh. Berbekal informasi itu akhirnya saya berangkat ke Serang dengan diantar oleh Bapak dan Ibu. Setelah menempuh perjalanan satu jam dan melewati areal persawahan penduduk, menjelang maghrib kami tiba di rumah Mbah Sosro yang terletak di daerah pedalaman.
Seperti yang sudah-sudah, Mbah Sosro juga mengatakan bahwa ada semacam penggumpalan darah dan katanya masih bisa diobati dengan syara tmemberi shadaqah untuk tujuh masjid, tujuh anak yatim, dan tujuh fakir. Saya ingat waktu itu, Mbah Sosro juga sempat berkelakar, “Ini kalau kawin, bisa nggak nih punya anak.” Ungkapan yang saya tanggapi biasa saja, karena saya memang belum berpikir untuk segera menikah.
Bau wangi bunga melati segera menyeruak ke hidung, begitu pintu praktik terbuka. Kasur kecil tergolek di tengah ruangan. Sementara sorot lampu semprong dari sudut kamar sedikit membuka mata saya untuk bisa melihat sekeliling. Sepiring bunga melati berserakan di lantai. Wangi bunga yang membuat saya semakin gelisah, terlebih setelah Mbah Sosro duduk terpekur beberapa detik, lalu menulis sesuatu di kertas. “Kamu harus bawa ini,… dan itu….” Yang diselingi oleh suara asing ‘nguuk, nguuk, nguuk,’ telinga saya menangkap suara yang janggal. Suara itu seperti suara monyet. Tapi darimana? Di sini tidak ada apa- apa. Saya baru tersadar setelah terjadi berulang-ulang. Tak lain, sumber suara itu adalah Mbah Sosro sendiri.
Selanjutnya saya disuruh berbaring di atas kasur kecil. Perlahan Mbah Sosro melakukan pemijatan pada titik-titik tertentu, lalu seperti tidak sadar, ia menggigit bunga dari pojok ruangan dan…. ‘aduuh’. Saya terkejut, Mbah Sosro menggigit dada saya. Lalu membuangnya ke samping. Aneh, seperti ada darah yang keluar dari mulut Mbah Sosro, padahal tidak ada luka dari dada saya. Tidak ada darah. Nguuk, nguuk. Mbah Sosro kembali menggigit bunga lalu menghujamkan gigi-giginya ke perut saya sebelah kiri. Saya merintih, tapi itu pun tidak ada gunanya.
Beberapa menit kemudian, Mbah Sosro lemas dan ‘gedebruk’. la terjatuh. “Nih, lihat nih darahnya, hitam. Ini darah penyakit,” tutur Mbah Sosro setelah tersadar dari pengaruh suara monyet. Rasa heran masih belum hilang, meski saya sudah pulang. Darimanakah darah itu? Tapi setidaknya, apa yang dilakukan Mbah Sosro telah menyita perhatian saya dan keluarga. Sehingga sebulan sekali, saya selalu berobat ke Serang. Meski saya akui, sampai detik itu masih belum ada perubahan yang berarti. Rasa sakit dan nyeri semakin tidak tertahankan.
Enam bulan kemudian, (1999), saya kembali dirawat di Rumah Sakit. Seorang dokter syaraf kembali menyarankan saya untuk operasi tulang belakang. Operasi yang dibatalkan, karena setelah dirontgent MRI ternyata tidak terbukti adanya syaraf yang terjepit. Semuanya masih normal-normal saja. “Sakit apa ya?” dokter sendiri sampai keheranan.
Derita yang kian terasa berat, ketika jiwa dan mental saya semakin tergerus. Minder, malu, rendah diri, terasing bercampur aduk menjadi satu. Satu kenyataan yang terkadang membuat saya iri kepada teman-teman. Mereka bisa melakukan banyak hal, tanpa terganggu oleh keterbatasan fisik. Dalam keadaan demikian, saya tumbuh menjadi mahasiswa yang mudah tersinggung dan emosional. Entahlah, apakah itu sebagai bentuk pelampiasan dari derita yang berkepanjangan ini? Saya tidak tahu.
Tapi yang jelas. Ada masanya bagi seorang laki-laki untuk merasakan ingin diperhatikan oleh seorang perempuan. Dan tidak terkecuali juga saya. Jalinan cinta yang ingin saya bangun, mengalami masalah di awal perjalanan. Mahasiswi itu pun acuh tak acuh dengan saya. Entah kenapa, saya tidak tahu. Akhirnya seorang teman mempertemukan saya dengan seorang paranormal. Semua itu karena keterbatasan pemahaman agama yang saya miliki.
Orang pintar itu mengatakan bahwa wirid yang ia ajarkan adalah bagian dan usaha yang diperbolehkan. Akhirnya tangan saya dirajah dengan tulisan-tulisan berbahasa Arab. Yang katanya agar saya disegani orang, dihormati dan perempuan pun bisa senang dengan saya bila saya wirid.
Janjinya memang menggiur kan. Rajah dan wiridan itu katanya bisa menjawab masalah yang saya alami selama ini. Selama tujuh hari saya selalu membaca basmalah sebanyak 99 kali setelah shalat fardhu. Tapi hasilnya, masih jauh dari harapan. Gadis yang saya wiridi masih adem ayem saja. la tidak bereaksi sedikitpun. Akhirnya saya yang terbakar. Kepala saya panas. Dada saya seakan bergemuruh tidak kuat menahan gelegar emosi. “Aaaahh….” saya berteriak keras di kampus. Teriakan yang menarik perhatian teman-teman kuliah.
Bergabung dengan Kelompok Pemanggilan Jin
Di saat saya sedang wiridan, Om Joni, salah seorang kerabat dari pihak Bapak kebetulan main ke rumah. Waktu itu, ia memperhatikan saya dan ia sempat mengutarakan keheranannya, “Kamu ngapain, kok yang keluar dari kepala kamu warnanya merah? Ini nggak beres, karena seharusnya yang keluar itu warna putih,” tuturnya meyakinkan.
Akhirnya saya diajak ke Garut untuk bergabung dengannya pada malam Sabtu jam dua belas. Pada mulanya apa yang mereka bicarakan tidak jauh dari masalah kehidupan ini. Seringkali obrolan itu diakhiri dengan pemanggilan jin yang disebut dengan ngetrek. Dalam istilah mereka itu adalah penghadiran arwah orang-orang tertentu kemudian dimasukkan ke dalam tubuh seseorang. Biasanya yang menjadi sarana penghadiran jin adalah Om Joni. Sesekali mereka juga menghadirkan jin untuk diajak diskusi seputar politik. Misalnya pemilihan Bupati di Garut. Kira-kira siapa di antara calon-calon tersebut yang memiliki dekengan dari kalangan makhluk halus.
Pada kehadiran kedua, saya dianggap mewarisi ilmu besi. Hanya saja badan saya tidak kuat menerimanya, sehingga saya sakit-sakitan seperti ini. Selain itu, katanya saya juga memiliki ilmu terbang atau ilmu ngelamun. Dengan membayangkan tempat tertentu maka saya bisa melihat apa yang terjadi di sana. Akhirnya saya diuji Guru perkumpulan itu merapal doa. “Coba sekarang kamu pergi ke Aceh. Ke masjid Aceh!” teriaknya. Dengan tanpa sadar kepala saya bergoyang-goyang. Saya membayangkan Aceh dan samar- samar saya melihat Masjid Baiturrahman.
“Sekarang pindah ke selat Sunda,” teriaknya lagi. Saya beralih membayangkan selat Sunda. “Di sana ada apa?” “Ada laut. Ada kapal” “Pindah lagi ke Kraton Yogya.!” Saya membayangkan Kraton Yogya. Terbayang singgasana raja “Pindah ke masjid Banten,” teriaknya lagi. Ketika saya berusaha memasuki mimbar masjid Banten, saya tidak kuat. Hingga saya pun terjatuh tak sadarkan diri.
Ngetrek di Garut, berakhir setelah saya lulus kuliah dan mulai disibukkan dengan dunia kerja. Kebetulan di Jakarta ada perkumpulan yang sama di bawah pimpinan Chondro. Saya bergabung lagi. Menurut terawangan Chondro, di badan saya ada macan dari gunung Gede. Akhirnya terjadilah perkelahian antara murid-murid Chondro dengan jin Pamacan dari gunung Gede. Setelah melewati perjuangan panjang jin gunung Gede katanya berhasil dilumpuhkan. Tapi kenyataannya, sakit saya bertambah parah setelah setahun bergabung dengan mereka.
Tahun 2003, saya kembali rawat inap selama dua minggu di rumah sakit. Setiap pagi dan sore selalu difisioterapi, tapi tidak banyak perubahan. Bahkan semakin merambah ke punggung bagian atas. Saya dianjurkan mengikuti rontgent MRI lagi, tapi hasilnya normal- normal saja. Sampai kelima dokter yang menangani saya pun menyerah.
Saat rawat inap itulah saya mulai berpikir untuk menikah. Saya merenungkan perjalanan hidup saya selama ini yang telah banyak menyimpang dari kebenaran. Namun, saya mengambil sisi baiknya. Mungkin sakit saya ini karena kelakuan saya yang menyimpang. Allah menegur saya, agar saya kembali ke jalan yang benar.
Alhamdulillah, ketika keinginan itu saya sampaikan kepada orangtua mereka tidak keberatan. Toh, saya sudah dewasa dan sudah bekerja. Akhirnya saat yang ditunggu pun tiba. Bulan Juni 2003 menjadi bulan bersejarah. Saya mempersunting seorang gadis keturunan Yogya, teman kuliah dulu. Berawal dari pernikahan itulah saya menemukan Majalah Ghoib melalui ibu mertua. Perjalanan narasumber kesaksian yang kesana kemari mencari kesembuhan mengingatkan kembali apa yang saya alami sejak tahun 1995. Dari kisah itu saya semakin penasaran, apa sebenarnya ruqyah itu. Akhirnya saya berusaha mencari alamat seperti yang tertera di majalah. Tapi setelah sampai di depan kantor Majalah Ghoib yang waktu itu masih di Kebon Manggis, saya pulang begitu saja. Ada rasa enggan untuk masuk ke dalam dan mendaftar ruqyah. Semua itu lantaran bisikan di dada yang melarang saya masuk.
Jin Menghalangi Saluran Reproduksi, Ginjal dan Jantung
Waktu terus berjalan, bulan demi bulan berganti, tapi tanda- tanda kehamilan istri saya masih belum kelihatan. Jiwa kebapakan dan keibuan semakin meronta. Kekhawatiran tidak punya anak pun semakin kuat. Dalam kondisi demikian, saya bersyukur ibu mertua tidak banyak mempersoalkannya, ia bahkan menenangkan kami. Mungkin kami masih belum siap menyambut kelahiran anak. Mungkin masih banyak hal yang harus dipersiapkan secara lahir maupun batin. Kesadaran seperti ini bukan berarti menunjukkan kelemahan dan kepasrahan. Waktu itu saya dan istri telah sepakat untuk tidak konsultasi ke dokter kandungan sebelum masa pernikahan lewat satu tahun.
Satu tahun telah lewat, tanda-tanda kehamilan belum juga nampak. Sementara rasa sakit di punggung semakin parah. Akhirnya saya membulatkan tekat untuk mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib. Jantung saya berdegup kencang. Benar saja, pada saat diterapi saya langsung berontak “Saya seorang Musthafa, kakeknya. Saya senang dengan dia.”
Sepulang dari ruqyah saya bertanya kepada ibu saya, siapa sebenarnya Musthafa itu. Ibu pun menjelaskan bahwa kakek adalah seorang jawara yang sangat disegani. Kakek juga memiliki ilmu kebal. Dari sini, saya baru sadar bahwa yang dimaksud ilmu besi seperti yang dikatakan orang pintar itu adalah ilmu kebal warisan dari kakek. Rupanya Jin Musthafa inilah yang membuat punggung saya sakit hingga bertahun- tahun.
Setelah mengikuti terapi yang keempat, ada jin yang mengaku merusak saluran reproduksi. Jin itu mengaku dikirim oleh teman kerja saya.,tapi dia tidak mau keluar selama jin yang ada di ginjal belum keluar. Ustadz Junaidi yang menterapi saya pun memijat syaraf ginjal “Saya yang di ginjal.” “Ngapain kamu?” “Saya merusak ginjal.” “Mengapa merusak ginjal Keluar kamu!” “Saya tidak bisa keluar kalau yang di jantung tidak mau keluar.” Akhirnya yang di jantung dipaksa keluar. Ketiga jin itu seakan satu mata rantai yang harus diputus melalui jin yang berada di jantung.
Saya dipukul. Ditendang. Sakitnya bukan main. Tapi jin yang di jantung tetap membandel. Akhirnya saya ditelungkupkan di pojok, lalu Ustadz Junaidi menendang saya. Setelah diperlakukan sedemikian rupa, akhirnya yang di jantung keluar. Waktu itu jantung saya sakit sekali. Saya merasakan bahwa badan saya tidak kuat. Saya sampai ngos-ngosan.
Setelah yang di jantung keluar, baru yang di ginjal diterapi juga dengan proses yang tidak mudah. Katanya dia mau merusak reproduksi biar tidak punya anak. “Kenapa tidak boleh punya anak?” “Saya dikirim oleh Sutar, teman kerjanya.” “Ayo keluar!” “Saya tidak bisa keluar kalau yang mengirim tidak dipanggil.” “Kalau kamu bisa masuk, kamu bisa keluar. Keluar!” “Tidak bisa. Saya sudah dipantek agar tidak bisa keluar.” Badan saya semakin lemas. Jin yang di ginjal juga sudah tidak kuat “Ya ustadz, sudahlah saya mati di sini saja. Saya tidak bisa keluar” Akhirnya saya sampai dijemur di depan kantor agar terkena sinar matahari. Sebelumnya saya disiram air ruqyah, saya sampai kelojotan, tetapi tetap tidak mau keluar.
Sepulang dari ruqyah, saya memutar kaset ruqyah di rumah, dengan harapan jin yang membandel itu mudah dikeluarkan. Namun, tanpa saya duga jin yang mengaku kiriman teman kerja kembali bicara. la mengaku masuk ke tubuh saya melalui air minum. Saya sedih bercampur bingung. Apakah memang benar ada teman kerja yang berniat jahat. Karena selama ini saya merasa tidak punya masalah dengan siapa pun. Ataukah itu terkait dengan promosi jabatan ketua divisi yang sedang lowong?
Berdasarkan pengakuan jin yang selalu sama setiap kali diruqyah, akhirnya dengan hati- hati saya menemui Sutar. Saya ingin mengklarifikasi kebenarannya. Meski dengan hati berdebar. Karena pada dasarnya saya tidak yakin bila Sutar tega melakukannya. Selama ini dia adalah seorang kawan yang baik dan tidak pernah terjadi perselisihan dengan saya.
“Kamu nafsu nggak sih ngejar jabatan ini?” “Ya pingin lah.” “Kalau begitu saya mau tanya lagi. Saya mau ngomong saja, bahwa selama ini saya sakit itu pengakuan jinnya kamu yang kirim.” Mendengar penjelasan yang tidak terduga itu Sutar terkejut. “Masak sih? Saya tidak bermaksud begitu. Memang selama ini saya sering wiridan. Tapi saya tidak bermaksud menyakiti siapapun.” Setelah pertemuan dari hati ke hati itu saya membujuk Sutar untuk ikut ruqyah. Hal ini untuk membuktikan bahwa sebenarnya Sutar memang tidak bersalah.
Ketika saya sedang diterapi kebetulan Sutar duduk di sebelah saya dan tiba-tiba terdengar nada mengancam, “Awas, anak kamu nanti saya ganggu.” Mendengar ancaman tersebut hati Sutar menciut juga. “Ustadz Gimana Ustadz?” tanya Sutar “Tidak apa-apa,” jawab Ustadz sebelum menterapi Sutar. Pada saat giliran Sutar diterapi, ternyata reaksinya biasa saja.
Kesediaan Sutar untuk mengikuti ruqyah menjadi jawaban tersendiri bahwa selama ini dia tidak bermaksud menyakiti saya. Kalaupun kemudian ada jin yang merasuk ke dalam diri saya lantaran wiridan yang dirapalnya, hal itu di luar kesadarannya. Saya memang tidak ingin memperuncing masalah. Terlebih bila akhirnya istri saya positif hamil. Hanya berselang beberapa minggu dari keikutsertaan Sutar ruqyah di kantor serta keluarnya jin yang mengaku tinggal di saluran reproduksi, ginjal dan jantung.
Satu kenikmatan yang tidak ternilai harganya. Setelah menunggu tiga belas bulan, akhirnya istri saya hamil meski belum sempat mengikuti terapi medis. Dan saya masih mengikuti terapi ruqyah berikutnya hingga belasan kali untuk menghilangkan sakit punggung. Terus terang sakit di punggung semakin berkurang sejak saya mengikuti terapi ruqyah, hingga belasan kali.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun. Bahwa manusia tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah. Manusia harus berusaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan tenang dan perhitungan sehingga tidak terjatuh kepada jurang kemusyrikan. Dan jangan kembali terjatuh ke lubang yang sama.
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M