Tak ada kata menyerah bagi syetan. Ragam cara ditempuhnya untuk meruntuhkan iman. Seperti yang dialami Intan, seorang guru Taman Kanak-Kanak yang mendapat gangguan sejak kecil hingga sekarang. 26 tahun lamanya, ia hidup dalam bayang-bayang jin. Mulai dari kesurupan hingga penampakan demi penampakan. Di rumahnya yang sejuk, Intan menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya
Menurut cerita yang sering saya dengar dari bapak, uyut dari pihak bapak adalah seorang jawara yang ditakuti Belanda lantaran memiliki ilmu kebal yang tidak mempan ditembak. Berbagai usaha dari Belanda untuk menguasai desa kekuasaan uyut selalu gagal di tengah jalan. Kesaktian tersebut mengantarkan uyut untuk menjabat Kepala Desa.
Selain kebal, uyut juga menguasai ilmu kesaktian lainnya, salah satunya ilmu Harimau Putih. Harimau Putih itulah yang sering menjaga rumah uyut. Bahkan bapak masih melihat keberadaan Harimau Putih tersebut di rumah uyut yang saat itu sudah diwariskan kepada kakek. Padahal uyut sendiri sudah meninggal sekian tahun lamanya, tapi Harimau Putih itu masih sesekali menampakkan diri Bapak sendiri sering bermain-main dengan Harimau Putih itu, sementara kerabat yang lain tidak ada yang berani. Seperti apa permainannya, saya tidak mengerti. Karena cerita bapak itu telah saya dengar sejak kecil.
Secara turun temurun, ilmu kesaktian uyut terus dipelajari hingga di antara mereka kini ada yang berprofesi sebagai dukun. Hanya kakek saja yang saat itu tidak mau mempelajari ilmu kedigdayaan. Kakek memang berbeda dengan saudara- saudaranya yang lain. la dikenal sebagai orang yang taat beragama, begitu juga dengan nenek “Sudahlah, kamu tidak perlu mewarisi ilmu saya seperti saudara-saudaramu. Kamu mewarisi tanah saja”, pesan uyut kepada kakek seperti dituturkan bapak.
Kenyataannya, kakek dan Bapak memang tidak pernah mempelajari ilmu kesaktian apa-apa. Tapi masih ada sesuatu yang terkesan aneh. Bila bapak sakit kepala yang terbilang cukup parah, ia sering menyebut nama nenek. Entah bagaimana, dalam pandangan bapak tak lama kemudian katanya nenek datang. Keesokan hari nya bapak nampak segar kembali seperti tidak mengalami sakit apa-apa.
Peristiwa itu seringkali terjadi setelah bapak merantau dan menetap di Jakarta. Ketika dikatakan bahwa semalam nenek datang dan kirim salam, saya waktu itu hanya diam saja. Saya masih terlalu kecil untuk memahaminya. Waktu itu sesekali saya diajak bapak bermain ke tanah kelahirannya. Pekarangannya luas dan banyak ditanami pohon rambutan.
Dalam rumah beranyam bambu itulah saya menginap. Awalnya saya tidur di dalam bersama nenek, tapi saya merasa gerah. “Saya ingin tidur di luar,” rengek saya kepada nenek” “Jangan, jangan di luar. Kamu masih kecil,” ujar nenek melarang saya. Tapi karena tidak kuat di dalam, saya memaksa tidur di luar bersama kakek dan bapak.
Di atas bale-bale, mata saya tidak bisa terpejam. Tiba-tiba antara sadar dan tidak saya seperti melihat bayangan putih berbalut pocong. Saya terkejut, tapi saya terus menatapnya. Ini apaan? Pikir saya dalam hati. Kok seperti pocong. Setelah sekian lama bayangan itu tidak hilang, saya ketakutan. Sambil merengek saya minta bapak pindah ke dalam. Sejak saat itu saya tidak mau lagi menginap di rumah kakek.
Riwayat keluarga bapak yang tidak terlepas dari dunia klenik itu pada akhirnya menjadi jawaban atas derita berkepanjangan yang saya alami selama dua puluh enam tahun ini. Dalam kurun waktu yang panjang itu tidak hentinya saya mengalami gangguan demi gangguan yang kian lama semakin berat.
Bayangkan!! Sejak usia lima tahunan saya sering menangis karena sakit kepala yang tidak tertahankan. Bila sudah demikian, Ibu selalu mengikat kepala saya dengan kain. Hanya cara itulah yang dilakukan untuk menghilangkan sakit kepala. Bapak tidak membawa ke rumah sakit atau menghubungi saudara-saudaranya karena bapak sudah paham bahwa sakit kepala itu beberapa menit kemudian akan reda dengan sendirinya.
Selain sakit kepala, saya juga sesekali mengalami kebutaan sementara. Waktunya selalu habis maghrib dan berakhir menjelang isya. Tidak terlalu lama memang tapi hal itu sudah cukup membuat orangtua gelisah. Ibu yang biasanya tidak mau berurusan dengan orang pintar, akhirnya menyerah. Ibu pun memanggil dukun yang tinggal tidak seberapa jauh dari rumah.
Pada akhirnya sakit kepala maupun kebutaan sementara berakhir seiring dengan perjalanan waktu. Semenjak menginjakkan kaki di bangku Sekolah Dasar, sakit kepala semakin jarang muncul dan pada akhirnya hilang dengan sendirinya berganti dengan kesurupan yang tidak kalah menyesakkan dada.
Dalam Dera Kesurupan yang Berpekanjangan
Di sekitar rumah saya kata orang masih banyak yang angker. Sebuah pekarangan yang luas yang ditumbuhi pohon jambu dan rambutan. Cocok buat bermain dengan teman- teman selepas sekolah. Saya sendiri sudah dilarang ibu bermain-main di sana. Tapi karena masih anak-anak, semakin dilarang, saya semakin senang.
Biasanya, kami ke sana pada jam dua belas bertepatan dengan orang-orang yang pergi ke masjid untuk shalat Jum’at. Satu, dua buah jambu yang berjatuhan kami kumpulkan lalu bermain dengan riang. Tidak ada perasaan apa-apa. Semuanya berjalan seperti biasa. Sepulang dari bermain pun saya biasa saja. Sama seperti sebelum bermain di bawah rindangnya pohon jambu dan rambutan.
Hingga ketika adzan maghrib berkumandang suasananya berubah Tiba-tiba saya ngoceh tidak karuan, persis seperti orang kesurupan. Ocehan yang tidak berhenti sebelum orang pintar yang dipanggil ke rumah memberi saya air putih. “Penunggu rumah itu terganggu sama kamu. Jangan main ke situ lagi!” begitulah kesimpulan yang disampaikan dukun, padahal teman-teman yang ikut bermain tidak satu pun yang mengalami kesurupan seperti saya.
Selain itu, saya juga dilarang bermain di sebuah pojokan dekat jalan raya yang ditanami pohon rindang, di saluran pembuangan air yang agak menjorok ke dalam. Namun, di sanalah saya sering bermain petak umpet. Sementara tidak ada teman-teman yang berani bersembunyi di sana.
Akibatnya sudah bisa ditebak. Menjelang maghrib, saya kerasukan jin lagi. Saya ngoceh tidak karuan. Satu- satunya jalan yang biasa ditempuh oleh orangtua adalah memanggil orang pintar. Ibu tidak bisa berbuat banyak untuk melarang saya bermain di dua tempat itu, karena ketika berada di sana saya merasa senang-senang saja. Tidak ada sesuatu yang membuat saya takut. Saat dinasehati ibu, saya hanya tersenyum dan di lain hari saya main lagi ke sana. Saya tidak pernah merasa jera walau bisa dipastikan saya pasti kesurupan sepulang dari sana.
Kesurupan yang datang nyaris seminggu sekali itu pun berakhir seiring dengan perjalanan waktu. Setelah masuk SMP, saya tidak lagi kesurupan dan tidak ada lagi dukun yang datang ke rumah. Saya sedikit tenang karena tidak harus merepotkan banyak orang.
Sejak kelas satu SMP saya mulai terbiasa shalat tahajud meski awalnya terdorong oleh rasa penasaran. Menurut cerita teman-teman kalau kita shalat tahajud, apapun yang diinginkan akan terkabul. Akhirnya saya ingin merasakan sendiri. Jam dua malam, saya bangunkan ibu untuk minta diantar mengambil air wudhu di kamar mandi yang terletak di depan rumah.
Pertama shalat tahajud, saya merasakan sesuatu yang lain. Tenang, hening, sunyi. Saya menikmati saat- saat shalat tahajud. Dari sinilah saya memperoleh banyak kemudahan dalam urusan sekolah. Ulangan mendadak pun bisa saya kerjakan dengan mudah, hingga teman-teman penasaran “Kamu kok bisa sih In, ulangan- ulangan mendadak?”
Kenikmatan yang tiada terkira itulah yang membuat saya senang shalat tahajud meski gangguannya juga tidak kecil. Hembusan angin yang sering menemani malam-malam saya kian lama kian berat hingga akhirnya saya menyerah.
Di malam terakhir tahajud itu saya merasakan suasana yang lain dari biasanya, hembusan angin kencang menerpa gorden kamar. Padahal secara logika tidak akan ada angin sekencang itu karena kamar saya agak jauh dari pintu depan sehingga mustahil angin kencang masuk ke kamar.
Mukenah saya tersingkap ketika sedang sujud pada rakaat pertama. Hati saya berdegup kencang, badan bergetar hingga keringat dingin pun langsung saja mengucur. Segera saya percepat shalat tahajud dalam balutan ketakutan yang luar biasa, setelah selesai saya benamkan diri dalam balutan mukenah hingga pagi.
Dalam kurun waktu yang sama, sejak kelas satu SMP hingga awal kelas satu SMA sebulan sekali saya pasti rep- repan. Biasanya menjelang jam sepuluh malam. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba tubuh saya seakan melayang. Badan saya menjadi ringan, laksana tak ada berat sama sekali.
Saya biarkan mata terpejam dan merasakan apa yang terjadi hingga beberapa menit kemudian seeet’ saya merasakan raga saya masuk kembali. Saya pun melanjutkan tidur malam yang sempat terganggu. Sebenarnya, saat tersadar itu saya sedikit takut atas apa yang terjadi, tapi semuanya itu saya pendam saja. Saya tidak bercerita kepada siapapun. Karena saya berpikir rep-repan itu intensitasnya hanya sebulan sekali. Saat itu, saya belum melakukan perlawanan. Saya biarkan saja melayang seperti biasa.
Gangguan Jin Terus Meningkat Seiring dengan Perlawanan
Menjelang naik kelas tiga SMA, saya pindah ke Bogor mengikuti keluarga yang telah lebih dulu pindah. Pertama menginjakkan kaki di rumah ini saya tidak merasakan hal yang aneh. Hanya saja ketika disuruh menempati rumah di belakang yang telah lama kosong, saya merasa seperti ada yang menemani. Tapi ketika saya tengok, tidak ada siapapun di rumah itu selain saya.
Semenjak pindah ke Bogor, saya mulai aktif terlibat di ROHIS. Dan sinilah saya mulai bersentuhan dengan kajian- kajian keislaman. Bila sebelumnya saya hanya pasrah saja, kini saya mulai melawan rep-repan itu dengan ayat Kursi, surat al- Alaq, an-Naas serta doa-doa lainnya. Meski kini rep-repan itu tidak lagi datang menjelang tidur, tapi beralih beberapa saat menjelang bangun subuh.
Ketika mata saya sudah terbuka, tiba-tiba saja badan saya terasa kaku. Tidak bisa digerakkan sama sekali. Itulah tanda-tanda kehadiran jin yang selalu mengganggu tidur saya. Seperti sepasukan tentara, saya siapkan diri untuk berperang. Ayat demi ayat saya baca dengan lancar. Tapi selang beberapa detik kemudian, dada saya terasa sesak. Nafas mulai tersengal-sengal. Makin lama makin berat. Dada saya seakan ditindih oleh kekuatan besar. Sekujur badan menjadi kaku dan sulit digerakkan, hanya mulut yang bisa komat-kamit.
Bila saya membaca dalam hati, maka kekuatan besar itu semakin kencang menindih saya. Akhirnya dengan sekuat tenaga saya pusatkan kekuatan di mulut, meski akhirnya tinggallah lafadz Allah’ yang bisa saya ucapkan. Saya sudah pasrah atas apa yang terjadi. Selang beberapa menit kemudian keluar cahaya putih berpendaran di kamar seluas 2 x 3 meter. Ruangan yang semula gelap sekarang berubah terang. Semuanya menjadi putih.
Keadaan ini terus berlangsung hingga bertahun-tahun. Bahkan semakin meningkat semenjak adik sepupu yang bersuamikan seorang dukun ikut tinggal di rumah selama sebulan pada tahun 2002. Selama mereka di sini, entah kenapa saya mulai sedikit emosional. Saya ingin marah saja kepada suami adik sepupuh. Mungkin karena kamarnya yang gelap atau cara dia yang tidak shalat dan berbau klenik.
Hingga suatu malam, ketika jarum jam menunjuk angka 12, terdengar langkah kaki mendekat, “Mar..” saya memanggil adik saya, tapi tidak ada jawaban. Saya pikir itu hanya pikiran saya saja dan saya kembali merebahkan diri. Saat itulah tiba-tiba sepotong tangan hitam menyembul dari lantai. “Haah!” saya terpekik. Mau apa tangan itu? Belum selesai saya berpikir, sepotong tangan hitam itu bergerak cepat mengarah ke leher saya. Saya tidak mau menyerah begitu saja. Dengan sekuat tenaga saya melawannya dengan surat an- Naas. Dan tangan itu pun kembali hilang ditelan bumi, Tidak ada bekas. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya.
Saya berpikir, kejadian malam itu tidak terlepas dari kehadiran seorang dukun di rumah ini. Akhirnya dengan cara yang halus saya mendekati adik sepupu agar mau pindah ke tempat lain.
Peristiwa demi peristiwa itu akhirnya menjebol pertahanan saya untuk tidak bercerita kepada siapapun. Meski belum tentu mendapat solusi yang tepat, tapi setidaknya sedikit mengurangi beban pikiran saya. Saya tidak ingin menyusahkan orangtua dan terus membebani mereka, sehingga untuk curhat saya memilih teman-teman yang memiliki pemahaman Islam yang baik.
Jawaban mereka pun beragam. Ada yang mengatakan kalau saya hanya kecapekan saja. Aktifitas saya yang memang terbilang padat. Semenjak lulus PGTK, saya membenamkan diri dalam rutinitas pengajaran yang cukup menyita waktu. Sehingga ketika ada teman yang mengatakan mungkin saya sedikit mengalami kemunduran dalam aktifitas ibadah, saya benarkan saja. Karena demikianlah kenyataannya.
Puncaknya terjadi pada tahun 2002. Setelah mengikuti seminar tentang tahayul, bid’ah dan khurafat yang membedah dunia jin dan gangguannya kepada manusia, saya mulai sadar bahwa apa yang saya alami sejak kecil tidak terlepas dari gangguan jin. Sejak itu saya ingin mengikuti terapi ruqyah.
Anehnya, semakin kuat keinginan untuk ruqyah, semakin gencar pula serangan yang saya terima. Kini, jin memulai permusuhan baru dengan menampakkan diri dalam wujud yang kasat mata. Dengan intensitas yang semakin sering, sebelum dan ketika bangun tidur.
Seperti yang terjadi pada bulan Ramadhan 2002, doa-doa pelindungan sebelum tidur sudah selesai saya baca, tapi mata tetap tidak mau terpejam. Hingga akhirnya saya kecapekan berdzikir dan tertidur. Saat itulah sosok tinggi besar berkulit gelap muncul begitu saja di dalam kamar. Entah darimana masuknya. Gelapnya kamar tak berpenerang itu masih tidak bisa menyembunyikan sosok hitam besar itu.
Perlahan, namun pasti ia semakin mendekati saya. Saya terus melawan dengan merapal bacaan-bacaan yang saya hapal. Pertarungan yang tidak berjalan seimbang, karena tiba-tiba saja badan saya kaku dan tidak bisa digerakkan. Namun dengan kekuatan dzikir, alhamdulillah akhirnya sosok hitam itu pun menghilang. Badan saya langsung lemas. Saya heran mengapa di bulan Ramadhan gangguan yang saya alami semakin berat.
Dalam kondisi demikian, ada teman yang menyarankan saya mengikuti terapi ruqyah di Bekasi, Jawa Barat. Sepulang dari terapi saya merasakan intensitas gangguannya semakin berat. Seminggu rep-repan itu bisa datang tiga kali, bahkan kini saya mulai was-was, dada berdebar-debar. Saya tidak berani tidur dalam kegelapan. Murattal surat al-Baqarah pun saya putar tanpa henti.
Karena kecapekan, saya setengah tertidur. Saat itulah saya merasakan seperti ada sesuatu yang menekan-nekan leher saya seperti hendak mencekik. Saya berpaling, dan ohh… dua makhluk berkuku panjang telah mencengkeram leher saya. Makhluk kerdil berwarna kuning keemasan dan berbulu tajam-tajam itu terus berusaha mencekik. Goresan kukunya telah menyentuh leher saya. Di bawah cahaya lampu yang terang saya menyaksikan posturnya yang buruk dan mengerikan. Matanya kuning, semuanya serba kuning. Dia bukan manusia, tapi landak yang menakutkan.
Ketika melihat makhluk itu, saya langsung membaca doa-doa sambil tangan saya memukul mukulnya. Makhluk itu pun meloncat dan menghilang entah kemana. Sementara saya menenangkan diri dengan shalat tahajud.
Beberapa minggu kemudian muncul lagi penampakan berwujud kepala buntung yang mengelilingi kamar sambil menyeringai. Kepala terbang itu mengenakan jilbab. Seperti biasa saya selalu melawannya dengan dzikir. Dan sesekali saya hardik bahwa dia adalah penghuni neraka Jahanam. Karena sering melihat penampakan dalam wujud dan rupa yang berbeda-beda, saya mulai berani melawan jin dan tidak lagi ketakutan seperti dulu. Sebab dengan keberanian itulah manusia menjadi kuat di mata jin.
Terkurung dalam Jeratan Jin Kecil
Setelah sekian lama tidak ada perubahan yang berarti, di akhir tahun 2002, saya mengikuti terapi ruqyah di Majalah Ghoib yang waktu itu masih di Kebon Manggis. Terapi pertama tidak ada dialog dengan jin. Karena sedemikian mbandelnya jin itu sehingga Ustadz Junaidi meludahi mulut saya. Baru pada terapi yang kedua terjadi dialog. “Kamu di sana ada berapa?” “Dua” Sekarang kamu keluar!” “Ya, saya keluar”. Setelah dialog itu saya merasakan ada rasa dingin di mulut saya kemudian saya lemas.
Giliran berikutnya saya harus menunggu satu bulan lagi, karena terlalu lama saya kembali terapi di Bekasi, Jawa Barat. Dua tahun setengah saya menjalaninya tapi gangguan masih tetap datang. Meski hanya fisik dan tidak mengganggu ibadah saya, tapi tetap saja mengganggu. Akhirnya pada bulan Desember 2004, saya kembali terapi ke Majalah Ghoib.
Tiga kali terapi di Majalah Ghoib yang selalu muncul adalah jin anak-anak. Saya sendiri tanpa sadar bertingkah laku seperti anak-anak. Jin itu menangis terus. “Ya, saya mau nunggu ibu dulu. Ibu kok ninggalin saya. Saya nggak mau tinggal di sini sendirian,” jin kecil itu terus merengek “Keluar sekarang.” “lya, tapi kata ibu, besok saja,” kata jin kecil.
Setelah terapi, saya merasakan agak tenang, meski jin kecil masih belum mau keluar. Tapi tiga hari kemudian, dada saya berdebar lagi. Dan saya pun ruqyah kembali. Kini, saya tidak lagi kepanasan saat mendengar bacaan al- Qur’an, sebaliknya saya terbengong saja sambil memperhatikan orang-orang yang sedang diterapi.
“Di situ Ustadz!” ujar jin kecil. “Apa yang di situ?” tanya Ustadz. “Coba saja periksa tangannya!” “Oh, itu kan tissue,” ujar Ustadz. Dari sini saya paham bahwa Ustadz yang menterapi di Majalah Ghoib tidak bisa melihat jin. Sehingga apa yang saya ucapkan berdasarkan petunjuk dari jin kecil tidak diketahuinya.
“Bukan tissue. Coba periksa! Akhirnya Ustadz memeriksa “Bohong, awas ya kamu!” Saya tertawa-tawa saja seperti anak kecil. “Tidak percaya sih Ustadz. Coba!” ketika pasien ruqyah itu dipencet tangannya, dia berteriak. Jin kecil yang telah menguasai saya itu pun kembali tertawa. “Tuh, Ustadz sih tidak percaya.”
“Ustadz, jinnya lari ke belakang! Lari ke kaki. Di dalam ruangan ruqyah itu saya membuat kegaduhan dengan perkataan yang membuat jin dalam diri pasien marah. “Sudah saya yang pukul,” kata saya kepada Ustadz. Kemudian saya pukul kaki pasien itu dan benar saja dia menjadi marah.
“Ustadz, saya tidak mau dipukul dia, lebih sakit,” ujar pasien itu. Saya hanya tertawa saja mendengar pengaduannya.
Ketika terapi di kantor Majalah Ghoib itu saya memang bisa melihat apa yang ada di dalam diri pasien. Sehingga ketika ada pasien lain yang sedang diterapi dengan cepat saya berkomentar.
“Dia itu tidak ada jinnya, Ustadz,” teriak saya sambil cengengesan “Eh, tidak ada jinnya ke sini,” kali ini saya berbicara kepada ibu yang sedang diterapi. “Dia itu ke sini bukan untuk mengusir jin. Kamu saja yang diam.” ujar Ustadz
Waktu terapi kemarin, saya memang seperti anak kecil saja. Saya suka bermain-main dan memperhatikan orang-orang yang sedang diruqyah. Bahkan kemudian tiba-tiba saja saya menangis. “Ibu, pulang!. Saya mau pulang sama ibu.” Akhirnya ada seorang Ustadz menterapi saya. Tapi memang jin kecil itu masih sulit dikeluarkan.
Dengan kata lain, jin kecil itu masih terus membuntuti saya hingga sekarang. Seperti yang terjadi pada beberapa hari yang lalu, saya kembali merasakan ngantuk yang berlebihan setelah shalat subuh. Itu adalah pertanda bahwa jin itu akan datang kembali. Liciknya, jin itu kini datang setelah saya dalam kondisi setengah tertidur, sehingga agak kesulitan untuk melawannya dengan doa-doa. Meski demikian, saya sempat memegang sesuatu yang lunak di kepala. Saya tarik benda itu dan dilemparkan kepada jin yang akan datang. tapi yang saya rasakan justru saya dan jin itu saling memperebutkan benda yang lunak tersebut. Dalam kondisi demikian, terdengar langkah-langkah kaki yang kian mendekat dan akhirnya membuyarkan segalanya. Jin kembali menghilang, dan saya pun dibangunkan oleh Ibu yang mungkin mendengar teriakan-teriakan saya.
Saya sadar, bahwa perjuangan untuk mengeluarkan jin yang telah bersarang 26 tahun bukan hal yang mudah. Mereka tentu tidak rela begitu saja meninggalkan tubuh saya, yang merupakan cicit dari seorang jawara terkenal. Bagi saya cicit siapapun tidaklah berarti karena mereka tidak akan bisa menolong saya di akhirat. Karena saya harus menentukan langkah saya sendiri, meski harus berseberangan dengan mereka, nenek moyang saya yang jelas melakukan kesalahan.