Malam mulai merayapi bukit Walahir, ketika kami yang ditemani oleh tiga orang petugas posko dari PKS mulai memasuki kawasan itu. Adzan Maghrib baru saja terdengar. Sementara jalanan menuju ke lokasi longsor sangat terjal.
Baru saja memasuki daerah itu, tanah liat menyambut kami. Akhirnya mobil yang kami bawa tidak sanggup naik karena licinnya jalan. Sementara di kanan kami adalah tebing dan di sebelah kiri adalah jurang sekaligus rumah- rumah penduduk yang samar masih terlihat. Setelah berhasil mendorong naik mobil melalui jalan yang berbahaya itu, ternyata rintangan-rintangan lain masih menunggu. Jalan berkelok-kelok. Lubang-lubang jalan tidak menyisakan pilihan bagi kami kecuali harus melewatinya. Tidak lama kemudian naik menukik, sehingga seorang di antara kami harus turun membawa batu besar bersiap untuk mengganjal ban mobil. Yang tidak terpikir oleh kami adalah kalau ada mobil datang dari arah yang berlawanan. Karena jalan itu hanya muat untuk satu mobil.
Setelah kira-kira 30 menit menembus malam di bukit Walahir, akhirnya kami berhenti di sebuah masjid. Terlihat banyak anak-anak muda para tim SAR dari berbagai kalangan. Mereka baru saja melaksanakan sholat Maghrib. Kami pun sholat sekaligus istirahat sesaat.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan. Tidak lama dari masjid itu, terlihat posko PKS dan BSMI lengkap dengan k sembako yang menumpuk. Berdampingan dengan posko itu ratusan orang pengungsi menempati gedung SD. Mereka tinggal di kelas-kelas seadanya. Rumah mereka ada yang musnah sama sekali, ada yang rusak berat atau ada juga yang takut kalau hujan mengguyur lagi. Kami sempat berbincang ramah dengan mereka. Ust. Fadhlan pun berdoa yang diamini bersama oleh para pengungsi.
Tidak jauh dari tempat itu, rumah kepala desa terlihat ramai orang dan barang-barang bantuan. Dokter dan para medis dari puskesmas dan BSMI juga ber posko di situ. Di depan rumah berwarna merah itu, terdapat papan tulis hitam bertuliskan korban dan jumlah kerugian akibat longsor. Bersebelahan dengan rumah kepala desa, ada tenda besar milik PMI Bandung sebagai dapur umum.
Dari tempat itu, masih harus berjalan sekitar sepuluh menit untuk sampai di lokasi longsor. Jalannya becek, gelap plus naik turun. Kami dan para pemandu berjalan kaki menuju lokasi dengan bantuan senter, lampu- lampu kecil di rumah-rumah penduduk dan sepenggal bulan menggantung di langit yang ditutupi kabut tipis.
Salakan anjing di sepanjang jalan mengiringi langkah kami. Ketika tim melewati sekumpulan penduduk, dalam bahasa Sunda mereka keheranan akan keberanian rombongan kami menuju lokasi padahal hari sudah benar-benar gelap. Karena masyarakat menjadi ketakutan untuk melalui tempat yang tiba- tiba menjadi kuburan masal itu. Mereka tidak berani melintasi tempat itu kecuali terpaksa.
Begitu sampai di lokasi, suasana senyap terasa betul. Sebuah tempat yang mati. Gundukan tanah yang tinggi telah menimbun 21 rumah, merusak 41 rumah, menghanyutkan 70 ekor kambing. Dua korban terakhir yang ditemukan Ahad pagi pukul 10.50, ditemukan 800 gram emas di saku mereka.
Sepi. Bahkan suara binatang malam pun tidak lagi terdengar di lokasi seperti yang kita dengar sepanjang jalan. Sisa-sisa rumah yang terkubur, rumah kosong yang ditinggal penduduk dan pondasi rumah yang diseret arus hingga ke jalan raya. Lengang.
Setelah sesaat mengamati tempat itu, kami meninggal lokasi kematian itu. Kami kemudian mampir ke rumah kepala desa untuk menyampaikan bela sungkawa dan berbincang seputar bencana. Kemudian kami singgah di posko PKS yang ramai dipenuhi para kader partai tersebut. Dinginnya malam tenggelam di antara hangatnya perbincangan kami dengan para pemuda yang telah berada di tempat itu untuk menunjukkan kepedulian mereka sejak hari pertama kejadian.
Malam itu juga kami harus meninggalkan bukit Walahir yang sedang berduka. Karena waktu pun sudah menunjukkan pukul 21.30. Dengan perlahan, mobil kami menuruni bukit membelah malam yang berkisah tentang kepedihan.
Ghoib, Edisi No. 17 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M