Bercanda memang bagian dari hiasan kehidupan yang hampir selalu ada dalam lukisan dinding kehidupan kita. Islam tidak pernah melarangnya memang, tetapi ada batasannya. Batasan itu bukan untuk membuat kita menjadi terkekang dan tidak fresh lagi dalam hidup. Tetapi adab-adab itu justru membuat tawa canda kita menjadi lebih bermakna dan kemungkinan buruk akibat bercanda bisa dihindari sedini mungkin. Dan berikut adab bercanda bagian kedua.
- Tidak Banyak Tertawa
Kenyataan yang bisa jadi mengenaskan dari kultur budaya masyarakat kita adalah senang tertawa. Dalam berbagai kesempatan, masyarakat senang dengan sesuatu yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Perhatikanlah ceramah ceramah yang digemari masyarakat, maka ditemukan suatu realita bahwa masyarakat lebih senang mendengar ceramah yang mengundang tawa. Sehingga tidaklah mengherankan bila pelawak yang beralih profesi menjadi penceramah akan mengundang banyak pendengar.
Sebaliknya ceramah yang terkesan kaku dan tidak banyak canda akan menjemukan dan membosankan. Pada akhirnya masyarakat tidak menyenanginya meski materi yang disampaikannya bermutu. Hal ini jauh berbeda dengan kebiasaan di negara lain, sebutlah negara-negara di Timur Tengah misalnya. Maka hal ini tidak akan ditemukan di sana.
Pada sisi lain, kultur masyarakat yang demikian, mendatangkan keuntungan tersendiri bagi orang-orang yang kemudian menjadikan lawakan atau banyolan sebagai sebuah profesi. Ya, negeri ini menjadi lahan yang subur bagi para pelawak.
Padahal dalam berbagai hadits Rasulullah melarang umatnya untuk banyak tertawa. Larangan itu sangat jelas alasannya, “Jangan terlalu banyak tertawa, karena tertawa yang berlebihan itu mematikan hati.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Tertawa berlebihan membuat orang terlena dan terpedaya, sehingga tanpa disadari rambu-rambu tertawa yang sopan pun diterabas begitu saja. Karena pada dasarnya Rasulullah sendiri tidak pernah tertawa seperti yang biasa kita lihat dan saksikan. Tertawa terpingkal-pingkal dengan suara melengking.
Senyuman ikhlas yang apa adanya sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Rasulullah bukan orang yang berhati keras. Senyum yang melambangkan kesopanan dan ketinggian akhlak seseorang. Sebaliknya, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mengingat masa-masa setelah kematian yang mengundang tangis. Bukan derai tawa.
- Jangan Bercanda dengan Bahasa yang Seronok
Sisi lain dari merebaknya dunia lawak adalah banyolan atau bahan cerita yang mereka sampaikan. Jurus jitu yang biasa mereka gunakan adalah dengan melontarkan banyolan seronok atau merendahkan lawan bicaranya dengan mengangkat aib misalnya.
Memang semua itu hanya sekadar hiburan dan permainan belaka. Tapi apakah harus dengan cara demikian? Seharusnya tidak. Karena resiko yang ditimbulkan oleh banyolan itu tidaklah kecil. Semua yang keluar dari lisan ini pada akhirnya juga akan dimintai pertanggungjawaban.
Tidaklah mengherankan bila Rasulullah mengatakan bahwa dua hal yang paling banyak menjerumuskan seseorang ke neraka Jahannam adalah mulut dan kemaluan “Sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Karena itu orang yang bisa menjaga mulutnya dari hal-hal yang tidak baik dalam kesehariannya adalah suatu prestasi besar yang layak mendapat penghargaan. Bukan sebaliknya menjadikan banyolan-banyolan seronok sebagai lahan mendulang uang.
Lebih jauh, Rasulullah menegaskan bahwa berbicara baik atau diam merupakan tanda keimanan seseorang “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbicara yang baik-baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Tidak Mengambil Barang Orang Lain dengan Alasan Bercanda Lalu Tidak Mengembalikannya
Seringkali kita menemukan gaya bercanda yang tidak seperti biasanya. Seseorang mengambil sebelah sandal atau sepatu temannya. Dan dengan enteng saja mengatakan tidak tahu, bila ditanya sang pemilik sandal yang sudah kelimpungan kesana kemari mencari sandalnya.
Ya, inilah realita masyarakat yang senang mempermainkan orang lain, meski dengan alasan bercanda. Alasan yang mudah diterima dan dianggap tidak apa-apa. Padahal kalau dilihat dari kasus di atas setidaknya ada beberapa kesalahan yang terjadi. Pertama adalah mengambil atau menyembunyikan barang orang lain, kedua berbohong, ketiga adalah tertawa di atas penderitaan orang lain.
Empat belas abad yang lalu, Rasulullah telah mengoreksi kesalahan ini, agar tidak terus terulang dan terulang. Abdullah bin Saib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya baik dalam keadaan bercanda atau serius! Bila salah seorang dari kalian telah mengambil tongkat orang lain maka hendaklah la mengembalikannya.'” (HR. Bukhari dalam adabul mufrad, Thabrani dan Haitsami)
Bercanda sih boleh saja, selama tidak melebihi batas dan menerobos rambu-rambu yang digariskan agama. Dan jangan berlindung di balik hiburan untuk melegalisasi kesalahan yang terjadi.
Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M