Adab Bercanda

Bercandalah agar tidak stres. Karena dengan canda, kita dapat mengakrabkan pergaulan dengan teman-teman, atau menyenangkan si pendengarnya. Namun Rasulullah, di dalam sejarahnya mendidik para shahabat mulia bercanda atau bergurau dalam waktu yang sangat jarang sekali. Rasulullah bercanda kalau ada manfaatnya saja, seperti disebutkan di atas.

Para ulama berpendapat: “Bergurau atau bercanda yang terlarang adalah yang keterlaluan dan terus menerus. Hal itu akan mengakibatkan tertawa yang tak habis-habisnya, mengeraskan hati, memalingkan diri dari mengingat Allah, dan berpaling dari memikirkan urusan-urusan agama.”

Kadang-kadang kalau terlalu lama bergurau akan membawa kesengsaraan. Canda juga membangkitkan rasa dengki dan menjauhkan martabat serta wibawa. Jadi kita boleh-boleh saja bercanda, selama tidak keterlaluan dan terus menerus, bahkan di sunnahkan.

Karena itu, kita harus mengetahui adab-adab bercanda, seperti yang telah dicontohkan Rasulullah dalam beberapa hadits.

 

  1. Tidak Berbohong

Abu Hurairah berkata, “Mereka (para sahabat) berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya engkau bercanda dengan kami. Rasulullah menjawab, Sesungguhnya saya tidak mengucapkan apapun kecuali yang benar.” (HR. Tirmidzi)

Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering membuat lelucon agar teman-teman kita tertawa. Rasanya obrolan tidak akan lengkap tanpa dibumbui dengan seribu satu cerita yang tidak jelas darimana sumbernya. Semakin asyik berbohong, lama-lama menjadi karakter diri yang akan sulit dirubah kembali. Tak peduli dengan dosa, yang penting orang lain senang dengan cerita kita meski sedikit berbohong.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim Rasulullah saw menjelaskan,” bahwa orang yang mempunyai kebiasan berbohong, maka disisi Allah ia akan tercatat sebagai pembohong sampai kapanpun.”

 

  1. Tidak Berlebihan dalam Bercanda Sehingga Menyakitkan Hati Teman-Temannya

Budaya “ngecengin” sekarang sudah menjadi hal yang biasa di dalam pergaulan antar sesama manusia. Dengan alasan bercanda, sering kali kita mengejek teman-teman sepergaulan, dengan panggilan yang bernada celaan kepada bentuk fisik yang tujuannya merendahkan seseorang. Lidah memang tak bertulang, luka akibat pedang dapat diobati, luka karena lidah, hendak kemana obat dicari, begitu pepatah mengatakan. Cerita rakyat, malin kundang memberikan pelajaran bagi kita. Akibat untaian kata-kata menghina kepada ibunda tercinta. Sang buah hati, akhirnya harus tersiksa menjadi patung. Karena kutukan dari ibunya yang merasa tersinggung dengan ucapan dari buah hatinya, yang selama ini dirindukannya setelah sekian lama merantau.

Retaknya persahabatan juga seringkali diawali karena bercanda saling mengejek. Tanpa terasa orang yang kita ejek merasa sakit hati dengan ucapan-ucapan yang menurut kita hanya sekadar bercanda. Namun dari canda itulah awal timbulnya malapetaka.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang (mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela diri sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Hujurat: 11)

Para shahabat Nabi, merupakan contoh tauladan yang baik bagi kita dalam bergaul dengan sesama. Mereka berpikir panjang untuk melontarkan kata-kata kepada shahabatnya yang lain. Mereka tidak ingin ada satu katapun yang dapat menyakiti hati saudaranya seiman. Lalu bagaimana dengan kita?

Solusinya bercanda itu boleh saja asal tidak keterlaluan. Bercanda boleh saja asal masih dalam koridor yang diperbolehkan agama maupun etika.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka jangan menyakiti tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamu dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah selalu berkata yang baik-baik atau diam.” (HR. Bukhari)

 

3. Bercanda Pada Tempatnya

Bercandalah selama masih dalam batas yang wajar. Bercandalah selama Anda tahu kapan saatnya bercanda dan kapan waktunya serius, karena semua keadaan ada tempatnya.

Jangan bercanda dalam situasi serius yang sekiranya bisa merusak suasana. Dan jangan bercanda secara berlebihan, seperti bercanda dengan menggunakan senjata misalnya. Seperti yang pernah terjadi, seorang polisi menembak temannya sendiri hanya karena bercanda.

Senjata api yang dipegangnya meledak tanpa disengaja. Kasus seperti sering terulang dalam keseharian kita. Rasulullah bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengacungkan senjata kepada orang lain, karena dia tidak tahu barangkali syetan akan mempengaruhi untuk membunuhnya lalu dia masuk neraka.” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.

Karena itu, berhati-hatilah dalam bercanda dan jangan melewati batas. Ingatlah selalu ungkapan Ali bin Abu Thalib, “Setiap ucapan ada tempatnya dan setiap tempat ada ucapan yang pantas untuknya.”.
Ghoib, Edisi No. 37 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN