Rasulullah bersabda, “Orang-orang yang mufarrid itu berada di barisan terdepan. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang mufarrid itu?” Rasulullah menjawab, “Mereka ialah orang-orang yang berdzikir (mengingat) kepada Allah baik laki-laki ataupun perempuan.” (HR. Muslim)
“Yaitu orang-orang yang mengamalkan dengan disiplin dzikir-dzikir yang bersumber dari Rasulullah di pagi, sore hari, atau setiap waktu dan setiap keadaan yang berbeda-beda baik siang atau malam. Sebagaimana yang terhimpun dalam kitab Amalan siang dan malam”” kata Abu Amr bin Shalah ketika ditanya tentang batasan orang- orang yang dikategorikan suka berdzikir.
Cukuplah kiranya hadits dan penjelasan Abu Amr bin Shalah mendorong semangat kita untuk senantiasa berdzikir dengan tidak menyepelekan beberapa adab dzikir berikut ini.
1. Dzikir dengan Hati dan Lisan
Sebenarnya dzikir merupakan pekerjaan hati dan lisan. Sehingga sudah sewajarnya bila seseorang ingin memperoleh keutamaan dalam berdzikir untuk menggabungkan kedua hal ini. Persatuan yang melahirkan rasa bahwa kita sedang bermunajat kepada Allah, Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Persatuan yang membatasi pikiran kita agar tetap mengikuti apa yang kita rasakan. Sehingga tidak melayang kemana-mana atau bahkan tidak lagi memperdulikan apa yang sedang dilafalkan.
Namun, perlu diingat bahwa pengucapan dengan lisan itu jangan sampai mengganggu konsentrasi orang lain yang juga sama-sama berdzikir atau bahkan sedang shalat di samping kita. Karena itu disinilah kita dituntut untuk memahami sejauh mana kita bisa mengeraskan volume suara kita.
Yang lebih parah bila kita tidak lagi berdzikir dengan hati maupun lisan hanya karena alasan yang tidak jelas. Karena takut dikatakan riya’ misalnya. Karena justru orang yang meninggalkan suatu amalan karena manusia itu sendiri sudah masuk dalam kategori riya’ sebagaimana atsar riwayat Abu Fudhail bin lyadh, “Meninggalkan suatu amalan karena manusia adalah riya’. Beramal karena manusia adalah syirik. Apabila kamu beruntung mendapat pemeliharaan Allah dari keduanya, itulah namanya ikhlas”.
2. Sikap dalam Berdzikir
Agar dzikir yang dilantunkan lisan dan diikuti oleh hati menjadi lebih berkesan dan memperkuat daya magis yang ada maka harus didukung oleh beberapa faktor lainnya.
Duduk dengan sikap yang sempurna misalnya. Artinya seseorang duduk dengan bersila, menghadap kiblat, tidak banyak bergerak dan menundukkan kepala. Sangat tidak beretika bila ada seseorang yang berdzikir kemudian dengan seenaknya saja ia menyelonjorkan kaki. Atau dengan tatapan mata kosong dan menerawang ke kiri atau kanan.
Apa yang dilakukan itu memang tidak sampai masuk dalam hukum haram yang menyebabkan seseorang mendapat tambahan dosa karenanya, Tapi seorang yang berakhlak tentu tidak akan melakukan hal-hal yang mengurangi kekhusyuannya dalam berdzikir.
3. Tempat Berdzikir yang Baik
Selain itu, seseorang bisa memilih tempat yang tenang dalam berdzikir. Tempat yang tenang, tidak mudah terganggu dan bersih. Karena itu berdzikir di masjid atau tempat mulia lainnya tentu sangat membantu.
Bahkan sebaiknya di dalam rumah kita tersedia ruangan tertentu yang dipakai sebagai tempat shalat atau berdzikir. Tempat yang tidak sembarangan diacak-acak oleh anak kecil atau bahkan terkena najis karena ulah anak-anak yang masih belum paham agama.
Dari sini kita harus memahami bahwa ada tempat-tempat yang kurang pantas untuk dijadikan sebagai tempat berdzikir. Tempat yang kotor misalnya. Atau bahkan di kuburan. Memang secara jelas Rasulullah menganjurkan umatnya untuk berziarah ke makam untuk merenungkan bahwa suatu saat kita juga akan seperti mereka. tapi bukan pada tempatnya bila tempat-tempat itu kemudian dijadikan sebagai tempat untuk berdzikir secara berkala.
4. Membersihkan Mulut Sebelum Berdzikir Islam adalah agama yang cinta akan kebersihan.
Karena itu Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa menjaga kebersihan mulut. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa perbuatan yang pertama kali dilakukan Rasulullah setelah bangun. tidur adalah bersiwak. Dalam bahasa kita bersiwak adalah menggosok gigi dengan kayu Arak.
Dan sudah sewajarnya bila menggosok gigi juga kita lakukan saat hendak bermunajat kepada Allah. Kalau saat itu kebetulan sedang tidak membawa sikat gigi, setidaknya bisa menggantinya dengan berkumur.
Rasulullahi bersabda, “Seandainya saya tidak khawatir akan memberatkan umat saya, niscaya saya akan menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) sebelum melakukan apa saja.
5. Waktu yang Dimakruhkan untuk Berdzikir
Meski dzikir itu disunahkan dalam berbagai keadaan dan kesempatan, namun ada waktu- waktu tertentu yang makruh untuk berdzikir. Yaitu ketika buang air, jima’, mendengarkan khutbah atau dalam keadaan mengantuk. Larangan berdzikir dalam beberapa keadaan di atas, tidak lain untuk membiasakan kita berakhlak Islami dalam berbagai situasi. Kita tahu kapan saat berdzikir dan kapan tidak boleh.
6. Dzikir Bagi Orang yang Tidak Bersuci
Inilah sisi keistimewaan dzikir. la berbeda dengan shalat, puasa atau haji dan beberapa ibadah lainnya yang bisa terlarang dalam keadaan. tertentu. Menurut ijma ulama tidak ada halangan bagi seorang wanita yang sedang haid, nifas atau dalam keadaan junub untuk berdzikir. Mereka tetap dibolehkan mengucapkan tahlil, tahmid, tasbih, takbir, shalawat maupun dzikir- dzikir lainnya.
7. Berdzikir dengan yang Ma’tsur
Dzikir adalah bagian dari ibadah. Dengan kata lain dzikir yang kita lafalkan itu harus sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah. Jangan sampai kita mengamalkan dzikir-dzikir tertentu yang masih dipertanyakan dalilnya. Atau bahkan itu bukan dari Rasulullah.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melakukan amalan-amalan yang tidak ada (perintahnya) dari kami, maka amalan itu tidak diterima.” (HR. Muslim)
Di sinilah letak perbedaannya dengan doa. Karena orang boleh saja berdoa dengan bahasa apa saja dan dengan susunan kalimat yang dia inginkan.
Inilah beberapa adab berdzikir yang layak diperhatikan. Agar apa yang kita lakukan tidak menyimpang dari agama.
Ghoib, Edisi No. 19 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M