Adab Orangtua Terhadap Anaknya (Bagian Ketiga)

Anda ingin hidup berbahagia bersama keluarga? Jelas, semua orang menginginkannya. Tapi apakah harus dengan materi yang melimpah untuk meraihnya? Ternyata tidak. Materi bukan jaminan membuat orang bahagia. la hanya urutan yang kesekian dari resep meraih kebahagiaan, Berikut adalah bagian ketiga dari adab orangtua terhadap anak-anaknya. Insya Allah membantu Anda mendapatkan kebahagiaan bersama keluarga.

 

  1. Membawa anak-anak bertemu orang shalih dan meminta doa darinya

Lingkungan di mana seseorang tinggal memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap karakter dan perilaku seseorang. Karena itu sudah sewajarnya orangtua memperhatikan dengan siapa anaknya bergaul dan suasana seperti apa yang sering dilihat serta terekam dalam otaknya.

Kita tentu tidak menginginkan anak-anak kita menjadi berandalan dan tidak bisa diatur. Seperti yang sering kita baca atau dengar di media massa. Anak-anak belasan tahun yang tumbuh menjadi seorang pencopet, pemabuk, penjudi atau bahkan ada yang menjadi pembunuh.

Bila itu memang terjadi, kita tidak bisa menimpakan semua kesalahan kepada mereka. Karena ada kesalahan kita sebagai orangtua atau anggota masyarakat yang juga ikut berperan.

Taruhlah kita sebagai orangtua, apakah memang sudah sedemikian rupa kita mempersiapkan anak-anak menghadapi dunianya yang jelas berbeda dengan dunia yang kita geluti dulu, saat seusia mereka?

Secara materi, mungkin kebutuhan anak-anak itu sudah terpenuhi. Tapi materi semata jelas tidak cukup menjadi modal mereka. Karena pada kenyataannya banyak anak-anak orang kaya yang terjerumus kepada pergaulan bebas dan ketergantungan narkoba.

Pasti ada sesuatu yang salah dalam pola pendidikan keluarga. Pasti ada ajaran Rasulullah yang ditinggalkan dan tidak lagi dihiraukan. Pendidikan spiritual itulah, yang sering diabaikan oleh keluarga. Padahal pendidikan spiritual menjadi titik tekan utama dalam model pendidikan Rasulullah.

Pendidikan spiritual ini bisa didapatkan dengan berbagai cara. Di antaranya dengan mengajak anak-anak bertemu dan berkumpul dengan orang-orang shalih yang bijaksana.

Yakinlah bahwa pertemuan dengan orang- orang shalih memberi pengaruh yang positif dalam kehidupan anak. Harisma yang terpancar membekas cukup dalam di sanubari seorang anak. Yang pada akhirnya orang-orang shalih seperti itu diharapkan menjadi tokoh panutan mereka, bukan artis-artis yang tidak karuan ulah dan tingkahnya.

Dalam pertemuan itu, boleh saja orangtua meminta kepada orang shalih agar mendoakan anak-anaknya. Ini adalah kesempatan istimewa yang tidak boleh terlewatkan begitu saja. Pulang dengan tangan hampa tanpa doa dari orang sholih.

Begitulah dahulu sahabat memanfaatkan keberadaan Rasulullah bersama mereka seperti dikisahkan oleh Anas bin Malik. Ketika ia sedang di rumah bersama dengan ibunya dan Umi Hiram, tiba-tiba Rasulullah datang. Kesempatan ini tidak disia-siakan ibunya Anas, setelah Rasulullah selesai shalat bersama mereka, ia pun berkata.

“Ya Rasulullah, doakanlah untuk pelayan kecilmu (Anas bin Malik).” Rasulullah mendoakan saya (Anas) dengan segala kebaikan. Di akhir doanya Rasulullah berkata, “Ya Allah. Banyakkanlah harta dan anaknya. Serta berkahilah dia.” (HR. Ahmad)

Sekarang, kita bisa melakukan hal serupa untuk anak-anak kita dengan mengajaknya turut serta bersilaturrahmi dengan orang shalih dan memintanya untuk mendoakan anak-anak kita. Inilah yang disebut dengan tawasul dengan orang shalih, di saat mereka masih hidup. Bukan sebaliknya setelah mereka meninggal.

 

  1. Berlaku adil kepada anak-anak

Selanjutnya orangtua dituntut untuk bersikap adil kepada anak-anaknya. la tidak boleh cenderung kepada salah satu anaknya lalu mengacuhkan yang lain. Mereka adalah anak anaknya, darah dagingnya, lahir dari benih yang telah disemaikannya.

Perbedaan tingkah laku dan bentuk tubuh bukan alasan bagi orangtua untuk bertindak semaunya tanpa mengindahkan keadilan. Karena lahir dengan wajah yang buruk misalnya, bukan salah dan dosa mereka.

Ingatlah! Anak-anak sangat sensitive. Mereka bisa merasakan perbedaan kasih sayang dari orangtuanya. Bila perasaan semacam ini sudah mulai muncul, maka sebagai orangtua kita harus lebih berhati-hati dalam bersikap. Jangan sampai kemudian terucap, ‘pantas, dia anak yang paling disayang’ dari salah seorang anaknya.

Ingat! Bahwa bila perasaan semacam ini sudah mulai tumbuh dalam jiwa salah seorang anak kita, maka secara emosional dia akan merasa tersisih. Keberadaannya di dalam keluarga lebih dianggap sebagai beban ketimbang anak dari ibu bapaknya atau saudara dari adik serta kakaknya.

Segera basmi bila benih-benih itu mulai tumbuh dan jangan biarkan terus berkembang atau bahkan dipupuk. Caranya dengan bersikap adil sebisa mungkin. Kalau salah seorang anak dibelikan sepatu baru, maka anak-anak yang lain usahakan juga dibelikan sesuatu yang baru, tidak harus sepatu karena mungkin ia tidak membutuhkannya sekarang, tapi belikanlah benda yang lain. Bisa mainan, atau sesuatu yang lain. Dan bila keuangan tidak cukup untuk membelikan mereka semuanya, berilah ia pemahaman sehingga tidak iri kepada saudaranya sendiri.

Nu’man bin Basyir berkata bahwa bapaknya membawanya serta menemui Rasulullah. Bapaknya Nu’man berkata, “Saya menghibahkan seorang budak kepada anak saya ini. Rasulullah bertanya, “Apakah engkau memberi setiap anakmu seperti yang kau berikan kepadanya?” “Tidak,” jawab bapak “(bila demikian) ambillah kembali (hibahmu itu).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang perlu dibangun di dalam keluarga adalah menumbuhkan perasaan senasib sepenanggungan dalam anggota keluarga, sehingga kecemburuan, iri dan dengki tidak akan berkembang di tengah keluarga.
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN