Anak manusia dalam kehidupan ini, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Suatu saat ia menjadi seorang anak dari kedua orangtuanya. Dan pada kesempatan lain-setelah melewati masa pernikahan- ia mungkin menjadi seorang bapak atau ibu dari anak-anaknya.
Setiap sisi dari kedua mata uang itu memiliki hak dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. “Sebagaimana anakmu memiliki kewajiban (untuk berbuat baik) kepadamu, maka demikian pula denganmu. Kamu memiliki kewajiban untuk berbuat baik kepada anakmu.” (HR. Thabrani). Itulah ungkapan manis yang disampaikan Rasulullah sejak empat belas abad yang lalu. Pada saat budaya wa’dul banaat (mengubur anak perempuan hidup-hidup) masih menjadi trend bagi sebagian kelompok masyarakat.
Islam memang indah. Tapi menjadi bermakna bila setiap orangtua sudi berhias dengan etika islami kepada anak-anaknya. Ini adalah kesempatan bagi orangtua untuk menanam saham akhirat. Kesempatan yang tidak boleh terlewatkan begitu saja. Agar tidak ada penyesalan kelak di kemudian hari. Agar anak-anaknya tumbuh menjadi anak shalih yang senantiasa berdoa dan berbuat untuk kebaikan orangtuanya walau mereka telah meninggal.
Berikut adab orangtua kepada anaknya bagian pertama. Selamat menyimak.
- Mengasihi dan Menyayangi Anak
Anak-anak adalah harta yang tidak ternilai harganya. Suatu kekayaan yang tidak bisa tergantikan oleh kenikmatan duniawi lainnya. Sebutlah emas permata atau intan berlian. Keduanya masih tidak sebanding dengan seorang anak yang lucu dan manis. Anak yang menyenangkan hati kedua orangtuanya.
Ini merupakan naluri setiap orang. Naluri yang mengalir begitu derasnya dalam diri. Tanpa harus banyak belajar. Naluri yang sebenarnya tidak hanya dimonopoli oleh makhluk yang bernama manusia. Lihatlah seekor kucing betina yang baru melahirkan. Dengan susah payah kucing betina itu akan memindahkan anak-anaknya ke tempat yang aman dari jangkauan bapaknya yang dimungkinkan bisa membunuhnya. Walau seakan kucing betina itu menggigit. Tapi itulah gigitan kasih sayang. Gigitan yang tidak akan melukai anak-anaknya.
Seharusnya manusia sebagai makhluk yang beradab, lebih peka dari binatang yang mengandalkan instingk dan naluri semata. Kita bisa belajar dari kisah yang terekam kuat dalam diri Aisyah radhiyallahu ‘anha. Saat ia kedatangan tamu seorang wanita dengan dua anak balitanya.
Aisyah menyambut mereka dengan hangat dan menghidangkan tiga butir kurma. Sang ibu memberikan sebutir kurma kepada setiap anaknya. Kini, dua butir telah berpindah tangan. Tapi naluri keibuannya bermain. Sang ibu tidak memakan yang sebutir lagi. la masih menggenggamnya dan memperhatikan anak-anaknya yang menikmati kelezatan sebutir kurma.
Sebutir kurma dalam genggaman anaknya telah habis. Tapi mereka masih ingin merasakam kelezatan butiran kurma lainnya. Mata anak-anak yang lugu itu pun tertuju kepada ibunya. Tatapan mata yang mengharap tambahan kurma. Sang ibusegera meraih sebutir kurma yang masih disimpannya. Sebutir kurma yang menjadi bagiannya.
la membaginya menjadi dua dan dengan penuh kasih sayang memberikannya kepada masing masing anaknya. Praktis ia tidak kebagian kurma yang disodorkan Aisyah. Padahal kalau mau, ia sudah memakannya bersamaan dengan anak anaknya. Tapi naluri keibuannya lebih kuat. la lebih senang melihat kedua anaknya bahagia dengan butiran-butiran kurma itu. Itu sudah cukup membuatnya kenyang. Kenyang akan kebahagiaan. Bukan sekadar kenyangnya perut yang tidak bertahan lama.
Aisyah merekam kuat peristiwa itu dan langsung menyampaikan kepada Rasulullah apa yang dilihatnya. “Apakah yang membuatmu terkagum-kagum dari itu? sungguh Allah telah merahmatinya lantaran kasih sayangnya kepada kedua anaknya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Begitulah seharusnya kita berbuat. Naluri kebapakan atau keibuan kita tidak boleh terkalahkan oleh kucing atau binatang lainnya. Tidak seekor binatang pun yang sudi memakan anak-anaknya. Tapi manusia? Ada yang lebih sadis dan tidak bermoral dari binatang. Media massa cetak maupun elektronik sesekali memberitakan seorang ibu yang tega membuang bayi yang baru dilahirkan ke dalam tong sampah. Hanya karena bayi itu lahir dari hubungan gelap.
Sungguh naif dan sangat disayangkan, bila ada orangtua yang tega berbuat kejam kepada anak- anaknya.
- Mendidik Anaknya dengan Etika yang Islami
Manusia bukanlah binatang yang bertahan hidup dengan instinknya. Tapi manusia adalah makhluk yang berbudaya. Makhluk yang tidak cukup hanya dengan kasih sayang untuk berkembang.
Manusia membutuhkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada dalam dunia binatang. Dan itulah bimbingan untuk beretika. Bimbingan yang ada dalam dunia binatang lebih ditekankan pada bagaimana mereka bisa bertahan hidup.
Tapi manusia bukanlah binatang. Orangtua tidak sekadar mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana bisa bertahan dalam kehidupan yang keras ini. Tapi lebih dari itu, bagaimana bisa bertahan hidup dengan etika islami. Pertumbuhan yang diringi dengan bimbingan agama. Bagaimana dia bersikap terhadap dirinya, kepada teman- temannya, kepada orangtuanya, kepada orang yang lebih tua darinya, kepada orang yang baru dikenalnya atau kepada siapapun.
Secara lebih jauh, orangtua sedini mungkin mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana beretika kepada Al-Qur’an, Rasulullah dan Allah yang telah menciptakannya.
Walid bin Numair bin Aus mendengar ayahnya berkata, “Dulu para sahabat mengatakan bahwa keshalihan itu dari Allah sedang kesopanan itu dari orangtua.” (Bukhari Muslim).