Bila sedemikian tinggi penghormatan Allah kepada ilmu, tentu seorang guru yang mengajarkan kebaikan juga tidak kalah mulianya. la adalah sosok pahlawan, meski pada akhirnya banyak orang yang melupakan jasa-jasanya, la adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Agar jasa seorang guru tetap terkenang sepanjang masa, dan tidak menjadi hina karena keilmuannya maka seyogyanya seorang guru juga memiliki beberapa adab yang mengantarkannya kepada kemuliaan.
1. Mengharap Ridha Allah Semata
Tidak perlu dijelaskan lebih jauh, seorang guru pasti memahami apa makna keikhlasan yang terkandung dalam pekerjaannya ini. Rutinitas dan aktifitas hariannya telah memberinya pelajaran bahwa profesi seorang guru yang sedemikian mulia itu sudah sewajarnya didasari dengan keikhlasan.
Namun, di sini perlu disampaikan bahwa profesi guru adalah ladang untuk beramal. Ladang untuk menebar benih kebaikan yang hasilnya bukan hanya dipetik di dunia, tapi lebih jauh dari itu ia menjadi tabungan amal akhirat. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh terlewatkan begitu saja.
Untuk memupuk keikhlasan itu, seyogyanya seorang guru senantiasa mengingat nasihat Rasulullah kepada Ali bin Abu Tholib, saat melepasnya memimpin pasukan menaklukkan Yahudi Khaibar. “Ya Ali. Jika Allah memberikan hidayah kepada seseorang karena kamu, itu lebih baik daripada unta merah (harta paling beharga waktu itu).”
Pemupukan ini harus terus dilakukan, agar keikhlasan dan ketulusan itu tidak luntur oleh budaya hidup hedonis, yang mengukur segala sesuatu dengan materi.
2. Menghindari Sifat Ujub
Di mata masyarakat, seorang guru masih dianggap sebuah profesi yang mulia, apalagi bila ia adalah guru agama yang sering dipanggil ceramah kesana kemari. Ya, seorang ustadz dalam masyarakat kita sering menjadi tempat bertanya, atas berbagai masalah yang menimpa. Meski sebenarnya seorang ustadz bukan berarti sudah terbebas dan masalah.
Ini adalah suatu kelebihan yang dimiliki seorang ustadz. Namun pada sisi lain juga menjadi pintu awal bencana. Bila tidak hati-hati maka penyakit hati akan segera menyeruak dan merusak amal seorang ustadz. Penyakit itu adalah ujub. Kebanggaan dan kesombongan atas keilmuan yang dimiliki serta banyaknya masyarakat yang meminta pendapatnya itulah yang pada akhirnya akan merusak amal.
Sedemikian besarnya bahaya sifat ujub ini sehingga dalam sebuah hadits Rasulullah menyamakannya dengan api. “Sesungguhnya sifat ujub itu menghabiskan kebaikan hingga tak tersisa, sebagaimana api memakan kayu bakar.”
Karena itu, janganlah terkecoh oleh penghormatan masyarakat. Karena sesungguhnya di atas langit masih ada langit. Masih banyak orang yang lebih pintar dan lebih segalanya dari kita. Waspadailah pintu ujub ini agar tidak merusak amal.
3. Bukan Aib Mengatakan, “Saya tidak tahu.”
Kemuliaan dan kedudukan yang demikian tinggi di mata masyarakat jangan sampai menjadi beban tersendiri bagi seorang guru, ustadz, dosen atau profesor untuk mengakui kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya. Seorang ustadz dan sejawatnya tetaplah manusia yang memiliki banyak keterbatasan. Masih banyak masalah yang tidak masuk dalam jangkauannya. Dan itu adalah sesuatu yang wajar.
Menjadi tidak wajar, bila seseorang tidak mau mengakui kelemahan dan keterbatasan ilmunya. Dan segera menjawab bila ada persoalan yang ditanyakan kepadanya. Padahal dia sendiri tidak yakin dengan jawabannya. Tidak perlu malu mengakui ketidaktahuannya. Berkata tidak tahu tidak akan menurunkan posisinya di hati masyarakat yang ada justru masyarakat semakin menghargai kebesaran jiwanya. Toh masih ada waktu untuk menjawabnya pada kesempatan lain, setelah terlebih dahulu mengkaji dan memperdalam pokok permasalahan.
Orang bijak mengatakan, bila tidak ada jalan untuk menguasai semua ilmu, maka bukan menjadi aib bila tidak tahu sebagiannya. Dan kalau tidak ada aib bila tidak tahu sebagian ilmu, maka juga tidak ada cacatnya bila mengatakan, “Saya tidak tahu.”
Tapi menjadi sangat memalukan bila akhirnya seorang ustadz terus berkoar-koar atas masalah yang tidak diketahuinya. Padahal saat itu bisa jadi dia telah menjadi sesat dan menyesatkan.
Karena itu, sungguh celaka orang yang enggan mengatakan saya tidak tahu, padahal ia tidak tahu.
4. Mengamalkan Keilmuannya
Poin ini tidak khusus buat seorang ustadz, tapi untuk siapa saja. Yang merasa memiliki pengetahuan tertentu. Artinya, siapapun yang memiliki ilmu maka ia dituntut untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari- hari Contoh yang paling mudah adalah mendengar dan menjawab suara adzan. Ini kelihatan sepele namun dalam kenyataannya masih sering tidak dihiraukan.
Bagi seorang ustadz tentu masalahnya lebih luas daripada orang awam yang tidak banyak mengetahui hukum agama. Maka di sini seorang ustadz dituntut untuk menjadi penerjemah Islam dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa kasarnya adalah kalau masyarakat tidak mencontoh dari seorang ustadz, lalu darimana mereka meniru? Apa mereka harus meniru para artis yang ternyata pernik-pernik kehidupannya sangat menyedihkan?.
Kesalahan fatal inilah yang banyak memberikan andil besar atas penyimpangan dan tindakan asusila yang semakin luas di masyarakat. Masyarakat lebih senang meniru selebritis daripada ustadz. Sehingga ketika muncul perselisihan sedikit saja, suami istri sudah minta cerai. Begitu mudahnya masyarakat sekarang meminta cerai, karena tokoh yang mereka idolakan kebanyakan juga artis yang doyan gonta- ganti pasangan. Alias sering cerai.
Ini adalah tantangan tersendiri bagi setiap ustadz. Tantangan untuk menyatukan kata dan perbuatan. Dan jangan sampai masuk dalam kategori kelompok yang tersebut dalam Al- Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman. Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Shaff: 2-3)
5. Tidak Mendidik dengan Setengah Hati
Mengajar atau ceramah dengan bahasa yang mudah dipahami tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih bila apa yang disampaikan bukan sekedar pengetahuan semata, tapi lebih jauh lagi untuk mewarnai dan merubah perilaku yang kurang baik agar menjadi baik.
Karenanya dibutuhkan seorang ustadz atau guru yang berdedikasi. Yang tidak pelit dan setengah hati dalam memberikan ilmunya. Sebab pada saat itu setidaknya seorang ustadz memperoleh dua keuntungan. Yang pertama apa yang disampaikan itu akan menjadi tabungan amal akhirat, yang akan terus mengalir walau sang ustadz telah meninggal. Dan yang kedua dengan mengajarkan ilmunya kepada orang lain maka pada hakekatnya ilmunya akan terus bertambah. Berbeda dengan harta yang akan berkurang bila dibelanjakan. Untuk itu tidak ada alasan untuk melangkah dengan setengah hati.
Inilah beberapa adab yang seyogyanya diperhatikan oleh para guru, ustadz, dosen atau bahkan profesor, agar apa yang dilakukannya lebih bermakna.
Ghoib, Edisi No. 16 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M