Adab Terhadap Orang yang Lebih Tua

Dalam pergaulan tidak selamanya seseorang berkumpul dengan teman sebaya. Ada kalanya dia bertemu dan berinteraksi dengan orang yang secara umur jauh di atas dirinya. Baik dalam keluarga, di organisasi atau di tengah masyarakat.

Di sinilah kemudian dibutuhkan keharmonisan dalam bermuamalah, yang tua menyayangi yang muda. Begitu pula sebaliknya, yang muda menghormati yang tua. Bila koridor ini dapat dipahami dengan baik oleh setiap individu, tentu pergaulan ini terasa melegakan dan menyenangkan semua pihak. Satu sama lain tidak ada yang merasa dilecehkan.

Islam sebagai agama yang menebarkan ruh perdamaian, telah memberikan acuan bagaimana seharusnya orang muda bersikap terhadap yang lebih tua. Di antara adab itu adalah sebagai berikut.

 

  1. Saling Menghormati Satu Sama Lain

Islam mengedepankan perasaan saling menghormati satu sama lain. Perbedaan kekayaan atau status sosial tidak seharusnya menjadi penghalang di antara mereka. Yang tua tetap harus dihormati yang muda juga layak dan patut untuk disayangi.

Janganlah karena merasa sebagai orang kaya lalu dengan seenaknya memandang rendah orang lain. Tinggal memerintah tanpa memperhatikan situasi dan kondisi. Banyaknya harta yang kita miliki tidak seharusnya menjadi jembatan menuju kesombongan dan melupakan sisi-sisi kemanusiaan.

Karena pada hakekatnya harta itu hanya titipan semata. Suatu saat bisa raib dan diminta kembali oleh Allah. Hal ini tidaklah sulit di mata Allah, bahkan lebih mudah dari membalikkan telapak tangan.

Sebaliknya yang tua juga harus menyayangi yang muda. Jangan memandang rendah anak-anak muda yang jelas memiliki berbagai potensi yang tersembunyi. Berilah mereka kesempatan untuk membuktikan kemampuannya dan jangan dilecehkan.

Dalam beberapa hadits Rasulullah menekankan pentingnya keharmonisan antara yang tua dan yang muda. Dari Abdullah bin Amr bin Ash, Rasulullah bersabda, “Bukan dari golongan kami orang yang tidak menyayangi anak-anak kami dan menghormati orang yang lebih tua dari kami.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)

 

  1. Memberi Kesempatan kepada yang Lebih Tua untuk Berbicara

Bila generasi yang tua bertemu dengan anak-anak muda dalam suatu forum dan kesemuanya itu memahami masalah dengan baik, maka seyogyanya orang yang lebih tua diberi kesempatan terlebih dahulu untuk berbicara. Yang muda bersabar sejenak untuk menunggu kesempatan berikutnya.

Pelajaran ini diberikan langsung oleh Rasulullah kepada beberapa orang sahabat pada kisah terbunuhnya Abdullah bin Sahl. Saat itu Abdullah bin Sahl pergi berdua dengan Muhayyishah bin Mas’ud menuju Khaibar, dalam perjalanan menuju Khaibar mereka berpisah di perkebunan kurma dan di sanalah Abdullah bin Sahl dibunuh oleh Yahudi Khaibar.

Tiga orang sahabat melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah. Mereka adalah Abdur Rahman bin Sahal, Huwayyishah dan Muhayyishah bin Mas’ud. Di hadapan Rasulullah Abdul Rahman bin Sahal ingin langsung melaporkan apa yang terjadi, padahal dia adalah orang termuda di antara mereka bertiga.

Rasulullah langsung menegur hal ini dan mengharapkan orang yang lebih tua yang berbicara terlebih dahulu. “Hormatilah yang lebih tua!”

Banyak alasan yang bisa disampaikan, di antaranya adalah orang yang lebih tua seringkali bisa mencerna masalah dengan baik dan bisa meredam emosi. Sehingga apa yang disampaikannya tidak menyimpang dari permasalahan yang sebenarnya.

 

  1. Anak Muda Boleh Berbicara Bila yang Tua Tidak Ada yang Tahu

Bila di antara orangtua yang hadir tidak ada yang tahu dan memahami masalah dengan baik, tidak ada salahnya bagi yang muda untuk langsung berbicara tanpa harus menunggu terlalu lama.

Masalah ini berbeda dengan poin dua di atas yang memang di antara yang lebih tua masih ada yang memahami masalah dengan baik. Karena pada hakekatnya Islam tidak mengekang hak berbicara seseorang.

Ibnu Umar menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah bertanya kepada sahabat tentang sebuah pohon yang menjadi perumpamaan seorang muslim. la setiap waktu berbuah atas izin Tuhannya, daunnya pun tidak mudah berguguran.

Abu Bakar dan Umar hadir di antara mereka, tetapi tidak satu pun yang menjawab pertanyaan Rasulullah. Sementara Ibnu Umar yang pada waktu itu masih kecil, sudah tahu bahwa jawabannya adalah pohon kurma, tetapi dia diam saja hingga akhirnya Rasulullah menjawab sendiri bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma.

Sepulang dari pertemuan itu, Ibnu Umar berkata kepada ayahnya, Umar bin Khathab, ia berkata, “Wahai ayah, jawaban yang terlintas dalam benak saya adalah pohon kurma.” Mendengar penuturan anaknya, Umar bin Khatthab balik bertanya. “Lalu apa yang membuatmu terdiam?” Seandainya kamu menjawabnya, tentu hal itu lebih saya senangi daripada ini dan itu.”

“Tidak ada yang menghalangi saya untuk menjawabnya, kecuali saya melihat ayah dan Abu Bakar tidak berbicara apa-apa.” jawab Ibnu Umar.

Sungguh menarik dialog antara bapak dan anak ini. Keduanya saling menghormati posisi masing-masing. Ibnu Umar menghormati ayahnya dan sebaliknya Umar bin Khatthab tidak meremehkan dan merendahkan anaknya. Bahkan Umar lebih senang bila sejak awal Ibnu Umar menjawab pertanyaan Rasulullah, karena bisa jadi diamnya orang tua sebagai pertanda bahwa mereka memang tidak tahu jawabannya.

Alangkah senangnya hidup di tengah orang-orang yang saling menghormati satu sama lainnya. Siapapun mereka, apapun jabatannya, berapapun umur mereka.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No.40 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN