“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia senantiasa cemas dan khawatir akan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal lah yang dapat menerima pelajaran”. (Az-Zumar: 9)
Ayat ini merupakan salah satu dari 12 ayat yang berbicara tentang urgensi dan keutamaan sikap hati- hati, waspada dan mawas diri yang disebut oleh Al- Qur’an dengan istilah “Al-Hadzar”. Sikap ini merupakan salah satu dari “Akhlaqul Qur’an” yang sepatutnya dimiliki oleh mereka yang mengaku orang-orang yang berakal “Ulul Albab” seperti yang dinyatakan oleh ayat di atas.
Mengikut metodologi tafsir bil ma’tsur dalam konteks tafsirul Qur’an bis Sunnah, penjelasan tentang ayat ini bisa kita temukan dalam sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Anas menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah melayat seseorang yang akan meninggal dunia. Ketika Rasulullah bertanya kepada orang itu, “Bagaimana kamu mendapatkan dirimu sekarang?”, ia menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan cemas”. Mendengar jawaban laki-laki itu, Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah berkumpul dalam diri seseorang dua perasaan ini, melainkan Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan menenangkannya dari apa yang ia cemaskan”. (H.R. At- Tirmidzi dan Nasa’i).
Berkenaan dengan penjelasan tentang ayat di atas juga, Abdullah bin Umar seperti dinukil oleh Ibnu Katsir dengan tegas menyatakan bahwa orang yang dimaksud oleh ayat di atas adalah Utsman bin Affan.. Kesaksian Ibnu Umar tersebut terbukti dari pribadi Utsman bahwa ia termasuk sahabat yang paling banyak bacaan Al-Qur’an dan shalat malamnya. Sampai Abu Ubaidah meriwayatkan bahwa Utsman terkadang mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an dalam satu rakaat dari qiyamul lailnya. Sungguh satu tingkat kewaspadaan hamba Allah yang tertinggi bahwa ia senantiasa khawatir dan cemas akan murka dan ancaman adzab Allah dengan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian kepada-Nya.
Begitulah semestinya, kewaspadaan dan kecemasan kita selalu tentang murka dan adzab Allah, tidak tentang urusan duniawi. Allah berfirman, “Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan berhati-hatilah”. (Al-Ma’idah: 92). Berhati- hati yang disebutkan dalam ayat ini adalah bagian dari sikap hadzar. Sikap ini akan menuntut seseorang untuk lebih mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya akan memberi pengaruh yang besar kepada pelakunya untuk senantiasa bersikap hadzar dan menghindar dari segala bentuk penyelewengan dan penentangan terhadap ajaran Allah dan RasulNya.
Secara global berdasarkan analisis terhadap ayat- ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang hadzar, terdapat dua hal yang dituntut dari kita untuk senantiasa berhati- hati, selalu waspada dan mawas diri. Pertama, waspada dan mawas diri dari segala bentuk kemaksiatan agar terhindar dari murka dan adzab Allah. Kedua, waspada dan berhati-hati terhadap musuh, baik musuh yang nyata maupun musuh yang tidak nyata.
Terdapat lima ayat yang berbicara tentang bentuk hadzar yang pertama. Masing-masing dari kelima ayat itu memberi peringatan kepada setiap manusia agar senantiasa mawas diri dan berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku agar terhindar dari ancaman adzab dan hukuman Allah. Allah mengingatkan, “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya, ia ingin sekiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkankamu agar mawas diri terhadap siksa-Nya. Dan Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya”. (Ali Imran: 30). Lebih tegas lagi Allah mengingatkan, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu berhati-hati dan waspada akan ditimpa cobaan (fitnah) atau ditimpa adzab yang pedih”. (An-Nur: 63). Betapa masih banyak yang kita lakukan justru mengundang datangnya murka dan adzab Allah dengan beragam bentuk penyelewengan moral, penodaan akan kesucian agama dan pelecehan akan ajaran-ajaran-Nya. Terkadang, tidak sedikitpun dari peringatan Allah membuat kita bersikap lebih hadzar lagi dalam bertindak dan berprilaku.
Tuntutan hadzor yang kedua sangat relevan dengan kondisi dunia Islam saat ini yang menjadi rebutan para agresor. Sungguh peringatan Allah agar kita senantiasa meningkatkan kewaspadaan terhadap musuh-musuh- Nya sangat layak untuk dicermati dan dijadikan landasan bagi setiap sikap dan tindakan kita. Bahkan sejak awal, Allah sudah memperingatkan Rasul-Nya untuk dijadikan teladan, “Dan hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Ahli Kitab). Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu darı sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” (Al-Ma’idah: 49).
Begitu juga terhadap orang-orang munafik, dengan tegas Allah memperingatkan Rasul-Nya agar waspada dan berhati-hati terhadap kepalsuan dan makar mereka, “Dan apabila kamu melihat mereka (orang-orang munafik), tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?”. (Al-Munafiqun: 4)
Terlebih lagi terhadap mereka yang dengan terang- terangan memusuhi Islam, Allah mengingatkan orang- orang yang beriman agar senantiasa waspada dan berhati-hati, tidak mudah diperdaya dan menerima tawaran mereka dalam bentuk apapun, “Hai orang- orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama” (An-Nisa’: 71)
Ibnu katsir mengomentari ayat ini bahwa perintah Allah agar bersikap hadzar terhadap musuh-musuh- Nya menuntut agar umat Islam juga mempersiapkan diri dengan kelengkapan persenjataan dan barisan tentara yang siap maju ke medan perang sedini mungkin. Bahkan sikap hadzar terhadap musuh-musuh Allah ternyata juga dituntut saat dalam keadaan shalat sekalipun karena khawatir keadaan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk menyerang dalam keadaan umat Islam tidak siap siaga. Justru saat inilah yang mereka inginkan seperti yang digambarkan Allah dalam firman-Nya, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus”. (An-Nisa’: 102).
Tentunya, masih segar dalam ingatan kita sederetan peristiwa yang relevan dengan ayat-ayat tentang hadzar yang menuntut kita agar lebih berhati-hati, waspada dan mawas diri, baik terhadap segala bentuk kemaksiatan yang terjadi sekitar kita maupun terhadap musuh yang selalu mengintai. Betapa peringatan dan cobaan Allah justru datang saat kita lalai, saat kita terpesona dengan tarikan dunia dan saat kita tidak menghiraukan ajaran-ajaran-Nya. Sebenarnya sudah cukup banyak peringatan Allah untuk kita waspadai agar cobaan Allah tidak terjadi kembali. Namun, memang hanya orang-orang yang selalu waspada seperti yang digambarkan dalam ayat di atas yang mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi. Saatnya kita lebih mawas diri dan meningkatkan kewaspadaan dalam segala bentuknya agar terhindar dari fitnah dan adzab Allah..
Oleh : DR. Atabik Luthfi, MA
Dosen STAIN Cirebon dan Ketua PW IKADI DKI Jakarta