Ahli Ilmu Lebih Ditakuti Syetan daripada Ahli Ibadah

Yang dimaksud dengan ahli ilmu (orang alim) disini adalah orang yang mempunyai pemahaman agama dengan baik atau mumpuni, dan pengetahuannya itu dipraktikkan dalam sikap, prilakunya serta ibadahnya sehari-hari. Sedang yang dimaksud dengan ahli ibadah (orang yang banyak ibadahnya) adalah orang yang kuat dan banyak ibadahnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak didasari dengan ilmu syari’at. la melakukan ibadah dengan mengikuti perasaan dan naluri saja, atau hanya ikut-ikutan orang-orang awam yang ada di sekitarnya.

Di hadapan ilmu, manusia terbagi dalam empat kategori. Pertama, manusia yang punya ilmu dan ia sadar akan ilmu yang dimilikinya, sehingga ia mempraktikkan ilmu itu dalam sikap dan prilaku kesehariannya. Kita patut belajar kepada orang yang masuk dalam kategori ini, karena ia adalah ‘alim dan ‘amil.

Kedua, manusia yang punya ilmu tapi ia tidak sadar akan ilmu yang dimilikinya, sehingga sikap dan prilakunya menyimpang jauh dari ilmu yang dimilikinya. Perbuatannya tidak sejalan dengan ucapannya. Kita patut mengingatkan orang yang masuk dalam kategori ini, karena ia sedang lalai akan kewajibannya.

Ketiga, manusia yang tidak punya ilmu (bodoh) tapi ia sadar akan kebodohannya, sehingga prilakunya terkadang benar terkadang salah. la bertindakberdasarkan naluri dan perasaannya, atau hanya ikut arus yang ada. Kita patut mengajari orang yang masuk dalam kategori ini, agar ia punya bekal dan pedoman yang benar untuk menghindari kesalahan dalam prilakunya.

Keempat, manusia yang tidak punya ilmu (bodoh) tapi ia tidak menyadari kebodohannya, sehingga ia enggan menerima masukan dan nasehat orang-orang yang ada di sekitarnya, karena ia merasa tidak butuh nasehat. Kita patut waspada dengan orang yang masuk dalam kategori ini. Jika kita tidak punya bekal dan semangat untuk memperbaikinya, lebih baik kita menjauhinya agar tidak terkena imbasnya.

 

ILMU AGAMA SEBAGAI PENANGKAL TIPU DAYA SYETAN

Syetan mempunyai banyak senjata untuk menggoda dan menjerumuskan manusia sebagai anak cucu Adam. Dari yang paling halus dan memperdaya obyeknya sampai yang paling kasar dan frontal. Yaitu dengan jelas-jelas, syetan menyeru dan menyuruh manusia untuk berbuat maksiat.

“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syetan ketika dia berkata kepada manusia, ‘Kafirlah kamu’. Maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam.” (QS. al-Hasyr: 16).

Sedangkan senjata syetan yang masuk kategori halus adalah “Talbis“. Dengan senjata ini syetan menyamarkan kejahatan dalam kemasan menarik sehingga tampak oleh obyeknya bahwa yang dikemas itu adalah kebaikan. Syetan hadir sebagai sosok malaikat, guru besar, orang alim lalu memberikan nasehat-nasehat kebaikan. Kemudian ia menggiring obyeknya itu ke lembah kemaksiatan dan kesyirikan.

Kalau obyeknya tidak waspada dan terkecoh dengan kamuflase yang ada, maka ia akan menjadikan syetan sebagai penasehatnya, menganggap syetan sebagai malaikat yang diturunkan Allah untuk menyampaikan wahyu kepadanya. Syetan akan menyuruh obyeknya untuk melakukan kemaksiatan berdasarkan “wahyu baru yang diterimanya. Godaan syetan yang ada dianggap rahmat dan mu’jizat dari Allah. Lalu, cepat atau lambat obyek tersebut menobatkan dirinya sebagai nabi baru, untuk memperbaiki atau meralat ketentuan syari’at yang sudah berlaku.

Simaklah talbis syetan yang pernah dihadapi oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Talbis itu begitu halus dan dikemas dengan kebaikan serta disampaikan dengan cara elegan. Kalau kita tidak jeli dan tidak punya pemahaman agama yang mendalam, pasti kita akan terjebak dan terjerembab dalam perangkap syetan tersebut.

Dalam kitab Mashaibul Insan diceritakan, “Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Dalam suatu perjalanan, aku merasakan cuaca yang sangat panas, hampir saja aku mati kehausan. Lalu datanglah awan menaungiku, dan angin terasa datang bergerak menghembus tubuhku, dan ludah pun terasa mengalir di mulutku.

Di saat yang menyenangkan itu, tiba-tiba aku mendengar suara, “Wahai Abdul Qadir, Aku adalah Tuhanmu”. Maka aku menyahut, ‘Engkau Allah? Tiada Tuhan selain Engkau”. Lalu ia memanggilku lagi, “Wahai Abdul Qadir, Aku adalah Tuhanmu. Aku halalkan apa yang telah diharamkan”. Aku segera membentaknya, “Engkau pendusta, engkau adalah syetan”.

Awan hitam itu pun berhamburan. Lalu aku mendengar suara di belakangku dengan nada bergetar, “Wahai Abdul Qadir, kamu telah selamat dari tipu dayaku, karena pemahaman agamamu yang dalam. Sebelumnya aku telah menggelincirkan 70 orang dengan cara ini.”

Ada yang bertanya kepada Syekh Abdul Qadir, “Bagaimana kamu mengetahui bahwa ia adalah syetan”? Abdul Qadir menjawab, “Barangsiapa yang berkata, ‘Telah aku halalkan bagimu ini dan itu, maka engkau dapat memastikan bahwa ia adalah syetan. Karena sepeninggal Rasulullah, tidak ada lagi yang berhak menghalalkan apa yang telah diharamkan.” (Musibah Akibat Tipuan Syetan: 145-146).

Sungguh cerita di atas merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Jangan mudah terpedaya oleh bujuk rayu dan tipu daya syetan. Baru shalat malam beberapa kali saja, sudah mengaku bahwa malaikat Jibril telah turun kepadanya. Atau shalat lima waktunya belum genap, kemudian mengaku mendapatkan wahyu saat menjalani semedi yang diperintahkan gurunya di sebuah gua. Di sinilah pentingnya pemahaman agama yang mendalam agar kita punya parameter dan filter yang kuat untuk mengahadapi tipudaya syetan.

 

PELAJARAN BERHARGA BAGI PERUQYAH

Kalau manusia dalam kehidupan sehari-hari dianjurkan untuk membekali pemahaman agama yang mendalam, agar tidak terkecoh oleh syetan. Maka bagi seorang peruqyah yang intensitas berhadapan dengan syetan yang masuk ke tubuh seseorang lebih sering, maka lebih dianjurkan lagi untuk membekali diri dengan pemahaman agama yang dalam. Karena ia berhadapan dengan musuh utama yang sangat licik, dan keberadaannya tidak bisa dilihat oleh mata manusia.

Bisa saja syetan melancarkan tipu muslihat dan tipudaya saat ia disuruh keluar oleh seorang peruqyah, dari tubuh orang yang sedang kesurupan. Misalnya, syetan berkata, “Aku mau keluar dari tubuh orang ini karena mentaati perintahmu.” “Aku akan keluar dari tubuhnya, bila kamu mengampuni kesalahanku”. “Aku akan keluar jika kamu mau menikahi anak ini”. “Aku akan keluar, bila kamu sediakan kopi pahit”. Dan permintaan serta permohonan lainnya, yang isinya bisa menggelincirkan akidah si peruqyah atau merusak akhlaknya.

Pelajaran berharga telah disampaikan Ibnul Qayyim al- Jauziyyah, saat ia menceritakan pengalaman meruqyah yang dilakukan oleh gurunya, Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah saat meruqyah orang yang kesurupan, syetan yang ada dalam tubuh orang tersebut berusaha untuk memperdayainya, dengan tipu daya yang halus namun menggelincirkan. Bila tidak dibekali ilmu agama yang mendalam, maka obyek tersebut bisa terpeleset dan tergelincir dalam perangkap syetan.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menceritakan dalam kitabnya, bahwa Ibnu Taimiyah seringkali membacakan pada telinga orang yang kesurupan ayat 115 dalam surat al-Mukminun. “Suatu saat Syekh Ibnu Taimiyah membaca ayat tersebut di telinga orang yang kesurupan, jin di dalam tubuhnya menjerit mengatakan, ‘Ya……!. Lalu beliau mengambil tongkat dan memukuli urat lehernya hingga tangannya letih kecapekan.

Para hadirin yang menyaksikan peristiwa tersebut yakin, bahwa orang tersebut akan mati akibat pukulan tongkat yang bertubi-tubi. Jin yang di dalam tubuh orang tersebut berkata, ‘Saya mencintainya…!. Ibnu Taimiyah membantah, ‘Dia tidak mencintaimu!’. Lalu jin itu menyahut lagi, ‘Aku ingin pergi haji bersamanya’. Ibnu Taimiyah menyangkal, ‘Dia tidak mau pergi haji bersamamu!’.

Lalu jin tersebut menyahut, ‘Saya tinggalkan dia demi menghormatimu’. Syekh Ibnu Taimiyah menegaskan, ‘Tidak…! Tapi keluarlah kamu karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya’. ‘Ya…, aku akan keluar darinya’, sahut jin menyerah kalah.

Tak lama kemudian orang yang kesurupan tersebut tersadarkan diri, lalu duduk seraya menengok ke kanan dan ke kiri sambil bertanya keheranan, ‘Apa yang menyebabkan aku berada di rumah syekh? Para hadirin balik bertanya, ‘Bagaimana dengan pukulan yang bertubi-tubi tadi?” Orang tersebut menjawab, “Kenapa syekh memukuli saya? Apa dosa saya? Ternyata orang tersebut tidak merasakan apa-apa ketika dipukuli Syekh Ibnu Taimiyah secara terus menerus.” (Ath- Thibbun Nabawi: 53).

Perhatikanlah bagaimana halusnya tipu daya syetan, “Saya tinggalkan dia demi menghormatimu”. Kalau pemahaman agama kita kurang, pasti kita akan mengiyakan apa yang dikatakan jin tersebut, dan hati kita pun berbunga-bunga penuh dengan kesombongan. Apalagi kalau ada banyak orang di sekitar kita.

 

KEBODOHAN ADALAH CELAH SYETAN

Suatu hari, ada seorang laki- laki (26) yang datang ke Majalah Ghoib. la ingin bertemu dengan salah seorang ustadz tim ruqyah syar’iyyah. Ketika ia sudah bertemu dengan salah seorang ustadz peruqyah, ternyata dia ingin cerita pengalamannya lalu minta pendapat peruqyah tersebut.

Dia mengaku bahwa pengetahuan agamanya masih minim. Latar belakang pendidikan formal tamatan SMP, dan untuk agamanya pun ia mengaku tidak pernah sekolah di pesantren. la hanya belajar membaca al- Qur’an di surau (mushalla) sewaktu masih kecil. Pokoknya dia merasa sangat kurang akan pengetahuan agama.

Setelah beberapa bulan ia menikah, ia mendapati gejala aneh pada diri istrinya. Apabila istrinya lagi sedih atau diterpa masalah yang agak berat, istrinya sering pingsan dan kesurupan. Yang paling sering merasuki tubuh istrinya adalah jin yang mengaku sebagai roh ibunya, yang sudah meninggal sewaktu istrinya masih kecil.

Sewaktu kerasukan itu, istrinya sering mengamuk. Dan ia pun berusaha membaca surat-surat pendek dari al- Qur’an yang telah ia hafal. Yang membuat ia bingung, ternyata jin itu menirukan bacaannya dan mengajari surat lain yang belum dihafalnya. Dalam keputusasaannya, ia bertanya kepada jin tersebut, “Apa maumu?” jin itu menjawab, “Sediakan kopi pahit dan teh pahit, aku akan segera keluar dari anakku ini. Jaga dia baik- baik, jangan dibikin sedih.”

Anehnya, ketika permintaan itu ia turuti, ternyata tak berapa lama istrinya siuman dan sadar kembali. Sejak saat itu, ia selalu melakukan hal yang sama saat istrinya kerasukan. Menurutnya itu lebih efektif daripada membaca ayat-ayat atau surat- surat al-Qur’an. Bahkan tidak hanya ketika istrinya kesurupan. Saat orang lain kesurupan, dan minta tolong kepadanya. Maka ia segera menyediakan kopi dan teh pahit.

Lalu ia bertanya, “Kenapa di sini ustadz capek-capek membacakan ruqyah?, padahal tanpa ruqyah syetan juga bisa kabur. Hanya bermodal kopi dan teh pahit, tidak membutuhkan biaya banyak kok…? katanya.

Ustadz peruqyah pun menjelaskan bahwa ruqyah syar’iyyah adalah sunnah Rasulullah. Dengan mempraktikkan ruqyah itu kita hidupkan salah satu sunnah Rasul yang telah ditinggalkan kaum muslimin, dan itu adalah ibadah yang berpahala.

Adapun apa yang Anda lakukan adalah tipu daya syetan agar meninggalkan ruqyah syar’iyyah. Anda telah masuk perangkap syetan. Buktinya Anda telah meninggalkan ruqyah dan memilih menyediakan sesajen sebagai bentuk persembahan kepada syetan. Anda telah tunduk dan patuh kepada perintah syetan dan berpaling dari perintah Rasulullah.

Memang kopi dan teh pahit tidak mahal harganya. Tapi subtansinya bukan di harga. Subtansinya adalah ketundukan Anda kepada perintah syetan untuk menyediakan minuman tersebut. Ketundukan dan kepatuhan kepada syetan adalah perbuatan syirik dan berdosa besar.

Rasulullah pernah menceritakan bahwa ada orang yang masuk neraka karena lalat dan masuk surga karena lalat. Karena orang pertama telah mempersembahkan lalat agar bisa selamat dari ancaman syetan. Dan yang satunya tidak mau mempersembahkan sesuatu kepada syetan, walau hanya seekor lalat. Ketika keduanya meninggal, yang pertama masuk neraka dan yang kedua masuk surga. (HR. Ahmad dalam kitab Az- Zuhd:25) Padahal kalau dilihat dari nilai nominal, lalat lebih tidak bernilai daripada kopi atau teh pahit yang Anda persembahkan.

Lalu orang itu pun beristighfar dan menyadari kesalahannya. Dan ia bertekad untuk belajar agama dengan lebih baik. la juga bertekad untuk menghentikan praktik pengobatan kesurupan yang menyimpang selama ini. Dan ia minta agar ustadz peruqyah itu mau membimbingnya untuk belajar ruqyah yang benar, agar tidak mudah ditipu dan diperdaya syetan.

 

SYETAN LEBIH SULIT MENGELINCIRKAN AHLI ILMU DARI PADA AHLI IBADAH

Rasulullah pernah menyatakan, “… Keutamaan orang yang berilmu dibanding orang yang ahli ibadah laksana keutamaan bulan dibanding seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama’ adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham (harta), tapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang bisa memiliki ilmu tersebut, berarti ia telah memiliki keuntungan yang sangat banyak.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah). Sedangkan dalam riwayat lain, “Keutamaan orang yang berilmu dibanding orang yang ahli ibadah, seperti keutamaanku atas orang yang paling awam di antara kalian…” (HR Tirmidzi).

Dengan ilmu agama yang dimiliki, manusia bisa mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil. Dengan pemahaman akidah yang dalam, manusia bisa mengetahui jebakan-jebakan syetan yang bisa merusak akidah itu sendiri. Dengan ilmu syari’at yang memadai, manusia bisa beribadah kepada Allah dengan cara yang benar. Dengan ibadah yang benar serta ikhlas, manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan dirinya dari tipu daya syetan.

Abu Hurairah dalam hadits marfu’nya menginformasikan, “Sungguh, seorang faqih (orang yang mumpuni agamanya) lebih sulit bagi syetan daripada seribu ahli ibadah.” (Adabul Imal’ wal Istimla’: 1/60).

Seorang ulama’ hadits yang bernama Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahım al- Mubarakfuri mengatakan, “Karena orang yang alim dengan ilmunya, ia tidak mudah terkecoh, bahkan akan menolak tipu daya syetan. la senantiasa mengajak manusia kepada kebaikan. Dan hal itu tidak dijumpai pada diri orang yang ahli ibadah.”

“Atau maksudnya adalah banyak tipudaya syetan yang berhasil dimentahkan atau ditolak orang yang alim. Setiap syetan akan menjebak dan menggelincirkan manusia, orang alim datang dan menjelaskan akan tipudaya tersebut. Akhirnya manusia-manusia itu terhindar dari perangkap dan tipudaya syetan. Sedangkan orang yang ahli ibadah biasanya sibuk dengan ibadahnya. Karena tidak dilandasi ilmu, akhirnya ia tidak merasa bahwa ibadahnya itu salah dan ia telah terjebak dalam tipudaya syetan.” (Tuhfatul Ahwadzi: 7/ 374).

Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya syetan pernah berkata kepada Iblis, ‘Wahai tuan kami, kami merasa gembira atas kematian orang yang alim (berilmu), namun kami sangat sedih dengan kematian seorang yang banyak ibadahnya. Karena orang alim itu tidak memberi kesempatan kepada kami, dan dari orang yang banyak ibadahnya kami mendapatkan kesempatan dan bagian yang banyak darinya.”

“Iblis berkata, pergilah kalian! Lalu mereka pun pergi kepada orang yang banyak ibadahnya. Tatkala mereka datang, ahli ibadah itu sedang beribadah. Syetan-syetan itu berkata kepadanya, ‘Apakah Tuhanmu berkuasa untuk menciptakan dunia ini dalam sebutir telur’. Si ahli ibadah menjawab, ‘Saya tidak tahu’. Iblis berkata kepada syetan, ‘Tidakkah kamu melihat bahwa itu adalah jawaban yang kufur’?”

“Kemudian syetan-syetan itu mendatangi seorang alim (ahli ilmu) dalam majlis ta’limnya. Syetan-syetan itu berkata, ‘Kami ingin bertanya kepadamu’. Si alim bertanya, ‘Bertanyalah’. Syetan berkata, ‘Apakah Tuhanmu mampu menjadikan dunia ini dalam sebutir telur? Si alim menjawab, ‘Ya’. Syetan menyangkal, ‘Bagaimana bisa?” Si alim menjawab, ‘Dia hanya mengatakan, Jadi-lah’, maka akan terjadi. Lalu Iblis berkata kepada syetan-syetan, ‘Tidakkah kamu melihat, bagaimana ia mampu menahan hawa nafsunya, dan ia mampu menangkal tipu dayaku dengan ilmu agamanya.” (Musibah Akibat Tipuan Syetan: 147).

Marilah kita bekali diri kita dengan ilmu syari’at, agar kita tidak gampang dipermainkan oleh syetan, syetan manusia atau syetan jin. Agar kita mengetahui jalan kebenaran, dan meninggalkan tradisi atau budaya yang menyimpang. Supaya kita tidak menyesal di hari kemudian.

Sebagaimana yang digambarkan al-Qur’an, “Allah berfirman, ‘Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu’. Setiap satu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang telah menyesatkannya). Sehingga apabila mereka masuk semuanya, berkatalah orang yang masuk kemudian kepada orang-orang yang masuk terdahulu, ‘Ya tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka.’ Allah berfirman, ‘Masing- masing mendapatkan siksa yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui’.” (QS. al-A’raf: 38).
Ghoib, Edisi 59 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN