Tak ada larangan untuk menjadi sales, atau tenaga marketing. Tapi yang salah, adalah menggunakan jasa klenik untuk memikat calon konsumen. Hati-hatilah, jangan sampai terjebak tipudaya syetan. Dengan dalih agar laris manis, akidah pun tergadaikan. Seperti pengalaman pahit yang dialami Fajar (nama samaran) usia 24 tahun masih tercatat sebagai mahasiswa. Ia menceritakan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya.
Tahun 2006, saat libur kuliah semester enam, kesibukanku jauh berkurang. Aku yang terbiasa aktif di kampus, bete juga bila tidak ada kegiatan. Terus terang lontang-Iantung ke sana kemari, bukanlah kegemaranku. Berdiam diri di rumah, juga bukan pilihan. Itu hanya menambah pusing. Sementara liburan kuhah masih panjang. Aku mencari lowongan kerja di internet dan media cetak. Siapa tahu ada lowongan kerja yang menarik sesuai dengan waktu liburanku yang hanya dua bulan.
Suatu ketika, aku membaca iklan di salah satu koran harian. “Dibutuhkan tenaga marketing dengan penghasilan menarik,” begitu bunyi iklan yang menggelitik nyaliku. “Wah boleh juga,” gumamku. Katanya, dunia marketing itu mengasikkan. Ada banyak kesempatan untuk mengembangkan diri dalam rangka membangun jiwa wirausaha. Ya, ini adalah peluang yang menarik. Aku memang suka tantangan. Hitung-hitung menambah pengalaman, pikirku. Toh waktuku masih satu bulan setengah. Cukup untuk mencicipi manis getirnya dunia marketing.
Meski kuliah di jurusan tehnik informatika, tapi dunia usaha tidak terlalu asing bagiku. Beberapa tahun yang lalu, aku tinggal di rumah paman yang kebetulan seorang pengusaha catering. Banyak pelajaran berharga yang kupelajari selama bersama paman.
Alhamdulillah, tanpa proses yang rumit, aku diterima di perusahaan yang bergerak di bidang penjualan alat penghemat listrik. Aku bersyukur, liburan panjangku tidak akan berlalu dengan sia-sia. Kupikir ini adalah kesempatan emas untuk menimba pengalaman, sebelum lulus kuliah nanti. setidaknya, pengalaman menj adi salesman akan semakin mendewasakan diriku dan tidak gamang memikirkan masa depan.
Keesokan harinya, semua salesman baru, mengikuti training pengenalan produk, pengembangan kepercayaan diri dan tak ketinggalan pula tips-tips menjual yang efektif. Pasca training masing-masing salesman diberi kesempatan untuk menawarkan produk penghemat listrik. Kami disebar di Jakarta Timur.
Teman-teman segera masuk ke gang-gang. Mereka menawarkan produk door to door. Sementara aku lebih memilih untuk menawarkan produk di instansi pemerintah, atau perkantoran. Kupikir, dengan menawarkan produk di perkantoran, hasilnya akan lebih efektif. Sekali presentasi, aku langsung berbicara dengan lima enam orang. Setidaknya, peluang untuk mendapatkan konsumen lebih besar dan dalam waktu yang lebih singkat.
Hari pertama jualan, hasilnya cukup memuaskan. Lima produk penghemat listrik, lepas dari genggamanku. Sebuah langkah awal yang baik. Supervisor sangat senang dengan kinerjaku di hari pertama. Setelah tiga hari berj ualan secara individual, manajemen perusahaan memutuskan untuk membentuk tim-tim kecil. Setiap tim terdiri dari empat salesman. Di sini, kami diharapkan mampu menj alin kerjasama yangbaik. Ada saatnya, kami harus bekerja secara tim, misalnyaketika ada kesempatan untuk mengadakan presentasi, dan ada waktunya pula untuk berjualan secara individual.
Aku, Ari, Nia dan Yudi bergabung dalam satu tim. Masing-masing memiliki keunggulan yang bila disatukan akan menjadi kekuatan yang hebat. Nia, misalnya, dia seorang negosiator. Dialah yang membuka kran untuk menembus perkantoran atau instansi agar kami bisa mengadakan presentasi yang lebih sering disebut dengan demo produk. Sementara Ari dan Yudi handal dalam penjualan door to door. Aku sendiri lebih diposisikan sebagai presenter.
Bila ada kesempatan untuk mengadakan demo di sebuah instansi, aku ditunjuk rekan-rekan sebagai pembicara. Seperti yang terjadi di minggu pertama kerja tim. Kami mendapat kesempatan demo di sebuah sekolah dasar. Ari dan Yudi membantu mempersiapkan alat peraga. Sementara Nia sesekali bergabung dengan peserta. Dia berusaha menjalin komunikasi yang aktif dengan mereka.
Di tengah presentasi, masuklah seorang laki-laki muda. Namanya Darmin. Katanya, ia mengajar pelajaran IPA. Aku yang sedang bersemangat menjelaskan keunggulan produk yang kami tawarkan serta pentingnya menghemat energi di tengah krisis BBM yang melanda dunia, dikejutkan oleh teriakan sumbang dari Darmin. “Wah,saya tidak percaya dengan alat itu, …. Tidak ada alat seperti itu yang bisa menghemat listrik,” teriaknya. Mungkin, karena mengajar pelajaran IPA hingga ia merasa lebih mengerti tentang segala hal yang berhubungan dengan listrik.
Kutatap matanya. Kami pun beradu pandangan. Ya, jiwa mudaku berontak mendapat sanggahan seperti itu. Tapi aku tidak mau kalah berargumentasi. “Yang memaksa bapak untuk percaya itu siapa? Nanti kalau saya bilang di bandara ada berton-ton besi yang bisa terbang, bapak lebih tidak percaya lagi.” Merasa kalah berargumen, Darmin pun keluar ruangan dan tidak kembali lagi. Selepas kepergian Darmin, tak lupa, aku meminta maaf bila sempat bersitegang. “Bukan maksudku membuat situasi menjadi panas. Aku hanya ingin kita saling menghargai. Bagi kami, bapak dan ibu tidak dipaksa untuk membeli. Kami hanya sekadar menawarkan. Selanjutnya terserah bapak dan ibu.”
Meski demikian, pengalaman pertama presentasi itu begitu berkesan. Seperti sedang bermain sandiwara. Tentunya, dengan happy ending. Produk penghemat BBM yang sudah mendapat lisensi dari PLN itu pun laris manis. Entah lantaran penjelasanku atau karena memang mereka merasa butuh dengan produkya, hingga laris manis.
Produk yang kami tawarkan memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan produk sejenis di pasaran. Di samping sudah mendapat lisensi dari PLN, kami juga memberikan layanan purna jual yang memuaskan. Setiap konsumen, akan dipantau selama tiga bulan pertama. Apakah yang diuraikan dalam presentasi itu terbukti atau tidak. Setelah tiga bulan pemakaian dan konsumen merasa kualitasnya tidak seperti yang dij anjikan, produk akan diganti dengan yang baru atau uangnya dikembalikan seratus persen.
Tiap hari, sebelum berangkat berjualan, kami selalu mengadakan brifing dulu. Setelah itu kami keluar untuk menawarkan produk. Sore harinya kami kembali lagi ke kantor untuk melakukan evaluasi, sekaligus membuat rencana esok pagi.
AIhamdulilIah, penjualan tim terus menanjak. Hasil penjualan bulan pertama jauh melebihi target bulanan. Kami berhasil menjual lebih dari 50 unit, dari target 20 unit. Sementara tim lain, penjualannya masih di bawah kami.
Apakah keberhasilan kami membangkitkan kedengkian tim lainl Aku tidak tahu. Yang jelas, menginjak bulan kedua, penjualan timku tidak terlalu bagus. Presentasiku juga tidak semenarik dulu. Kebanyakan peserta kurang antusias mendengarkan penjelasanku. Mereka asyik mengobrol sendiri. Apakah karena usiaku yang masih muda, hingga mereka meremehkankul Memang, ada beberapa orang yang sempat mempertanyakan usiaku yang masih muda tapi berani presentasi di muka umum. Kukatakan saja, bila aku masih kuliah semester enam. Apa yang kulakukan saat ini, untuk mengisi waktu liburan kuliah dengan kegiatan yang bermanfaat. Hitung-hitung untuk menambah pengalaman.
Beberapa trik baru yang diajarkan supervisor juga menemui jalan buntu. Akhirnya manajemen perusahaan memutuskanuntuk mengubah ulang susunan tim. Di samping masuknya beberapa pegawai baru. Juga dalam rangka penyegaran Aku dipercaya memimpin dua orang pegawai baru. Namanya Arman dan Ali.
Dipasang susuk pengasihan
Setelah pergantian tim, aku merasakan tidak banyak perubahan. Meski Arman dan Ali, bukanlah pemain baru di dunia marketing. Di tempat kerja sebelumnya, keduanya juga menjadi marketing. Jadi tidak ada kendala berarti dalam timku yang baru. Yang ada hanyalah masalah komunikasi saja yang belum seerat dulu.
Seperti biasa, di tim yang baru, aku juga selalu mengadakan evaluasi harian. Aku mencoba memahami keadaan, bahwa produk yang kami jual, bukanlah produk yang sifatny a repeat order dalam waktu yang singkac. Garansinya saja sampai tiga tahun. Berbeda dengan jualan sayur atau kebutuhan harian lainnya. Orang belanja hari ini, besok masih belanja lagi. Pada sisi ain, bisa jadi tidak semua orang membeli penghemat BBM, karena harganya yang terbilang mahal di mata mereka. Untuk memenuhi reperluan sehari-hari saja banyak yang kesulitan, apalagi harus membeli penghemat BBM yang harganya hamper tiga ratusan ribu.
Tapi Arman memiliki argumenrasi yang berbeda. “Saya merasakan ada sesuatu yang aneh, pada dirimu,” kata Arman.Argumentasinya membuatku terperangah. Aku tidak merasa ada yang aneh. Semuanya masih seperti yang dulu. Aku mempertegasnya, “Makasudnya gimana Man!”
“Kalau menurut saya ada yang tidak suka sama kamu. Nanti malam saja, kamu datang ke kontrakan saya,” kata Arman.
Sepulang kerja, kami bertiga naik bis kota ke rumahnya Arman. Aku dan Ali duduk berdampingan. Sementara Arman terpisah di belakang. Saat itulah, Ali menawariku ajian pengasihan.
“Jar, aturan kamu, seperti saya, diisi pengasihan,” katanya. “Maksudmu gimana sih?” tanyaku penasaran. Waktu itu aku masih awam. Aku belum ngerti sama sekali apa itu ajian pengasihan.
“Jadi begini Jar, supaya presentasi kamu jadi sukses seperti dulu, tidak ada salahnya kamu diisi pengasihan,” kata Ali dengan suara lirih. Ali tidak ingin pembicaraan kami menarik perhatian penumpang bis kota.
“Caranya gimana?” tanyaku. “Arman bisa,” katanya. Aku pun terdiam. Saran AIi itu mempengaruhi pikiranku. Akhirnya kami sama-sama terdiam. Masing-masing sibuk dengan lamunanya. Tanpa terasa jalanan ke Ciledug, Jakarta Selatan, yang macet parah, akhirnya terlewati juga.
Selepas Maghrib, aku, Arman dan Ali melepas lelah sambil rebahan di ruang tamu beralaskan karpet. Obrolan kami masih seputar penjualan yang menurun dan ajian pengasihan.
“Jar, sepertinya ada yang tidak beres. Ada yang syirik sama kamu. Tapi saya tidak tahu siapa orangnya,” ujar Arman membuka pembicaraan. “Buat jaga diri, serta biar persentasi kamu sukses terus, kamu saya pasangi susuk,” katanya menawarkan. Aku masih belum mengerti. Ali mengatakan ajian pengasihan, Arman bilang susuk. Mana yang benar. “Maksudnya gimana Man?” tanyaku.
“Ya sudah, sekarang begini saja. Kamu shalat Isya’ dulu,” kata Arman. Aku pun menurutinya. Aku bergegas mengambil air wudhu dan shalat di kamarnya Arman. Selesai shalat, Arman masuk kamar. “Sudah siap Jar!” Karena aku tidak mengerti apa-apa, kukatakan saja sudah siap. Tidak berapa lama, Arman memegang tangan kananku. Dia membuat gerakan menulis sesuatu di tanganku tanpa menggunakan pena, pensil atau benda lainnya. Ia hanya menulis dengan jarinya, kemudian diusap lagi. Anehnya, saat diusap seperti ada hawa yang masuk. Memang tidak kelihatan, tapi aku merasakannya. “Sekarang coba pegang tangan kamu. Sama yang kiri samain,” kata Arman memecah kebisuan.
“Oh ya beda. Yang kanan cenderung agak keras,” kataku setengah tidak percaya. Selanj utnya giliran tangan kiriku yang dipasangi susuk. Setelah pengisian itu aku dan Arman masih ngobrol di kamar. Kami berdiskusi panjang lebar seputar dunia ghaib. Arman mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai saudara kembar. Dia juga mempunya jin yang setia menemaninya sejak lahir.
Aku pun bertanya, “Jinnya bisa dilihat nggak?” “Bisa,” katanya. “Caranya gimana?” Arman tahu bahwa aku sangat penasaran dengan ceritanya, maka ia pun menunjukkan cara melihat jin.
Setelah mematikan semua lampu, Arman mengambil cermin yang menggantung di dinding lalu menaruhnya di meja, di depannya ditaruh lilin. Aku terdiam dalam kebisuan. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Akhirnya aku hanya pasrah pada Arman.
Kulihat bibimya komat-kamit. Entah apa yang dibacanya. Sejurus kemudian, ia mengusap mataku. “Coba lihat ke cermin!” katanya setelah melepaskan tangan dari mataku. “Lihat bayanganmu! lihatlah tepat di titlk dahi, sambil baca surat tertentu, tapi j angan berkedip,” Arman terus membimbingku melihat jin.
Tak lama kemudian, aku melihat sosok hitam di belakangku. Makin lama makin jelas. Badannya tinggi besar dengan kerudung hitam menutup kepalanya. Aku tidak tahu apakah itu halusinasi atau memang fakta. Bayangan itu hilang, setelah aku mengedipkan mata. Itu adalah pengalaman aneh yang masih menyimpan tanda tanya.
Pasca pengisian ajian pengasihan, penj ualan kembali lancar. Suasana demo produk kembali semarak. Bahkan orang yang baru melihat pun cenderung penasaran. Selama dua minggu grafik penjualan terus meningkat.
Memukul Orang Tanpa Sadar
Memasuki minggu kedua, aku tidak tahu mengapa sifatku mulai emosional. Seperti orang sakit darah tinggi. Hatiku cepat terbakar bila mendengar ada yang mendebat. Yang lebih mengenaskan, aku tidak lagi mempedulikan tempat dan keadaan. Ketika sedang presentasi pun, aku langsung marah bila ada yang tidak sependapat denganku. Sampai keluar kata-kata yang tidak seharusnya.
Di rumah pun sama. Sepulang kerja, biasanya aku bercanda dengan ibu. Kami suka minum bersama, sambil cerita pengalaman hari itu. Tapi setelah pengisian di kontrakan Arman, aku pasang muka cemberut di depan ibu. Emosiku tidak lagi terkontrol. Hanya karena kulihat makanan yang dihidangkan tidak sesuai selera, aku langsung marah. Kata-kata kasar pun tidak lagi dapat kucegah. Kata-kata itu seperti keluar dengan sendirinya.
Nah, di situlah ibu menegur. “Kamu belakangan ini mulai berubah. Emosimu tidak terkontrol. Ada apa sih?” tanya ibu dengan tatapan matanya yang lembut. Waktu itu, aku hanya diam. Mulutku terkunci. Dan hanya membisu.
Ibu masih tidak curiga. Aku pun tidak banyak cerita. Suasana rumahku mulai berubah. Tidak lagi secerah dulu. Terlebih setelah terjadi perkelahian dengan tetanggaku. Sebut saja namanya Gumilang. Badannya tinggi besar.
Ceritanya, aku dan Gumilang jagongan di pos RT. Entah bagaimana mulanya, sampai kami berselisih pendapat pada masalah yang sepele. Kulihat Gumilang berdiri seakan menantangku berduel. Dan tanpa piker panjang, tangan kananku lebih dulu melesat menghantam dadanya.
Gumilang terjerembab, laksana petinju yang KO. Sampai akhirnya ia digotong tetangga ke rumahnya. Orang-orang tidak menyangka bila pukulanku begitu telak dan menghempaskan Gumilang. Padahal badanku kecil. Sangat kecil dibandingkan Gumilang.
Jangankan orang lain, aku pun tercengang dengan apa yang terjadi. Sama sekali ddak ada niatan untuk melukai Gumilang. Tapi tanganku seakan bergerak sendiri tanpa banyak dikomando.
Di pertengahan bulan, aku mengundurkan diri dari tempat kerja, lantaran liburan kuliah sudah berakhir. Bagiku, kuliah lebih penting. Karena sejak awal, komitmen untuk bekerja itu hanyalah paruh waktu, sebagai pengisi waktu luang selama liburan.
Masalahnya, apa yang terjadi di rumah dan kejadian dengan tetangga kembali terulang di kampus. Aku yang terbiasa berorganisasi sejak semester pertama, seakan kehilangan kedewasaanku. Hanya karena pendapatku tidak disetujui dalam forum rapat, aku sudah mencak-mencak. Aku merasa ddak dihargai dan dilecehkan. Padahal masalahnya sepele. Hanya penentuan tempat studi wisata bagi mahasiswa baru. Aku mengusulkan Bogor sebagai tempat tujuan, tempatnya dekat dan bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua. Sementara ada teman yang mengusulkan Bandung. Karena merasa Bogor adalah usulanku, aku berusaha mempertahankannya. Meski dengan cara yang emosional. Sampai teman di sampingku mengajakku ke luar ruangan untuk mendinginkan suasana.
Berbagai peristiwa itu membuka mata batinku, untuk tidak lagi tertutup kepada orang tua. Suatu malam, kuceritakan semua yang terjadi dua minggu lalu di kontrakan Arman. Dari awal A-Z.
Betapa kecewanya ibu. Kulihat jelas kekecewaan itu di wajahnya. Tanpa diucapkan pun aku memahaminya. “Kamu nggak tahu, bila hal itu dilarang. Itu tidak boleh,” kata ibu sambil menghela nafas.
“Tapi semua sudah terlanjur. Sekarang begini, di Bekasi, di dekat rumah Pamanmu ada pengobatan non medis, namanya ruqyah. Pergilah ke sana,” kata ibu. Kuturuti saran ibu. Kusempatkan main ke rumah paman di Bekasi, sekalian minta diantar ke tempat ruqyah.
Paman kemudian mempertemukanku dengan Ustadz Bambang, pimpinan Ghoib Ruqyah Syar’iyah cabang Bekasi. Setelah menceritakan kronologisnya, aku pun diterapi Ustadz Bambang.
Aku sempat muntah, meski tidak terjadi dialog dengan jin. Pada ruqyah yang ketiga, yang terbayang-bayang hanyalah wajah Arman. Dia seperti tidak terima. Ustadz Bambang terus memberikan nasehat kepada jin yang masuk ke dalam tubuhku agar bertaubat. Sebagai bukti kebenaran taubat, jin disuruh segera keluar dan tidak lagi berbuat dhalim.
Alhamdulillah, setelah sekian lama diruqyah, akhirnya jin itu keluar. Pasca ruqyah itu Ustadz Bambang mengaj arkan banyak hal. Aku dibimbing membaca al-Qur’an dengan hokum-hukumnya. Aku juga diajarkan gerakan-gerakan shalat yang benar, karena selama ini gerakan shalatku masih banyak yang salah. Terus terang, dulunya, aku penganut Kristen. Aku baru masuk Islam saat berusia 17 tahun. Semoga Allah memberiku kekuatan untuk istiqamah dan membuktikan bahwa aku pindah agama bukan sekadar pindah. Tapi disertai keyakinan yang benar.
Ghoib Ruqyah Syar’iyyah
Sumber : Majalah Ghoib Edisi 102/2