Kisah orang yang mencari pesugihan dengan mengorbankan orang-orang terdekat sebagai tumbal menjadi perbincangan yang menarik di tengah masyarakat. Namun kegetiran hidup orang yang hendak ditumbalkan juga tak kalah mengerikan. Lepas dari sergapan maut jin sang dukun, terjebak siksaan demi siksaan. Elis menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya.
BANDUNG, APRIL 2001.
Siang itu, matahari tidak terlalu terik. Cuaca di penghujung musim penghujan masih belum menandakan hujan tidak lagi mengguyur langit Kota Kembang. Udara yang sejuk membuat suasana kantor tempatku bekerja terasa nyaman. Sejuknya udara menyusup ke sela-sela ruangan kantor. Membuat teman-teman betah berdiam diri di depan meja kerja masing-masing. Tidak banyak yang mondar-mandir karena alasan yang tak jelas. Semuanya sibuk dengan dunia masing-masing. Dunia kerja yang menuntut keuletan tersendiri.
Aku tidak berbeda jauh dengan mereka. Mataku sedang terpaku pada huruf- huruf di depan komputer, ketika tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang. “Eh, Nita, ada apa?” tanyaku kepada Nita yang menepukku, la teman kantor yang menempati ruangan sebelah.
Nita yang mengejutkanku dengan tepukannya itu kembali membuat aku tidak berkutik dengan pertanyaannya. “Lis, Kenapa Sabtu kemarin kamu tidak datang ke rumah Bu Kirani?” Sorot matanya meminta jawaban. “Emang ada apa?” Aku balik bertanya. Kutatap mata Nita dengan sedikit menggeser tempat duduk.
“Endin, anaknya Bu Kirani, itu kan sakit keras. Sekarang sudah mendingan. Sabtu kemarin Bu Kirani syukuran. Kenapa kamu tidak datang?” Nita kembali menyelipkan pertanyaan di balik penjelasannya. “Gimana mau datang Mbak, wong diundang saja nggak, jawabku singkat.
Aku sendiri heran, mengapa Bu Kirani yang telah kuanggap sebagai orangtua sendiri tidak mengundangku. Apakah ia sudah lupa? Rasaya tidak. Meski kami jarang bertemu, sejak kematian suami Bu Kirani tiga tahun lalu, hubungan kami selama ini baik-baik saja. Tidak ada masalah yang mengganjal di antara kami.
Kehidupan Bu Kirani memang tidak lepas dari duka. Nyaris tiap tahun ada saja anggota keluarganya yang meninggal. Tiga tahun lalu. suaminya yang menjadi orang pertama di kantorku meninggal dunia karena serangan jantung. Setahun kemudian, orangtua Bu Kirani menyusul. Usianya memang sudah tua dan sering sakit- sakitan. Di tahun ketiga giliran anaknya yang pertama meninggal dunia. Kini, bertepatan dengan setahun kematian anak pertamanya. Endin, anak kedua Bu Kirani menderita sakit keras.
Berbagai pengobatan medis telah ditempuh. Katanya, semua pengobatan itu belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Baru setelah berobat dengan orang pintar yang menetap di Jakarta kesehatan Endin semakin membaik. Menurut cerita Nita, dialah yang menyaran kan Bu Kirani untuk mem bawa Endin ke sana. Seorang wanita paruh baya yang biasa dipanggil dengan Bu Karsih.
Obrolan singkat siang itu berakhir ketika Nita dipanggil temannya. Tapi setidaknya dari obrolan singkat itu saya mengetahui berita terbaru tentang Bu Kirani yang selama ini seakan hilang begitu saja.
DIPAKSA BEROBAT KE DUKUN OLEH MANTAN ATASAN
Pikiran tentang Bu Kirani kembali ditenggelamkan oleh rutinitas kerja. Demikian pula dengan Nita, meski tiap hari bertemu, ia sama sekali tidak menyinggung Bu Kirani Hingga suatu siang, tiba-tiba Bu Kirani muncul di kantor. Tiga tahun lalu, Bu Kirani memang bekerja di sini, tapi semenjak suaminya meninggal, ia dipindahkan ke tempat lain. Kehadiran Bu Kirani itu pun tak pelak membuat Nita kembali mendatangiku.
“Lis, Bu Kirani datang. Temuin deh. Kamu kan sudah lama tidak ketemu.” kata Nita setelah kepalanya nongol dari pintu yang sedikit terbuka. la memang tidak perlu masuk ke ruangan. Dari celah pintu sudah cukup baginya menyampaikan pesan itu.
“Iya sebentar lagi aku ke ruangannya,” jawabku sambil menoleh ke pintu. Geli rasanya melihat tingkah Nita dengan seutas senyum manisnya itu, la memang teman yang baik.
Setelah menyimpan data- data di komputer, aku bergegas ke ruangan atasan di mana Bu Kirani biasa mangkal Ruangan itu hanya berjarak tiga pintu dari tempatku. Aku minta izin masuk, khawatir bila kehadiranku mengganggu Bu Kirani. “Bu gimana kabarnya?” tanyaku setelah diizinkan masuk. “Baik Lis,” jawab Bu Kirani sambil melepas kaca matanya.
Sekilas ia memperhatikan diriku yang tetap mematung “Itu kenapa wajahmu kok hitam, Rambutmu juga beruban. Sepertinya itu memang tidak wajar,” katanya sambil menatap wajahku.
“Ah, nggak apa-apa bu. Ini hanya faktor usia saja,” jawabku sekenanya. Tapi bagi Bu Kirani, bercak hitam di wajahku serta rambutku yang mulai memutih bukan hal yang wajar. la merasakan keanehan terpancar dari diriku. Hingga tanpa banyak bertanya ia menawarkan dukun yang membantu pengobatan anaknya. “Nggak Lis. kamu pasti ada yang guna guna. Sekarang kamu harus berobat ke orang pintar, bujuk Bu Kirani. “Kamu boleh saja menolak ajakan orang lain, tapi kali ini kamu harus mau.
Tanpa banyak pilihan, kuterima tawaran Bu Kirani. Toh selama menjabat di kantor ini, suami Bu Kirani telah banyak membantuku. Sebenarnya ada dua dukun yang ditawarkan Bu Kirani. Satu laki-laki dan satu perempuan. Tapi saya lebih sreg memilih yang perempuan. Lebih aman rasanya. Karena berita tentang dukun yang tidak senonoh kepada pasien sudah sering kedengar, Siapa sih yang tidak takut dikerjai dukun?
Rabu pagi, aku datang ke rumah Bu Kirani. Khawatir bila ia terlalu lama menunggu. Maklum bepergian ke Jakarta itu untuk kebaikanku. Setidaknya itulah pendapatku saat itu. Bu Kirani rela meluangkan waktu untuk mengantarkanku ke dukun langganannya di Jakarta, aku tidak ingin ia terlalu menunggu. Jam sebelas siang, mobil Bu Kirani memasuki halaman rumah Bu Karsih. Nampaknya, ia sudah menunggu kehadiran kami. Hingga tanpa buang waktu, Bu Karsih menyuruhku memasuki ruang praktiknya didampingi Bu Kirani. Sementara Bu Karsih masuk kembali ke kamar pribadinya, la keluar dengan membaca segelas air dan beberapa butir batu.
Aku diam saja di ruangan seluas 3×4 meter itu. Menunggu. Hanya itu yang bisa kulakukan. “Teh Elis, coba ulurkan tanganmu begini, pinta Bu Karsih sambil menarik tanganku. Aku pun menurutinya. Kujulurkan tanganku lurus ke depan tanpa banyak bertanya. Aku hanya menurut saja.
Tanganku tetap terjulur, sementara Bu Karsih mengambil dua buah batu akik. Sebuah batu akik ditaruh di atas telapak tanganku. sementara yang lain diletakkan di atas lengan. Tidak jauh dari mata siku. Sedangkan segelas air putih ditaruh di atas meja tepat di bawah telapak tanganku. Kutatap kedua batu akik itu sambil berpikir dalam diam.
Bu Karsih mengambil sebilah keris kecil. Tangannya yang sudah mulai keriput mengambil sebutir batu akik berukuran kecil dan meletakkannya di atas ujung keris lalu diam terpejam. Mulutnya komat-kamit merapal bacaan yang tak kupahami maknanya. Sejurus kemudian, tangannya bergerak perlahan. la mengarahkan ujung keris itu ke atas lenganku. Persis di atas batu akik. Dari bibirnya kembali terdengar suara lirih. la memegang kerisnya, tapi batu akik itu tidak berputar.
“Lho, Bu diam saja ya?” katanya sambil menoleh ke Bu Kirani yang duduk di sebelah kananku. la terkejut. “Kuat nih,” katanya lagi. “Aduh, tolong dong usahakan, pinta Bu Kirani. Terdengar nada kecemasan dari balik permintaannya itu. la jauh lebih ketakutan daripada aku yang sedang diterapi. Seakan ada sesuatu yang tersembunyi di antara mereka.
Mendengar pembicaraan mereka, aku penasaran. “Emang apa hubungan batu akik itu dengan saya?” tanyaku pada Bu Karsih “Kalau orang lain baru diginikan saja batunya sudah mutar. Tapi kamu kok sulit,” jawabnya pelan, la masih terlihat tenang, sementara raut muka Bu Kirani berubah. la nampak cemas, la seperti mengkhawatirkan sesuatu. Entah apa yang dipikirkannya.
“Tolong dong usahakan,” pintanya. Suara itu lebih terkesan memelas kalau tidak mau dikatakan merengek, Sementara aku, tidak ada ketakutan. Kutanggapi semuanya dengan biasa saja Toh selama ini, aku merasa tidak ada yang aneh dengan rambut dan wajahku ini.
“Tenang Bu, ada yang lebih jitu,” jawab Bu Karsih lalu berdiri, la melangkah ke kamarnya dan kembali dengan batu akik lain di tangannya. Sedikit lebih besar dari yang pertama. la meletakkannya di atas keris. Dengan berat, ia berhasil sedikit menggoyahkan batu akik di lenganku. Itu pertanda baik, katanya. Bu Karsih mengakhiri terapi dengan menyuruhku meminum segelas air yang sedari tadi ditaruh di bawah telapak tanganku.
Bu Karsih diam sejenak. la kemudian menanyakan benda apa yang ditaruh di dalam kamarku. “Itu, di kamar kamu ditaruhin apa?” katanya dengan sorot mata tajam. Aku terbengong. Bagaimana ia bisa tahu kondisi kamarku? Padahal ia tidak pernah main ke sana. Sebuah lubang selebar dua keramik memang ada di kamarku. Tapi tidak ada yang tahu rahasia ini kecuali Piki, temanku yang menyuruh membuat lubang di kamar dan tukang. “Kamar Teh Elis perlu dibersihkan,” katanya lagi tanpa membutuhkan jawabanku. “Tapi bu, sudah tiap hari kamar itu aku bersihkan,” jawabku. Aku memang belum tahu bersih- bersih yang dimaksudkan Bu Karsih “Tidak Teh, aku sendiri nanti yang membersihkannya.” Tidak ada pilihan lain, aku pun hanya bisa mengiyakan permintaan Bu Karsih yang terkesan sedikit memaksa.
la kemudian menyuruhku minum untuk kedua kalinya. Kali ini segelas air teh. “Lis, jin yang dari aku biar ikut kamu. Jum’at depan aku harus membersihkan kamarmu,” katanya. Jum’at berarti selang dua hari sekarang, pikirku Ya, tak apalah. Untuk sementara aku harus izin tidak masuk kerja lagi.
MENJADI TUMBAL PENGGANTI ANAK MAJIKAN
Hari Jum’at tepat jam sebelas siang, Bu Karsih sampai di rumahku diantar supirnya Bu Kirani. Aku segera menyambutnya. Kuambil sebuah pisang Ambon dan satu bungkus plastik di tangannya. Lalu kupersilahkan ia segera masuk ke rumah. Tapi tangan Bu Karsih mengisyaratkan untuk diam sejenak. Aku pun berhenti.
Bu Karsih mengamati sekeliling pekarangan rumah seluas 7×11 meter itu. Tatapan matanya tajam menyisir setiap sudut. Selang beberapa saat kemudian ia mengajak masuk. la melewati ruang tamu dan menyisir kamar tidur, kamar mandi dan dapur. Beberapa saat ia terpaku dalam diam, sebelum akhirnya suaranya yang lirih memecah kesunyian. “Oh pilihannya agama,” katanya sambil melirikku yang setia membuntutinya. “Untung kamu itu agamanya kuat, kalau tidak kamu sudah jeblak” ujarnya tanpa memperhatikanku.
Mulutku terkunci tanpa komentar. Karena sampai detik itu aku tidak mengerti arah pembicaraannya. Yang kutahu, ia ingin mengobati bercak hitam di pipi dan rambutku yang memutih ini. Lain tidak. Selesai menerawang seluruh ruangan, Bu Karsih bertanya dimana harus meletakkan bungkusan plastik yang masih kupegang “Bungkusan ini mau ditaruh dimana ya?” tanyanya. “Bu di situ saja. kataku sambil menunjuk lubang angin di atas jendela kamar.
“Tapi apa hubungan bungkusan itu denganku?” Aku mencoba mempertanyakan mengapa bungkusan itu harus disimpan di rumah Pertanyaan itu muncul begitu saja, meski aku tahu dia adalah seorang dukun. Segala yang dilakukannya tentu saja terkait dengan proses pengobatan yang ia lakukan. “Teh Lis, ini gumuk. Gumuk itu makanan jurig (jin). Nanti waktu jurig itu datang dia akan menghisap dahak kamu dan menjilati pipimu sampai putih lagi,” katanya. Penjelasannya itu membuatku terpaku dalam diam. Entah mengapa aku hanya diam saja. Tidak menolak pengobatan dengan jilatan jin itu.
Meski Jum’at itu Bu Kirani tidak ikut ke rumahku, tapi ia tetap memantau perkembangan terapi yang kulakukan. la bahkan menyuruhku untuk datang ke rumahnya beberapa kali. “Lis, pokoknya apapun kata Bu Karsih kamu ikuti saja,” katanya ketika bertemu di rumahnya.
Beberapa minggu setelah kedatangan Bu Karsih terjadi peristiwa yang menggemparkan di rumah. Sepulang dari kantor, aku mengalami pendarahan yang sangat deras. Memang waktu itu aku sedang datang bulan. Tapi darah haid kali itu jauh berbeda dengan sebelumnya. Akhirnya kupanggil seorang tetangga untuk menemaniku di rumah. Aku biasa memanggilnya dengan Jeng Meme.
Selepas Maghrib badanku makin menggigil. Jeng Meme yang mendekatpun terperanjat. Lantaran ia melihat wajahku berubah-ubah. Awalnya nampak seperti seorang nenek yang tua renta. Wajahnya keriput dengan rambut memutih. Tak lama berselang, wajah nenek itu berganti dengan raut muka seorang wanita muda berambut pirang.
Waktu itu aku masih setengah sadar. Hingga dapat mencerna penglihatan Jeng Meme dengan baik. Ingatanku pun melayang ke beberapa tahun yang lalu. Wanita muda itu mengingatkanku dengan anaknya Bu Kirani yang meninggal setahun lalu. Sementara nenek tua itu, ya dia lebih menyerupai bibiku yang meninggal tiga tahun sebelumnya. Dia juga pernah bekerja sebagai pembantu di rumah Bu Kirani. Tapi apa hubungan wajah-wajah itu dengan mereka? Tak tahu lah, semuanya masih gelap saat itu.
Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan itu, Jeng Meme mengajakku menginap di rumahnya yang hanya berselang empat rumah. Setidaknya ada orang lain yang bisa membantu bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di rumah Jeng Meme aku masih gelisah, hingga akhirnya aku minta bantuan ditelponkan orangtuaku di Ciamis, Jawa Barat. Aku ingin berdekatan dengan mereka. Tapi sayang. malam itu mereka tidak dapat dihubungi. Aku minta dihubungkan dengan Bu Kirani dan Bu Karsih, tapi keduanya tidak bisa dihubungi. Semuanya seakan raib ditelan bumi di tengah kemajuan teknologi ini.
Kebetulan ada tetangga yang baik hati. la bersedia mengantarku ke Ciamis malam itu juga. Setiba di rumah kondisiku semakin parah. Saya bahkan kerasukan jin yang dengan serta merta mengkhutbahi orangtua di saat kali pertama bertemu. “Ibu, shalat yang benar. Bapak juga….” Aku semakin ngelantur hingga akhirnya Jeng Meme dan tetangga itu pun tidak enak mendengar ocehanku. Mereka langsung balik ke Bandung saat itu juga. Malam pun berlalu dengan ketidaktenangan.
Jam lima pagi, aku terbangun. Pagi itu terasa lebih baik dari sermalam. Aku sudah sadarkan diri kembali. Omongan juga tidak lagi ngelantur. Yang pertama dalam benakku kemudian adalah menghubungi Bu Kirani dan menceritakan semua yang terjadi. Pikiranku saat itu hanya terfokus padanya. “Sekarang kamu datang ke rumahku. Aku tunggu. Nanti kuantar ke Bu Karsih lagi,” jawab suara di balik telephon. “Tapi ingat, tidak boleh ada yang menemani, kamu harus datang sendiri,” katanya lebih lanjut.
Aku protes, karena sedang dalam kondisi yang masih lemah. Tapi Bu Kirani bergeming. Tidak ada pilihan, salah satu pihak harus ada yang mengalah. Dan akulah orangnya. Meski orangtua sebenarnya tidak melepaskanku pergi sendirian.
Jam sepuluh pagi, aku tiba di rumah Bu Kirani. Namun yang kucari tidak ada di tempat. Hanya ada Alan, adik Bu Kirani, Endin dan pembantunya. “Mbak Lis, Bu Kirani lagi jemput Bu Karsih. Tunggu saja sebentar, kata Alan setelah mempersilahkanku masuk.
“Kalau mau istirahat, silahkan istirahat di kamarnya Endin atau kamar sebelahnya,” katanya lagi sambil berlalu ke ruang tengah. Diperlakukan sedemikian rupa, terus terang aku merasa tidak enak juga. Perasaan dongkol yang terpendam di dada lumer seketika. Tapi aku lebih memilih menunggu Bu Kirani di ruang tamu. “Nggak ah, di sini saja. Lebih enak,” kataku sambil mengucapkan terimakasih.
Kupilih sebuah majalah yang tergeletak di atas meja sebagai teman. Baru beberapa lembar majalah kulewati, badanku terasa berat. Aku merasa kejadian semalam akan terulang lagi. Ya, akan ada lagi jin yang merasuk ke dalam tubuhku, karena tanda- tandanya tidak jauh berbeda.
Benar saja. Beberapa saat kemudian aku meraung. Suaraku berubah menjadi suara laki-laki. Tepatnya lebih mirip dengan suara suami Bu Kirani yang telah meninggal. Alan, Endin dan pembantunya tergopoh-gopoh menghampiriku yang masih setengah sadar. Memang, aku paham apa yang aku ucapkan, hanya saja aku tidak bisa menghentikannya.
Beberapa detik kemudian, suaraku berubah seperti nenek-nenek, lalu seorang wanita muda. Beberapa suara itu silih berganti berbicara melalui mulutku. Satu dialog yang masih teringat kuat dalam ingatanku adalah ketika jin yang mengaku sebagai orangtua Bu Kirani muncul. Dengan suara serak dia berbicara kepada Alan. “Alan, kamu mau sama Teh Elis” kata jin itu melalui mulutku.
Alan terperangah. Dengan cepat ia menjawab, “Nggak oma, soalnya aku sudah punya pacar,” jawabnya mengelak. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak bisa apa-apa lagi, Alan bingung. Akhirnya setelah beberapa menit saya didiamkan dan tidak bisa bergerak. Pipi saya ditabok Alan “Lis, kamu mau dibikin tumbal?” katanya.
Aku terkejut Tabokan itu semakin menyadarkanku. “Aku nggak mauu” teriakku. “Bangun, kalau tidak mau jadi tumbal,” bentak Alan kemudian. Aku menanggapi bentakan itu dengan istighfar berulang- ulang. Tapi Alan justru melecehkan usahaku.
“Lis, kamu jangan sampai dzikir-dzikir. Pokoknya aku kasih tahu, yang membikin kamu begini itu adalah Bu Kirani.” Setengah tidak percaya aku mendengarnya. Sungguh tega orang yang selama ini terkesan sangat baik dan royal itu tega menjerumuskan orang yang telah menganggapnya sebagai orangtua sendiri.
Dengan sekuat tenaga aku berusaha menguasai diri. Berbagai dzikir dan surat pendek kubaca berulang- ulang, hingga akhirnya aku terbebas dari penjajahan jin untuk beberapa saat.
Waktu terus merayap. Matahari sudah semakin meninggi, tapi Bu Kirani tak kunjung datang, akhirnya jam dua siang, aku minta izin untuk menemui seorang teman yang masih satu komplek dengan Bu Kirani. Piki namanya. la memang terbilang memiliki kemampuan tidak ubahnya seorang dukun, hanya dia tidak membuka praktek layaknya dukun lainnya. Saat kuceritakan apa yang terjadi, dengan enteng Piki menjawab, “Emang kamu mau dibikin tumbal.”
Piki memberiku segelas air minum. Namun, sebelum menyorongkannya kepadaku ia terlebih dulu mencelupkan jari jempolnya ke dalam air itu.
Setelah ngobrol sekian lama dengan Piki, aku tidak lagi datang ke rumah Bu Kirani, tapi langsung kembali ke Ciamis, ke rumah orang tuaku. Di sana saya merasa lebih aman, daripada kembali ke Bandung. Karena di Bandung aku tinggal sendirian.
Namun, begitu menginjakkan kaki di rumah, aku kembali berbuat ulah. Kali ini kedua tanganku dengan cepat berusaha untuk mencekik leherku sendiri. Napasku tersengal-sengal. Untuk beberapa saat orangtua panik. Mereka berteriak histeris hingga menarik perhatian tetangga. Merekalah yang kemudian menyadarkanku.
Tapi pikiran untuk segera mengakhiri hidup tidak hilang begitu saja. Dalam bayanganku esok pagi jam delapan aku akan meninggal. Kupanggil orangtua dan kusampaikan ketakutan itu. “Bu, tolong kumpulkan keluarga semuanya. Elis mau minta maaf,” kataku di sela- sela isak tangis. “Ah kamu tuh macam-macam saja dikira sinting. Kamu kan nggak apa- apa tapi kok pingin ngumpulin orang-orang?” tolak ibu.
“Nggak bu, Elis takutnya tiba-tiba mati. Elis kan mau minta maaf dulu. Elis mau minta maaf ke keluarga semuanya,” dengan berbagai cara kucoba meyakinkan orangtua. Tapi mereka tidak mempedulikanku. Akhirnya mereka memanggil seorang ustadz untuk menyadarkanku. Itulah awal dari pengembaraanku berobat ke berbagai orang pintar. Tidak kurang dari dua puluhan dukun dan orang pintar yang kudatangi.
Hingga akhirnya saya berkenalan dengan ruqyah di tahun 2005. Awalnya ada seorang tetangga yang memberikan kaset ruqyah. Leni namanya. “Kaset ini kamu putar saja bila kamu merasa ada jin yang menempel di badanmu,” katanya. Begitu saya putar, lama kelamaan badanku menggigil. Aneh memang. Semakin lama semakin kuat. Karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan akhirnya kaset ruqyah itu kumatikan.
Desember 2005. kuputuskan mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghaib cabang Cikarang dengan diantar Rita, keponakanku. Enam kali terapi ruqyah selalu ditangani dua orang ustadz, karena jin sangat membandel. Kini, aku masih menjalani terapi ruqyah di kantor Majalah Ghaib cabang Bogor. Aku pilih Bogor karena dekat dengan rumah kakakku. Sehingga bila terjadi apa-apa, ada saudara yang terus memperhatikan. Meski masih harus menjalani terapi secara rutin, tapi saya merasa telah menemukan tempat yang tepat. Tidak akan kuulangi kesalahan yang sama dengan mendatangi dukun dan orang pintar.