Ambil Bagian dari Kehidupan Ini

Islam bukan seperti agama kerahiban yang melarang seorang biarawati menikah. Karena pernikahan merupakan salah satu pintu gerbang mewujudkan impian kebahagiaan, Islam juga bukan agama yang melarang umatnya mengkonsumsi daging dari semua jenis hewan. Hanya binatang-binatang tertentu yang dilarang semisal babi. Harus diingat, bahwa pengharaman babi pada dasarnya untuk kebaikan manusia itu sendiri. Karena dalam daging babi tersimpan berbagai virus yang membahayakan manusia bila dikonsumsi. Bandingkan larangan makan daging dalam keyakinan lain.

Rasulullah pernah mengoreksi kesalahan beberapa sahabat yang berlebih-lebihan dalam bersikap. Hingga mengaburkan esensi perintah itu sendiri. Ketika ada seorang sahabat yang berniat untuk tidak menikah selamanya, Rasulullah mengatakan bahwa itu bukan cara yang baik. Rasulullah sendiri menikah. Padahal dia seorang nabi. Ketika ada sahabat yang berniat untuk tahajud sepanjang malam, Rasulullah juga tidak membenarkannya. Dalam diri kita ada bagian kebahagiaan istri-istri kita. Ketika ada seorang sahabat yang bertekad puasa sepanjang hari, Rasulullah juga tidak membenarkannya. Meski hakekat puasa itu baik, tapi bila melebihi batasan yang seharusnya.

Setelah beliau wafat dan umat Islam mulai bersinggungan dengan budaya dari luar Islam, misalnya, ajaran kerahiban, menganggap dunia adalah kotoran, dan menyiksa tubuh dengan mengahramkannya menikmati kelezatan dunia. Keyakinan seperti itu kian tumbuh subur di kalangan umat Islam.

Mereka beranggapan bahwa kehidupan dunia yang hangar bingar ini akan menyebabkan seseorang sulit memperoleh surga. Mereka menyiksa diri sendiri dengan cara banyak melakukan shalat, berpuasa terus menerus, mengharamakan makanan dan minuman yang enak-enak dan pakaian indah dan wewangian dengan dalih mendekatkan dırı kepada Allah. Mereka juga mengharamkan diri menikah, hidup membujang seumur hidup. Keyakinan yang tidak pernah dikenal dan diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Tidakkah mereka membaca sejarah tentang Rasulullah dan para sahabat yang mulia? Di manamereka adalah sebaik-baik generasi di mata Allah dan Rasul-Nya. Namun demikian mereka adalah generasi yang berprestasi dalam kehidupan dunia. Di antara mereka ada pedagang sukses, panglima perang tangguh yang disegani lawan maupun kawan, di samping juga ada ‘orang-orang biasa. Mereka juga pernah makan makanan yang lezat, memakai pakaian yang bagus, memakai wewangian, dan mereka juga menikah, yang dengan itu mereka membangun generasi tangguh.

Bukankah Islam membutuhkan orang-orang yang sehat, cerdas, kuat, dan mandiri, Semua itu tidak akan dapat tercapai kecuali dengan makanan dan minuman bergizi, pendidikan yang bermutu, sandang dan papan yang memadai. Apa jadinya jika umat Islam meninggalkan kehidupan dunia yang akhirnya dikuasai orang lain?

Secara khusus, Allah berfirman, “Dan carilah olehmu apa-apa yang telah Allah berikan kepadamu (yaitu) rumah akhirat (surga). Dan janganlah kamu lupa akan kehidupan duniamu. Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”

Jadi, sangat tidak berdasar keyakinan orang bahwa dunia akan menyebabkan manusia jauh dari surga. Justru jika kita bisa berprestasi dalam kehidupan dunia dan memanfaatkan karunia Allah untuk sebesar-besar maslahat manusia, kita akan memperoleh balasan yang tidak akan pernah diperoleh oleh ‘manusia-manusia biasa’ (yang menjauhi dunia dengan dalih dia serahkan hidup dan kehidupannya hanya kepada Allah). Sungguh, sebuah keyakinan yang sama sekali tidak benar. Dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.

“Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik? Katakanlah: “Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” (QS. Al-A’raf: 32)

Janji Allah kepada hamba-Nya yang beiman dan beramal shalih adalah kenikmatan surga yang tiada bandingnya. Balasan itu diberikan bagi mereka yang dekat kepada Allah dan paling bermanfaat kepada manusia lainnya.
Ghoib, Edisi 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN