Musim haji tahun ini (2004) kembali memakan korban. Ratusan jamaah haji meninggal ketika akan melempar jumrah di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah. 52 korban di antaranya berasal dari Indonesia. Salah satunya, adalah Budiman dan istrinya, Aida. Majalah Ghoib berkesempatan menemui salah seorang keluarga korban di Brebes, Jawa Tengah. Sebagai bentuk kebersamaan dan belasungkawa. Berikut penuturannya.
Sejak kecil Budiman temasuk anak yang berbakti kepada orang tua. Diapun lebih cepat dewasa, mungkin karena dia anak tertua dari 8 bersaudara. Kegemarannya dalam berolahraga membuat dia tumbuh atletis. Diapun banyak bergaul dengan masyarakat. Selepas SMA, Budiman melanjutkan ke UNINUS Bandung, di sana ia kenal dengan Ida Nur Aida, gadis asal Tasikmalaya yang kuliah di IAIN Bandung. Mereka pun menikah pada tahun 1987, walaupun pada saat itu mereka masih kuliah tingkat 4. Alasannya mereka tidak mau kuliah menghalangi mereka untuk menikah. Merekapun bertekad untuk tetap menyelesaikan kuliah, dan alhamdulillah terwujud.
Setelah tamat kuliah Budiman dan Aida sepakat untuk menetap di Brebes kota kelahiran Budiman, dengan harapan di Brebes mereka bisa hidup lebih baik. Apalagi kami sudah menyiapkan toko untuk dijadikan modal usaha. Rasanya diapun mewarisi bakat dagang orangtuanya.
Dari hasil perkawinannya lahirlah Rafa Fauzan pada tahun 1989 yang sekarang duduk di kelas 3 Tsanawiyah, dan Akmal Frinzani yang lahir tahun 1996 dan sekarang duduk di kelas 2 SD. Didikan Budiman dan Aida sangat berkesan di hati anak-anaknya, terutama bagi Rafa. Rafa sendiri mengaku sangat jarang dimarahi apalagi dipukul. Rafa ingat betul nasehat ayahnya suatu ketika bahwa belajar itu sangat penting sebab orang yang berharta tetapi tidak berilmu lebih hina dari pada orang yang miskin tapi berilmu. Orangtuanya hanya menasehatinya apabila bersalah. Hubungan anak orang tua semakin dekat karena Budiman sendiri termasuk humoris. Keluarga mereka pun harmonis.
Kehidupan spiritual Budiman juga lumayan bagus. Selain ibadah yang termasuk wajib diapun rajin melakukan ibadah sunnah. Shalat tahajud dan puasa Senin-Kamis serta shalat Dhuha termasuk yang jarang dia tinggalkan.
Usaha Budiman berupa toko elektronik juga semakin maju, apalagi usahanya dibantu sang istri. Hasilnya alhamdulillah bukan hanya untuk makan sehari-hari tapi sudah bisa membangun rumah untuk keluarga. Dia sedikit demi sedikit menabung dan mempersiapkan dirinya untuk menunaikan ibadah suci. Sampai akhirnya tahun 2004 ini terjadwal sebagai peserta jamaah haji.
Menjelang keberangkatan mereka, segala sesuatunya dipersiapkan. Tasyakuran menjelang keberangkatan haji pun digelar. Keluarga Aida dari Tasikmalaya diundang. Mereka pun bersedia datang bahkan 20 hari sebelum keberangkatan haji sanak saudara sudah berkumpul. Suasana suka cita dan kebahagiaan meliputi keluarga kami. Tidak ada tanda-tanda bahwa kebahagian ini akan menjadi kesedihan dan duka cita.
Dua hari sebelum masuk asrama haji, Akmal anaknya yang kedua tiba-tiba jatuh sakit. Badannya panas dan banyak muntah. Setiap makanan atau obat yang masuk dimuntahkan. kondisi ini membuat Aida sedikit sedih dan kasihan pada putranya. Namun Budiman mengingatkan istrinya bahwa anak itu selain amanah titipan Allah juga sebagai cobaan, kali ini jangan sampai anak kita menjadi penghalang kita untuk beribadah. Kalau anak itu memang mau diambil Allah sekarang juga nggak apa-apa, kita pun kalau mau diambil Allah sekarang juga nggak apa-apa.
Dan seakan merasa dirinya tidak akan balik lagi, Budiman dan istrinya berulang-ulang mengingatkan Rafa untuk menjaga adiknya dengan baik, “Nak, jaga adik. Jangan sering ditinggal. Kalau main ajak adikmu.” Mereka juga tak henti-hentinya menitipkan anak-anaknya kepada saya. Saya pun mencoba menguatkan tekadnya dan memintanya untuk menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Satu lagi keanehan pada diri anak saya Budiman yaitu menjelang naik bis yang akan membawanya ke asrama haji, ia kelihatan sangat berat meninggalkan kami. Teman-temannya yang lain sudah pada naik tapi dia sendiri masih saja mondar-mandir, gelisah dan seakan-akan mencari seseorang. Sewaktu ditanya ternyata dia mencari saya. Setelah saya temui Budiman langsung merangkul saya sambil menangis dan tak henti-hentinya meminta maaf kepada saya. Setelah merasa puas diapun naik ke bis lalu berangkat. Saya tidak menyangka itulah pertemuan terakhir saya dengannya.
Setelah keberangkatan mereka kami kembali beraktifitas sebagaimana biasa. Selama di tanah suci budiman pernah menghubungi kami di sini sekali via telepon. Dia mengabarkan kalau dia dan istrinya dalam keadaan sehat wal afiat.
Saat Nama Mereka Termasuk Dalam Deretan Korban Mina
Pada hari Senin tanggal 2 Februari 2004 yang bertepatan tanggal 11 Dzulhijjah 1424 H, kami dikejutkan oleh berita di TV bahwa telah terjadi musibah di Tanah Suci yang menimpa para jamaah haji yang sedang melaksanakan lempar jumrah di Mina. Ratusan orang dikabarkan meninggal. Saya langsung teringat anak saya yang sedang haji. Dengan perasaan deg-degan saya coba menghubungi adik saya dan anak saya untuk mencari informasi. Sampal akhirnya siaran TV mengumumkan nama-nama korban jamaah haji. Saya pun langsung lemes tak bertenaga sewaktu menyaksikan nama Budiman bin R Efendi dan Ida Nur Aida binti Oong asal Larangan, Brebes termasuk korban musibah ini.
Sementara itu keluarga yang lain ada yang sudah tahu dan ada yang belum tahu, Yang sudah tahu langsung kumpul di rumah saya dan menyampaikan duka cita. Kebenaran berita ini semakin diperkuat dengan datangnya utusan dari Bupati dan Departemen Agama Brebes yang membawa surat keterangan kematian serta ucapan belasungkawa dari Kakandepag, Bupati dan Gubernur Jawa Tengah.
Sejak saat itu suasana di rumah saya mendadak jadi ramai dengan sanak keluarga, tetangga dan rekan-rekan almarhum yang berdatangan mengungkapkan duka cita yang mendalam. Banyak di antara mereka yang tidak menyangka Budiman pergi begitu cepat.
Selain duka yang mendalam, kami juga kasihan melihat anak-anak almarhum terutama si bungsu Akmal yang masih kecil dan masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang tua. Teringat kembali saat-saat terakhir keberangkatan Budiman-Aida. Ternyata kejadian-kejadian aneh yang dilakukan dan diucapkan Budiman menandakan kalau ia akan pergi selama-lamanya. Teringat pula harapannya untuk menjadikan anaknya Rafa menjadi seorang kyai. Ini diwujudkan dengan menyekolahkan anaknya di pesantren. Klop juga, karena Rafa pun punya cita-cita yang sama dengan harapan ayahnya. Rafa bertekad untuk mewujudkan apa yang menjadi harapan ayahnya terhadap dirinya.
Kepergian Budiman dan istrinya tidak hanya meninggalkan rasa kehilangan bagi anaknya saja tetapi juga sanak keluarga dan teman-temannya yang lain. Adik bungsunya, Dewi, juga merasa sangat kehilangan. Budiman selama ini bukan saja sebagai kakak tapi juga sebagai pengganti bapaknya yang dua tahun lalu dipanggil Sang Khaliq. Budiman lah yang selama ini banyak memperhatikannya. Kalau pagi ia sering mengirimkan SMS untuknya sambil menanyakan kabarnya serta menggodanya. Inilah yang membuat dia merasa sangat kehilangan. Rasa kehilangan juga dirasakan Imas, menantu saya (adik ipar Budiman), dia merasa meski Budiman bukan kakak kandungnya tapi perhatian yang diberikan seperti kakak kandung sendiri. Belum lagi Aida yang menjadi tempat curhatnya atas masalah-masalahnya selama ini. Budiman pun kalau lagi punya uang lebih sering memberikan kepada keponakan-keponakannya atau membelikan mereka baju baru.
Kini setelah kepergian anak saya Budiman serta istrinya, saya meminta kepada besan saya (mertua anak saya) Masfurah yang juga nenek Rafa dan Akmal untuk tinggal di rumah almarhum sambil mengasuh dan mengurus cucu-cucunya, mengingat saya sendiri masih punya rumah sendiri dan punya tanggungan yang lain. Alhamdulillah Ibu Masfurah menyetujuinya.
Adapun untuk makan sehari-hari insya Allah cukup, baik dari hasil toko elektronik yang ditinggalkan almarhum maupun dari simpanan yang lain. Selain itu ahli waris almarhum dan almarhumah dijanjikan akan memperoleh klaim asuransi haji sebesar 2 kali ONH per jiwa, juga dari pemerintah Arab Saudi yang kabarnya akan menghadiahkan keberangkatan haji secara gratis untuk 3 orang ahli waris per jiwa pada musim haji mendatang. Jika semua ini terwujud mudah-mudahan bisa sedikit membantu dan menghibur ahli waris yang ditinggalkan.
Saya sendiri sebagai ibu almarhum, selain sedih dengan dengan kepergian anak yang saya cintai terselip rasa bangga dan bersyukur karena anak saya menemui Khaliqnya dalam keadaan berhaji yang semoga berarti khusnul khatimah. Semoga kelak kami semua dikumpulkan dalam surga-Nya. Aamiin…
Sebagaimana dituturkan Ibu Masturoh dan keluarga kepada Hasri Hasan dari Majalah Ghoib, di rumahnya, Brebes Jawa Tengah, Tahun 2004.
Ghoib, Edisi No. 13 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M