Sebagian orang muslim yang suka bertapa atau bersemadi di tempat-tempat yang sunyi, terpencil atau yang beraroma keramat dan angker, atau tempat yang jauh dari keramaian dan kebisingan, mendasarkan perbuatan mereka atas perbuatan yang pernah dilakukan Rasulullah SAW. bahwa Rasulullah SAW. semasa hidupnya juga suka bertapa di goa Hiro’.
Dan ada juga yang mendasarkan ritual bertapa yang dilakukan pada pertapaan yang telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga sebagaimana yang ditayangkan di sinetron dan film-film walisongo, atau tertulis dalam buku-buku yang bercerita tentang sejarah kehidupan walisongo. Yang katanya ia bertapa di pinggir kali dengan menunggui tongkat gurunya (Sunan Bonang) samapai berlumut. Padahal ceriata belum tentu benar adanya, atau sekadar bumbu cerita. Dan seandainya ceriat itu benar adanya, maka apa yang dilakukan Sunan Kalijaga saat itu tidak bisa kita jadikan sebagai dalil bahwa bertapa adalah ibadah. Karena dia bukanlah nabi atau rasul yang ma’shum.
Sebetulnya apa yang dilakukan Rasulullah SAW. di goa Hiro’ itu secara bahasa bisa dikatakan sebagai bertapa atau I’tikaf. Karena bilau berdiam diri di suatu tempat dan menjauhi serta memutuskan hubungan denga hal yang sifatnya duniawi. Tapi ada yang beliau lakukan tidak sama dengan pemahaman bertapa yang dilakukan sebagian ummat muslim dewasa ini. Berdiam diri di suatu tempat, baca mantra tertentu dan minta kekuatan dan kesaktian kepada penghuni tempat tersebut.
Rasulullah SAW. pergi ke goa Hiro’ itu untuk menyendiri, menjauhi hiruk-pikuk kejahiliyahan, lalu melakukan ibadah di sana dengan cara ibadah yang telah disyari’atkan kepada Nabi lbrahim. Dan itu pun beliau mulai sejak mendapatkan wahyu melalui mimpi-mimpi yang benar. Beliau tidaklah bermimpi pada malam hari, kecuali pagi harinya terbukti apa yang beliau mimpikan tersebut.
Keterangan seperti itu telah disampaikan Aisyah melalui beberapa hadits yang telah dibukukan para ulama’ hadits. Di antaranya, Aisyah berkata, “Pertama kali Rasulullah SAW. menerima wahyu adalah melalui mimpi-mimpi yang benar dalam tidurnya. Tidaklah beliau bermimpi kecuali paginya terbukti kebenarannya. Setelah itu beliau suka menyendiri. Beliau berkhalwat di goa Hiro’ seraya berbekal secukupnya, dan beribadah di dalamnya selama beberapa hari. Lalu kebbali ke keluarganya (rumah Khadijah), kemudian pergi ke goa Hiro’ lagi seraya membawa bekal secukupnya. Hal itu terus beliau lakukan sampai beliau didatangi Malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu kepabnya …”. (HR. Bukhari, no. 2 dan 3).
lmam al-Baihaqi meriwayatkan bahwa beliau mengalami mimpi-mimpi kenabian itu selama 6 bulan lamanya, tepatnya dimulai pada bulan Rabi’ul awwal setelah umur beliau genap 40 tahun. Setelah itu, pada bulan Ramadhan dalam tahun tersebut, beliau baru mulai didatangi malaikat Jibril (di goa Hiro’) untuk menerima wahyu yang pertama dari Allah. (Kitab Fathul Bari: 1/27 dan Kitab ar-Rahiqul Makhtum: 66).
Dan semenjak beliau diangkat menjadi rasul, tidak ada satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa beliau masih melakukan khalwat atau menyendiri dan mengasingkan diri dari komunitas para shahabatnya. Seakan-akan beliau telah memberitahukan kepada kita bahwa khalwat itu telah diganti dengan I’tikaf, sebagaimana yang beliau lakukan setiap sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, atau pada hari dan momentum lainnya. Selamat tinggal bertapa dan selamat datang I’tikaf.
Dan pembahasan kita tentang topik ini adalah dalam prespektif agama lslam, bukan agama lainnya. Karena petunjuk kita adalah lslam, yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan ini adalah bahan introspeksi intern bagi kita ummat lslam. Karena masih banyaknya saudara-saudara kita yang masih menggandrungi lelaku bertapa, dan menjadikannya sebagai bagian dari ritual dalam hidupnya.
Persamaan Antara Bertapa Dan Beri’tikaf
Secara bahasa, I’tikaf itu artinya berdiam diri, menempati suatu tempat untuk kebaikan atau keburukan. Karena dalam susunan redaksi ayat al-Qur’an, Allah juga menggunakan kata I’tikaf saat menjelaskan bahwa orang-orang kafir suka berdiam diri di depan patung-patung untuk menyembahnya.
Allah SWT. berfirman menceritakan sikap kaum nabi Musa yang tercela, “Dan Kami seberangkan Bani lsrail ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang (berdiam diri) tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. (QS. al-A’raf: 138).
Dan Allah juga menceritakan dalam surat yang lain tentang kemungkaran kaumnya Nabi lbrahim yang suka beri’tikaf di depan patung-patung untuk melakukan peribadatan, “(lngatlah), ketika lbrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu berdiam diri (tekun) beribadah kepada-nya?” (QS. al-Anbiya’: 52).
Begitu juga dalam surat lainnya, Allah menggunakan bahasa I’tikaf bagi orang-orang yang berdiam diri di masjid untuk menyembah dan menghambakan diri kepada-Nya, “… (tetapi) Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya…”. (QS. al-Baqarah: 187).
Sehingga bisa kita simpulkan bahwa secara bahasa, beri’tikaf dan bertapa itu secara bahasa mempunyai kesamaan. Sebagai sarana untuk menyembah kepada Allah dan juga untuk menyembah kepada selain Allah. Orang yang bertapa di tempat tertentu untuk memohon kekuatan dan petunjuk syetan, secara bahasa juga bisa disebut dengan I’tikaf. tapi bila ditinjau dari kacamata syari’at lslam, antara keduanya tentu jauh berbeda.
Adapun sisi-sisi kesamaan antara bertapa dan beri’tikaf, di antaranya adalah.
- Menempati tempat tertentu
Orang yang beri’tikaf sama dengan orang yang bertapa, yaitu menempati tempat-tempat tertentu alias bukan sembarang tempat. Meskipun obyek tempat yang dituju oleh orang yang ber’itikaf dan yang bertapa berbeda. Orang yang beri’tikaf tempat yang dituju adalah masjid-masjid. Sedangkan orang yang bertapa, biasanya adalah tempat-tempat yang sunyi, jauh dari keramian atau terpencil. Atau tempat-tempat yang dianggap keramat atau wingit.
- Memutuskan hubungan duniawi
Orang yang beri’tikaf dan yang bertapa dianjurkan untuk memutuskan hubungan yang sifatnya duniawi untuk sementara waktu. Meskipun dalam hal ini, pantangan bagi orang yang bertapa lebih ekstrim. Sampai-sampai mereka tidak memperhatikan lagi kondisi badannya. Tidak mandi, bahkan ada yang tidak bergerak sama sekali. Jangankan untuk mencuci baju atau memotong rambutnya, untuk makan dan minum saja mereka tidak mempedulikannya lagi. Dan hal itu berbeda dengan orang yang beri’tikaf.
- Disibukkan dengan ibadah tertentu
Orang yang beri’tikaf dan bertapa sama-sama menyibukkan diri dengan ibadah tertentu. Mereka konsentrasi penuh untuk mendekatkan diri kepada yang selama ini diyakini mampu untuk melindungi dirinya atau memberi kekuatan lebih baginya. Dan tidak semua jenis ibadah boleh dilakukan orang yang sedang beri’tikaf, sebagaimana hal itu juga berlaku bagi orang yang sedang bertapa.
- Mendekatkan diri kepada yang di atas
Orang yang beri’tikaf dan yang bertapa sama-sama mempunyai tujuan, yaitu mendekatkan diri mereka kepada yang di atas. Walaupun yang dimakud dengan yang di atas di sini berbeda-beda, tergantung keyakinan. dan agama masing-masing. Bagi orang islam yang melakukan I’tikaf, tujuannya sangat jelas sekali, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Kalau ada orang yang beri’tikaf dan tujuannya Selain dari itu, berarti ada penyimpangan tujuan dalam ibadahnya.
- Mencari ketenangan batin
Termasuk sasaran yang dibidik orang yang beri’tikaf dan yang bertapa adalah mencari ketenangan batin. Mereka berusaha untuk mengistirahatkan pikiran dan jiwa mereka dari beban-beban dunia dan tugas-tugas harian yang melelahkan. Mereka berusaha untuk rehat dan relakasi ruhani serta mengevaluasi diri. Menguatkan ruhani dan batin serta menjauhkan diri dari dunia untuk sementara waktu.
- Mengevaluasi diri
Banyak orang yang bertapa di tempat yang sunyi dan sepi dan menjadikannya sebagai sarana evaluasi diri. Entah karena sering mengalami kegagalan dalam hidupnya, sering menjumpai kesialan dalam kesehariannya, atau sering menderita berbagai macam penyakit dan malapetaka lainnya. Dengan bertapa, mereka berusaha mengevaluasi perialanan hidupnya selama ini. Begitu juga orang yang beri’tikaf
- Membersihkan kesalahan dan dosa
Di antara tujuan orang yang bertapa adalah membersihkan kotoran diri yang selama ini mereka lakukan. Mereka ingin mensucikan diri dan meningkatkan kualitas ruhani, agar keinginan yang diharapkan bisa terkabul. Begitu juga orang yang beri’tikaf, mereka berharap dengan ibadah-ibadah yang dilaksanakan pada saat I’tikaf tersebut bisa melebur dosa dan kesalahan yang ada. Allah berfirman, “… Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk …”. (QS. Hud: 114).
Ghoib Ruqyah Syar’iyyah
Sumber : Majalah Ghoib Edisi 72/4