Antara Tawakkal dan Usaha

Menurut Imam al- Jurjani, Tawakkal adalah yakin dan percaya atas apa yang ada di sisi Allah, dan putus asa atas apa yang ada di tangan manusia, (Kitab at-Ta’rifat: 74). Sedangkan Muhammad bin ‘Alan ash Shiddiqi, penulis kitab penjelasan Kitab Riyodhus Sholihin, ia mendefinisikan Tawakkal yaitu membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah, dan menyerahkan keputusan dan apa yang akan terjadi kepada-Nya. (Kitob Dalilul Falihin: 1/256).

Imam Ahmad pernah ditanya tentang Tawakkal, la menjawab, “Tawakkal adalah memutuskan harapan kepada makhluk. Saat ia ditanya tentang dalil dari jawabannya, ia menjawab, “Apa yang dikatakan Nabi Ibrahim saat mau dilemparkan ke tumpukan bara api kepada Malaikat Jibril yang mendatanginya. Waktu Malaikat Jibril bertanya, ‘Apakah kamu membutuhkannku!” Nabi Ibrahim menjawab, Bila kepadamu, aku tidak membutuh kan. (Kitab Jami ul Ulum wal Hikam: 1/440).

Sedangkan seorang ulama’ besar yang bernama al-Marizi berkata, “Abu Abdillah telah ditanya tentang hakikat tawakkal. la menjawab, “Hendaklah seseorang bertawakkal kepada Allah dan tidak ada dalam hatinya (ketergantungan) kepada manusia untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Apa bila kondisi hati seseorang seperti itu, maka Allah-lah yang memberinya rizki. Dan itulah yang dinamakan orang yang bertawakkal (Kitab Jami’ul “Ulum wal Hikam: 1/439).

Seorang ulama terkemuka yang bernama Sahal bin Sulaiman berkata, “Tawakkal adalah hendaknya tidak terlintas dalam hatimu yang bisa menolong atau membahayakan selain Allah. Dan hendaknya kamu rela menerima hasil apa saja yang kamu dapatkan, dan hatimu tidak resah karenanya.” ( Kitab Syu’abul Iman: 2/ 100).

Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mempunyai definisi Tawakkal lebih sederhana dan mudah dipahami. Menurutnya Tawakkal adalah bersandar kepada Allah dalam meraih sesuatu atau untuk menolak bahaya, dengan melaksanakan sebab-sebab yang diperboleh kan. (Kitab al-Qaulul Mufid: 21 185).

 

KAITAN TAWAKKAL DAN USAHA

Lalu apa kaitannya antara tawakkal dengan usaha. Apakah tawakkal menghalangi pelaku nya untuk berusaha, menyiapkan diri untuk melakukan sesuatu, menghitung faktor yang bisa menyebabkan keinginannya itu gagal diwujudkan, atau menyiapkan langkah- langkah untuk meraih kesuksesan, membuat planing dan merencanakannya dengan cermat agar lebih sukses. Apakah itu tidak boleh dilakukan oleh orang yang bertawakkal kepada Allah dalam segala urusannya?

Tawakkal adalah salah satu dari prilaku yang harus dimiliki oleh seorang mukmin Allah memerintahkan semua hamba- Nya agar bertawakkal kepada- Nya. Dalam kitab-Nya, Allah berfirman, “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar- benar orang yang beriman.” (QS al-Maidah 23). Dan di ayat lain, (Dialah) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal kepada Allah semata.” (QS. at-Taghabun: 13).

Begitu juga berusaha untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, itu juga merupakan perintah Allah. Untuk mendapat kan penghasilan. Allah menyuruh kita untuk bekerja, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10).

Jika kita ingin menang dalam menghadapi musuh. Kita disuruh Allah untuk berusaha menyiapkan diri dengan baik, melengkapi dengan segala hal yang diperlukan. “Dan siap kanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, dan dari kuda- kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu, dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. al- Anfal: 60).

Dan dalam ayat lain, Allah menyerukan kita agar kita aktif untuk bekerja dan berkarya, “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (QS. at-Taubah: 105). Dia ayat lain, “Katakanlah, Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu. Sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zhalim tidak akan mendapat keberuntungan.” (QS. al-An’am: 135).

Rasulullah juga memerintahkan umatnya untuk mengambil langkah antisipasi dalam menghindari suatu bahaya yang ada. Beliau menyerukan kita untuk melakukan tindakan preventif guna menghindari bahaya dan bencana yang tidak kita inginkan. Di waktu malam, sebelum tidur misalnya. Kita disuruh untuk mematikan lampu (lampu yang bukan bohlam atau lampu listrik), untuk menghindari kebakaran. Entah itu akibat ulah jahil manusia atau binatang melata, seperti tikus dan yang sejenisnya.

Rasulullah bersabda dalam haditsnya, “Matikanlah lampu lampu di waktu malam sebelum kamu tidur. Ikatlah pundi-pundi air, dan tutuplah tempat makanan dan minuman.” (HR. Bukhari). Itu semua merupakan usaha yang diperintahkan oleh Rasulullah, penutup para nabi dan rasul.

Tawakkal dan usaha adalah dua hal yang diperintahkan oleh Allah. Melaksanakan dan merealisasikannya keduanya adalah bagian dari ibadah. Keduanya tidak bisa dipisah pisahkan. Barangsiapa yang tidak bertawakkal, berarti ia melanggar perintah Allah. Dan barangsiapa yang tidak mau berusaha, berarti ia juga melanggar seruan Allah. Tawakkal dan usaha adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan satu sama lain.

 

HUKUM SEBAB-AKIBAT

Islam memerintahkan ke pada pemeluknya untuk mengikuti sunnatullah, termasuk dalam hukum sebab-akibat. Segala daya dan upaya harus dilakukan untuk memperoleh apa yang diinginkan, atau menolak segala hal yang ditakuti atau dikhawatirkan, selama sebab-sebab itu dibolehkan oleh syari’at Islam. Apalagi kalau syari’at justru memerintahkan untuk melakukan sebab-sebab tersebut.

Allah telah menjadikan api sebagai penyebab adanya kebakaran. Dia telah menjadikan makan sebagai sebab kenyang, atau minum sebagai sebab hilangnya dahaga. Dia telah menjadikan maksiat dan dosa sebagai sebab datangnya murka dan adzab-Nya. Dia telah menjadikan adanya air sebagai penyebab adanya kehidupan atau tumbuhnya tanaman.

Walaupun kita tidak menutup mata, bahwa ada juga peristiwa atau kejadian yang terjadi atau muncul dan tidak selaras dengan sebab yang ada. Seperti adanya Adam dan Hawa tanpa adanya hubungan laki-laki dan perempuan, dinginnya api yang membara sehingga tidak mampu membakar dan menghanguskan jasad Nabi Ibrahim. Dan kejadian-kejadian lainnya.

Simaklah petunjuk Allah kepada hamba-Nya. Walaupun dalam keadaan shalat, kalau kondisinya genting, tengah berkecamuk perang antara kita dengan musuh, kita diperintahkan untuk membawa senjata. Tidak karena kita dalam kondisi ibadah (shalat), lalu kita pasrah begitu saja akan keselamatan hidup kita kepada Allah. Sebelum hal itu kita lakukan, kita harus melakukan sebab-sebab yang sanggup kita kerjakan.

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama- sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh), dan hendaklah datang segolongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalat bersamamu, dan hendaklah mereka bersiap siaga seraya menyandang senjata. Orang- orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus…” (QS an-Nisa’: (02)

Dalam keadaan shalat, seorang hamba posisinya sangat dekat dengan Allah. Tapi meskipun begitu, kita masih tetap disuruh oleh Allah untuk bersiap siaga, menyiapkan segala sesuatunya untuk mengantisipasi datangnya hal- hal yang tak terduga atau tiba-tiba. Apalagi dalam kondisi yang aman, dan tidak dalam keadaan shalat. Maka usaha harus tetap kita lakukan untuk menyertai tawakkal yang ada.

Seorang ulama’ yang bernama Sahal at-Tusturi berkata, “Barangsiapa yang mencela orang yang berusaha untuk memperoleh sesuatu, maka ia telah mencela sunnah. Dan barangsiapa tercela tawakkalnya, berarti ia tercela imannya. Tawakkal adalah kondisi dan sikap Rasulullah, sedangkan berusaha adalah sunnah (perintahnya). Barangsiapa yang ingin menelusuri jejaknya, maka janganlah meninggalkan sunnahnya.” (Kitab Jami’ul Ulum wal Hikam: 1/437).

Rasulullah adalah figur ideal sebagai sosok yang bertawakkal kepada Allah, dan beliau tidak meninggalkan sebab-sebab yang ada. Ketika beliau bepergian, beliau menyiapkan diri dan membawa bekal. Ketika mau berangkat ke medan Perang Uhud, beliau memakai dua baju besi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud. Ketika beliau mau hijrah ke Madinah, beliau membawa guide sebagai penunjuk jalan sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari. (Kitab al-Qoulul Mufid: 2/188).

Itulah bentuk dan praktik tawakkal yang proporsional, yang harus dimiliki oleh seorang mukmin, agar tidak terjadi kepincangan dan ketimpangan. Kita melakukan segala macam usaha yang halal untuk mendapatkan yang kita inginkan, karena hal itu bagian dari pelaksanaan perintah Allah . Walaupun tidak semua berusaha yang kita lakukan akan menghasilkan atau sukses. Dan kita juga bertawakkal kepada Allah, karena Dialah yang menentukan segala sesuatunya.

 

BILA TAWAKKAL TANPA USAHA

Apa jadinya bila tawakkal tanpa didahului oleh usaha yang memadai atau maksimal? Apakah tawakkal seperti itu dibenarkan? Betapa banyak orang yang enggan untuk berusaha bekerja atau mencari rizki, lalu kondisi perekonomiannya memburuk, kesehatannya terganggu, keluarga yang menjadi tanggungjawabnya terlantar. Akhirnya ia menjadi beban orang lain, atau mengharapkan bantuan dan uluran tangan saudara-saudaranya yang ada di sekitarnya.

‘Imran bin Hushain berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah sudah diketahui (ditentukan) mana yang ahli surga dan mana yang ahli neraka? Rasulullah menjawab, “Ya” la bertanya lagi, Kalau begitu untuk apa orang repot-repot berusaha? Rasulullah berkata, “Berusahalah kalian, setiap kalian akan dimudahkan ke arah mana ia diciptakan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Walaupun begitu, kita tidak boleh bila hanya bertopang kepada usaha yang kita lakukan. Karena hidup kita ini ada yang mengatur dan menentukan. Orang yang hanya mengandalkan usahanya saja, biasanya ia akan sombong bila usahanya itu membuahkan hasil. Dan ia akan mudah putus asa, bila usaha yang dilakukan itu gagal atau kandas di tengah jalan. Oleh karena itulah Allah berpesan. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah…” (QS. Ali Imran. 159).

Syekh al-‘Utsaimin berkata, “Barangsiapa yang bersandarnya kepada sebab lebih dominan, maka tawakkalnya kepada Allah telah berkurang. Berarti ia kurang percaya kepada kekuasaan Allah, karena ia menjadikan sebab sebagai faktor utama untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau menolak apa yang dikhawatirkan. Dan barangsiapa yang bersandarnya kepada Allah semata, tanpa mempedulikan sebab-sebab yang ada, maka ia telah mengingkari bagian yang telah ditentukan Allah. Karena Allah telah menjadikan sebab atas segala sesuatu. Seperti orang yang ingin mendapatkan anak, lalu hanya mengharapkan terwujudnya keinginan itu kepada Allah, dan dia sendiri tidak mau menikah.” (Kitab al- Qaulul Mufid: 2/188).

Tawakkal bagi seorang mukmin adalah suatu keharusan, dan berusaha bagi seorang mukmin adalah suatu perintah. Selagi kita mampu untuk melakukannya, maka hendaklah kita tidak meninggalkannya. Dan bagi yang sudah tidak mampu, karena sakit, sudah renta dan lemah tenaganya atau halangan lainnya, janganlah putus asa. Karena selagi kita masih hidup, rizki yang telah ditentukan oleh Allah untuk kita pasti akan sampai kepada kita, meskipun tanpa usaha yang berarti di mata manusia.

Rasulullah bersabda. “Sesungguhnya rizki itu akan mendatangi seorang hamba, sebagaimana ajal mendatanginya.” (HR. al-Bazzar dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya Al-Haitsami berkata, “Rijalnya terpercaya”) Dalam riwayat lain, “Janganlah terburu nafsu dalam mencari rizki, Karena tidak akan mati seorang hamba sampai akhir rizki yang telah ditentukan untuknya mendatanginya (ia dapatkan). Maka dari itu, pilihlah cara yang baik dalam berusaha mencari rizki. Dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Hibban dan al- hakim, serta disahihkan adz- Dzahabi dan al-Albani).

Dan yang terakhir, marilah kita simak sikap Umar bin Khatthab terhadap orang yang tawakkal tanpa dibarengi dengan usaha. Pada masa kekhilafahannya, ada sekelompok orang datang dari Yaman untuk pergi haji tanpa membawa bekal. Umar menghampiri mereka dan bertanya kenapa mereka tidak membawa bekal. Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah”. Umar menimpali, “Kalian bukan bertawakkal kepada Allah, tapi kalian pasrah secara salah (Mutawakilun).” (Kitab al- Qaulul Mufid: 2/189).

Kalau begitu, Tawakkal…?. harus…! Berusaha…?, perlu itu…!.
Ghoib, Edisi No. 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN