Sorang ibu yang sudah tua dan buta, hari itu mendengarkan keluhan anaknya. Kata-kata sang anak jelas menggambarkan suasana rasa takut yang sedang menyelimuti hati anaknya. Sang ibupun bisa merasakannya, walau matanya tak lagi bisa melihat, lbu yang dimaksud adalah Asma putri Abu Bakar dan putranya adalah Abdullah bin Zubair. Dialog itu terjadi ketika Abdullah bin Zubair dikepung pasukan Hajjaj di Mekah. Dialog yang harus menjadi pelajaran untuk keluarga muslim, terutama para ibu. Berikut dialog itu:
Abdullah: “Bunda, orang-orang merendahkanku termasuk anak dan keluargaku, tidak ada yang tinggal bersama kecuali sedikit saja dari mereka yang kesabarannya hanya sesaat dan mereka yang memberiku kesenangan dunia. Apa pendapatmu, bunda?.”
Asma’: “Kamu lebih tahu tentang dirimu sendiri. Kalau kamu yakin berada dalam kebenaran dan menyeru kepadanya maka lanjutkan, teman-temanmu telah terbunuh karenanya maka jangan memberi kesempatan untuk dipermainkan oleh anak-anak Bani Umayyah. Tetapi jika kamu hanya ingin dunia, maka kamu seburuk-buruk hamba, kamu hancurkan dirimu dan siapa saja yang telah terbunuh bersamamu, Jika kamu katakan bahwa kamu berada dalam kebenaran, ketika teman-temanku lemah aku pun menjadi lemah, maka itu bukanlah perbuatan orang-orang merdeka dan ahli agama. Berapa lama kamu berada di dunia ini! Terbunuh lebih baik!.”
Abdullah: “Bunda, saya takut jika penduduk Syam membunuhku mereka akan memutilasi mayatku dan menyalibku.”
Asma’: “Anakku, seekor kambing tidak lagi merasakan sakit dikuliti setelah disembelih. Maka bergeraklah di atas petunjuk dan memohonlah pertolongan kepada Allah.”
Abdullah mencium kepala ibunya dan berkata: “lnilah pendapatku, yang selama ini aku pegang kuat sampai hari ini adalah ketidakinginan untuk tinggal dan mencintai kehidupan dunia. Tidak ada yang mendorongku mengadakan perlawanan kecuali kemarahan karena Allah. Aku ingin mengetahui pendapat bunda dan sungguh bunda telah menambahi jalan terang. Maka bunda, hari ini mungkin aku akan terbunuh, jangan sampai kesedihanmu berlebihan dan serahkan seluruh urusan kepada Allah. Putramu ini belum pernah sengaja melakukan kemungkaran dan kekejian, tidak lari dari hukum Allah, tidak khianat saat aman, tidak sengaja mendzalimi seorang muslim atau non muslim yang damai, tidaklah aku mendengar ada kedzaliman yang dilakukan oleh para pejabatku kecuaii pasti aku menghilangkannya, tidak ada yang paling aku dahulukan kecuali keridhaan tuhanku. Ya Allah aku tidak mengatakan ini untuk menyatakan bahwa diriku bersih,
tetapi aku katakan ini untuk menghibur bundaku hingga beliau terhibur!.”
Asma’: “Cukuplah, aku berharap kehilanganku atas dirimu sangat baik. Jika kamu mendahuluiku aku mohon pahala dari Allah, jika kamu menang aku bahagia dengan kemenanganmu. Keluarlah, agar aku lihat apa akhir dari urusanmu.”
Abdullah: “Jazakallahu khairan, jangan lupa berdoa untukku.”
Asma’: “Aku tidak akan pernah lupa selamanya. Ya Allah rahmatilah shalat pada malam panjang itu, menahan dahaga di teriknya Mekah dan Madinah dan baktinya kepada ayah bundanya! Ya Allah aku sudah serahkan kepada-Mu, aku ridha dengan keputusan-Mu, maka berilah aku pahala orang-orang yang sabar dan bersyukur!”
Abdullah mengambil kedua tangan bundanya dan menciumnya.
Asma’ memeluknya dan menciumnya.
Hari ini, memang tidak mudah mencari seorang ibu yang mendidik anaknya dengan cara pandang akhirat. Yang melahirkan seorang Abdullah dengan kekuatan jiwa dan orientasi jauh ke surga sana.
Budi Ashari, Lc