“BEKAL KELUARGA HARMONIS ADALAH TAQWA”

Muhmmad Ihsan Tanjung terlahir dalam keluarga yang berlatarbelakang diplomat. Karenanya, anak pasangan Zainal Arifin Tanjung dan Zuhana Nasution ini bercita-cita ingin menjadi diplomat seperti orang tuanya. Kini, ia lebih dikenal sebagai seorang Muballigh dan Da’i senior yang banyak memberikan ceramah agama di berbagai seminar dan diskusi. Di tengah kesibukannya tersebut, Majalah Ghoib mewawancarainya mengenai keluarga sakinah. Berikut petikannya.

 

Bisa Anda jelaskan bagaimana sebenarnya gambaran rumah tangga harmonis yang bisa disebut keluarga ‘baiti jannati’?

Rumah tangga yang bisa disebut keluarga baiti jannati adalah yang semua anggota keluarganya, baik ayah-ibu dan anak-anak merasa kerasan di dalam rumahnya. Itulah hakikat sakinah. Keluarga sakinah bisa kita dikaitkan dengan tempat tinggal, dalam bahasa Inggrisnya disebut Home. Bagi sebuah keluarga sakinah, yang terpenting bukan hanya dilihat dari bangunan fisik rumah tersebut, tetapi mereka punya tempat tinggal yang nyaman.

Karena kalau orang punya home, akan mengakibatkan betah dan kerasan berada di lingkungan keluarganya. Kalau yang diperhatikan hanya sekadar bangunan fisik, belum tentu bisa betah dan kerasan di dalamnya. Dalam bahasa Inggris dikatakan village home-merasa kerasan di dalam rumahnya sendiri. Kalau penghuni rumah tersebut pergi jauh meninggalkan keluarga dan tempat tinggalnya. Maka akan muncul rasa rindu dan kangen ingin segera kembali berkumpul bersama anggota keluarganya di rumah. Itu di antara ciri-ciri sebuah keluarga sakinah.

 

Faktor apa yang membuat sebuah keluarga itu atau orang-orang yang berada di dalamnya kemudian rindu akan rumahnya?

Faktornya adalah seberapa jauh keluarga itu menjadikan hubungan taqarrub kepada Allah manjadi pengikat utamanya. Jadi tidak mungkin bisa merasakan sakinah bila kita mencari pengikat selain kepada Allah. Sakinah hanya muncul bila setiap anggota rumahtangga menjadikan Allah sebagai faktor perekat diantara mereka. Apabila mereka berusaha mencari faktor perekat lain entah itu harta, jabatan atau popularitas. Sesungguhnya itu tidak akan menimbulkan rasa sakinah yang hakiki.

Dalam ayat al-Qur’an surat az-Zukhruf ayat ke-67, Allah menjelaskan: “Para sahabat karib sewaktu di dunia, kelak di hari berbangkit nanti sebahagian menjadi musuh bagi sebahagian yang lain kecuali orang yang bertakwa.” Jadi ketakwaan itu adalah faktor perekat utama kebahagian keluarga, faktor perekat ini muncul bukan hanya di dunia tetapi sampai dikehidupan lainnya. Tetapi ketika orang bersahabat karib dan saling bercinta dengan alasan selain ketakwaan. Jangan kaget di dunia kelihatan akrab enjoy dan happy. Begitu sampai di hari berbangkit, tahu-tahu saling menyalahkan, saling memusuhi karena memang ikatan mereka rapuh bukan ikatan yang menimbulkan ketentraman satu sama lain secara hakiki. Ikatan inilah yang menjadikan sebuah keluarga saling merasakan kerinduan.

 

Secara teknis bekal takwa tadi atau lebih dekat kepada Allah dalam sebuah rumah tangga bagaimana implementasinya?

Implementasinya adalah seperti disebutkan dalam sebuah hadits “Ada tiga hal bila ada pada diri seseorang dia akan merasakan lezat dan manisnya iman. Pertama, ketika Allah dan Rasulnya lebih dicintai daripada apapun dan siapapun di muka bumi ini. Kedua; Mencintai seseorang tidak lain karena Allah. Ketiga; Ketika seseorang benci kembali kepada kekafiran seperti bencinya dia dijerumuskan ke dalam api neraka.” Ini harus kita coba perjuangkan di dalam keluarga kita masing-masing. Bagaimana dalam keluarga kita, Allah dan Rasulnya menjadi pihak yang dicintai oleh semua anggota keluarga lebih daripada yang lainnya.

 

Dalam hal ini, kalau kita menyatakan cinta kepada Allah di atas segala-galanya, adakah hal-hal yang harus kita dipenuhi?

Pertama, kewajiban-kewajiban dari Allah harus kita penuhi. Apa itu? Yaitu rukun Islam yang lima. Coba diperjuangkan supaya dalam rumah tangga terwujud kegemaran menjalankan kewajiban perintah Allah seperti shalat lima waktu. Apalagi kalau anggota keluarga terutama kaum prianya sudah sampai pada tahap meyakini bahwa shalat lima waktu itu perlu dikerjakan di masjid secara berjamaah dan tepat waktu. Itu akan menyebabkan terjadinya gairah cinta satu sama lain karena Allah.

Lebih dari itu, jika yang wanitanya/isterinya bisa memenej urusan rumah tangga sehingga juga bisa pergi sholat ke masjid. Walaupun dalam hadits diterangkan “Jangan larang kaum wanita kalian pergi ke masjid” Artinya beda dengan kaum pria. Kalau kaum pria dianjurkan pergi ke masjid sedangkan kaum wanitanya bukan dianjurkan tetapi kalau mereka bisa mengelola urusan- urusan di rumah mereka mau ke masjid jangan dihalangi. Ideal sekali kalau sampai bisa seluruh anggota rumah tangga secara optimal shalat lima waktunya di masjid.

Begitu juga dengan zakat, infak dan shadaqah. Hal tersebut menjadi hal yang mewarnai kehidupan rumah tangga itu. Apalagi kalau kita lihat ada hadits nabi yang menjelaskan bahwa setiap pagi ada dua malaikat yang mendoakan yang kedua doanya berbeda untuk hamba Allah. Yang pertama: “Ya Allah lapangkan rejeki hamba-Mu yang pagi-pagi berinfak.” Yang satunya lagi berdoa: “Ya Allah persulit hamba- Mu yang pagi-pagi tidak bershadaqah serta berinfak.

Kedua, dalam kaitan menumbuhkan cinta kepada Allah seorang muslim dalam berumah tangganya harus mementingkan interaksinya dengan al qur’an. Jadi bagaimana dalam keluarga tersebut bisa berinteraksi dengan al-Qur’an secara baik.

Ketiga, kalau kita mau dicintai dan mencintai Allah lebih dari segala-galanya, kita harus menghidupkan budaya dzikir. Keluarga yang baik adalah keluarga yang budaya dzikir itu dihidupkan. Dzikrullah. Bahkan dzikir dengan membaca ma’tsurat dipagi dan disore itu coba dibudayakan dan dihidupkan bersama dalam keluarga. Sehingga mereka terbiasa sejak dari kecil wirid-wirid yang membasahi lisan. Maka kalau kita temukan rumahtangga kita tidak menghidupkan dzikrullah, jangan heran kalau sering terjadi kesurupan masal dan lain sebagainya. Karena membiarkan hati dan pikiran ini kosong dari mengingat Allah. Keempat, menghidupkan setelah yang wajib adalah yang sunnah. Pastikan bahwa kita memang terbiasa shalat malam. Kita terbiasa shalat ba’diah dan qobliyah. Shalat dhuha. Shalat dhuha kata Nabi adalah shalat yang menyebabkan Allah memandang seluruh anggota tubuh kita ibaratnya telah memenuhi hak dzikirnya.

 

Bagaimana seharusnya hubungan anak dan orangtua dalam sebuah keluarga?

Mengenai hubungan anak dan orangtua. Saya tertarik dengan ungkapan Ali bin Abi Thalib ra. Yang memberikan tiga katagori tahap pendidikan anak. Ali mengatakan terhadap anak yang masih kecil sampai usia 7 tahun (0-7 tahun) ajaklah mereka bermain. Sedangkan 7-14 tahun tanamkan adab-adab, regulasi-regulasi pendisiplinan. Sedangkan 14 tahun ke atas jadilah sahabat mitra mereka, dalam berdialog, berdiskusi.

Jadi dari perkataan sahabat ini, kita dapat menyimpulkan rupanya memang pendekatan orangtua terhadap anak itu bertingkat-tingkat sesuai denagan usianya. Maka kalau kita perhatikan, Nabi memberikan pengajaran kepada kita “Anjurkan kepada anak kalian pada usia 7 tahun untuk melaksanakan shalat. Bukan sebelum 7 tahun. Karena sebelum 7 tahun pendekatan-pendekatannya adalah dengan cara bermain.

 

Bagaimana seharusnya usaha sebuah keluarga muslim kalau mereka merasa sangat sulit sekali untuk melaksanakan ibadah secara total kepada Allah?

Ini dibutuhkan quwwatuliman, penguatan keimanan terlebih dahulu, Penguatan iman ini kalau kita lihat ada 3 variabelnya. Pertama membekali diri dengan ilmu. Iman dalam ajaran Islam bukan tumbuh begitu saja tetapi dia memang dilandasi dengan ilmu. Maka ilmu dalam hal ini yang dimasud adalah ilmu tentang kebenaran. Addin Itu yang menjadikan iman seseorang itu hidup dan menyala.

Tetapi di samping ilmu, iman itu juga perlu dikokohkan dan dipertahankan melalui persahabatan dengan orang yang shalih. Jadi kalau kita ingin memiliki iman yang terpelihara bahkan kuat, kita harus bersahabat dengan orang-orang shalih. Kata Nabi, “Seseorang akan mengikuti keyakinan agama sahabat karibnya. Atau hendaknya setiap orang memperhatikan siapa yang dia jadikan sahabat karıb.” Kalau berteman boleh dengan siapa saja, tetapi kalau sahabat karib tidak boleh sembarangan. Ketiga, supaya iman ini terpelihara dengan sahabat-sahabat itu kita harus laksanakan pesan nabi yaitu saling nasehat menasehati. Percuma juga kita punya sahabat yang shalih tetapi kita tidak punya budaya saling nasehat menasehati. Budaya saling menasehati ini masih sangat sulit pada masyarakat kita.

 

Faktor apa yang membuat sebuah keluarga itu tidak kondusif atau tidak harmonis sehingga membuat setan betah dan terus mengganggu anggota keluarga di dalamnya?

Faktornya saya kira cukup banyak. Tetapi kalau kita bicara yang paling mendasar faktornya adalah yang ada di dalam diri suami istri itu sendiri. Kalau di dalam diri suami istri itu membiarkan ada celah-celah masuknya pihak-pihak lain tanpa dia sadari atau dia sadari itu akan menyebabkan pengkhianatan satu sama lain. Maka itu yang akan merusak secara cepat atau lambat keluarga tersebut.

Contohnya adalah adanya ketidakketerbukaan yang optimal antara suami istri sehingga terjadi konflik di dalam keluarga. Tidak adanya semaca kelapangdadaan dari pihak suami untuk menerima kritikan dari istrinya. Sebagaimana istrinya bisa terbuka menerima kritikan dari suaminya. Kalau komunikasi kuat, saya yakin banyak penyelesaian secara dewasa yang bisa diselesaikan Sebab sebuah rumahtangga yang sakinah adalah bukan rumah tangga yang tidak punya konflik atau tidak punya pertentangan. Di sana terdapat konflik, cuma mereka punya manajemen konflik yang baik. Jangankan kita, Nabi saja sempat konflik dengan istri-istrinya. Yang paling penting adalah kita berorientasi pada ishlah (perbaikan).

 

Pesan Anda sebagai seorang Ustdaz kepada kaum muslimin agar rumahtangga mereka menjadi rumah yang selalu dinaungi oleh Allah?

Marilah kita sadar bahwa zaman kita ini adalah zaman yang penuh fitnah. Dan fitnah ini sudah demikian jauh merasuk ke dalam tubuh umat ini sampai ke ruangan- ruangan keluarga kita. Dan fitnah itu tidak lagi hanya datang nya makhluk seperti manusia. Tapi bahkan dari makhluk halus seperti jin. Kalau kita umat Islam tidak membentengi rumahtangga kita dengan kesadaran akan hal ini. Saya khawatir rumahtangga yang sakinah, hanya akan menjadi sebuah slogan kosong. Maka konsep baiti jannati hanya ada di masa lalu saja.

Tapi kalau setiap rumahtangga disadarkan bahwa kita hidup di sebuah era yang menuntut sebuah kewaspadaan yang besar. Insya Allah rumahtangga itu akan bergairah dan berfastabikulkhairat. Mereka berusaha membentengi diri dengan ajaran ajaran Allah. Semangat beribadah, semangat berlomba-lomba menegakkan akhlakul karimah serta semangat berdakwah. Rumah tangga seperti itu akan menjadi cikal bakal embrio khilafah di muka bumi ini. Insya Allah.
Ghoib, Edisi 62. Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN