Bercermin Pada Seorang Mukmin Dari Keluarga Fir’aun

Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu. Dan aku menyerahkan segala  urusanku hanya kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” (Ghafir : 44)

 

SESUATU yang seharusnya menggugah kesadaran keimanan kita bahwa ungkapan yang berani seperti yang tersebut dalam ayat di atas justru keluar dari mulut seorang laki-laki mukmin yang hidup di tengah masyarakat dan penguasa yang kufur, yang telah sekian lama menyembunyikan keimanannya karena mendapat tekanan dan ancaman dari Fir’aun dan para pengikutnya. Betapa sensitifitas keimanannya tergugah tatkala menyaksikan seorang utusan pilihan Allah yaitu Musa as diancam akan dibunuh oleh Fir’aun. Padahal jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di depan penguasa yang zalim.

Laki-laki yang dimaksudkan oleh ayat di atas adalah seorang warga Qibthi dari keluarga (saudara sepupu) Fir’aun. Oleh karena itu, menurut Ibnu Jarir Ath-Thobari, Fir’aun mau mendengar ucapan dan peringatannya serta menangguhkan niatnya untuk membunuh Nabi Musa as. “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan- keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. (Ghafir: 28). Demikian ia dengan lantang dan berani menyampaikan argumentasinya membela Nabi Musa as.

Kisah laki-laki mukmin ini tentunya sangat layak untuk diabadikan dalam al-Qur’an. Bahkan kisah ini mendapat perhatian khusus karena banyak dikupas dalam surah Ghafir. Tercatat 17 ayat dari surah ini yang membeberkan peristiwa keimanan yang menggugah hati, yaitu mulai dari ayat 28 hingga ayat 45. Nama Al-Mu’min sebagai nama lain dari surah Ghafir juga diambil dari kata “mu’min” yang terdapat dalam ayat 28 yang ternyata merupakan ayat permulaan dari kisah laki-laki mu’min dari keluarga Fir’aun.

Secara kronologis, Prof. Dr. Wahbah Zuhail dalam kitab tafsir Al-Munir menyimpulkan bahwa ayat ini merupakan peringatan terakhir yang disampaikan oleh laki-laki mu’min tersebut setelah sederet peringatan ia sampaikan dalam beragam bentuk dan cara penyampaian.

Pada awalnya, ia mengajak Fir’aun agar mau beriman kepada Allah seraya mengingatkannya agar tidak terbuai dan terpedaya dengan glamor pesona dunia. Lantas ia mengemukakan perbandingan antara seruannya kepada fir’aun dan pengikutnya agar beriman kepada Allah yang merupakan jalan keselamatan dengan seruan mereka agar menyembah berhala yang merupakan jalan menuju kecelakaan dan kesengsaraan dalam api neraka. Maka sangat wajar apabila dalam peringatan terakhir ini disertai dengan ancaman “Kalian baru akan ingat dan menyadari kebenaran dari apa yang aku sampaikan kepada kalian dahulu. Bahkan kalian akan menyesalinya saat kalian merasakan azab yang buruk di hari tidak berguna lagi penyesalan apapun”. Demikian Allah menegas kan dalam firmanNya, “Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk”. (Ghafir: 45)

Argumentasi pembelaan yang tulus ikhlas dari seorang yang benar-benar yakin dengan pertolongan Allah ternyata memberi pengaruh yang besar dalam jiwa Fir’aun. Dalam peristiwa berikutnya di masa Rasulullah, ungkapan ini dituturkan kembali oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra tatkala ia melihat Uqbah bin Abi Mu’ith tengah menyiksa Rasulullah dan bermaksud untuk membunuhnya. Spontan dengan sigap dan berani, Abu Bakar tampil memegang pundak Uqbah dan menjauhkannya dari tubuh Rasulullah saw seraya mengingatkannya, “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan- keterangan dari Tuhanmu”.

Keberanian Abu Bakar yang bercermin dari keberanian laki-laki mu’min dari keluarga Fir’aun diakui oleh Ali bin Abi Tholib ra. la adalah saksi mata keberanian tersebut seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Abu Na’im dalam kitab “Keutamaan para sahabat”.

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Tholib pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Beritahukan kepadaku siapakah orang yang paling berani?”. Mereka menjawab, “Engkau, wahai Ali”. Ali berkata, “Memang, aku tidak pernah bertanding kecuali aku mampu memenangkannya. Namun yang aku tanyakan adalah orang yang paling berani diantara manusia yang ada?”. Mereka berkata, “Kalau begitu, kami tidak tahu. Jadi siapa?”. Akhirnya Ali sendiri yang menjawab pertanyaannya, “Abu Bakar”. Aku pernah melihat Rasulullah tengah ditarik oleh orang-orang Quraisy sambil dipukul dan disiksa. Mereka selalu melontarkan kata-kata amarah, “Engkaulah yang menjadikan tuhan-tuhan ini satu”. Kemudian Ali melanjutkan ceritanya, dalam keadaan yang cukup mencekam seperti itu, tidak ada seorangpun diantara kami yang berani mendekat apalagi membela kecuali Abu Bakar. la maju sambil melepaskan Rasulullah dari genggaman mereka dan berkata, “Celakalah kalian!. Apakah kalian hendak membunuh seseorang karena mengatakan bahwa Tuhannya adalah Allah”. Ali mengangkat sorban Rasulullah sambil menangis, maka Rasululla berkata, “Demi Allah, apakah laki-laki mu’min dari keluarga Fir’aun yang lebih baik ataukah Abu Bakar?”, Semua sahabat terdiam tidak menjawab “Kenapa kalian tidak menjawab?”. Demi Allah, satu saat dari kehidupan Abu Bakar lebih baik dari yang dilakukan oleh laki-laki mu’min dari keluarga Fir’aun. la seorang yang menyembunyikan keimanannya, maka Allah memujinya di dalam kitab-Nya. Dan Abu Bakar seorang yang terang-terangan menampakkan keimanannya serta ia mengorbankan harta dan darahnya”.

Bukti lain dari keimanan laki-laki dari keluarga Fir’aun yang tulus kepada Allah adalah ia menyerahkan segala urusannya kepada Allah manakala segala keberaniannya tidak membuahkan hasil, malah mereka mau membunuhnya, “Dan aku menyerahkan segala urusanku hanya kepada Allah”. Tepat seperti yang dikatakan oleh Nabi Musa as tatkala mendapat ancaman akan dibunuh oleh Fir’aun, la segera berlindung kepada Allah, “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.” (Ghafir: 27).

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa sikap tawakkal merupakan bukti nyata dari ketundukan dan penyerahan totalitas seseorang kepada Allah, Pemilik segala yang ada. Hanya dengan sikap ini, seseorang akan mencapai derajat kekasih (wali) Allah dan orang-orang pilihan-Nya. Seperti yang dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa ia telah membaca sifat Nabi Muhammad dalam kitab Taurat dan beliau diberi gelar “Al-Mutawakkil” yaitu orang yang berserah diri kepada Allah Ta’ala.

Demikian Al-Qur’an ingin menggambarkan kepada kita agar bercermin dengannya dan dijadikan teladan dari sebuah potret keberanian Abu Bakar yang mendapat pujian Rasulullah dan keberanian laki-laki mu’min dari keluarga Fir’aun dan yang diabadikan dalam al-Qur’an meskipun ia hidup dan tinggal di tengah-tengah masyarakat yang kental dengan perilaku kufur. Betapa kita sangat mengidamkan tampilnya sekelas mu’min dari keluarga Fir’aun untuk membawa kedamaian, kesejahteraan dan keberkahan bagi umat ini yang terus selalu diuji nyali dan keberaniannya oleh mereka yang tidak menginginkan Islam tampil kembali unggul di masa kejayaannya dahulu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN