“Utusan-utusan itu berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Yaasin: 19)
Takut adalah sifat yang manusiawi. Semua orang pasti memilikinya, meski dengan kadar yang berbeda. Takut menjadi sesuatu yang tidak wajar bila dikaitkan dengan suatu hal yang tidak ada kaitannya. Sesuatu yang tidak memiliki kaitan sebab akibat. Itu adalah ketakutan yang tidak berdasar. Ketakutan yang tidak perlu terjadi dan harus dibuang jauh-jauh.
Takut sial, itulah istilah gampangnya. Sebuah keyakinan yang telah berkembang sejak zaman dulu. Peristiwa bersejarah yang kemudian diabadikan Allah di dalam al- Qur’an adalah yang terjadi pada masa Nabi Musa, “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini adalah karena (usaha) kami. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya, Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. al- A’raf: 131).
Takut sial inilah yang kemudian dikenal dengan istilah tathayyur. Yang dalam perjalanan selanjutnya tathoyur pun berkembang dan terus menjalar ke mana- mana. Syaikh Utsaimin dalam kitabnya Qoulul Mufid membagi tathayyur ke dalam tiga jenis.
- Tathayyur Terhadap Sesuatu yang Dilihat
Perhatikan sekeliling! Maka kita akan menemukan betapa banyak orang yang takut akan mengalami kesialan setelah melihat sesuatu yang diyakini membawa sial. Banyak ragam contoh yang bisa diketengahkan. Sebut sajalah penuturan Eling Budiharso, ia yang masih kanak-kanak telah dicekoki dengan keyakinan yang tidak berdasar.
Hanya lantaran melihat seekor ular di dalam laci, ibunya kemudian mengingat-ingat kembali janji apa yang belum ditunaikannya. Memang janji itu hutang dan harus ditunaikan selagi kesempatan masih ada. Tapi mengaitkan kemunculan ular di dalam rumah dengan janji itulah suatu kesalahan.
Ular adalah ular. Janji adalah janji. Dua hal berbeda yang tidak ada hubungannya. Kisah Eling Budiharso hanyalah satu dari sekian banyak tathayyur yang berkembang di tengah masyarakat.
- Tothayyur Terhadap Sesuatu yang Didengar
Manusia memiliki bahasa untuk menjalin komunikasi dengan sesamanya. Demikian pula dengan binatang. Mereka adalah makhluk yang hidup berkelompok. Konsekuensinya adalah bahwa setiap binatang juga memiliki cara dan taktik tertentu untuk menjalin komunikasi dengan sejenisnya.
Lalu mengapa manusia mencoba menafsirkan bahasa mereka dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali. Taruhlah datangnya burung gagak ke sebuah perkampungan, maka orang- orang segera berasumsi bahwa itu pertanda akan ada yang meninggal.
Senada dengan kisah burung gagak juga terjadi di zaman shahabat, ketika Ikrimah dari generasi tabiin sedang bersama dengan Ibnu Abbas. Tiba-tiba muncul seekor burung dengan suaranya yang khas. Suara yang menarik perhatian salah seorang yang hadir bersama mereka. la pun menafsirkan makna suara burung itu dengan kebaikan.
Ibnu Abbas tidak tinggal diam. la pun berkomentar bahwa burung itu tidak membawa berita apa-apa. Tidak kebaikan dan bukan pula keburukan. Begitulah seharusnya seorang muslim bersikap.
- Tathayyur Terhadap Sesuatu yang Tidak Terlihat dan Tidak Terdengar Tapi Bisa Diketahui
Termasuk ke dalam kategori ketiga adalah kepercayaan bahwa angka atau hari-hari tertentu setelah dikaitkan dengan tanggal lahir dan hari lahir maka dianggap sebagai hari sial yang tidak boleh dilangkahi.
Seperti penuturan Eling Budiharso, bahwa hari Kamis adalah hari sial dan tidak boleh melakukan bepergian jauh pada hari itu. Ini adalah suatu kesalahan fatal karena pada dasarnya semua hari itu sama. Tidak ada hari yang buruk. Bila keyakinan semacam ini berkembang luas di kalangan masyarakat maka yang terjadi adalah kerugian menyeluruh.
Seperti keyakinan yang berkembang di Amerika bahwa hari Jum’at yang bertepatan dengan tanggal tiga belas maka hari itu dianggap sebagai hari sial. Akibatnya ribuan orang mogok kerja hanya karena ketakutan pada sesuatu yang tidak berdasar. Padahal dengan tegas Rasulullah telah bersabda, “Barangsiapa yang pergi ke dukun atau membatalkan bepergian karena tathayyur, maka dia bukan dari golongan kami.”
Ketiga jenis tathayyur di atas jelas terlarang. Dan sudah seharusnya terbuang dari benak setiap muslim bila ingin tetap menggenggam akidahnya dengan benar. Setidaknya ada dua alasan yang bisa dikemukakan bahwa tathayyur mengikis akidah. Yang pertama adalah karena tathayyur akan mengurangi rasa tawakkal seseorang kepada Allah. Karena sadar atau tidak orang tersebut akan bergantung kepada Allah.
Yang kedua karena tathayyur menggiring seseorang untuk bergantung pada sesuatu yang tidak pasti dan tidak bisa dibenarkan. Apa kaitannya antara yang ditathayyuri dengan nasib dia? Dan itu adalah suatu yang merusak tauhid orang tersebut terhadap Allah. Karena tauhid itu adalah ibadah dan mohon pertolongan sebagaimana yang difirmankan Allah, “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan,” (QS. Al-Fatihah:)