“Bertahun-tahun Bingung Memilih Agama”

Hidayah datang lewat berbagai cara. Kali ini seorang pemuda mendapatkan hidayah Allah lewat teman-teman ‘kamping’nya.

Hidup dalam suasana yang kurang mendapatkan perhatian pendidikan agama bukanlah pilihan hidupnya. la dibebaskan memilih agama yang diyakininya oleh orangtuanya. Sejak SD ia terus mencari keyakinan yang mantap bagian dari dirinya. Kini Islam menjadi pilihannya. Semoga semua orangtua muslim, mendidik serta mengarahkan pendidikan agama Islam kepada anak-anaknya pada usia dini. Agar tidak ada lagi Rafi-Rafi lain, yang selama bertahun-tahun bingung memilih agamanya.

Ayah dan ibu saya menikah tahun 1988 di Cirebon. Ibu seorang janda beranak satu. Sedangkan ayah masih bujangan. Sebelum menikah dengan ibu, ayah adalah seorang non muslim dari keturunan etnis Tionghoa. Pada saat menikah, ayah secara resmi menyatakan diri masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ayah pernah bercerita kepada saya kalau dia sudah dikhitan sejak usia remaja. Jadi saya kurang mengerti benar sejak kapan ayah telah memeluk agama Islam.

Sebelum menikah dengan ibu, ayah bekerja sebagai pegawai pabrik tebu di Lampung. Baru setelah menikah dia menjadi sopir angkot di kota Bogor. Saya dilahirkan 2 tahun kemudian dengan diberi nama Ruvinus Justus. Saya tidak mengerti mengapa saya diberikan nama seperti itu. Mungkin karena ayah dulunya beragama non muslim. Dan ibu saya waktu itu menerima saja.

Ayah seorang pekerja keras. Dia sangat bersemangat dalam mencari nafkah untuk kebutuhan anak-anaknya. Kalau kami minta apa-apa, dia selalu berusaha untuk memenuhinya.

Sejak kecil saya diperintahkan ibu untuk mengaji. Dari kelas satu sampai kelas empat SD, saya sangat aktif mengikuti pengajian di kampung. Setelah itu agak malas-malasan. Sementara ayah saya tidak terlalu peduli dengan pendidikan agama saya. Bahkan terkesan membebaskan. Mungkin karena ayah belum paham benar mengenai pentingnya pendidikan agama sejak usia dini. Yang saya tahu sampai kelas 6 SD, ayah belum pernah terlihat shalat.

Berangkat remaja saya semakin merasa bingung dalam menjalankan keyakinan agama yang saya anut. Saya dimasukan ke sebuah SMP Kristen di Bogor. Pertimbangan ayah sangat sederhana, di sana mutu pendidikan lebih baik dibandingkan dengan SMP swasta lainnya. Ibu sih kepinginnya saya sekolah di SMP Negeri. Tetapi karena tidak lulus, ya terpaksa sekolah di swasta. Ketika masuk ke lingkungan sekolah Kristen, suasananya agak berbeda.

Di sana saya diwajibkan ikut pelajaran agama Kristen. Pada saat itu ada 7 orang lainnya yang juga beragama Islam. Pelajaran agama lain yang saya terima, saya anggap angin lalu. Istilahnya, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Walaupun dijelaskan secara mendetail, saya sih ngeliatin aja, tapi tidak terlalu dimasukan ke otak. Awalnya saya berpikir kenapa ya? Kok kita nggak disuruh keluar saat pelajaran agama mereka Mungkin itu sudah menjadi peraturan di sana. Saya terus mengikutinya dengan perasaan bimbang.

Karena lingkungan saya seperti itu, perlahan tapi pasti saya mulai lupa mengaji, apa lagi melaksanaan shalat wajib. Hati ini terus bergejolak. Bingung Agama mana yang harus saya pilih. Dalam kebimbangan saya terus mencari Tuhan. Saya terus berpikir dan berpikir untuk menentukan hal tersebut. Dalam kondisi seperti itu, Tante yang merupakan saudara ayah terus membujuk saya untuk memeluk kepercayaan yang mereka anut.

Tawarannya sangat bersahabat. Katanya kalau mengikuti agama mereka, saya akan dijamin segala-galanya. Pokoknya akan dibuat sejahtera deh. Saya hanya tersenyum saja Tidak terlalu menanggapi. Proses pencarian terhadap keyakinan yang akan saya pilih masih mengambang. Islamnya tidakpernah dilaksanakan agama lainpun tidak.

Teman-teman baik saya di sekolah juga pernah mengajak saya untuk masuk ke agama mereka. Malah mereka sering meminta saya untuk mengantar sekolah minggu. Kalau dihitung- hitung selama SMP sudah 25 kali saya ikut sekolah minggu. Bahkan sampai saya kelas dua SMP keluarga dari ayah masih membujuk saya untuk masuk agama mereka.

Dalam kondisi seperti itu, ibu menasehati, “Kamu mau jadi apa? Kalau mau jadi orang Islam jadilah muslim yang baik.” Itulah kata-kata ibu yang selalu terngiang di otak saya. Apalagi saya sudah lupa bacaan-bacaan shalat dan huruf-huruf al- Qur’an. Walaupun ayah tidak terlalu memperhatikan pendidikan agama saya. Saya tetap takjub kepadanya. Sebagal seorang sopir angkot yang penghasilannya sedikit. Ayah tidak pernah melepas tangung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga. Ayah selalu memenuhi kebutuhan keluarga.

 

PERJUANGAN MENCARI PETUNJUK DARI TUHAN

Hingga hampir lulus SMP saya belum mendapatkan petunjuk yang mantap. Shalat tidak tenang, ke sekolah minggu tambah tidak tenang.

Saya termasuk anak yang sangat hobi ‘kemping’. Bersama teman-teman di sekolah, saya sering naik gunung bersama- sama. Di gunung kita bertukar pikiran tentang perbandingan agama yang ada di sekitar kehidupan kita. Kalau sudah begitu hati ini merindukan kembali saat-saat indah mengaji dan shalat berjamaah bersama teman-teman di sekitar rumah.

Saya mulai memperhatikan dan mendengarkan ceramah- ceramah agama Islam yang disiarkan di berbagai stasiun televisi. Saya mulai tersadar bahwa saya selama ini sudah sangat jauh dengan Tuhan.

Hobi kemping membuat saya harus bisa lebih mandiri. Saya berusaha melengkapi perlengkapan kemping yang harganya cukup mahal. Saya sadar ayah hanya seorang sopir angkot. Untuk memenuhi kebutuhan saya yang semakin banyak, saya memutuskan mengamen bersama teman-teman di rumah. Ngamen di dalam bis. Itupun kalau sekolah sedang libur atau sedang tidak ujian.

Awalnya malu juga. Tetapi karena saya harus bisa menutupi kekurangan saya yang diberi ayah. Saya harus tegar dan semangat. Uang pemberian ayah dan hasil mengamen saya tabung sedikit demi sedikit. Sebagian untuk keperluan sekolah dan sebagiannya lagi untuk membeli tas ransel.

Mendekati ujian akhir sekolah, saya berencana mengadakan kemping lagi bersama teman-teman yang beragama Kristen. Tepatnya bulan april 2005. Kebetulan ada tetangga yang mau ikut kemping juga. Tetapi gagal. Dua orang dari mereka tetap ikut.

Ketika sudah sampai di tempat kem-ping salah satu dari mereka ada yang mengajak saya shalat. Saya langsung meng- amıni ajakan mereka. Setelah melaksanakan shalat berjamaah ada perasaan berbeda dalam ruhani saya. Saya merasakan ketenangan yang selama ini saya cari. Hebatnya lagi mereka sering melakukan muhasabah (renungan) setelah shalat. Saya mulai haus kembali akan agama yang selama ini sudah hampir terlupakan.

Setelah kemping, saya terus bersahabat dengan mereka. Setiap shalat Maghrib mereka selalu nyamperi saya untuk shalat bersama-sama di masjid. Ketika ada acara dzikir keliling saya diajak oleh mereka. Saya mempergunakan kesempatan ini untuk mendalami kembali agama Islam. Tanpa diketahui teman-teman. Saya mantap masuk Islam dan ingin melaksanakannya secara kaffah (total).

Semenjak itu saya selalu berusaha menjalankan shalat 5 waktu. Kalau sudah pulang sekolah saya berusaha mencari masjid terdekat untuk melaksanakan shalat. Dengan agak berlari saya menuju masjid, karena sekolah baru bubar jam 2 siang. Alhamdulillah saya lulus SMP dan melanjutkan sekolah ke sebuah SMA swasta di Bogor.

Ayah sih awalnya merasa aneh melihat perubahan yang terjadi pada saya. Biarpun hujan deras, saya tetap memakai sarung dan koko untuk shalat di masjid. “Biasanya gak gini kok sekarang gini,” katanya. Lama- lama ayah terbiasa juga walaupun sampai sekarang belum terlihat shalat. Ibu saya sangat bangga melihat perkembangan ibadah saya.

Setelah di SMA, perkembangan agama saya terus meningkat. Karena lingkungannya cukup Islami. Ada mushallanya. Saya bergabung dengan teman-teman pada organisasi Rohani Islam (Rohis) di sekolah. Jujur saja, semenjak itu saya suka takut ketinggalan waktu shalat. Kadang saya pulang jam satu siang dari sekolah. Lelah, capek maunya langsung tidur saja. Kalau sudah jam dua, mau tidur tuh ditahan sebentar lagi Ashar, takut kalau kelewat sampai jam enam sore.

Pada Agustus tahun 2005, saya disuruh mengucapkan syahadat lagi oleh Bapak guru agama di sekolah. Biar afdhal katanya. Syahadat yang saya ucapkan disaksikan oleh jama’ah yang I’tikaf di masjid sekolah. Mereka datang dari Riau. Menjadi sebuah kebanggaan, ketika para jama’ah mengajukan sejumlah nama untuk saya. Saya merasa dihargai oleh mereka. Setelah berpikir panjang. Akhirnya nama saya diganti menjadi Muhammad Rafi, usul dari Bapak guru agama yang saya hormati.

Alhamdulillah, Allah terus memberikan kasih saying-Nya kepada saya. Setiap satu semester saya mendapatkan beasiswa anak berprestasi Rp 700,000,-. Semuanya saya bayarkan untuk SPP dan sisanya untuk bayar buku pelajaran. Setelah ini saya berdoa semoga ayah bisa lebih meningkatkan ibadahnya. Agar semua keluarga saya bisa dikumpulkan di dalam surga kelak.
Ghoib, Edisi No. 61 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN