Saya merasa keluarga saya merupakan keluarga yang paling beruntung karena kami dulunya adalah orang-orang kafir yang diberi kesempatan emas oleh Allah untuk bertobat dan kembali kepada agama yang benar. Awalnya keluarga kami adalah keluarga Kristen Pantekosta salah satu sekte dalam Kristen yang cukup terkenal dengan fundamentalnya karena peribadatan kami pun jauh lebih ekstrim dibanding yang lain. Segala cara bisa dihalalkan yang penting bisa mengkristenkan orang.
Saya dilahirkan di Jakarta tanggal 22 Juli 1939, ayah saya orang Cina asli bernama Lie Kim Sui sedangkan ibu saya Ani asli Betawi. Saya anak ke 2 dari 6 bersaudara. Nama China saya Lie Tiang Nio sedangkan nama Indonesia saya Ribkah Hartini. Latar belakang keluarga saya pun termasuk penganut Kristen yang taat. Saya pun disekolahkan dengan sekolah Kristen.
Beranjak dewasa saya semakin aktif di gereja dan kebetulan saya aktif di gereja yang dipimpin Pendeta Rudy Rudolf Otto Foortse, laki-laki keturunan Belanda- Halmahera. Kami pun banyak berinteraksi berhubung memang harus ada kerjasama antara pendeta dan penginjil. Karena seringnya berinteraksi timbullah benih-benih cinta di hati kami berdua.. Akhirnya tahun 1980 kami menikah.
Dari hasil pernikahan kami lahirlah 3 putra- putri kami. Yang pertama Yorry Yonathan, kemudian Yona Yohana dan terakhir Yesi Yesika. Keluarga kami pun boleh dibilang sangat berkecukupan dalam hal materi. Apalagi kami berkecimpung dalam dunia “dakwah” Kristen. Apa yang kami inginkan dan kami butuhkan dalam rangka kristenisasi pasti dalam waktu singkat akan terpenuhi. Uangpun seakan mengalir terus. Rumah mewah disiapkan, mobil tinggal pilih, segala kebutuhan disediakan bahkan jika butuh helikopter tinggal bilang langsung disiapkan.
Setitik Cahaya Hidayah
Gerakan kristenisasi kami kian hari kian gencar, ratusan bahkan ribuan orang telah berhasil kami murtadkan. Suami saya saja sudah mengkristenkan sekitar 3000 orang. Suatu hari saya sedang menggarap suatu daerah. Setelah melakukan survey sebagaimana biasa datanya saya serahkan kepada suami saya. Suami saya pun menindaklanjutinya dengan kunjungan ke rumah. Salah seorang yang dikunjungi adalah Pak Abdullah yang menyatakan dirinya bersedia. masuk Kristen. Sebagai syaratnya, Pak Abdulah diminta untuk menghilangkan semua atribut- atribut Islam yang ada di rumahnya, termasuk menurunkan pajangan kaligrafi yang tergantung. Pak Abdullah pun menurutinya. Namun ada sebuah kaligrafi bertuliskan syahadat yang tertempel di dinding. Ketika dicopot kertasnya sobek karena perekatnya terlalu kuat.
Tulisan itu akhirnya mengundang tanda tanya bagi suami saya. Sekilas dia bertanya apa arti dan tulisan itu. Pak Abdullah pun menjelaskan bahwa itu adalah kalimat syahadat yang artinya Aku bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Utusan Allah. Awalnya jawaban itu hanya dianggap angin lalu saja, namun ketika dalam perjalanan pulang jawaban Pak Abdullah itu terngiang-ngiang kembali di telinganya. Mulanya didiamkan saja, tapi lama kelamaan suara itu semakin mengganggunya dan tidak hilang. Akhirnya suami saya berdoa memohon kepada tuhannya “Wahai Yesus, pada hari ini hamba-Mu sedang diliputi kuasa-kuasa gelap, maka hamba mohon kepada-Mu usir hawa-hawa gelap itu dari dalam jiwa saya. Dalam nama Yesus.”
Namun yang terjadi adalah suara itu malah semakin keras dan seakan menggoncang jiwanya. Suami saya akhirnya kewalahan dan ingin cepat-cepat sampai di rumah. Sesampainya di rumah saya melihat suami saya kelihatan sangat pucat. Ketika saya tanya diam hanya menjawab kecapekan dan butuh istirahat. Diapun saya suruh masuk ke dalam kamar agar bisa tidur. Namun dalam tidurnya suami saya mengaku hanya ucapan-ucapan syahadat itu yang muncul dalam tidurnya. Kejadian ini berlangsung sampai sekitar 1 bulan. Sampai akhirnya suami saya merenung dan berpikir, kalau memang suara itu dari syetan mestinya dengan doa-doa sudah hilang, tapi ini kok nggak mau hilang. Akhirnya suami saya dapat ide, mungkin dengan mencari tahu siapa Allah, maka gangguan ini bisa berkurang. Dia pun mengakui jika dia melawan suara ini dia akan menjadi stress dan gila. Idenya untuk mengenal Islam lebih jauh itu semakin kuat. Diapun mencoba mencari buku-buku Islam. Di sebuah toko buku matanya tertuju pada sebuah buku yang menarik baginya, judulnya Hidup Sesudah Mati karya Bey Arifin. Selanjutnya suami saya berpikir buku Bey Arifin ini hanya mengutip ayat-ayat Al-Quran, bagaimana lagi kalau yang dipelajari itu Al-Quran langsung. Diapun berniat mempelajari Al-Quran langsung. Tak lupa dia berdoa “Wahai Tuhannya Muham- mad, kalau agama-Mu ini yang benar tolong tunjukkan padaku.” Terus yang kedua dia berdoa lagi “Wahai Tuhan Yesus jika Islam ini agama yang sesat maka jauhkan aku dari kesesatan ini.”
Singkat cerita setelah mendapatkan terjemahan Al-Quran diapun larut dalam keasyikannya mempelajari Islam dan semakin yakin akan kebenaran Islam. Tugas-tugas gerejanyapun mulai terbengkalai. Hal ini jelas menjadi berita heboh di kalangan orang-orang gereja. Mereka pun mulai menyelidiki kebenaran berita itu dengan mengkonfirmasikannya ke suami saya langsung. Betapa kagetnya mereka setelah tahu Pendeta Rudy mulai tertarik dan kagum dengan Islam. Mereka. pun mulai menjauhinya dan memberi surat peringatan untuk segera “taubat”. Namun sampai tiga kali surat itu tidak digubrisnya. Saya dan anak-anakpun dilarang untuk berinteraksi dengannya. Malah saya disuruh minta cerai sebab kalau masih bersama maka bisa tertular tertarik pada Islam. Umat Islam diibaratkan virus yang harus dijauhi karena bisa menularkan penyakit. Kami pun ikut-ikutan benci pada bapak.
Meskipun suami saya belum resmi masuk Islam tetapi pihak gereja sudah mulai mencabut fasilitas fasilitas yang pernah diberikan. Lisensi kependetaannyapun dicabut. Kami disuruh pindah sebagai bentuk pengusiran halus, meski saya tetap mendapat fasilitas gereja karena masih termasuk penginjil. Akhirnya kami pindah ke daerah Beji, Depok.
Setelah mempertimbangkan dengan matang. Tepatnya pada 13 Januari 1994 Pendeta Rudy Rudolf Otto Foortse resmi masuk Islam dan merubah sedikit namanya menjadi Rudy Mulyadi Foortse. Malamnya saya dan anak-anak dikumpulkan. Dia bilang “Sejak hari ini saya sudah masuk Islam, saya tidak mau mengajak apalagi memaksa kalian masuk Islam. Silakan kalian tetap pada agama kalian, saya pun tetap pada agamaku”. Bukan main terkejutnya kami semua, apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Kami pun semakin membenci bapak. Kewajiban saya sebagai istri praktis tidak saya tidak tunaikan lagi. Tapi anehnya suami saya sabar dan tidak marah, padahal biasanya ada hal yang kurang beres dia langsung marah bahkan tidak segan-segan menampar.
Dua minggu kemudian kedua anak perempuan saya menghadap bapaknya dan menyatakan keinginannya untuk masuk Islam. Bapak pun menangis sambil memeluk kedua putrinya sebagai wujud kesyukurannya. Sementara saya dan anak lelaki saya tetap Kristen dan masih tetap aktif ke gereja. Namun di gereja yang kami dengar hanya caci maki pihak gereja kepada suami saya.
Saya pun mulai kasihan, apalagi sejak masuk Islam karakter suami saya banyak berubah. Kelihatannya tenang dan sejuk. Selain itu tidak pernah terlontar sepatah kata pun yang mengajak kami masuk agama Islam. Akhirnya saya dan putra saya sepakat mengikuti jejak bapaknya. Selang 4 bulan kami menyatakan diri masuk Islam. Putra saya satu-satunya diganti namanya dengan Yusuf Ismail Al-Hadid. Tak tergambarkan ekspresi kegembiraan bapak waktu itu. Dia pun sujud syukur dan merasa apa yang dimohonkan selama ini terkabul. Keluarga kami pun berubah menjadi keluarga muslim nan bahagia.
Mempertahankan Islam Bagai Menggenggam Bara Api
Namun rupanya Allah ingin menguji keimanan dan kesungguhan kami. Pernah suatu sore kami didatangi sekitar 10 orang pendeta. Bapak dimaki habis-habisan dan dianggap sebagai pengkhianat. Namun dengan tenang bapak menghadapi mereka. Setelah hari itu sempat beberapa hari kami diteror walau tidak pernah terbukti. Selain itu sejak keislaman kami otomatis semua fasilitas dan tunjangan terhenti. Kami berpikir dapat makan darimana. Suami saya untuk mencari pekerjaan lain cukup sulit, dengan gelar sarjana Theologi mana ada perusahaan yang mau menerima. Mau tidak mau kami pun peras otak. Suami saya akhirnya bisnis kecil-kecilan mulai dari bisnis Majun (Obat Kuat) tapi bangkrut, trus jual kripik, jual kacang goreng, jual kue sagon namun semua itu tidak ada yang bertahan lama. Terakhir bisnis kelapa tapi akhirnya juga gagal malah tertipu.
Saya ikut membantu bisnis suami sekaligus sebagai kuli nyuci. Susahnya hidup pun kami rasakan. Satu per satu perabot dan barang- barang yang ada di rumahpun saya jual. Rumah sederhana yang kami kontrak nunggak beberapa bulan. Padahal cuma 30 ribu sebulan. Alhamdulillah pemilik rumahnya bisa mengerti. Rumah yang kami tempati pun sebetulnya sudah tidak layak. Pintunya sudah koyak sehingga kalau ada maling yang mau masuk itu bisa. Atapnya pun sudah pada bocor bahkan mau runtuh. Kami coba menyangganya dengan sebatang bambu. Kalau ada hujan atau angin kami terpaksa mengungsi ke rumah tetangga khawatir atapnya runtuh.
Pernah juga kami sudah dua hari merasakan kelaparan akibat tidak ada makanan. Suami saya kelihatan sangat sedih apalagi melihat anak-anak yang tertunduk lesu. Anak saya Yusuf mengambil inisiatif untuk memetik buah pepaya muda di belakang rumah. Pepaya ituĀ punĀ dia masak lalu dibagikan ke adik-adiknya untuk dimakan.
Cobaan yang kami rasakan tidak sampai di situ, beberapa orang tetangga kami masih ragu akan keislaman kami. Mereka tahunya suami saya adalah mantan pendeta yang bisa jadi hanya berpura-pura masuk Islam dan untuk selanjutnya melancarkan kristenisasi. Akibatnya kebanyakan mereka tidak mau dekat dengan kami. Anak- anak mau belajar ngaji saja nggak ada yang mau menerima. Entah karena curiga atau karena kami tidak punya uang untuk membayar.
Beberapa tahun kemudian ujian-ujian ini berhasil kami lalui dan secara perlahan kami rasakan betul pertolongan Allah pada keluarga kami. Suami saya pun mulai dikenal orang, kemahirannya dalam orasi membuatnya kerap diundang untuk ceramah atau sebagai pembicara. Beberapa orang mulai tergerak hatinya untuk membantu kami. Meskipun bukan dalam bentuk uang. Alhamdulillah kami bisa pindah ke rumah yang lebih layak, anak- anak pun ada yang mau menanggung biaya sekolahnya sampai selesai. Setiap bulan kami dapat jatah beras layaknya PNS. Keyakinan kami akan pertolongan Allah semakin besar.
Di saat kami sekeluarga merasa mantap dalam Islam. Sekali lagi kami diuji dengan kepergian suami saya tercinta untuk selama- lamanya. Walau kami merasa kehilangan, kami ikhlas menerimanya. Kami bersyukur bapak bisa mempertahankan keimanannya. Anak- anak pun terdidik dengan akhlak Islam. Bahkan putra saya bisa melanjutkan perjuangan bapaknya menjadi muballigh.
Satu yang menjadi harapan dalam doa-doa kami semoga keluarga kami senantiasa berada dalam ridho Allah SWT, dan semoga hidayah ini tidak akan pernah lepas lagi dari diri kami. Aamiin.
Ghoib, Edisi No. 12 Th. 2/ 1424H/ 2004 M