“Butuh Uang 110 Juta untuk Biaya Operasi Buah Hati”

Cobaan datangnya memang tak mengenal waktu. Kapan saja, ia bisa datang menghampiri kita. Sebagai seorang guru swasta, cobaan yang dihadapi Pak Andi terbilang sangat berat. Anak keempat, hasil pernikahannya dengan Dian Rahmati mengalami kelainan Jantung. Pada bayi Zahra-anak mereka. Jantung serambi kanan dan kirinya menjadi satu sehingga darah bercampur antara sebelah kanan dan kiri. Untuk menyembuhkan penyakit tersebut, Pak Andi dan istrinya harus mengeluarkan uang sebanyak 110 juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit tentunya, bagi seorang guru. Kini mereka mengharapkan donatur yang bisa membantu kesembuhan putri tercinta mereka, agar bisa kembali normal seperti anak-anak lainnya.

Aktifitas di kampus memberikan banyak perubahan pada pola pikir saya. Selain menjalankan aktivitas perkuliahan pada Fakultas Peternakan Universitas Jendral Sudirman. Saya juga dikenal sebagai aktivis Islam oleh teman-teman seangkatan. Seabreg kegiatan kajian kelslaman saya ikuti, sebagai bekal diri dalam menjalani kehidupan yang akan saya jalani kelak. Bahkan anak kedua saya yang bernama Muhammad Fikri Rabbani, terinspirasi dari sebuah tema kajian keislaman di kampus yaitu membentuk generasi Rabbani. Karena aktivitas yang padat tersebut, kelulusan saya boleh dibilang agak terlambat. Maklum! Namanya juga aktivis. Setelah lulus kuliah, saya diperkenalkan dengan seorang gadis berjilbab. Dia adalah adik kelas saya dari kampus yang sama pada Fakultas Pertanian. Pengajian yang sering kami kaji di kampus, selalu mengajarkan tentang optimisme dalam hidup. Karena apa yang kita lakukan selama di dunia ini, pasti ada campur tangan Allah di situ.

Walaupun pekerjaan saya pada saat itu belum tetap, saya mencoba memberanikan diri untuk melamar gadis itu. Yang ada pada benak saya adalah bagaimana menjalankan sunnah nabi dengan menikah segera. Proses perkenalan kami hanya satu bulan saja. Tidak pakai pacaran segala, seperti anak- anak muda jaman sekarang. Datang jauh-jauh dari Tegal ke Jakarta, maksudnya ingin melamarnya terlebih dahulu. Tetapi, orangtua istri menganjurkan agar kami langsung menikah. “Biar nggak repot- repot,” kata mereka. Mimpi sedari dulu untuk membina keluarga yang sakinah, akhirnya kesampaian juga. Dengan perayaan sederhana, kami merayakan pernikahan. Hari itu, tak akan bisa saya lupakan. Pada hari itu, di tahun 1997. Allah telah menghalalkan apa yang selama ini diharamkan Nya. Sebagai seorang muslimah, istri saya nampak bahagia dengan peristiwa itu. Baru kali itu saya dapat memandang seorang gadis secara jelas.

Setelah menikah, kami mengontrak rumah di daerah Purwokerto. Untuk menghidupi keluarga yang baru saya bina, saya sempat bekerja di beberapa tempat. Mengajar di STM pernah saya lakoni, Untuk meningkatkan penghasilan yang pas-pasan, saya ikut program pemberdayaan usaha tani selama enam bulan. Setelah program tersebut selesai, saya kemudian mencoba beternak kambing dengan modal dari seorang pengusaha. Karena orientasi pengusaha tersebut berubah lagi, akhirnya peternakan itu bubar. Setelah dua tahun menjadi kontraktor di Purwokerto, kami memutuskan mengadu nasib di Jakarta, dengan membawa serta, dua orang buah hati kami yang masih kecil-kecil. Kedua anak kami sudah sangat terbiasa diajak jalan-jalan, karena mereka selalu diajak pada setiap aktivitas dakwak kami. Secercah harapan, kami sandarkan untuk mencari nafkah di ibukota.

Setibanya di Jakarta, kami menumpang di rumah orangtua istri. Alhamdulillah, kami bisa tinggal di sana untuk sementara waktu. Hal itu kami tempuh, karena kami belum punya biaya untuk mengontrak rumah. Selama dua bulan, saya berusaha mencari pekerjaan kesana-kemari dengan berbekal ijazah SI. Dengan bantuan seorang teman. Saya akhirnya mendapatkan pekerjaan pada sebuah perusahaan jasa kirim barang. Semenjak itu, kami mengontrak rumah sederhana di daerah Cijantung. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah mertua saya. Di sana kami mengontrak sampai empat tahun. Namun, ternyata hanya 3 bulan saja saya bekerja di perusahaan itu. Jadwal kerja yang sangat padat membuat saya kurang bebas untuk menjalankan ibadah. Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk mencari pekerjaan lainnya.

Tahun 1999, Indonesia masih mengalami krisis moneter. Saat itu, banyak sekali perusahaan yang mem-PHK karyawannya secara sepihak. Mereka sudah tidak mampu lagi membayar gaji karyawan. Di mana-mana, banyak bermunculan berbagai usaha alternatif. Termasuk usaha ternak jangkrik dan cacing. Saya pikir, kenapa tidak mencoba berternak cacing, apalagi saya seorang sarjana peternakan. Kehidupan kami lambat laun membaik. Saya juga banyak perkenalan dengan para aktivis masjid di Jakarta. Mereka semangat sekali untuk berdakwah, memberikan pencerahan kepada masyarakat. Hidup saya menjadi agak lebih berwarna, setelah sekian lama hanya bergelut dengan pekerjaan dan pekerjaan saja. Dari perkenalan itulah, saya akhirnya bisa bekerja pada sebuah asuransi syariah di Jakarta. Dengan memanfaatkan jaringan yang ada, perkembangan nasabah asuransi saya berjalan dengan pesat. Kebahagiaan itu dilengkapi dengan kelahiran anak yang ketiga di tahun 2001. Saya bersyukur kepada Allah karena ketiga anak saya lahir dalam keadaan sehat dengan proses kelahiran yang sangat lancar.

Dua tahun setelah kelahiran anak yang ketiga, saya ditawan mengajar pada sebuah sekolah SMU yang boleh dikatakan baru. Di sini saya mengabdikan ilmu yang pernah saya dapat saat kuliah dulu, Saya sangat kerasan mengajar di sini, karena suasananya yang penuh persa- habatan dan tempatnya yang nyaman. Kehidupan berumah tangga kami jalani dengan penuh suka cita, hingga suatu saat Allah memberikan cobaan yang sangat berat ini.

 

DAN COBAAN BERAT INI PUN DATANG KEPADA KAMI

Cobaan ini bermula, ketika istri saya hamil anak keempat. Dari awal masa kehamilan sampai usia kehamilan beranjak 37 minggu, keadaan istri saya baik-baik saja bahkan terkesan normal. Kami terus memeriksakan kehamilan istri secara teratur pada bidan terdekat. Saat usia kehamilan istri saya menginjak usia 37 minggu, tiba- tiba ia sakit diare disertai mual- mual dan muntah-muntah selama dua hari-non stop. Karena khawatir dengan kondisi istri, saya memeriksakan kondisi kehamilan istri saya pada bidan yang terdekat. Setelah diperiksa, bidan menyatakan bahwa kondisi jantung bayi kami lemah. Bidan tersebut menyarankan agar kami memeriksakan lebih lanjut ke rumah sakit, untuk di-USG. Menuruti saran bidan itu, kami segera meluncur ke RS Harapan Bunda untuk menjalani USG. Betapa terkejutnya kami, ketika dokter menyatakan bahwa denyut jantung bayi kami lemah. Hanya sekitar 84 kali per menit. Dokter itu menyarankan untuk segera dilakukan operasi caesar mengingat kondisi bayi yang sangat lemah.

Istri saya menjalani operasi caesar dengan selamat di RS Haji. Hari itu. Selasa 14 Februari jam 18.00 WIB lahirlah anak keempat yang kami beri nama Zahra Karima. Ketika lahir, kondisi Zahra sehat. Denyut jantungnya normal, bahkan ia langsung menangis. Badannnya pun tidak membiru. Kondisi tersebut berlangsung sampai bayi kami berusia 2 minggu. Biaya 6 juta untuk operasi caesar, saya dapatkan dari tabungan pribadi dan bantuan beberapa orang teman.

Pada usia 2 minggu, bayi kami mengalami batuk dan pilek tanpa disertai demam. Sehari kemudian batuk Zahra bertambah hebat disertai dengan dahak dan sesak napas, Zahra kemudian kami bawa ke dokter spesialis anak untuk diperiksa lebih lanjut. Oleh dokter, Zahra di Inhalasi dan diberi obat untuk 3 hari. Setelah tiga hari, keadaan Zahra tidak berangsur baik. Zahra kemudian kami bawa lagi ke dokter spesialis anak untukmendapatkan perawatan lanjutan. Kemudian dokter menyarankan agar Zahra di rawat di rumah sakit. Pada hari pertama perawatan, dilakukan pemeriksaan Rontgen dada. Hasilnya menunjukkan adanya kelainan jantung yaitu posisi jantung berada di sebelah kanan. Selanjutnya, dokter menganjurkan agar dilakukan Ekhokardiografi. Hasilnya, didapatkan kondisi jantung yang hanya mempunyai satu serambi, Untuk lebih memastikannya lagi, kami melakukan Ekhokardiografi ulang di RSCM. Hasilnya sangat mencengangkan. Yaitu memperkuat diagnosis dari Ekhokardiagrafi sebelumnya. Dokter di RSCM menyarankan untuk dilakukan tindakan operasi di RS Jantung Harapan Kita.

Ketika pertama kali saya mendengar kelainan pada Zahra seperti itu, saya sangat stress. Kayaknya Allah memberi cobaan yang berat sekali kepada saya. Istri sampai shock. la menangis terus. (suara Pak Andi agak pelan-kelopak matanya mulai mengeluarkan air mata). Tetapi saya tidak mau larut dalam kesedihan yang mendalam. Saya harus kuat, karena anak saya harus sembuh. Saya mencoba untuk berintrospeksi diri, barangkali selama ini masih banyak hal-hal yang tidak diperintahkan oleh Allah, tapi saya masih melakukannya. Baik yang disengaja atau pun tidak. Akhirnya saya banyak-banyak istighfar kepada Allah.

Rencananya, tim dokter akan segera melakukan Katerisasi untuk memastikan diagnosis dan perencanaan operasi. Selanjutnya akan dilakukan 2 tahap operasi. Operasi tahap pertama untuk mengikat pembuluh darah jantung yang ke paru (arteri pulmonalis) untuk mengurangi tekanan ke paru. Operasi tahap kedua melakukan koreksi terhadap serambi yang satu dan posisi jantung yang berputar ke kanan. Setelah operasi, anak kami harus dirawat di ruang ICCU untuk dilakukan pemantauan. Saya sangat bingung. Biaya untuk itu semua mencapai 110 juta rupiah. Dari mana saya mendapatkan uang sebanyak itu? Gaji saya dan istri, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ditambah kebutuhan pendidikan untuk anak. Saya berharap, semoga ada donatur yang mau membantu pengobatan anak saya. Semoga Allah memberikan jalan kemudahan bagi kesembuhan Zahra. Karena ia adalah amanah Allah yang juga mempunyai hak untuk hidup normal seperti anak-anak lainnya.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 63 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN