Ocehan Syetan Jangan Terlalu Dihiraukan

Syetan adalah musuh. Itu keyakinan yang harus dibangun di awal. Karena dengan tegas dan lebih dari sekali dalam al-Qur’an, Allah mengingatkan kita, “Sesungguhnya syetan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Fathir: 6).

Sementara jin yang masuk ke dunia manusia adalah syetan. Karena syetan adalah sifat jahat dari makhluk apa saja termasuk jin. Dan tidak ada jin muslim yang shalih yang mau masuk ke dunia manusia. Karena Allah telah menciptakan garis pemisah yang jelas antara dunia manusia dan jin walaupun keduanya memiliki kewajiban yang sama yaitu untuk beribadah.

Jadi kalaupun ada jin yang masuk ke dunia manusia, maka jin itu adalah jin kafir yang memang membangkang terhadap perintah Allah. Atau jin muslim tapi fasik, yaitu yang banyak melakukan dosa. Termasuk hadir di dunia manusia adalah bentuk kedzaliman dan dosa. Atau jin munafik yang sebenarnya bukan muslim tapi mengaku-ngaku sebagai muslim.

Untuk itulah, kita sebagai manusia harus sangat berhati-hati terhadap informasi apapun yang berasal dari dunia jin. Karena sekali lagi mereka adalah musuh. Sementara Allah pun telah mengingatkan kita dalam ayat umum tentang masalah sikap mukmin terhadap informasi dari musuh, “Hai orang orang yang beriman, jika datang kepadamu (orang) fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (Qs. al-Hujurat: 6)

Informasi dari musuh sesama manusia akan sangat jeli kita cerna dengan penuh ketelitian kita gali dan berusaha sebisa mungkin mengambil jarak sejak awal agar tidak termakan oleh propagandanya. Demikian juga seharusnya kita bersikap terhadap informasi yang datang dari syetan. Ambillah jarak sejak awal, agar tidak dijerumuskan.

Apalagi jika kita baca lebih gamblang lagi tujuan syetan, “Sesungguhnya syetan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu…” (Qs. al-Maidah: 91).

Salah satu cara untuk menimbulkan permusuhan itu adalah dengan menebarkan berita bohong dan fitnah. Sayangnya, kita sering kali menjumpai masyarakat percaya terhadap semua ocehan jin melalui orang yang sedang kesurupan. Ketika syetan menyebutkan bahwa dia disuruh oleh tetangganya, maka mulailah terjadi permusuhan dan rasa mencurigai yang ujungnya adalah rasa saling benci dan saling memusuhi. Persis seperti yang disampaikan ayat di atas.

Di lapangan, tim ruqyah Majalah Ghoib sering menjumpai jin yang berdusta dengan ocehannya. Bahkan sampai pada tingkat fitnah yang melibatkan orang lain.

Dalil atau Fakta, Atau Abaikan

Memang, tidak semua hal yang disampaikan syetan itu salah. Hal ini telah sering kita sebutkan dalam kajian kita berdalilkan peristiwa yang dialami oleh Abu Hurairah, di mana akhir ceritanya adalah pembenaran Nabi terhadap hal yang disampaikan oleh jin yang datang kepada Abu Hurairah.

Pernyataan syetan bisa diterima asalkan ada satu di antara dua hal: Dalil atau Fakta. atau ada kedua-duanya. Tanpa salah satunya, maka ungkapan jin abaikan saja. Dan jangan pernah diambil hati apalagi mengusik dunia kita.

Dalil berguna untuk mengukur kebenaran ungkapan syetan jika berhubungan dengan urusan agama. Dan jika jin sudah bicara masalah agama, maka tidak mungkin diterima jika tidak ada dalilnya. Seperti pernyataan jin di kesaksian kita kali ini. “Sebaik-baik jin adalah seburuk-buruknya manusia. Itu tidak bisa dipungkiri.”

Dalam syariat Islam, kita mengetahui bahwa jin dan manusia sama-sama mempunyai tanggung jawab beribadah. Kemudian setelah itu, baik jin ataupun manusia terbagi menjadi dua. Taat atau Membangkang. Kemudian dipertegas lagi oleh kemungkinan orang berpeluang mendapatkan posisi sebagai makhluk mulia dengan ketaqwaannya. Maka jin yang shalih dan taqwa berarti telah memperoleh kemuliaan derajat di sisi Allah. Jadi tidak mungkin, jin yang shalih dan taqwa disamakan dengan manusia paling buruk. Karena manusia paling buruk adalah orang yang ingkar kepada Allah. Maka, tentu tidak sama antara ketaqwaan dan kekafiran.

Yang ada justru sebaliknya. Di mana syetan manusia lebih jahat daripada syetan jin, sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Dzar! Hendaklah kamu memohon perlindungan kepada Allah dari (kejahatan) syetan manusia dan syetan jin. Lalu Abu Dzar bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ada syetan manusia? Rasulullah menjawab, “Ya, bahkan ia lebih jahat dari syetan-syetan jin.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).

Adapun fakta berguna untuk mengukur kebenaran ucapan jin yang berhubungan dengan masalah dunia. Seperti pengakuan jin terhadap salah satu peruqyah di mana dalam pengakuannya tersebut jin mengaku dikirim oleh sekelompok orang yang belajar sihir di sebuah tempat ibadah agama tertentu di ruangan bawah tanah. Berita seperti ini harus dicari kebenarannya dengan mengungkap fakta kebenaran dari berita tersebut. Atau ada jin yang mengaku dikirim oleh tetangga. Hal seperti ini tidak bisa diterima sampai ada fakta yang membenarkannya.

Dengan salah satu dari dua cermin tersebut yaitu dalil atau fakta, kita hadapkan semua ocehan jin. Jika sesuai dengan dalil, atau sejalan dengan fakta yang benar, baru kita terima. Seperti saat jin mengungkapkan dalam kesaksian ini bahwa praktik di bilangan Pasar Minggu menggunakan jin kemudian jin itu mengiyakan pengobatan di Majalah Ghoib, seharusnya masalah inipun didudukkan di hadapan syariat. Mana yang sesuai syariat itulah yang memang harus didatangi. Adapun berita jin, memang terkadang benar sebagaimana kisah Abu Hurairah di atas.

Sedangkan pernyataan yang berhubungan dengan dunia dan tidak ada faktanya, maka abaikan saja pernyataan jin itu. Seperti saat jin menyebut dalam kisah ini tentang anak kecil yang sakit, bahwa anak itu lari-lari lalu terjatuh dan kakinya menginjak anak jin, anak jin itu mati dan bapaknya marah. Masalah ini tidak bisa kita mungkin kita buktikan kebenarannya. Jadi abaikan saja dan tidak usah terlalu mengusik kenyamanan hidup kita. Banyak berlindung kepada Allah agar tidak diganggu oleh syetan. Dan jangan termakan oleh ocehan syetan.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 40 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

5 Fase yang Dilalui Pengguna Jasa Jin

Khutuwat (langkah-langkah) syetan demikian tertata untuk menyesatkan umat manusia. Ibarat menaiki anak tangga, syetan yang menginginkan agar anak cucu Adam sampai pada tingkat tertinggi dari kesesatan, maka fase-fase jebakan telah mereka siapkan. Berikut fase-fase yang biasanya dilalui oleh para pengguna jasa jin.

Fase pertama, tertipu dan merasa bahwa tindakannya benar.

Allah berfirman, “Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi syetan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka syetan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka adzab yang sangat pedih.” (Qs. an-Nahl: 63).

Dalam kesaksian kita kali ini, lagi-lagi syetan berkedok pengajian yang menipu atau ustadz yang sebenarnya bukan ustadz.

Perhatikanlah upaya syetan menghiasi amal buruk dengan istilah yang baik. Susuk sihir itu disebut sebagai penjaga. Kemudian menyadari bahwa, sebagian masyarakat takut kalau kelak mati akan sulit saat sakaratul maut, maka kembali syetan ngibul, “Susuk itu sendiri akan keluar empat puluh hari sebelum kamu meninggal. Sehingga tidak akan menyulitkan kematianmu.” Kemudian ritual memasukkan susuk pun nampak sangat islami. Dengan label syahadat dan shalawat, racun sihir itu dikemas.

Nah, bukankah ini tipu daya yang luar biasa. Dan jarang yang selamat kalau tanpa Ilmu dan Iman. Sihir sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi penjaga. Dan dari mana kita atau jin tahu bahwa kematian akan tiba, sehingga empat puluh hari sebelumnya susuk itu akan keluar dengan sendirinya. Padahal jelas Allah berfirman, “…Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (Qs. Luqman: 34).

Fese kedua, pembuktian bahwa sihir yang dilakukannya akan membawa perubahan yang lebih baik.

Seperti yang dialami oleh Nurmala, semula dia sering dilecehkan oleh teman-teman sekantornya. Tetapi setelah susuk itu masuk, perubahan sikap teman-temannya sangat terasa. Semua menaruh rasa hormat.

Di masyarakat kita, banyak yang tertipu karena merasakan ada hasil dari ikhtiar salahnya. Padahal yang lebih penting dari hasil adalah proses usaha untuk mendapat hasil. Hasil tidak menunjukkan bahwa usaha itu benar atau salah. Tetapi usaha itu sendiri yang harus dihadapkan pada cermin syariat.

Sebagian orang yang datang ke dukun terkadang memang tidak merasakan hasil dari kepergiannya ke syetan manusia itu. Tetapi syetan telah menyiapkan jeratan berikutnya. Dia bisikkan bahwa dukun yang kedua lebih hebat. Dan akhirnya menjadi petualang dari dukun ke dukun.

Fase ketiga, membuat pengguna sihir semakin akut kesesatannya

Di sini orang akan semakin dibuat ketagihan dan menjadi pelanggan jin yang ada dibalik sihir. Kalau sudah demikian biasanya orang gelap mata asalkan keinginannya tercapai. Dan syetan pun berpesta pora menggiring orang itu ke neraka dunia sebelum akhirat. Anak sendiri digagahi, istri dibunuh dengan dalih bisikan atau wangsit, ritual tumbal yang tidak masuk akal pun dilakoni oleh orang-orang cerdas.

Fase keempat, tagihan jin atas jasanya selama ini.

Karena memang tidak ada yang gratis dari dunia jin, sebagaimana manusia yang tidak mau bekerja tanpa gaji. Dunia jin bisa lebih kejam lagi. Gaji yang harus kita berikan terkadang bukan harta yang masih bisa dicari, tetapi terkadang nyawa orang yang kita cintai, atau bahkan kita sendiri.

Di sinilah orang yang terbuka hatinya mulai merasakan tidak nyamannya hidup dengan jin atau sihir. Dan biasanya mulai ingin melepaskan dirinya dari jeratan dukun dan sihirnya. Tetapi perlu jihad untuk melepaskan diri dari jaring laba-laba syetan.

Tapi bagi mereka yang gelap mata, gelap hati, gelap petunjuk, tetap asyik dalam menikmati dunia sihir yang sebenarnya tidak nikmat sama sekali.

Nurmala pun merasakan fase ini. Walau awalnya adalah cekcok dengan istri ustadz’, dia ingin melepas semua yang pernah didapatnya dari sang ‘ustadz’. Dan peristiwa janggal mulai dirasakannya dari mulai masuknya binatang kecil ke dalam telinga yang terus berjalan menyiksanya hingga tenggorokan dan berhenti di sana. Bisa kita rasakan siksaan yang luar biasa.

Itu gangguan fisik. Gangguan berikutnya menggerogoti ibadahnya. Ketika dia akan melaksanakan shalat tarawih pada suatu malam Ramadhan, tiba-tiba saja kakinya tidak bisa digerakkan.

Selanjutnya, jin benar-benar ingin menyiksa Nurmala agar tidak menjauh dari dunianya. Agar terus mau menggunakan sihir yang pernah dia gunakan. Kali ini bau sampah busuk menyengat menyebar dari tubuhnya. Tidak bisa dibayangkan siksaan jin yang membuatnya dikucilkan oleh orang orang sekitarnya.

Terkadang jin itu benar-benar manampakkan dirinya kepada Nurmala dalam sosok yang menakutkan. Seperti yang dilihat Nurmala berupa sosok tinggi besar. Dari jauh, makhluk itu semakin mendekat. Was was, takut, gemetar bercampur aduk menjadi satu. Nurmala terus berusaha melawan, tapi kekuatan makhluk itu lebih besar dari kekuatannya dan makhluk itu seakan masuk ke dalam dirinya kemudian mengalirkan bau busuk.

Fase kelima, jebakan dalam mencari kesembuhan

Nah pada tingkat ini biasanya orang mencari kesembuhan. Ada yang memulainya dengan medis. Seperti Nurmala ini, tetapi ternyata medis tidak menemukan apa-apa dan memang bukan gangguan medis sama sekali, tetapi gangguan itu ada. Buktinya bau busuk sampah itu bisa dicium oleh banyak orang hingga ibunya sendiri di rumah.

Setelah medis tidak tembus, biasanya orang tergiring untuk mendatangi pengobatan alternatif. Di sinilah jebakan jin kembali besar agar manusia mau kembali kepada kesesatan syirik yang dulu.

Apa yang dilakukan Nurmala dengan mendatangi orang pinter yang sebenarnya adalah dukun, banyak pula dilakukan oleh muslimin yang mencari kesembuhan. Tetapi Nurmala beruntung, dipertemukan oleh Allah dengan pengobatan islami yaitu ruqyah. Dan tentu kita berharap pencarian ikhtiar untuk sembuh selalu berujung kepada pengobatan yang Islami. Agar iman ini tidak tergadaikan dan tidak lagı terjatuh kepada jebakan syetan Semoga Allah melindungi kita.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Abu Hurairah Menyikapi Jin ‘Baik’

Pesan baik harus selalu diambil. Dari mana pun asalnya. Dari jin sekalipun. Tentu, ukuran kebaikan adalah al-Qur’an dan hadits, lain tidak. Maka, pesan siapa pun termasuk jin, harus dihadapkan kepada kedua cermin yang tak pernah kusam itu.

Kalau pas berarti benar dan kita melaksanakan bukan karena orang yang memerintah atau jin yang berpesan, tetapi karena hal itu diperintahkan oleh Allah dan Rasul Nya. Begitulah sikap yang benar ketika seseorang mendapatkan perintah dari jin.

Seperti sikap Dena dalam kesaksian ini. Jin datang tidak sekali. Bahkan sering. Dalam penampakan makhluk botak dengan pakaian yang selalu sama dan pesan yang juga selalu sama. Pesannya baik. Pesan agar shalat malam dan memakai jilbab. “Saya sudah berniat memakai jilbab sejak aktif di pengajian SMA dulu,” kata Dena membantah kalau dirinya memakai jilbab karena titah jin. Hanya masalah waktu dan perjuangan yang tidak ringan karena entah apa alasannya, kakak-kakaknya yang laki tidak ada yang setuju dia memakai jilbab.

Dan memang begitulah sikap yang benar. Seperti sikap Abu Hurairah ketika kedatangan jin yang menampakkan diri dan memberinya nasehat tentang ayat Kursi yang kalau dibaca bisa membentengi dirinya dari gangguan jin. Abu Hurairah segera mengukur nasehat yang nampak baik di awal itu dengan langsung menghadap ke Rasulullah. Karena di sanalah ditemukan kebaikan. Setelah Rasulullah bersabda tentang jin itu, “Dia benar, hanya saja dia itu pendusta besar,” barulah Abu Hurairah mengambilnya sebagai ajaran yang bisa diikuti.

Abu Hurairah tidak menuruti jin, karena telah meminta kepada Rasulullah nasehat tentang kebenaran pesan baik itu. Berarti Abu Hurairah mengamalkan perintah Rasulullah bukan menuruti jin. Di sinilah banyak orang terjebak. Kalau ada yang mendapatkan pesan ghaib yang kesan awalnya baik untuk shalat umpamanya atau puasa atau membaca wirid tertentu, maka dia tidak segera membuka lembar perlembar ayat dan hadits Nabi. Langsung ambil, tanpa peduli apakah hal itu ada dalam ajaran Islam atau bid’ah baru made in jin. Kalau sudah begini, jin biasanya datang dengan perintah-perintah bid’ah atau syirik berikutnya yang dikemas dalam bentuk Islami. Sesatlah dia dan biasanya banyak orang yang akan mengikutinya pun ikut sesat pula.

Abu Hurairah tidak menggantungkan pikirannya kepada jin itu agar datang lagi menasehatinya untuk kesekian kalinya. Cukuplah al-Qur’an dan hadits yang menjadi nasehat terbaik. Kalaupun datang melalui orang lain, bukan berarti kita terus menunggu orang lain itu menasehati baru kita jadi baik. Inisiatif amal harus tumbuh dari dalam diri kita, tanpa orang lain sekalipun. Kalaupun ada yang memberi nasehat berarti itu adalah nikmat bagi kita. Di sini pula banyak orang yang salah. Kalau sudah kedatangan nasehat ghaib, maka selanjutnya dia terus menunggu dan menunggu kapan sabda ghaib itu datang kembali. Bahkan kemudian ada yang membukukan ajaran- ajaran ghaib itu dan diyakini sebagai ajaran dari Allah. Padahal sudah sangat jelas, tidak ada kebaikan yang liar berada di luar lingkup al-Qur’an dan hadits.

Abu Hurairah tidak menerjemahkan peristiwa itu dengan yang tidak tidak. Peristiwa yang dialaminya dianggap peristiwa wajar. Kedatangan makhluk aneh bentuknya yang ternyata adalah jin kemudian berkata sesuatu, selesai. Abu Hurairah tidak lantas menganggap dirinya telah mempunyai daya linuwih atau telah dipilih tuhan sebagai penyampai ajaran atau menganggap dirinya lebih dekat dengan Allah dibanding shahabat lain. Tidak. Dan di sinilah banyak orang tertipu hari ini. Ketika wangsit datang dari mimpi, bisikan atau apa pun bentuknya, dia kemudian menasbihkan dirinya sebagai orang shalih, syekh besar, kyai hebat, ulama terkemuka. Ada pula yang menyatakan dirinya sebagai penyampai ajaran bahkan mengaku menjadi nabi baru. Dan hal ini berdampak pada masyarakat yang berduyun-duyun mendatanginya sebagai orang hebat baru. Ngalap berkah, minta doa, minum air keramatnya, memohon syafaatnya, mengambil jimat darinya. Terlalu jauh, penggelinciran syetan pada umat yang jauh dari Islam ini.

Abu Hurairah dan siapa pun muslim yang baik harus menghargai siapa pun yang memberi nasehat kepada kita. Kalau dia adalah manusia, maka pemberian penghargaan kepadanya bermacam caranya sesuai dengan agamanya. Kalau dia non muslim umpamanya, tentu tidak mungkin kita mintakan ampun kepada Allah atas kesalahannya selama ini. Karena Allah telah melarang untuk memintakan ampun bagi orang non muslim. Kalau kita doakan agar dia diberikan kelapangan hati hingga mau menerima Islam, itulah bentuk penghargaan yang dibolehkan. Kalau dia adalah seorang muslim, masalahnya lebih jelas, karena kewajiban dan hak sesama muslim sama dan sesama muslim bersaudara.

Bagaimana jika pemberi nasehat itu adalah jin, bagaimana cara menghargainya! Contohlah Abu Hurairah dalam menghargai jin yang tiga kali datang kepadanya. Penghargaan itu adalah dengan membiarkannya pergi dari kehidupannya untuk selamanya. Karena kehadiran jin dalam kehidupan manusia adalah bentuk kedzaliman. Rasul telah mengajarkan kepada kita, “Tolonglah saudaramu yang mendzalimi atau yang terdzalimi.” Shahabat bertanya, “Ya Rasulullah kalau yang terdzalimi kami tahu cara menolongnya, tapi bagaimana jika dia orang yang dzalim?” “Raih tangannya agar tidak berbuat dzalim lagi.” Jadi, menghalangi orang untuk berbuat dzalim adalah merupakan kebaikan. Maka, jika itu kita lakukan kepada jin yang masuk ke dunia kita, berarti kita telah memberikan penghargaan atas nasehat yang telah dia berikan.

Di sini juga banyak orang yang salah langkah. Merasa telah mendapatkan pesan baik. Dan alih-alih ingin membalas, dia turuti semua keinginan jin. Akhirnya, apa saja pesan atau permintaan jin diturutinya. Syetan pun mempermainkannya. Meminta dari yang menyengsarakan hingga yang menyesatkan.

Padahal kalau kita cermati dari kesaksian Dena, sesungguhnya jin ‘baik’ itu sekalipun bisa meninggalkan hal yang menyusahkan kita. Tujuh tahun sakit di kakinya yang sangat luar biasa tidak sembuh dengan obat medis apa pun. Memang syetan bukan shahabat kita Syetan adalah musuh yang nyata. Maka jadikanlah ia musuh yang nyata.
Ghoib, Edisi Khusus

Permasalahan Tidak Bisa Diselesaikan dengan Cara Ribawi

Suami dan istri adalah dua makhluk dengan karakter berbeda. Masing- masing memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing. Seorang suami berkewajiban untuk memberi nafkah kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya. “Kaum laki- laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka.” (QS. An- Nisa’: 34)

Namun, ini bukanlah harga mati. Bila memang seorang suami kurang bisa memenuhi kewajibannya, maka seorang wanita diperbolehkan membantu suaminya dalam mencari nafkah. Selama hal ini tidak mengurangi tanggungjawabnya sebagai istri dari suaminya dan ibu dari anak-anaknya serta tidak melanggar rambu-rambu yang telah digariskan syariat Islam.

Keinginan untuk membantu suami seperti yang terbersit dalam diri Syamsiar adalah niatan yang mulia. Namun perlu digaris bawahi bahwa niat yang mulia saja masih belum cukup. Masih perlu dilihat kembali apakah dalam mewujudkannya terjadi penyimpangan ataukah tidak.

Sebutlah shadaqah sebagai contoh. Bukankah shadaqah itu dianjurkan dan perbuatan terpuji? Tapi bila orang kemudian mencuri agar bisa bershadaqah misalnya, maka hal itu bukan lagi terpuji, tapi justru haram. Demikian pula halnya dengan niatan untuk membantu suami agar asap di dapur tetap ngebul.

Jual beli atau mencari nafkah termasuk bagian dari muamalah yang dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa pada hakekatnya semua muamalah itu boleh dilakukan kecuali bila ada dalil yang melarangnya.

Di sinilah biasanya orang tidak lagi melihat apakah muamalah yang dijalankannya itu terlarang ataukah tidak. Seperti halnya Syamsiar yang tidak lagi peduli apakah melakukan transaksi simpan pinjam yang disertai dengan bunga itu halal ataukah tidak.

Padahal secara jelas disebutkan di dalam al-Qur’an maupun hadits bahwa segala hal yang terkait dengan riba itu adalah haram. Bahkan riba termasuk tujuh perbuatan yang membahayakan dan harus ditinggalkan. “‘Jauhilah tujuh perbuatan yang menghancurkan.’ Mereka bertanya, ‘Ya Rasulullah apa sajakah itu? Rasulullah menjawab, ‘Mensekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah tanpa alasan yang benar, makan riba, makan harta anak yatim, melarikan diri dari medan perang dan menuduh zina kepada wanita mukmin yang menjaga dirinya (dari zina).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kehancuran yang ditimbulkan riba adalah satu hal yang pasti, Kerugian di dunia maupun di akhirat. Syamsiar hanyalah satu dari sekian banyak orang yang berjatuhan karena riba. Ketidaktenangan, ketakutan, penyesalan, atau segudang penderitaan lainnya.

Hidup dalam kejaran hutang, hingga harus berpindah dari hotel ke hotel atau mengasingkan diri dengan tetap menyimpan kekalutan yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan diri sendiri.

Meski pada akhirnya, penderitaan yang dialami di dunia ini masih belum seberapa bila dibandingkan apa yang didapatkan orang yang terlibat dengan riba dan tidak bertaubat hingga meninggal nanti di akhirat. “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah 275)

Gangguan kesadaran seperti yang tersebut dalam ayat di atas, sudah terbukti. Syamsiar sering hilang kesadaran nyaris seperti orang gila, sehingga ia menanggalkan pakaian dan lari begitu saja. Meski gambaran yang dimaksud ayat di atas baru terjadi nanti ketika mereka dibangkitkan dari kubur. “Orang yang bermuamalah dengan riba akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan. Mereka berdiri kemudian terjatuh lagi. Sebagian lain menafsirkan bahwa mereka dibangkitkan dalam keadaan perut membesar seperti orang hamil. Mereka selalu terjatuh setiap kali terbangun.” (Tafsir al-Qurtubi 3/354)

Riba bagaikan virus ganas yang terus menyebar tanpa dapat dibendung. Hingga tiap orang akan terkena imbasnya. Rasulullah bersabda, “Akan tiba suatu masa, di mana orang-orang akan makan riba.” Abu Hurairah berkata, “Rasulullah ditanya. Apakah semua orang akan memakan riba?” Rasulullah menjawab, “Orang-orang yang tidak langsung makan riba, masih terkena debu-debu riba.”

Dalam perkembangannya riba telah berganti dengan bahasa yang lebih halus dan terkesan bersahabat yang disebut dengan bunga. Padahal hakekatnya tetaplah sama.

Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menambah penghasilan tanpa harus bersentuhan dengan riba. Pintu jual beli terbuka luas dengan segala jenisnya. Dalam ayat yang sama Allah menjamin kehalalan jual beli. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Memang menghindari riba bukanlah hal yang mudah, karena sedemikian banyak jalur-jalur yang telah ditembusnya. Hanyalah kekuatan iman dan keteguhan akidah yang bisa membendung derasnya virus riba. Tanpa iman, tanpa akidah yang lurus, tidak ada jaminan.
Ghoib, Edisi No. 37 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Kemenangan Pasti Datang, Walau Berat di Awal

Genderang perang telah ditabuh Iblis. Sejak kali pertama ia menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam alaihissalam. Genderang perang yang tidak akan pernah berhenti.

Karena itu, Allah senantiasa mengingatkan manusia dari permusuhan abadi dalam berbagai surat. Di antaranya adalah firman Allah, “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka” (QS. Al-Hijr 39-40)

Peringatan ini, menjadi modal berharga bagi kita untuk selalu bersiap diri setiap saat. Kita tidak boleh terlena sedikitpun dan membiarkan diri kita sebagai sasaran yang empuk dari tombak mereka. Kisah Intan menjadi pelajaran yang berharga.

26 tahun, Intan hidup di dalam bayang- bayang kegelisahan dan ketakutan. Yang kesemuanya bersumber dari serangan Iblis dan bala tentaranya. Sebutlah kebutaan atau kesurupan yang menderanya sejak kecil hingga lulus SD. Pada detik-detik seperti ini, orangtuanya selalu memanggil orang pintar.

Di sinilah, peran orangtua sangat dominan. Untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Namun, kasih sayang orangtua dan kegelisahan mereka tidak seharusnya membawa mereka mengambil jalan pintas. Demi untuk menyelamatkan seorang anak kemudian memanggil orang pintar. Hanya karena ingin sembuh, kemudian aqidah tergadaikan. Bila demikian, maka syetan telah memenangkan pertarungan pertama ini.

Ini adalah kesalahan yang tidak boleh terulang. Ketidakberdayaan seorang anak seharusnya ditopang oleh orangtua. Dengan membacakan doa-doa perlindungan misalnya. Seperti yang dilakukan Rasulullah kepada kedua cucunya. “Saya meminta perlindungan dengan kalimat Allah yang sempurna untukmu dari setiap syetan dan binatang beracun. Dan dari setiap pandangan mata yang berbahaya.” (HR. Abu Dawud)

Intan termasuk beruntung. la kemudian terdampar di sebuah SMA yang terbilang religius. Di sana, ia memperoleh kesempatan untuk mengikuti berbagai kajian keislaman sebagai bekal dalam menghadapi pertarungan dengan syetan.

Kini, setelah menemukan jati diri, ia berusaha mengadakan perlawanan dan tidak tinggal diam jin yang secara rutin menyambanginya sebulan sekali dilawan dengan doa-doa perlindungan. Karena yang menjadi musuh kali ini adalah syetan. Bukan dilawan dengan pedang atau senapan.

Kita tidak boleh takut kepada mereka, karena sejatinya mereka juga takut kepada manusia. “Syetan lebih takut kepada salah seorang dari kalian, karena itu jika dia menampakkan diri kepada kalian janganlah kalian takut karena akan mengalahkan kalian, tetapi bersikap keraslah kepadanya karena dia akan pergi,” kata Mujahid, seorang ulama dari generasi tabiin.

“Janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamulah yang paling unggul.” Demikian Allah meneguhkan Nabi Musa saat melawan tukang sihir Fir’aun.
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tolak Tegas Rayuan Dukun Sejak Detik Pertama

Harta dan jabatan itu ujian. Dari sisi enak atau tidaknya. Kerja dan prestasi yang kita capai adalah juga ujian. Dari segi sukses atau gagalnya. Maka Allah swt selalu mengingatkan kita tentang pentingnya meletakkan harta, jabatan, serta prestasi prestasi yang kita raih, dalam perspektif yang lurus. Allah swt menjelaskan, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal. 35).

Keyakinan yang mendalam tentang prinsip ini, menjadi kebutuhan mendasar setiap mukmin. Selain sebagai penguat semangat, penunjuk arah, keyakinan seperti itu adalah juga perisai yang kuat di saat seorang mukmin mulai menghadapi godaan dan ujian hidup. Seperti Anggraeni yang mulai merasakan ujian itu, ketika capaian prestasinya mencapai puncaknya. Saat itu yang ada justru ketidaktenangan. Ada setumpuk problem, juga lalu lintas komunikasi kerja yang kacau.

Permasalahan seorang direktur tentu berbeda dengan permasalah seorang office boy. Beban dan tanggung jawab seorang direktur tentu sangat tidak sama dengan beban dan tanggung jawab seorang pencatat administrasi. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin besar dan berat tanggung jawabnya. Tetapi semua itu semakin rumit dan kompleks, ketika Anggraeni secara perlahan mulai terlibat dengan dunia perdukunan. Ketika Ki Brojol datang ke rumah tetangganya. Lalu sesudah itu sering ke rumahnya.

Ada dua catatan mendasar yang layak kita renungkan atas keterlibatan Anggraeni dengan ulah si Dukun. Pertama, dari sisi sang dukun. Betapa Ki Brojol begitu ‘ulet’, terus menerus, tak kenal lelah untuk merayu. Kadang bahkan dengan cara mendesak, menakut-nakuti, memaksa, dan membuat klaim-klain bahwa ia sangat tahu tentang dunia ghaib.

Seperti itulah umumnya ulah dan kelakukan seorang dukun. Sebab, seperti itu pula tabiat ‘maha guru’ para dukun. Yaitu syetan-syetan terkutuk yang selalu menjadi tempat dukun-dukun itu mengabdi. Sebagai makhluk yang sudah memilih untuk menggoda manusia, syetan-syetan itu selalu melakukan upaya yang tak kenal henti. Allah menjelaskan bagaimana syetan itu berusaha untuk menggoda manusia, dengan berbagai upaya dan cara. Syetan-syetan itu bersumpah dan mengatakan, “Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raf: 17).

Begitu pula yang dilakukan Ki Brojol, ia terus berupaya melakukan pendekatan. Mulanya menyapa dengan ramah, menawarkan jasa untuk mengusir jin di kamar 21, katanya. Menebak, mengklaim. Begitu-lah. Segalanya ditampakkan sedemikian menawan. Tetapi di balik itu semua ada niatan keji, kemauan jahat. Sebab ia bekerja atas dasar kebiasaan, transaksi dan ikatan dengan syetan- syetan yang keji lagi sangat jahat.

Kedua, bahwa dalam kasus keterlibatan Anggraeni dengan dukun, yang juga perlu dicatat di sini ialah sikap Anggraeni yang kurang tegas sejak semula. Terlihat sekali betapa setiap kali Ki Brojol menawarkan berbagai hal, pada mulanya Anggraeni menolak. Memang segalanya tidak berubah drastis. Anggraeni toh masih punya kekhawatiran, ketakutan, dan juga penolakan secara kalkulasi rasional. Modal dasar kesadaran itu sudah ada. Penolakan-penolakan di dalam hati adalah kekuatan yang masih menyala. Tetapi tidak adanya keberanian, menjadikan dirinya pada akhirnya terjerumus kepada hal-hal yang tidak diinginkan.

Maka, setelah dibujuk, dilakukan pendekatan, ia akhirnya menyerah dan tidak bisa menolak. Beberapa kali bahkan ia menyetujui hal-hal yang sangat meng guncang jiwa. Seperti dimandikan dengan kembang oleh si dukun itu. Bagaimana mungkin seorang beriman rela membiarkan auratnya dilihat oleh orang lain yang bukan siapa-siapa?

Sikap yang tidak tegas itu, ketika berhadapan dengan desakan yang terus- menerus, akhirnya mengantarkan seseorang kepada kegamangan. Puncaknya, orang selalu masuk ke wilayah yang selalu menyesatkan, yaitu ketika ia sampai pada sikap “antara percaya dan tidak percaya” tentang fenomema keganjilan yang dilihatnya. Ada belut di kolam yang katanya titisan kebaikan, uang lima juta amblas, katanya dikirim untuk orang miskin. Sulit mempercayai semua itu. Tapi semua itu dibiarkan begitu saja.

Dua pelajaran ini harus menjadi renungan setiap mukmin. Bahwa syetan dan para antek-anteknya, para pelayan-pelayannya, yaitu para dukun-dukun itu, akan terus berjibaku menyesatkan manusia: lelaki atau perempuan, kaya atau miskin, direktur atau kuli bangunan.

Tetapi sesungguhnya semua godaan dan tipu muslihat itu tidak ada artinya di hadapan iman dan ketegasan sikap. Semua itu tidak ada artinya di hadapan penyandaran yang kuat kepada Allah. Semua itu tidak ada artinya, bila kita berani melawan sejak kali pertamanya. Seorang mukmin harus berani menolak, berani berkata tidak, kepada segala hal yang meragukan. Terlebih bila nyata- nyata itu datang dari orang yang jelas-jelas dukun. Apapun gelar dan penampilan dukun itu.

Rasulullah dengan sederhana memberikan bimbingan, “Tinggalkan yang meragukan (hati)mu, dan beralihlah kepada yang tidak meragukan (hati)mu.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i). Nasehat ini sudah lebih dari cukup untuk menjadi pegangan seorang mukmin, dalam hal menghadapi tipu daya dan rayuan dukun. Bila hal yang meragukan itu tidak dihindari segera, lama-lama seperti virus ia menggerogoti keyakinan. sesaat demi sesaat. Seperti seekor ulat yang memangsa hijaunya daun, secuil demi secuil, sesudah itu lenyaplah segalanya.

Memang, keteguhan, istiqomah, dan konsistensi juga dipengaruhi oleh suasana hati, kadar pengetahuan, dan juga lingkungan. Karenanya, kita diperintahkan untuk selalu memohon kepada Allah agar diberi keteguhan. “Ya Allah, Dzat Yang membolak balik hati. Teguhkanlah hatiku (untuk taat) di atas agama-Mu.” (HR. Ahmad). Itu bahkan menjadi salah satu do’a yang sangat sering dibaca Rasulullah saw.

Sesungguhnya menjadi teguh itu memang tidak muda. Tetapi keberanian menolak rayuan dukun, sejak detik pertamanya, adalah ikhtiar kemanusiaan yang harus kita pilih dengan kehendak kuat dari dalam jiwa.
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Hati-Hati Sihir Kemandulan

Banyak pelajaran keimanan yang bisa kita ambil dari penuturan panjang lebar Irwan tentang hidupnya. Perpindahannya dari keyakinan dan kebiasaan syirik kepada kesadaran dan dunia iman adalah sesuatu yang paling mahal yang dimiliki oleh seorang muslim. Hidayah Itu memang sangat mahal.

Di sini kita akan mencermati salah satu hal besar yang terjadi di kehidupan Irwan dan istrinya yang sebentar lagi melahirkan. Yaitu kasus kemandulan yang merupakan ulah syetan.

Anak adalah bagian dari darah daging orangtua yang selalu dinantikan hingga tua. Serasa hidup tidak lengkap ketika pernikahan sekian lama belum juga dikarunial keturunan. Seseorang rela untuk mengeluarkan berapa pun biaya untuk berobat di negeri manapun, asalkan dikarunia keturunan. Dengan sangat sabar, apapun dilakukan untuk bisa mendengar tangis, darah daging sendiri. Terbayangkan oleh kita kesabaran Nabi Zakariyya yang tidak putus berdoa hingga beliau tua dan rambut telah beruban hanya untuk meminta seorang anak. Mari kita dengar munajat beliau, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku (pelanjut) sepeninggalku, sedang isteriku adalah orang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Yaqub dan jadikanlah ia ya Tuhanku seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 4-6).

Anak memang bukan segalanya. Tetapi serasa kurang lengkap hidup berkeluarga tanpa anak yang merupakan harapan dan penerus sepeninggal orangtua.

Sungguh suatu hal yang sangat menyedihkan jika sepasang suami istri divonis mandul oleh medis. Maka ketika kemandulan tersebut disebabkan oleh sihir, sungguh orang yang mengirim sihir tersebut sangat tidak berperasaan. Telah melukai hati dan harapan sebuah rumah tangga. Telah membuat sedih panjang yang entah bagaimana menghilangkannya.

Karena ternyata sebagian kemandulan disebabkan oleh ulah sihir. Seperti yang dialami oleh Irwan. Yang diganggu adalah Irwan sendiri. Sebenarnya tidak ada masalah pada hubungan biologis suami istri. Tetapi sudah satu tahun menanti istrinya belum kunjung hamil juga.

Memang mereka belum memeriksakan diri ke dokter. Sehingga belum diketahui secara medis apa penyebab dari tak kunjung hamilnya istri. Ketika akhirnya hamil, berarti secara kesehatan masing-masing pasangan tidak ada masalah. Bisa jadi medis hanya akan mengeluarkan nasehat-nasehat agar lebih banyak istirahat, tidak terlalu lelah dan karena memang sebatas itulah dunia medis.

Ternyata masalahnya tidak hanya sekadar itu. Ada sisi ghoib yang ikut mengacaukan keadaan. Saat diruqyah terungkap bahwa ada jin yang berada di saluran reproduksi suami menghalangi produktifitas sperma.

Hal ini didukung oleh kelakar dukun yang pernah dia datangi, bahwa penyakit anehnya sejak dulu bisa menyebabkan tidak punya keturunan ketika menikah. Nampaknya hanya sekadar kelakar, tetapi bisa jadi ini adalah sinyal bahwa ada jin yang memang sejak itu sudah berada dalam saluran reproduksinya. Dan dukun bisa mengetahui keberadaan jin dengan ilmu sihirnya.

Bukti yang lebih kuat lagi adalah pengakuan jin bahwa pengirimnya adalah teman kantornya sendiri. Pengakuan jin itu telah dikonfirmasi. Hasilnya, sang teman mengakui. Walaupun sebenarnya tidak berniat sampai memandulkan. Karena hanya kasus persaingan job. Dan dia hanya membaca wirid, tidak lebih. Entah dari siapa wirid yang dibacanya, ternyata berdampak kepada Irwan, dengan membuat mandul Irwan selama tiga belas bulan.

Untuk itulah, iseng dalam urusan ini harus dijauhi, karena ini adalah masalah penting yaitu aqidah muslim dan keselamatan orang. Juga masalah wirid yang tidak jelas kajian syariatnya, juga harus dijauhi jika tidak mau mendatangkan jin yang hanya akan menyengsarakan dirinya atau orang di sekelilingnya.

Adapun kasus sihir kemandulan yang terjadi pada Irwan pernah lebih fenomenal lagi pernah terjadi zaman Rasulullah. Sumber pelakunya dari dulu sampai sekarang sebenarnya sama, yaitu Yahudi. Merekalah sumber sihir di masa lalu. Dan mereka jugalah sebenarnya biang kerusakan dan sihir pada hari ini dengan data yang ada di lapangan.

Sebagaimana yang diceritakan oleh Asma binti Abu Bakar ketika hamil Abdullah bin Zubair, dia berkata, “Aku keluar (hijrah) saat menjelang kelahiran, sebelum sampai Madinah aku mampir di Quba’ dan aku melahirkan di Quba’. Kemudian aku membawanya ke Rasulullah dan meletakkannya di pangkuannya. Beliau meminta sebiji kurma, kemudian mengunyahnya dan meludahkannya di mulut bayi, maka yang pertama masuk ke tenggorakan bayiku adalah ludah Rasulullah kemudian mentahniknya (memasukkan jarinya setelah diolesi dengan kurma ke langit-langit mulut bayi sambil berdoa untuk bayi) dengan kurma kemudian mendoakannya dengan keberkahan. Dan ini merupakan bayi pertama dalam Islam, untuk orang muhajirin di Madinah. Orang-orang Madinah sangat gembira mendengar kelahirannya dikarekan dulu pernah ada yang berkata kepada mereka: Yahudi menyihir kalian, sehingga kalian tidak akan pernah punya anak.” (HR. Bukhari no. hadits 3909 dan Muslim no, hadits 5469)

Sihir kemandulan bisa banyak terjadi di negeri kita ini. Mengingat dunia perdukunan dan syirik sangat menggejala dan meluas di sini. Maka banyaklah meminta perlindungan Allah dan dekatkan diri kepada-Nya. Karena tentu akan sangat banyak musuhnya bagi orang yang berusaha menegakkan aqidah di bumi pertiwi ini.

 

 

 

Ghoib Edisi 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Mulanya Hanya Pacaran

Sebenarnya kata: awalnya hanya pacaran kurang pas. Karena tidak ada kata hanya untuk setiap dosa yang dilakukan. Setiap dosa pasti sangat negatif bagi pelakunya. Sehingga tidak ada kata hanya yang berarti meremehkan. Tetapi kata ini muncul melihat anggapan kebanyakan masyarakat yang meremehkan sekali dosa pacaran ini. Orangtua ingin anaknya yang telah mulai dewasa agar segera menggandeng pacarnya ke rumah. Anak muda dianggap telah menyalahi pakem kepemudaan jika tidak berpacaran.

Inilah yang dulu pernah dikatakan oleh shahabat Ibnu Mas’ud, “Kalian meremehkan dosa yang kalian lakukan padahal dulu kami di zaman nabi menganggapnya sebagai suatu dosa yang sangat menghancurkan.”

Kasus Meilawati menjadi pelajaran bagi anak-anak muda kita dan orangtua yang mempunyal anak yang mulai menginjak dewasa. Karena kesengsaraan dan penderitaan Meilawati berawal dari dosa yang sangat disepelekan oleh muslim hari Ini: pacaran.

Pada permasalahan kesaksian kali ini, pacaran adalah percikan api kecil pertama. Tetapi berujung pada sihir yang menyengsarakan berupa sakit kulit berkepanjangan.

Pacaran akan kelihatan besar jika kita pandang dari sisi pelanggaran syariat Allah. Ketika Islam telah memberikan rambu- rambu jelas dan pemisahan antara lawan jenis, ini adalah langkah preventif Islam yang luar biasa agar tidak terjadi kerusakan demi kerusakan setelahnya.

Dan terbukti, pacaran yang merajalela di dunia muda-mudi bahkan pada sebagian orangtua, telah melahirkan kemaksiatan- kemaksiatan lainnya. Dari pacaran, lahirlah berdua-duaan dengan bukan mahramnya, saling berbuat zina dari zina mata, tangan hingga zina yang sesungguhnya. Akhirnya anak lahir di luar nikah. Pergaulan bebas pun mulai dianggap biasa, yang akhirnya menyemburkan penyakit yang belum dijumpai obatnya. Sudah berapa dosa yang lahir dari sebuah kata sederhana: pacaran.

Persis seperti yang disebutkan oleh Nabi tentang dosa dusta, “Jauhilah oleh kalian dusta, sesungguhnya dusta itu menunjuki kalian kepada dosa-dosa yang lain. Dan dosa- dosa itu menuntun kalian menuju neraka.”

Jadi awalnya adalah dusta dan ujungnya adalah neraka. Seperti itulah pacaran, jika tidak segera bertaubat. Bisa membuat di dunia sengsara sebelum di akhirat nanti menanggung dosa.

Seiring dengan perjalanan waktu kemaksiatan pun semakin canggih. Termasuk pacaran, kini telah memanfaatkan teknologi canggih dan sarana kemudahan lainnya yang telah Allah anugerahkan kepada manusia. Tinggal angkat gagang telepon dan suara pacar yang dirindukan pun bisa langsung dinikmati. Berapa pun pulsa dihabiskan tidak lagi menjadi permasalahan. Padahal satu rupiah yang kita punya akan berhadapan dengandua pertanyaan di akhirat kelak: dari mana didapat dan dipergunakan untuk apa.

Seharusnya anugerah Allah berupa teknologi itu dimanfaatkan untuk mempermudah kita beribadah. Karena memang Allah menciptakan alam semesta ini untuk sarana ibadah dan bukan malah untuk maksiat, agar Allah tidak murka.

 

Syetan Bersama Orang Berpacaran

Dalam sebuah hadits nabi Rasul bersabda, “Tidaklah seseorang di antara kalian berdua-dua dengan wanita kecuali yang ketiganya adalah syetan.” (HR. Ibnu Hibban, Tirmidzi dan Baihaqi).

Sebenarnya peringatan nabi di atas sudah sangat sering sekali didengar oleh para kawula muda dan orangtua. Tapi entah mengapa, hal itu seperti angin lalu saja. Bahkan. sebagian menjadikannya sebagai bahan olok-olokan dengan teman-temannya yang ketahuan sedang berduaan, padahal dia sendiri juga sering melakukannya.

Syetan yang selalu menyertai laki dan perempuan yang sedang berpacaran bermakna bahwa syetan tersebut meniupkan syahwat keduanya hingga menjerumuskannya kepada zina. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kita tuhfatul ahwadzi penjelasan dari Sunan Tirmidzi.

Penjelasan senada juga disebutkan oleh Imam al-Munawi, “Arti bahwa syetan yang ketiganya adalah dengan bisikan dan meniupkan syahwat, menghilangkan rasa malu, meremehkan kemaksiatan hingga mendorong keduanya untuk melakukan zina atau hal-hal lain yang menjurus kepada zina. Dan larangan berdua-duaan di sini bersifat haram.”

Untuk itulah, saking pentingnya masalah ini, dalam sebuah riwayat Imam Hakim dalam kitabnya mustadrak, disebutkan bahwa nabi mengatakan larangan ini sebanyak tiga kali.

Selain makna tersebut, kebersamaan syetan juga berarti seperti kisah dalam kasus Meilawati. Di mana, karena cinta yang kandas maka sang mantan kekasih didorong syetan untuk melakukan hal yang sangat tidak terpuji. Yaitu dengan mengirim sihir agar merusak fisik mantan pasangannya dan dengan sihir yang menghalangi jodoh.

Dan akhirnya kita baca sendiri kisahnya. Betapa kemudian syetan selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk menjerumuskan anak cucu Adam dan menciptakan permusuhan sesama mereka.

Memang masalah pacaran adalah hal yang sudah dianggap biasa saja. Tetapi kisah Meilawati kembali membuka pandangan kita bahwa pacaran tidak bisa lagi dianggap remeh. Memang tidak mudah mencabut sesuatu yang sudah mendarah daging. Tetapi mari renungi kisah saudari kita pada kesaksian agar kita tidak terjatuh pada kesengsaraan akibat menabrak rambu- rambu Allah.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 33 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Surat al-Baqarah, Jurus Ampuh Melawan Sihir

Orang jujur sulit ditemukan. Di zaman seperti sekarang. Dengan gaya hidup hedonisme yang berkembang liar. Banyak orang belum puas dan cukup dengan apa yang dimilikinya. Hingga hak dan wewenang orang lain juga diserobotnya. Semua itu sekadar untuk memenuhi nafsu serakahnya.

Seperti kesaksian kali ini. Apa yang dialami Jarwoto adalah sesuatu yang lumrah dan sering kita dengar. Persaingan yang tidak sehat dalam dunia kerja. Padahal secara materi sebenarnya gaji mereka lebih dari cukup. Itu kalau mau jujur.

Daryono bukanlah seorang pegawai rendahan. Tapi nafsu serakah telah menguasai dirinya. Apa yang ada dalam genggaman terasa masih belum cukup. la masih menyerobot hak orang lain. Karena di sana, tersimpan uang jutaan rupiah.

“Apa di situ ada wewenang Bapak?” teguran Jarwoto yang merasa dilangkahi wewenangnya belum menyadarkannya. Sebaliknya teguran itu dianggap sebagai bentuk perlawanan.

Daryono makin gelap mata, melalui buah melon dan wafer tango Daryono mencedarai teman kerjanya. Sungguh sadis, bila syetan telah menguasai jiwa orang-orang yang tamak. Akibatnya bisa disaksikan Jarwoto harus menjalani rawat inap hingga berminggu-minggu. Keanehan-keanehan dalam rumah tangganya pun terus berlanjut.

Dalam kisah Jarwoto ada dua pelajaran yang bisa diambil. Pertama, menyadari bahwa sakit adalah bagian dari skenario Allah untuk menguji keimanan hamba-Nya. Untuk menghapus sebagian dosanya. “Tidak satu pun yang menimpa muslim berupa capek, sakit, susah, sedih, gangguan, gundah, sampai duri yang menusuknya, kecuali Allah pasti menghapuskan dosa-dosanya.” (HR Bukhari)

Tapi jangan sampai salah langkah. Alih- alih menghapus dosa, tapi justru menambah daftar dosa baru. Seperti yang dilakukan oleh kakak dan istri Jarwoto dengan mendatangi dukun adalah suatu kesalahan. Karena ia telah terjatuh kepada kemusyrikan. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya, “Barangsiapa datang kepada seorang dukun, kemudian dia bertanya sesuatu maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.”

Jarwoto akhirnya menyerah, ia yang tadinya masih tidak percaya dengan perdukunan akhirnya terjatuh juga. Hanya Karena tidak mau mengecewakan kakaknya, ia rela menelan racun. Air yang telah diberi jampi-jampi itu pada hakekatnya bukanlah madu, tapi racun yang mengerıkan. Ini adalah kesalahan fatal yang tidak seharusnya terjadi. Keselamatan aqidah jauh lebih utama dari sekadar keselamatan fisik.

Perjalanan hidup Jarwoto selanjutnya semakin kelam. Kegagalan dukun dan medis dalam mendiagnosa penyakit membawanya kepada pengembaraan baru. Ia masuk ke perguruan Rama yang secara nyata bertentangan dengan Islam. Semua agama sama yang dikembangkan aliran ini adalah sesuatu yang fatal. Beruntunglah Jarwoto segera tersadar dari kesalahannya dan melepaskan diri.

Yang kedua, sebenarnya Jarwoto bukan sakit biasa. Kisah seputar mimpinya yang hampir disembelih dengan gergaji oleh seorang dukun perempuan, merupakan indikasi yang kuat bahwa Jarwoto terkena gangguan jin. Karena mimpi buruk berasal dari syetan. Seperti diriwayatkan Bukhari dalam kitab shahihnya “Mimpi yang baik itu datangnya dari Allah, sedangkan mimpi buruk itu dari syetan.”

Bukan berarti setiap orang yang bermimpi buruk dapat dipastikan terkena guna-guna. Ini baru diagnosa awal. Selanjutnya, perlu diperhatikan kejadian- kejadian lain yang menimpa seseorang. Seperti yang dialami Jarwoto, ia mengalami sesak nafas setiap dijenguk oleh Daryono. Satu hal yang tidak terjadi bila dikunjungi orang lain.

Ibarat seorang dokter, bila sumber penyakit sudah ditemukan, tinggal mencari obatnya. Untuk kasus Jarwoto sebenarnya tidak diperlukan biaya hingga jutaan rupiah. Karena penyakitnya bisa disembuhkan dengan tanpa biaya. Tidak juga dengan mendatangi dukun atau paranormal kondang.

Sihir itu bisa dibatalkan dengan ruqyah syar’iyah. Seperti dengan bacaan surat al- Baqarah misalnya. “Jangan biarkan rumah- rumah kalian seperti kuburan. Karena sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan surat al-Baqarah, maka syetan akan lari dari rumah itu.” (HR. Muslim).

Syetan yang berada di dalam rumah sudah lari. Berarti syetan atau jin kiriman tukang sihir juga tidak akan berani masuk. Mereka ketakutan dan tidak bisa menembus pagar ghaib surat al-Baqarah. Bila kita membaca surat al-Baqarah dengan benar dan dengan niatan yang tulus, maka jaminan itu akan kita dapatkan. “…. Bacalah surat al-Baqarah, karena dengan membacanya terlimpah keberkahan, meninggalkan bacaan surat al-Baqarah adalah suatu kerugian dan tukang sihir tidak akan bisa melawannya.” (HR. Ahmad)

Begitulah seharusnya seseorang melawan sihir. Bukan dengan meminta bantuan paranormal, atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Tapi bila memang sibuk dan tidak bisa membaca keseluruhan surat al-Baqarah, maka janganlah lewatkan untuk membaca minimal sepuluh ayat.

Seperti yang tersebut dalam atsar dari Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ad- Darimi, “Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari surat al-Baqarah, maka syetan tidak akan memasuki rumah tersebut pada malam itu. Empat ayat di awal surat al-Baqarah, ayat kursi dan dua ayat sesudah ayat kursi serta tiga ayat terakhir dari surat al-Baqarah.”

Kisah Jarwoto menjadi cermin tersendiri, bagaimana ia melawan serangan sihir seorang dukun yang mencoba membunuhnya melalui jarak jauh. la menggagalkan upaya mbah dukun yang ingin membunuhnya. Kekuatan sihir itu menjadi lemah ketika Jarwoto melantunkan surat al-Baqarah di tengah malam.
Ghoib, Edisi No. 32 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Kalahkan Permasalahan dengan Al-Qur’an dan Doa

Tidak ada masalah kecuali pasti  ada solusinya. Terkadang hanya waktu yang menguji kesabaran kita untuk terus mencarinya dalam koridor syariat. Maka, tidak ada kamus putus asa dalam hidup orang beriman. Terus mencari solusi hingga mendapatkannya atau menghadap-Nya dengan dosa yang telah diampuni.
Sesungguhnya Allah tidak menimpakan suatu penyakit kecuali pasti ada obatnya. Dan itulah yang diberitakan oleh Yang telah menguji manusia dengan penyakit melalui sabda rasul-Nya, “Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari no 5354). Dalam riwayat Imam Muslim pun diriwayatkan semakna dengan redaksi yang berbeda, “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu mengenai penyakit maka sembuh dengan izin Allah azza wajalla.” (Hadits no.2204).
Untuk itulah Imam Bukhari mempertegas hadits ini dengan judul babnya, “Bab: Tidaklah Allah Menurunkan Penyakit Kecuali Pasti Menurunkan Obatnya Dalam penjelasan shahih Muslim bab untuk hadits di atas adalah, “Bab: Setiap Penyakit Ada Obatnya dag Keutamaan Berobat”.
Kesaksian kita kali ini, paling tidak menjadi penguat akan dalil-dalil di atas. Zulaihah seorang ibu yang sangat tersiksa dengan penyakit kepalanya, semakin tersiksa setelah mengetahui hasil kajian medis dokternya. Kanker otak. Penyakit ganas, orang yang mengidapnya dinyatakan tidak akan bertahan lebih dari empat tahun. Tentu saja, menghitung mundur menghadapi kematian bukanlah hal yang mudah bagi siapa pun.
Usaha Ibu Zulaihah mencari kesembuhan memang sempat menemui lorong salah. Sebuah dampak negatif dari kepanikan dalam menghadapi musibah duniawi. Sampai Allah menghendaki Ibu Zulaihah mencoba ruqyah yang diketahuinya dari Majalah Ghoib.
Dan sungguh dua pelajaran berharga kita dapatkan setelah ternyata Allah menghendaki kesembuhan, dan empat tahun limit kematian itu pun berlalu. Pelajaran pertama adalah, bahwa keilmuwan manusia sangat terbatas. Dan umur tetap saja menjadi rahasia Allah. Seperti yang dikatakan dokter sendiri setelah memvonis empat tahun untuk sisa usia Ibu Zulaihah, “… Tapi saya tidak mastikan lho bu.” Untuk itulah, vonis terburuk tentang suatu penyakit yang merupakan hasil kajian ilmu manusia hari ini tetap bukan merupakan vonis terakhir. Karena empat tahun bagi Ibu Zulaihah yang diperkirakan akhir dari usianya ternyata justru merupakan awal dari kesehatannya.
Pelajaran kedua adalah bahwa doa mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat. Walaupun terkadang doa adalah merupakan ‘pelarian terakhir’ bagi kebanyakan orang. Seharusnya, doa adalah bagian dari kehidupan mukmin yang tidak terpisahkan.
Al-Qur’an Juga Obat Penyakit Fisik
Dunia pengobatan hari ini sangat beragam. Dari medis kedokteran hingga rempah-rempah atau pijat. Orang yang sedang sakit biasanya mencoba semua pengobatan tersebut dengan harapan yang penting sembuh.
Dan sudah seharusnya, kita kembali kepada pengobatan dengan al-Qur’an. Sebagai suatu bentuk pengobatan yang didukung oleh wahyu yang tidak mungkin salah dan bukan hanya berdasar pada pengalaman dan hasil observasi. Tentu dengan catatan, harus murni dan tidak dicampuri dengan kesyirikan.
Allah berfirman tentang keberadaan al- Qur’an sebagai obat, “Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian” (QS. Al-Israa: 82).
Imam Qurthubi menukil penjelasan ulama mengenai kata syifa’ (obat) dari al Qur’an, Pertama, al-Qur’an sebagai obat untuk hati dengan menghilangkan kebodohan dan keraguan, membuka penutup hati agar bisa memahami mukjizat dan hal-hal yang menunjukkan eksistensi Allah ta’ala.
Kedua, al-Qur’an sebagai obat dari penyakit-penyakit lahiriah dengan ruqyah, taawwudz dan sebagainya.” (al-Jami li ahkamil qur’an 10/205).
Jadi al-Qur’an adalah merupakan obat yang menyentuh sesuatu yang abstrak yaitu untuk membenahi hati dan yang bersifat nyata bagi penyakit fisik.
Seorang pakar tafsir abad ini lebih mempertegas lagi, “Syifa yang berasal dari al-Qur’an bersifat umum, baik untuk obat hati dari keraguan dan kebodohan, pemikiran rusak dan niat buruk. Dan juga untuk obat badan dari berbagai penyakitnya.” (Syekh Abdurahman as-Sa’di dalam Taisirul Karimil Rahman 3/128)
Dalam pembukaan tafsir al-Fatihah, Imam Ibnu Katsir berkata, “(Al-Fatihah) disebut juga as-Syifa (obat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh ad-Darimi dari Abu Said marfu”, “Fatihah adalah obat dari segala racun.”
Dan ruqyah yang telah dijalani oleh ibu Zulaihah beberapa kali adalah merupakan gabungan doa dan wirid yang berasal dari al-Qur’an dan hadits nabi. Adapun hakekat doa adalah, “Bermunajat kepada Allah ta’ala dengan tujuan untuk mendatangkan manfaat atau menghilangkan bahaya dan bala. Doa adalah merupakan sebab untuk itu semua. Sebagaimana tameng berguna untuk membentengi diri dari panah, air sebagai sebab untuk tumbuhnya tumbuhan. Doa adalah senjata bagi orang beriman. (Al-Qodhi Abu Bakar bin al-Arabi dalam kitabnya Maraqi Zalaf)
Dan Ibnu Qayyim mengajarkan cara berdoa yang bisa mempunyai kekuatan dahsyat untuk menghilangkan penyakit apa saja, “Jika seorang hamba mengumpulkan antara doa dan hati yang hadir, kemudian menjumpai waktu mustajab doa, khusyu dalam hati, rendah hati di hadapan Rabb, menghadap kiblat, dalam keadaan suci, mengangkat kedua tangannya kepada Allah, memulai dengan memuji-Nya kemudian bershalawat kepada Rasulullah, selanjutnya bertaubat dan beristighfar, memohon dengan penuh rengekan, rasa takut dan harapan, bertawassul dengan nama dan sifat- Nya, memberikan shadaqah, maka doa yang seperti ini hampir tak tertolak. Terutama jika doa yang dibaca adalah doa-doa yang diajarkan oleh nabi. Karena doa nabi adalah doa yang cepat dikabulkan, karena mengandung asma Allah yang agung.” (Al- Jawabul Kafi halaman 19).
Sudah saatnya kita kembali menyandarkan diri kepada Allah untuk mengalahkan semua problematika hidup yang semakin komplek..
Ghoib, Edisi No. 31 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M
HUBUNGI ADMIN