Belajar dari Nabi Ibrahim
Kesaksian kali ini menengok sisi lain dari kehidupan ini. Episode kelabu anak manusia yang katanya bermoral dan berbudaya. Tapi ternyata lebih kejam dari binatang. Seorang wanita nyaris menjadi tumbal majikannya. Elis, nama gadis yang malang itu. la nyaris menjadi korban orang yang selama ini dianggapnya telah banyak berjasa. Tapi ternyata tak ubahnya musang berbulu domba.
Kebaikannya itu hanyalah sebuah cara untuk mengelabuhi orang-orang yang mau diincar menjadi sasaran empuknya. Karena sang korban tidak akan curiga. Mengapa kebaikannya nampak terlalu berlebihan. Bukankah selama ini kebaikan demi kebaikan telah diterimanya? Tidak ada alasan untuk berpikiran macam-macam.
Elis memang bukan orang yang pertama. Kronologis kematian orang-orang di lingkaran keluarga Bu Kirani menjadi catatan tersendiri. Dimulai dengan kematian suaminya, disusul oleh orangtuanya, lalu anak pertamanya. Di antara mereka bertiga masih disisipi orang lain. Dia masih bibi Elis sendiri yang menurut penuturan Elis sempat bekerja setahun di rumah Bu Kirani. Mungkin masih ada korban lainnya yang tidak diketahui Elis.
Kisah mencari pesugihan dengan mengorbankan keluarga terdekat bukan lagi berita aneh di negeri ini. Sudah banyak peristiwa beredar dari mulut ke mulut. Apakah itu pesugihan kera maupun babi ngepet. Yang jelas dalam setiap episode kisah mereka tidak sepi dari yang namanya tumbal. Orang yang dikorbankan sebagai barter untuk memperlancar bantuan jin kepada mereka, para pencari pesugihan.
Tidak peduli yang mau diambil itu masih sedarah atau orang lain. Bagi orang yang telah tertutup mata hatinya, yang penting tujuan mereka terpenuhi. “Cintamu kepada sesuatu membuatmu buta dan tuli,” begitulah Rasulullah menjelaskan kepada umatnya bahaya cinta yang tidak berlandaskan pada kemurnian tujuan. Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dari Abu Darda
Tuduhan Elis kepada Bu Kirani sebenarnya berlandaskan kepada bukti kuat yang tidak terbantahkan. Karena ia berasal dari pengakuan Alan yang masih adik kandung Bu Kirani. Dalam kacamata hukum Islam, pengakuan semacam ini menjadi bukti yang kuat. Karena Alan tidak akan asal bicara, la tentu mengetahui dengan baik rencana Bu Kirani yang ingin menyelamatkan anaknya yang terakhir dari keharusan menjadi tumbal. Setidaknya untuk saat itu. Perhatikanlah bagaimana Alan mengungkapkan kesaksiannya.”Lis, kamu mau dibikin tumbal?” katanya. Tidak cukup sekali Alan mengungkapkannya. la kembali mengulangi pengakuannya dengan tingkat yang lebih jelas, la bahkan menyebut aktor utama di balik semua itu. “Lis, kamu jangan sampai dzikir-dzikir. Pokoknya aku kasih tahu, yang membikin kamu begini itu adalah Bu Kirani.”
Bu Kirani hanyalah manusia biasa yang rakus pada dunia. la bukan seorang nabi. Tidak pula seorang rasul. Sehingga setiap perintahnya merupakan bagian dari wahyu. Kasusnya jelas berbeda dengan kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail.
Meski Nabi Ibrahim mendapatkan perintah tersebut melalui mimpi, tapi mimpi seorang nabi itu haq (benar) adanya. Perintah itu juga wajib dipatuhi. Seandainya saat itu Nabi Ismail tidak diganti Allah dengan kambing, dan darah pun mengucur dari lehernya karena ketajaman pedang Nabi Ibrahim, tetap saja hal itu tidak disebut sebagai tumbal Karena Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah.
Sebaliknya kepatuhan Nabi Ibrahim menjadi bukti ketinggian imannya. Menjadi bukti bahwa la memang layak menyandang gelar sebagai kholilulloh. Sebagai kekasih Allah.
Kisah Nabi Ibrahim tidak bisa dibandingkan dengan kisah Bu Kirani. Karena dia hanyalah manusia biasa. Perintahnya tidak wajib dipatuhi. Kehendaknya bukan jaminan atas kebenaran tingkah lakunya. Karena pintu kenabian sudah tertutup saat Rasulullah diangkat sebagai nabi dan rasul terakhir.
Praktis tidak ada orang lain, yang berhak mencabut nyawa orang lain tanpa alasan yang dibenarkan agama. Termasuk Bu Kirani. Persembahan Nabi Ibrahim yang berupa kambing sebagai ganti dari Nabi Ismail diterima Allah. Tercatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah.
Tapi persembahan Bu Kirani dengan mengorbankan orang-orang terdekatnya telah mengantarkannya ke gerbang neraka. karena ia telah berkorban kepada selain Allah. Tumbal itu sejatinya ditujukan kepada jin yang akan setia menggelontorkan kekayaan kepadanya -atas idzin Allah-.
Kembali menengok pada sejarah. Sesungguhnya kisah orang yang masuk neraka karena seekor lalat dan yang lainnya masuk surga karena lalat merupakan payung hukum yang jelas atas perjalanan hidup Bu Kirani bila ia tidak bertaubat sebelum meninggal. Simaklah hadits berikut ini.
Thariq bin Syihab meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Seorang laki-laki masuk neraka disebabkan seekor lalat. Sahabat bertanya, ‘Bagaimana itu terjadi ya Rasulullah?’ ‘Dua orang lelaki melewati suatu kaum yang memiliki sebuah patung. Tak seorangpun boleh melewati patung itu kecuali setelah mempersembahkan sesuatu kepadanya. Maka mereka (penduduk kaum itu) berkata kepada salah seorang dari keduanya, ‘Berkorbanlah!!’ ‘aku tidak memiliki apa-apa untuk dikorbankan’, jawab lelaki itu ‘Kurbankan walau seekor lalat’, tuntut mereka. Maka lelaki itu pun mengorbankan seekor lalat hingga penduduk kaum itu membiarkannya lewat. Lelaki itupun masuk neraka. mereka berkata kepada orang kedua, ‘Berkorbanlah!’ ‘Aku tidak akan mengorbankan apapun kepada selain Allah’ kata lelaki itu. Penduduk kampung itu kemudian membunuhnya dan ia pun masuk surga.” (HR. Imam Ahmad Bab Zuhud. Abu Naim al-Asfahani dalam Hilyatul auliya 1/203)
Iblis Dikutuk Karena Dengki
Dari judul kesaksian kita kali ini, sudah dapat dibayangkan, betapa tersiksanya Vera. Seorang mahasiswi yang dikenal sebagai gadis yang enerjik dan aktif. Meski bukan aktif di kegiatan sekolah, tapi tempat Vera biasa menambah uang saku cukup memberikan gambaran seperti apa vitalitasnya selama ini.
Sebagai seorang gadis yang bekerja port time SPG (Sales Promotion Girl), Vera dituntut untuk selalu ceria dan bertindak cepat, tanggap dan lugas dalam melayani pengunjung yang mampir ke stant yang dijaganya. Masalahnya, semua keceriaan itu mendadak berubah, tak lama setelah ia bertemu dengan salah seorang sepupunya sendiri. Gadis itu bernama Rina. Usianya tidak berbeda jauh dari Vera. Seharusnya hal ini menambah keakraban di antara mereka. Karena mereka satu darah, satu tingkat usia. Satu strata pendidikan.
Toh sekian persamaan itu tidak banyak bernilai. Pertemuan mereka di ajang pameran justru membuka luka lama. Tanpa banyak cincong. Rina langsung menunjukkan ketidak senangannya terhadap Vera yang sedari dulu belum berubah. “Ih…, udah badannya kurus, mukanya makin kelihatan lonjong aja.”
Kita pun mudah menebak, ada apa di balik itu semua. Ada nuansa kedengkian yang berasal dari kebencian dan tidak senang bila ada orang lain yang mengunggulinya. Nuansa hati itu tidak lagi bisa dipungkiri tatkala tercermin dalam tindakan nyata.
Masalahnya, bagi Vera pertemuan itu berujung pada perubahan perilaku yang dialaminya. Dimulai dari mimpi yang menyeramkan, suka bengong di tempat kerja sehingga mendapat teguran dari atasan, adanya beban yang bergelayut di punggungnya, sampai pada kesurupan.
Dari sini, metamorfosis kehidupan Vera dimulai. la tidak lagi seenerjik dulu. Sepulang kuliah langsung ngeloyor pulang ke rumah. Bukan untuk membantu kegiatan orangtuanya, tapi lebih banyak mengisinya dengan tidur dan tidur. Pakaian pun dibiarkannya menumpuk begitu saja. Masalahnya semakin rumit, tatkala ia berubah menjadi seorang pemarah Apapun kata orangtuanya, selalu ditentangnya. Sungguh kasihan.
Mengapa semua itu terjadi? Jawabannya adalah keterlibatan jin dalam diri Vera. Hal itu telah diketahui sejak Vera datang ke Ki Tirto sepulang darı membeli tiket. Masalahnya, jin yang merasuk ke dalam tubuh Vera ternyata tidak hanya satu. Ada jin lain yang terus keluar masuk. Katanya, disuruh masuk kembali oleh orang yang mengirimnya setelah dikeluarkan pada terapi ruqyah.
Vera memang tidak berani menuduh saudara sepupunya. Tapi perang dingin di antara mereka menjadi sinyal yang kuat. Terlebih bila gangguan demi gangguan dialaminya tak lama setelah Rina datang ke rumahnya.
Dalam bedah kali ini, kita menyoroti satu hal. Kalau memang benar Rina yang melakukannya, maka semua itu bermula dari sifat dengki yang menghinggapinya. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena kedengkian merupakan satu dari delapan pintu utama masuknya syetan ke dalam hati.
Dalam kitab Tazkiyatun Nufus, Said Hawa mengatakan yang dimaksud dengan kedengkian adalah mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang yang didengki. Hal ini dalam beberapa keadaannya merupakan salah satu dosa besar.
Kedengkian merupakan penyakit yang memba hayakan kehidupan bermasyarakat. Bahkan bisa menghancurkan sebuah kaum bila penyakit ini tersebar luas di tengah masyarakat. Karena kehidupan tidak dapat ditegakkan di atas kedengkian. Seperti yang telah menimpa Kaum Madyan.
Karena itu dalam beberapa hadits, Rasulullah memperingatkan umatnya agar membuang jauh jauh sifat dengki sedini mungkin. Jangan biarkan dia menguasai kerajaan hati hingga menghancurkannya.
“Telah menyebar di kalangan kalian penyakit umat-umat sebelum kalian. Kedengkian dan kebencian, la adalah pencukur, saya tidak mengatakan pencukur rambut tetapi pencukur yang mencukur agama. Demi yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai, maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang hal yang dapat menetapkan hal itu bagi kalian; sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Tirmidzi).
Sebarkanlah salam. Hilangkan perasaan benci dan dengki kepada orang yang mendapat limpahan kenikmatan dari Allah . Karena dengan itulah seseorang bisa merasakan manisnya surga. Seperti yang disampaikan Rasulullah kepada para sahabat “Dari lorong ini sekarang muncul kepada kalian seorang dari penghuni surga”. Tak lama kemudian muncul seorang dari kalangan Anshar. la menyeka air wudhu dan jenggotnya dan menjinjing sandalnya. Tiga hari Rasulullah mengucapkan kalimat yang sama. Dan lagi-lagi orang Anshar itu yang lewat.
Abdullah bin Amr bin Ash penasaran. la pun ngin mengetahui apa rahasia yang mengantarkannya ke surga, la pun minta izin untuk bermalam di rumahnya. Tiga hari Abdullah bin Amr bin Ash mengamati ibadah orang Anshar tersebut. Tidak ada, yang istimewa. la tidak bangun untuk shalat malam. Baru setelah Abdullah bin Amr pamit pulang dan mengatakan alasannya bermalam di sana, orang Anshar itu menjawab, “Tidak ada apa-apa kecuali yang kamu lihat, hanya saja aku tidak punya rasa benci dan dengki kepada salah seorang kaum muslimin yang dikaruniai Allah kebaikan.
“Itulah yang membuatmu mencapai tingkatan itu dan itulah yang tidak mampu kami Lakukan,” kata Abdullah bin Amr bin Ash. Ketiadaan rasa benci dan dengki dalam hati itulah yang menyelamatkannya dari api neraka.
Sebaliknya. Iblis menjadi makhluk yang paling terkutuk di jagad ini justru karena dengki yang merasuk ke dalam hatinya. Hal ini terungkap dalam dialog antara Iblis dan Nabi Nuh seperti dikisahkan Ibnu Umar dan disebutkan dalam kitab Talbis Bilis karya Ibnul jauzi serta Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang terkenal Ihya Ulumuddin: 2:43
“Ketika nabi Nuh naik ke dalam perahu, ia melihat seorang lelaki tua yang belum dikenalnya di dalam perahu. Nuh berkata, Mengapa kamu naik? Saya masuk karena ingin menggoda hati sahabat-sahabatmu, sehingga hati mereka bersamaku sedang badan mereka bersamamu. Kemudian Nabi Nuh berkata, Keluarlah wahai musuh Allah. Iblis menjawab, Ada lima hal yang dengannya aku akan menggelincirkan manusia. Aku akan menyebutkan tiga di antaranya dan dua yang lainnya tidak.”
Allah kemudian memberikan wahyu kepada nabi Nuh, bahwa Nabi Nuh tidak membutuhkan yang tiga hal itu. Mintalah dia menyampaikan sisanya yang dua.” Iblis menjawab. ‘Dengan dua hal itu aku akan menggelincirkan manusia. Dengki dan tamak. Dengan kedengkian aku dilaknat dan dijadikan sebagai syetan yang terkutuk. Dan dengan ketamakan, Nabi Adam diperkenankan menikmati seluruh isi surga maka saya ingin merebutnya karena itu aku dikeluarkan dari surga”.
Tertusuk Panah Iblis
Pandangan mata adalah anak panah Iblis yang beracun, kata Rasulullah dengan tegas. Jelas, masalah pandangan mata bukan masalah yang kecil. Penyebutannya sebagai panah Iblis menjadi bukti yang tidak terelakkan. Iblis sadar betul kekuatan pandangan mata hingga menjadikannya sebagai senjata utama.
Kesaksian edisi ini menjadi bukti yang kesekian. Farah, seorang ibu rumah tangga, menjadi korban panah beracun Iblis. Farah memang telah menikah. Sebagai seorang wanita yang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, Farah tidak bisa membatasi diri dalam komunitas perempuan.
Di sinilah awal derita itu bermula, seperti diakui Farah sendiri. Seiring dengan pertemuan demi pertemuan. Tatapan demi tatapan, syetan meluncurkan panah-panah asmaranya. Keberadaan Farah dan Bima yang masing-masing telah berkeluarga justru menjadi ladang emas bagi syetan. Ibarat pepatah, sekali mendayung dua, tiga pulau terlampaui. Sekali melepas anak panah dua keluarga tercerai berai. Itu harapan Iblis.
Berasal dari sebuah tatapan mengalir menjadi benih-benih kekaguman. Senyumnya yang menawan, pandangan matanya yang sejuk atau tutur katanya yang manis, semua itu terus terbayang. Mulanya, Farah menganggap itu hal yang biasa, seorang wanita kagum dengan lawan jenis atau sebaliknya.
Di sini, syetan mulai memegang kendali. Seperti yang dikatakan Ibnu Qayyim dalam kitabnya al-Jawabul Kafi liman Sa ala aniddawa isy Syofi pandangan mata sebagai penunjuk jalan dan utusan syahwat. Barang siapa yang membiarkan pandangan matanya, maka berarti dia merelakan dirinya terjerumus ke jurang kehancuran.
Karena itu, sedari awal seharusnya setiap muslim memegang teguh sabda Rasulullah “Janganlah kamu ikuti satu pandangan dengan pandangan yang lain, sebab pandangan yang pertama menjadi milikmu (halal) sedangkan pandangan yang kedua bukan milikmu (haram)” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi), Ini adalah jalan keluar terbaik sebelum terjerembab terlalu dalam.
Kenyataannya, di tengah masyarakat yang menganut faham pergaulan bebas. Budaya perselingkuhan semakin membudaya. Istilah ser for launch juga bukan lagi rahasia umum. Cinta lokasi, juga bukan berita asing di negeri ini. Semuanya bermula dari pandangan mata yang bebas tanpa batas. Tanpa ada keinginan untuk memalingkan diri atau justru menghindari kontak yang semakin jauh.
Namun, semua itu masih tidak bisa menutupi kegelisahan jiwa. Ketika pandangan mata melahirkan gejolak hati, gejolak hati akan menimbulkan kemauan. Kemudian kemauan itu semakin kuat sehingga menjadi keputusan yang kuat. Akhirnya timbullah perbuatan selama tidak ada penghalangnya.
Karena itu ada orang yang mengatakan. “Sabar dalam menahan pandangan mata adalah lebih mudah daripada sabar menahan bahaya yang terjadi sesudahnya. Farah telah merasakan akibatnya. Bertahun-tahun, ia hidup dalam bayangan cinta semu. Pada satu sisi, ia terikat dalam jalinan perkawinan dengan Roni. Tapi pada sisi lain, ia tidak menafikan gejolak perasaan yang muncul dalam hatinya.
la pun tidak lagi bisa mengendalikan bisikan hatinya. Bisikan yang sulit dikendalikan. Ibnu Qayyim dalam kitabnya of-Jowobul Kafi liman Sa’ala aniddawa isy Syafi mengatakan. “Bisikan hati adalah suatu hal yang sulit dikendalikan. Karena ia adalah pangkal dari kebaikan dan kejahatan. Dari bisikan hati timbul kehendak, cita-cita dan tekad bulat. Oleh karena itu barangsiapa mampu menjaga bisikan hatinya, ia akan dapat mengekang hawa nafsunya.”
Bisikan itu senantiasa mendekam dalam hati whingga menjelma menjadi sebuah angan-angan semu “Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, api bila didatanginya, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An- Nur: 39).
Bisikan hati itu tidak lagi terkendali. Hingga Farah harus cemburu kepada Bima. Padahal, ia bukan suaminya. Terlebih bila ia juga harus cemburu kepada Jeng Ike, istri Bima yang sesungguhnya.
Bayang-bayang cinta semu yang semuanya bermula dari pandangan mata. Tidak salah bila kita mengutip pepatah yang sangat terkenal “Dari mana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali. Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.”
Karena itu jagalah mata, bila din ini ingin selamat. Kisah seorang sahabat yang menabrak tembok sangat menarik untuk dijadikan pelajaran.
Lantaran seorang wanita cantik yang menarik perhatiannya. hingga ia pun tidak lagi memperhatikan jalan di depannya. Tembok pun ditabrak. Tanpa ampun, hidungnya berdarah. Tapi sahabat tersebut tidak menyeka darahnya. la membiarkannya sampai bertemu Rasulullah dan mengakui kesalahannya.
Farah dan Bima memang tidak terjerumus lebih dalam. Cinta mereka hanya sebatas dalam bayang-bayang. Dan berakhir dengan perpindahan Bima ke Surabaya. Berakhir ketika mata tidak lagi dimanjakan dengan melihat orang yang mengisi sebagian dari hatinya. Sepuluh tahun kemudian, Farah baru menyadari bahwa selama ini ia hidup dalam permainan pelet Bima.
Ghoib, Edisi No. 62 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M
Syetan Menjanjikan Kemiskinan
“Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan. Sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 268)
Hidup itu bagaikan roda yang berputar. Kadang di atas lain waktu di bawah. Itulah bagian dari sunatullah yang dilakoni manusia. Siapapun orangnya, tidak bisa mengelak dari suratan takdirnya. Tidak pula dengan Anton dan keluarganya.
Bisnis yang dirintis kakeknya dari tahun 1957 terus menanjak. Allah memberikan kemudahan bagi sang kakek menapaki dunia bisnis secara perlahan. Meski untuk meraih kesuksesan itu memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Berjibaku dengan waktu dan pesaing bisnisnya.
Perlahan namun pasti, lima puluh buah tangki minyak tanah berhasil dikelolanya. Sang kakek mencapai puncak kejayaannya. Ibarat pohon makin tinggi, makin deras angin yang menerpanya. Kian banyak gangguan dari kiri dan kanan, dari dalam keluarga maupun luar keluarga. Baik mereka yang mengambil keuntungan maupun mencari kesempatan untuk menjatuhkannya.
Roda pun bergulir, perlahan bisnis kakek Anton kolaps. Dari lima puluh tangki tinggal menyisakan sembilan buah. Di sinilah syetan bermain dan semakin mencengkeramkan kuku kukunya. Sang kakek yang selama ini lurus-lurus saja, mulai goyah. la yang tidak pernah memanfaatkan jasa perdukunan, akhirnya tidak kuasa mempertahankan keyakinannya. Bebas dari dunia perdukunan.
Kekhawatiran bila bisnisnya semakin hancur membuatnya pontang-panting. Ke sana kemari ia meminta jasa dukun dan ‘kyai’ atau bahkan berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 268 di atas benar-benar menakutkannya.
Di sinilah, kekuatan iman seseorang memegang peranan penting. Musibah yang datang beruntun dan di luar perkiraan tidak seharusnya membuat seseorang membabi buta. Dan menempuh segala cara untuk meraih kejayaannya kembali.
Sungguh indah sebuah hadits yang disampaikan Rasulullah. “Ajaban liamril mukmin,” tutur Rasulullah memulai sabdanya. “Sungguh mengherankan kehidupan seorang mukmin itu. Semua urusannya itu baik adanya dan hal ini tidak terjadi kecuali pada seorang mukmin. Bila ia mendapat kebaikan, maka ia bersyukur dan bila ditimpa kesusahan dia pun bersabar.” (HR. Muslim)
Begitulah sejatinya, kehidupan seorang mukmin. Pailit yang diderita bukan alasan untuk berlepas diri dari tali Allah dan meraih bantuan syetan. Karena pada hakekatnya kepahitan itu tidak terlepas dari suratan takdir yang memang harus diterima, bila Allah telah menentukannya.
“Rahmat apa saja yang diberikan Allah kepada manusia tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh-Nya tiada seorang pun yang sanggup melepaskan sesudah itu.” (QS. Fathir. 2)
Firman Allah ini seharusnya menjadi pegangan setiap orang beriman. Tidak pandang bulu, apakah dia seorang pengusaha yang sukses atau seorang pengemis jalanan. Semuanya sama di hadapan takdir.
Artinya, sikap yang ditempuh oleh kakek Anton dengan mendatangi dukun, atau berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan tidak akan menyelesaikan masalah, bila Allah berkehendak lain. Bila Allah masih membatasi rizkinya sebatas yang Allah kucurkan saat itu.
Justru sebaliknya, seharusnya kepahitan yang dialami menjadi sarana introspeksi diri. Barangkali ada hak orang lain yang belum ditunaikannya. Atau setidaknya satu hal yang harus terpatri di dalam jiwa bahwa Allah sedang mengujinya dengan harta. Bila saat uang berlimpah, ia bisa selamat dari rongrongan akidah, sekarang Allah mengujinya dengan kebalikannya. Apakah tetap dengan keyakinannya.
Mendatangi seorang dukun tidak akan membuat order meningkat. Karena pada hakekatnya rizki seseorang telah ditentukan Allah sejak la berada dalam rahim seorang ibu.
“Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi mudhghah selama itu juga. Kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya. Lalu diperintahkan untuk menuliskan empat perkara, rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya…” (HR Bukhari dan Muslim).
Ironisnya, keyakinan sang kakek itu diteruskan penerusnya. Anton yang sejak 1992 diberi kepercayaan terlibat pengelolaan bisnis menempuh langkah serupa. Terlibat dengan perdukunan. Bahkan sebelum bertemu dengan pihak pertamina pun ia merapal wiridan surat al-Ikhlas seribu kali. Bila kemudian, nampak ada kemudahan dan diyakini bahwa kemudahan itu berasal dari wiridan-wiridan yang dirapal, maka syetan semakin tertawa. la telah memenangkan pertarungan untuk kesekian kalinya. Padahal sejatinya, syetan tidak bisa berbuat banyak. “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya.” (QS. Al- Isra’: 30)
Masalahnya tidak semua kelapangan yang diterima seseorang merupakan bagian dari rahmat. Bisa jadi kelapangan itu adalah istidraj. Karena itu, “Terimalah semua yang telah Aku (Allah) berikan kepadamu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al- A’raf: 144)
Ghoib, Edisi No. 61 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M
Syetan Menjerat dengan Syahwat
Diriwayatkan bahwa Iblis berkata, “Saya telah menyesatkan mereka dengan dosa-dosa, tapi mereka mengalahkan saya dengan istighfar. Maka ketika saya mengetahui hal itu, saya kalahkan mereka dengan hawa nafsu. Maka mereka menganggap bahwa diri mereka itu benar, hingga mereka tidak lagi beristighfar.” (Wiqayatul Insan minal Jinni Wasysyaithan:243)
Pengakuan Iblis ini patut direnungkan. Dalam setiap aktifitas kita, tidak seharusnya hawa nafsu mengalahkan akal. Hawa nafsu berperan lebih besar dalam menentukan setiap keputusan kita. Akibatnya tinggal penyesalan yang menyesakkan dada. Tapi apalah daya. Nasi telah menjadi bubur.
Kesaksian edisi ini kembali menegaskan betapa pentingnya mengedepankan pikiran yang jernih. Menimbang masalah dengan kepala dingin sebelum palu dijatuhkan. Terlebih bila menyangkut masalah pernikahan.
Kisah Vita menjadi pelajaran berharga. la semula menghindar ketika Ogan, seorang sopir taxi yang pernah mengantarkannya ke kantor mencoba mendekatinya. la menganggap Ogan seperti sopir taxi yang lain. Sekali antar sudah tidak ada lagi hubungan yang lebih mendalam. Sementara di kantor, ia mengalami masalah yang serupa tapi tak sama. Serupa karena ada laki-laki yang juga tertarik. Kadir namanya. Tak sama karena ia sudah kenal baik dengan Kadir.
Masalahnya, Vita menganggap Kadir sebagai teman biasa yang bekerja dalam satu tugas yang sama. Tapi tidak demikian halnya dengan Kadir. la melihat ada kelebihan Vita yang tidak dimiliki istrinya. Hingga Kadir pun berusaha membujuk Vita agar sudi menjadi istrinya. Ini adalah konsekuensi dari pergaulan bebas di negeri ini. Setiap orang bebas bertemu dengan lawan jenisnya di tempat kerja.
Orang bilang itu adalah cinta lokasi. Meski Kadir harus bertepuk sebelah tangan. Cintanya ditolak. Tapi Kadir tetap nekat. Vita yang semula tegas menolak kehadiran Ogan yang baru dikenalnya, sekarang berbalik. Masalahnya dengan Kadir yang terus meruncing membuatnya tidak lagi berpikir dengan jernih.
Ogan yang belum jelas siapa jati dirinya, menjadi tumpuan harapan. Kehadirannya di tengah kegalauan jiwanya, bagai obat penawar dahaga. Hingga Vita pun terlena.
Baru beberapa minggu kenalan, ia sudah nekat ingin menikah dengannya. Berbagai pertimbangan dari orang-orang terdekat dianggapnya angin lalu. la tidak lagi menghiraukannya. Pukulan orangtuanya semakin membuatnya hilang kendali. Bepergian dengan yang bukan muhrim pun menjadi pelariannya. Hingga larut malam. Padahal ia telah tahu bahwa itu dilarang agama.
Di sinilah syetan benar-benar berperan. Syetan telah membutakan mata hati Vita hingga tidak lagi bisa berpikir dengan jernih. Beberapa minggu sebelumnya, ia telah menyadari bahwa pancaran wajah Ogan mengisyaratkan sifat tidak baik yang dipendamnya. Tapi semua bayangan itu dihapusnya seketika.
Pernikahan. Bukanlah masalah sepele. Segala hal harus dipertimbangkan dengan matang. Sifat, karakter, keluarga, wajah, kekayaan dan yang lebih utama adalah agamanya.
Namun, semua itu tidak lagi menjadi pertimbangan. Karena yang ada dalam benak Vita hanyalah menikah dan menikah. Baginya itu adalah solusi atas masalah yang dihadapinya.
Wahid Abdul Salam Bali dalam bukunya yang terkenal Wiqayatul Insan minal Jinni Wasysyaithan, halaman 246 mengatakan, “Bila hawa nafsu telah memenangkan pertempuran melawan akal, maka orang akan mabuk. la tidak lagi membedakan yang hak dan batil. Bahkan bisa lebih jauh dari itu. Hawa nafsu bisa merubah pola berpikirnya sehingga yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar.”
Bila seseorang telah kehilangan pertimbangan seperti Vita, maka dibutuhkan perhatian yang berlebih dari orang-orang di sekitarnya. Vita dan orang-orang yang senasib dengannya tidak bisa dibiarkan memutuskan masalahnya sendiri. Ini adalah masalah pernikahan. Masalah besar dalam fase kehidupan seseorang. Orangtua memiliki hak untuk mengurus masalah pernikahan anak perempuannya. Dia adalah wali yang sah.
Sungguh menarik pernyataan salah seorang tabiin kepada Hasan bin Ali. la meminta nasihat beliau kepada siapa anaknya kelak harus dinikahkan. “Sesungguhnya aku telah memiliki seorang anak perempuan maka siapakah pria yang menurut pendapatmu cocok untuk kunikahkan putriku dengannya?” Hasan bin Ali menjawab, “Nikahkahlah putrimu itu dengan pria yang bertakwa kepada Allah. Jika ia mencintai putrimu maka ia akan memuliakan putrimu. Jika ia marah pada putrimu maka ia tidak akan mendzalimi putrimu.”
Konsekuensi dari keputusan yang hanya memperturutkan hawa nafsu sudah harus dipetik, tatkala pernikahan baru seumur jagung. Sikap Ogan langsung berubah. Tidak ada lagi kehangatan seperti dulu. Uang belanja pun kadang diberi lain waktu tidak. Bahkan sikapnya jauh menyimpang dari tipe suami ideal. Vita harus menelan pil pahit tatkala melihat suaminya berciuman dengan wanita lain.
Masih belum cukup. Untuk kedua kalinya, sang suami mengkhianatinya. la berselingkuh. Kali ini ia tertangkap basah oleh warga. Syetan telah memenangkan pertarungan ini. Keputusan yang diawali dengan memperturutkan hawa nafsu berakhir dengan perpisahan.
Panji-panji syetan telah berkibar. Iblis memberikan penghargaan yang tinggi kepada syetan yang berhasil memisahkan Vita dan suaminya. Seperti yang tertera dalam hadits riwayat Muslim.
“Sesungguhnya Iblis membangun singgasananya di atas laut. Kemudian ia mengirim bala tentaranya (menggoda manusia). Maka syetan yang paling dekat dengan Iblis adalah yang paling besar menciptakan fitnah (di antara manusia). Salah seorang syetan datang. “Saya telah mela-kukan ini dan itu,” katanya. “Kamu belum melakukan apa-apa,” jawab Iblis. Kemudian ada lagi yang datang, “Saya tidak meninggalkannya hingga ia menceraikan istrinya.” Kemudian Iblis menyuruhnya mendekat seraya berkata, “Kamulah yang terbaik.”
Waspadalah! Sekali Pasang Susuk, Disusul Susuk-susuk Berikutnya
Hidup adalah persaingan. Demikianlah kenyataannya. Siapapun kita pasti merasakan nuansa persaingan dalam segala situasi dan kondisi. Di rumah, di sekolah, saat bertetangga atau dalam lingkungan kerja. Bersama siapa atau dengan siapa.
Elma, narasumber kesaksian kali ini telah merasakannya. Berawal dari perasaan harus memenangkan persaingan, ia rela melakukan apa saja. Pertimbangan agama sudah menjadi urutan yang kesekian.
Nampaknya masalah persaingan, perlu kita cermati sedikit. Agar kita tidak salah kaprah. Pada dasarnya persaingan itu tidaklah salah. Al-Qur’an sendiri dengan tegas memerintahkan umatnya untuk bersaing. Dalam dua ayat yang berbeda, pertama dalam surat al-Baqarah ayat 148 dan yang kedua terletak di surat al-Maidah ayat 48 Allah memerintahkan umatnya untuk berlumba-lumba dalam kebaikan.
Dengan kalimat yang sama. “Berlomba- lombalah (dalam berbuat) kebaikan.” Perintah dalam kedua ayat tersebut menggunakan fiil amar yang berkonotasi wajib. Artinya dalam hidup ini seorang muslim seyogyanya terus berlomba-lomba. Masalahnya dalam kedua ayat itu ada catatannya, yaitu dalam berbuat kebaikan.
Dalam konteks yang lain Rasulullah pernah adu lari dengan istrinya, Aisyah. Dua kali adu kecepatan berlari itu dilakukan. Memang persaingan antara Rasulullah dan Aisyah dalam hal ini masuk kategori mubah. Artinya persaingan menjadi yang tercepat itu boleh dilakukan ataupun ditinggalkan.
Dengan demikian kalimat persaingan sendiri sebenarnya tidak ada masalah. Hanya bagaimana seseorang bersaing, dan dalam hal apa persaingan itu terjadi. Dua hal ini tidak boleh lepas dari pertimbangan.
Elma, misalnya. Dalam menerjemahkan kalimat persaingan itu menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan. Pertama, ia telah datang ke seorang dukun. Dengan satu tujuan memenangkan persaingan dalam dunia mode. Kedatangannya ke dukun jelas suatu kesalahan. Kedua, untuk memenangkan persaingan itu ia minta dipasang susuk.
Padahal susuk, menurut pengakuan Gus Wahid (mantan praktisi pemasang susuk), sejatinya susuk tidak terlepas dari jasa jin. Hal itu sesuai dengan definisi susuk menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Jarum emas, intan, dan sebagainya yang dimasukkan ke dalam kulit, bibir, dahi dan sebagainya disertai mantra agar tampak menjadi cantik, menarik, manis dan sebagainya.”
Emas, intan, maupun jarum yang dijadikan susuk hanyalah benda biasa. la tidak berbeda dengan sandal, piring atau benda mati lainnya. Yang membedakan susuk dengan benda mati lainnya adalah wirid atau mantra yang dipergunakan untuk mendatangkan jin dan merasuk ke dalamnya.
Wirid dan mantra pengundang jin itulah yang membuat susuk dilarang. Apa yang dilakukan Mak Cik menjadi bukti tersendiri. Dengan mantra berbahasa Arab yang dicampur Sunda, ia memasang biji emas, maupun intan ke tubuh pasiennya. Lengkap dengan perlengkapan perdukunannya. Baskom, pendaringan, bunga, kemenyan, patung, keris serta perlengkapan lainnya terkumpul di sana. Sayatan kecil pun tidak berbekas.
Sekian banyak persyaratan pengundang jin itu yang membuat susuk menjadi berbeda. la tidak sekadar benda mati. Tapi kini telah berubah seperti jimat-jimat lainnya baik yang berupa keris, tombak, rompi kekebalan dan sebagainya. Semuanya berujung pada satu kata. Haram.
Sekali terjebak pada permainan susuk, maka ia semakin terseret arus. Satu demi satu bagian tubuh menunggu giliran dipasang susuk. Hingga tidak ketinggalan, bagian yang paling rahasia dalam diri seorang manusia. Begitulah licik dan lihainya syetan mempedaya anak cucu Nabi Adam hingga tak berdaya. Elma mungkin hanya satu dari sekian banyak Elma-Elma lainnya. Terjebak menjadi budak susuk.
SUSUK, BAGIAN DARI SIHIR ILUSI
Berkaca pada sejarah, istilah susuk memang tergolong baru. Tapi dilihat dari cara kerjanya sesungguhnya susuk bukan barang baru. la barang lama yang diperbarui cara dan wahananya.
Kisah Nabi Musa bersama tukang sihir Fir’aun menjadi cermin sejarah. “Maka tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (QS. Thaha 66). Bila dulu, tali- tali tukang sihir nampak seperti ular, tapi sihir ilusi kini semakin beragam.
Bila jin bisa mempengaruhi pandangan seseorang terhadap benda yang nyata, seperti tongkat seakan bernyawa dan bergerak- gerak, maka jin juga bisa mempengaruhi sifat seseorang. Dari yang dulunya benci sekarang cinta. Dari yang dulunya nampak jelek sekarang cantik. Sihir semacam inilah yang disebut dengan sihir ilusi.
Sihir ilusi, menurut Ibnul Qayyim bisa terjadi pada dua sektor. Pertama, pada orang yang dilihat. Pada kasus Elma, bisa jadi jin yang telah masuk ke dalam tubuh pasien melalui perantara susuk itu membuat wajahnya berubah menjadi manis. Jin telah bermain di sana.
Kedua, pada orang yang melihat, artinya. Untuk kasus Elma, bisa jadi wajah Elma tetap seperti semula. la tidak berubah sama sekali. Namun jin mempengaruhi pandangan mata orang lain, bahwa wajah Elma memang manis, gerakan tangannya luwes, langkah kakinya juga menarik perhatian. Padahal sejatinya tidak lah demikian.
Beruntung, Elma menyadari bahwa permainan sihir ilusi harus diakhiri. Meski ia terlanjur ketakutan. Ditambah dengan empat buah susuk yang masih bertahan di dagu. Meski kata dukun yang memasangnya telah dibersihkan. Siapa orangnya yang tidak ketakutan. Bila dalam dirinya, terdapat benda asing yang tidak sepantasnya berkutat di sana.
Terjebak Dalam Mafia Perdukunan
Mafia. Kalimat ini berkonotasi negatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, kalimat mafia diartikan, perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Sekian banyak mafia berujung pada satu muara. Perkumpulan orang-orang yang berniat jahat. Apapun cara dan medianya.
Kesaksian kita kali ini adalah Firli. la terjebak dalam mafia perdukunan. Ratusan dukun ia datangi. Semua itu bermula dari sakit yang dideritanya. Tiga minggu terhitung dari pernikahannya. Entah apa yang melatarbelakanginya. Firli mengisyaratkan ada yang tidak senang dengan pernikahan mereka. Meski ia tidak berani terbuka.
Firli memang layak dikasihani. Di awal pernikahan, ia seharusnya menikmati masa bulan madu dengan tenang. Namun itu tidak terjadi. la didera penyakit susulan yang berujung pada sakit perut.
Aneh. Sangat kental nuansa mistis. Perutnya menggelembung seperti hamil sembilan bulan. Dalam hitungan detik mengempis lalu mengembang lagi. Seperti kisah sihir yang sering dipertontonkan di televisi.
Tapi bencana lebih hebat justru baru dimulai. Syetan yang telah mengibarkan panji-panjinya mulai unjuk kekuatan. Firli dan keluarganya terprovokasi tetangga untuk beralih ke perdukunan. Dua syetan telah menyatu. Syetan manusia memberi informasi, syetan jin menerima order. Klop sudah. Satu persatu orang pintar mereka datangi.
Padahal dalam hadits shahih riwayat Muslim, jelas jelas dikatakan, orang yang datang kepada dukun, shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Ini pertanda buruk. Bila shalat seseorang tidak lagi diterima, lalu apa yang mau dibanggakan?
Sudah tidak ada. Semua bentuk amal kebaikan, nanti, antre di belakang shalat. Bila shalatnya diterima berarti ada peluang bagi amal yang lain. Tapi bila shalatnya tertolak, alamat celaka baginya. Amal-amal yang lain juga tertolak.
Firli dan keluarganya telah terjebak dalam permainan syetan. Sebagai orang beriman tidak seharusnya menghalalkan segala cara untuk mencari kesembuhan. Tapi itulah tipu daya syetan. Mereka menggunakan segala cara untuk meraih cita-citanya. Mencari teman sebanyak mungkin menghuni neraka.
Sekali masuk ke mafia perdukunan akan sulit keluar. Kesaksian Firli menjadi bukti tersendiri. Demi mencari kesembuhan ia rela gonta-ganti dukun. Pagi baru pulang dari seorang dukun, sore harinya sudah berangkat lagi. Tak terhitung sudah dukun yang mereka datangi. Mulai dari dukun biasa hingga yang kental permainannya. Ki Iming misalnya. Kakek yang sudah ompong itu memanfaatkan profesinya untuk kepentingan pribadi. Menyentuh dan menghisap tubuh pasiennya. Tidak peduli wanita itu mahramnya atau bukan. Begitulah yang diinginkan syetan. Sesuatu yang melanggar aturan justru ditrabas.
Wanita memang rawan dipermainkan dukun. Kedok mereka sering terbongkar. Tertangkap dan masuk penjara. Setelah menikmati tubuh pasiennya. Semuanya dengan dalih demi kesembuhan. Firli masih beruntung, Ki Iming hanya menghisap perutnya dan tidak bertindak lebih jauh.
Lain Ki Iming, lain pula Ki Jambrol. Meski satu guru, satu teman. Keduanya bersumber darı bantuan syetan. Cara boleh berbeda, tapi hakekatnya tetap sama. syetan mendemonstrasikan kemampuannya untuk mengelabui pasien. Tubuh dibedah tanpa darah. Tanpa sakit. Tanpa obat bius. Semua itu dipertontonkan di depan mata keluarga Firli. Bila bukan karena bantuan jin, tentu tidak ada manusia yang mampu melakukan atraksi ini. Membedah dan mengeluarkan paku dari tubuh Firli.
Bagi kita, meminta bantuan jin tidak ada untungnya. Justru akan menambah dosa dan kesalahan. Begitulah Allah menyebutkannya dalam surat al-Jin ayat 6.
Delapan tahun Firli berkelana, berpindah dari satu dukun ke dukun. Tidak tanggung- tanggung. Kalau ada rekor terbanyak berobat ke dukun, Fırli layak mendapat nominasi. Ratusan dukun telah didatangi. Semuanya membawa keunikan dan kisah masing-masing. Tapi sayang ini rekor dalam keburukan. Rekor yang tidak perlu terulang.
Terakhir kali, Firli tersandung dengan dukun yang memanfaatkan pasiennya sebagai mediator pemanggilan jin. Firli yang terpilih di antara pasien wanita yang ada. la memang sempat merasakan manisnya bersama Ki Diro. Tapi itu hanya sesaat.
Beruntung. suami Firli sempat melihat sinetron Astaghfirullah. Dari sanalah hidyah Allah mengalir. Firli dipertemukan dengan terapi ruqyah. Yang pada akhirnya mengakhiri petualangannya berobat dari satu dukun ke dukun yang lain. Semuanya telah berakhir.
Waspadai Jin yang Merasa Terdhalimi
Berbuat semena-mena terhadap orang lain termasuk dosa. Untuk itulah Rasul telah mengingatkan kepada kita akan bahaya perilaku kedhaliman. “Kedhaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat,” begitu sabda Nabi. Di dunia, kedhaliman itu bisa menyebabkan dendam kesumat.
Namun sulitnya, kalau yang merasa terdhalimi itu adalah makhluk yang tidak kelihatan, yaitu jin. Dia merasa terusik oleh ulah manusia. Akhirnya dendamnya membara dan menyerang kita yang tidak bisa melihat mereka. Tentu ini sangat berbahaya. Apalagi jin itu mempunyai dendam membara sepanjang waktu. Mereka berusaha untuk membalaskan dendam itu dengan cara apa pun. Seperti halnya moyang mereka yaitu Iblis, yang sangat dendam kepada Adam yang menyebabkan dikeluarkannya dari surga. Dendam sejak penciptaan manusia pertama itu, hingga hari ini bahkan hingga Allah menggulung langit dan bumi kelak. Dendam dengan usia terpanjang dalam sejarah.
Pembalasan yang dilakukan jin bisa lebih kejam dari yang dilakukan manusia. Seperti kisah yang dialami ibu Rina. Jin yang menurut pengakuannya bahwa anak-anaknya tersiram air panas yang ditumpahkan oleh ibu Rina di kamar mandi, menyakiti ibu Lisa dengan lebih kejam. Setumpuk penderitaan dirasakan ibu Rina. Mulai rasa khawatir dan takut yang berkepanjanan, pusing sebelah bertahun-tahun sampai bisikan untuk membunuh anak sendiri. Sungguh teganya jin yang menyesatkan itu. Untuk itulah Allah melarang kita untuk bekerjasama dengan jin dalam bentuk apa pun, untuk tujuan apa pun dengan jin jenis apa pun.
Islam tidak meninggalkan urusan sekecil apa pun. Termasuk peringatan-peringatan agar kita berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Masalah kedhaliman yang mungkin kita lakukan dengan tidak sengaja terhadap jin juga telah diberikan peringatannya. Kamar mandi dan lubang-lubang tanah adalah salah satu tempat jin. Maka Islam melakukan langkah preventif dengan memberitahukan bahwa tempat itu adalah tempat jin dan tidak diperkenankan untuk mengusik tempat tersebut.
Dalam doa yang dibaca sebelum masuk kamar mandi, sangat jelas bahwa kamar mandi adalah tempat keberadaan jin. Untuk itulah kita memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan jin laki-laki ataupun perempuan ketika memasukinya. Demikian juga pada masalah lubang tanah. Dalam kitab Sunan karya Imam Nasa’i, beliau menuliskan satu bab: dilarangnya kencing di lubang (tanah). Kemu- dian beliau meriwayatkan sebuah hadits dari shahabat Abdullah bin Sirjis bahwasanya Rasulullah bersabda, “Jangan ada di antara kalian yang kencing di lubang (tanah).” Ada yang bertanya kepada Qotadah mengapa ada larangan itu, beliau menjawab, “Itu rumah jin.”
Jika jin jahat yang berfikiran sangat pendek dan jahat merasa terusik, maka tidak segan- segan dia melakukan kejahatan kepada kita. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam bukunya telah mengatakan hal ini, “Kesurupan paling sering terjadi akibat jin marah karena mereka terkena perbuatan salah manusia sehingga mereka menghukum orang yang melukai mereka. Misalnya, ketika manusia secara tidak sengaja mengganggu atau menyakiti mereka dengan mengencing mereka, dengan menyiramkan air panas pada mereka, atau dengan membunuh sebagian di antara mereka, maka sang jin mengira bahwa mereka telah disakiti dengan sengaja. Meskipun manusia tidak menyadari apa yang telah diperbuatnya, namun jin memang sifatnya sangat bodoh, kasar dan berubah-ubah perilakunya, sehingga karena menaruh dendam mereka menghukum manusia jauh lebih dari yang sepatutnya.”
Bismillah Mengerdilkan Jin
Inilah solusinya. Agar syetan yang berada di sekitar kita tidak mampu mengganggu kita. Membaca Bismillah (Dengan menyebut Nama Allah).
Untuk mereka yang ingin membuang air panas di kamar mandi misalnya, bacalah bismillah terlebih dahulu. Memang tidak ada dalil secara langsung untuk masalah buang air panas membaca bismillah. Tetapi ada dalil umum tentang bismillah yang berhubungan dengan dunia jin itu. Dengan keberadaan jin di kamar mandi yang bisa tersakiti oleh air panas, maka bismillah mampu melindungi kita dari balas dendam mereka.
Bismillah mengerdilkan jin dan kekuatannya. Seseorang di zaman Rasul bercerita, “Aku pernah diboncengi Nabi, tiba-tiba tunggangannya itu terjatuh. Aku berkata: Celaka syetan. Maka Rasul pun berkata:Jangan kamu katakan itu, karena jika kamu katakan itu, syetan membesar sampai sebesar rumah dan berkata: dengan kekuatanku. Tetapi katakanlah Bismillah sesungguhnya jika kamu membaca itu, syetan mengecil sampai seperti seekor lalat.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan Hakim).
Barangsiapa yang membaca Bismillah dalam setiap aktifitasnya, diberikan oleh Allah kekuatan yang tidak mampu ditembus oleh jin. Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah bersabda, “Tutuplah pintu dan sebutlah Nama Allah, sesungguhnya syetan tidak mampu membuka pintu yang ditutup. Balikkanlah wadah-wadah kalian dan sebutlah Nama Allah dan tutuplah bejana-bejana kalian dan sebutlah Nama Allah, walaupun kalian hanya meletakkan sesuatu di atasnya.”
Dikeroyok Jin, Karena Buang Air Panas Sembarangan
Hati-hatilah saat buang air panas dan jangan membuangnya sembarangan. Karena anda mungkin akan menyiram jin yang kebetulan tinggal di tempat tersebut. Seperti pengalaman Rina, seorang ibu rumah tangga asal Jakarta Timur yang telah bertahun-tahun lamanya membuang air panas sembarangan. Satu keluarga jin akhirnya mengganggu Rina. Hingga derita pun tidak lagi terelakkan. Cemas dan hilang semangat, badannya kurus dengan tatapan mata sayu. Berikut penuturan kisahnya kepada Majalah Ghoib, setelah diruqyah yang ke empat kalinya.
Saya hidup di tengah keluarga yang harmonis bersama dengan suami dan anak-anak saya. Canda tawa yang penuh ceria seakan menjadi bagian keseharian kami sekeluarga. Namun, keceriaan itu mulai terusik setelah saya mengalami kejadian yang cukup mencengangkan. Di suatu malam pada bulan Januari 2004 muncullah suatu kejanggalan di kamar saya. Seperti biasanya saya tidur bersama suami dan anak saya yang paling kecil, Afif namanya, Malam semakin larut, dan suara binatang malam terus menggelitik telinga. Di tengah ketenangan itulah tiba-tiba muncul seberkas sinar bulat dari pojok kamar bagian atas.
Saya penasaran sinar apakah itu. Tatapan mata saya seakan tidak bisa terlepas dari sinar itu. Ooh, … sinar itu bernyawa. la bergerak perlahan dan tiba-tiba melesat, ‘Seeet… buuk’. Belum hilang keterkejutan saya, sinar bulat tersebut telah menghantam dada hingga saya terjengkang. Ini bukanlah halusinasi, karena saat itu saya dalam keadaan terjaga di bawah cahaya lampu kamar yang terang.
Bulu kuduk saya pun merinding. Dalam ketakutan itu saya membangunkan suami yang tertidur pulas. Nampak dari guratan wajahnya, ia sama sekali tidak terganggu dengan peristiwa yang baru terjadi. “Yah, kok ada sinar masuk ke dada ibu. Sinar apa ya?” “Ah, itu tidak apa- apa,” ujarnya menenangkan hati saya yang masih was-was. Sepenggal kata menyejukkan tersebut mengalahkan keterkejutan yang bercampur dengan ketakutan hingga saya pun kembali terlelap dalam tidur.
Peristiwa malam itu melengkapi derita yang saya alami. Sebelumnya saya sudah menderita sakit migrain bertahun- tahun. Namun apa yang terjadi setelah masuknya sinar bulat ke dada saya seakan mengobrak- abrik pertahanan saya selama ini. Sejak saat itu, saya mulai cermas dan ketakutan tanpa sebab yang pasti. Saya sendiri heran mengapa cemas sedemikian rupa padahal tidak ada apa-apa. Rasa cemas itu selalu muncul menjelang Maghrib.
Untuk menghilangkan rasa cemas itu saya berusaha banyak berolahraga. Saya tidak lagi peduli dengan komentar orang- orang yang sempat melihat tingkah pola saya. “Ibu, mainan tali kayak anak kecil saja,” ujar Afif, ketika melihat saya bermain tali. “Biarin, wong ibu pingin sehat,” jawab saya sambil terus bermain tali. Kadang- kadang saya juga lompat-lompatan di depan suami sambil menonton TV. Awalnya ia juga terkejut, namun setelah saya jelaskan ia pun menjadi paham dan sering mengingatkan saya, “Bu, senam bu. Jangan lupa.”
Rasa cemas itu akhirnya membawa saya datang ke pengobatan alternatif di Tanjung Priok, dengan ditemani suami. Waktu itu hari Minggu dengan mengendarai sepeda motor di tengah terik panas matahari. Ketika sampai di rumah sang dukun waktu sudah menjelang senja.
Saya dan suami dipersilahkan masuk ke ruang tamu. Tak lama setelah saya menyampaikan permasalahan yang saya hadapi, dukun tersebut mengambil minyak wangi dan mengusapkan ke tangan kanannya. la menyuruh istrinya mengambil satu botol air. Sang dukun kemudian berkomat-kamit dengan bahasa yang tidak saya pahami, lalu meniup air di botol tersebut sebelum mengocok-kocoknya kemudian saya disuruh meminumnya. Baru dua teguk meminumnya, saya langsung tidak bisa mengendalikan diri lagi. Tiba-tiba muncul perasaan benci kepada dukun itu, “Eh, jelek loe. Tukang bohong loe,” bentak saya kepadanya. Botol air yang masih saya pegang langsung saya tutup dan saya lempar kepadanya dengan geram.
la terkejut melihat reaksi saya. Dan dengan segera mengambil kembali botol aqua yang saya lemparkan lalu mulutnya kembali komat-kamit. Tak lama kemudian terdengar suara aneh dari sang dukun, “Woohini aku”. Ternyata ia sekarang menjadi media jin untuk mengobati saya. “Saya minta minyak wangi. Saya tidak minta apa-apa. Cuma nanti dikirimi minyak wangi saja,” ujar jin melalui mulut sang dukun.
Selesai pengobatan sang dukun bercerita bahwa ia tidak memungut biaya. Si pasien hanya diminta datang lagi dengan membawa minyak wangi. Kedatangan pasien sendiri bisa bertahap. Awalnya tiga hari sekali, lalu seminggu sekali kemudian sebulan sekali. Setiap kali pasien datang terlebih dahulu sang dukun shalat dua rakaat lalu menjalin kontak jarak jauh dengan pasien. Dari kontak batin tersebut si pasien ditunjukkan minyak wangi jenis apa yang harus dibawa.
Mendengar penjelasannya saya semakin yakin bahwa ia menggunakan jin. Saya yakin botol air yang dibaca menjadi media jin antara pasien dan sang dukun. Dari sini saya sudah tidak percaya dengan cara pengobatannya. Sebelum pulang, dukun tersebut memberi saya sebotol air yang pada akhirnya saya buang di halaman masjid. Saya tidak ingin kerasukan jin gara- gara minum air itu,
Pengobatan di Tanjung Priok bukannya menyelesaikan masalah tetapi malah semakin memperparah keadaan. Terus terang, rasa cemas dan hawatir semakin tak terkendali. Saya seperti orang linglung. Sering lupa dan tidak ingat lagi apa yang harus saya lakukan. Misalnya ketika saya berada di ruang tamu dan ingin mengambil obat di dapur, saya langsung lupa begitu sampai di dapur. “Duh ya Allah…. Tadi itu mau ngapain ya. Saya kok lupa begini sih.” Akhirnya saya balik lagi ke ruang tamu dengan menyusuri kembali jalan ketika ke dapur. “Saya tadi melangkah dari sini, terus ke ruang tengah dan… Oh iya, saya mau ngambil obat.” Kejadian seperti ini seringkali berulang.
Tetangga kiri kanan juga bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya, “Kok ibu Afif sekarang tidak seperti dulu, kenapa?” tanya para tetangga kepada yang lain. Bisik-bisik tetangga yang tidak ditemukan jawabannya.
Penderitaan yang tiada henti semakin membuat saya gelap mata. Sungguh menggelikan memang. Saya disuruh makan telur isim tujuh, yaitu telur ayam matang dengan tulisan arab tujuh surat dalam al-Qur’an di kulitnya. Saya disuruh menjilat tulisan tujuh surat tersebut sebelum memakannya. Katanya bila telur dikupas dan warnanya menjadi hitam berarti ada orang yang jahat sama saya. Ada orang yang jahil kepada saya.
Bisikan Menyuruh Saya Membunuh Anak Saya Sendiri
Februari 2004, penderitaan saya semakin lengkap. Ya, keteguhan hati seorang ibu sedang di uji dengan datangnya bisikan tanpa diketahui siapa yang berbicara. Tanggal 22 Februari sebenarnya adalah hari ulang tahun Afif. la menangis dan merengek minta dibelikan robot-robotan sebagai hadiah ulang tahun. “Kok, ayah lupa hadiah ulang tahun Afif sih,” rajuknya sambil terus menangis. Apa boleh buat, saya biarkan saja Afif menangis karena suami saya masih belum pulang kerja. Selang beberapa menit kemudian terdengar dering telpon. Ternyata suami saya yang menelpon. “Ayah, sekarang ulang tahun Afif. Kok ayah lupa sih?” rengek Afif kepada bapaknya. Hari itu Afif menangis terus, hati saya pun semakin tidak tenang.
Belum lagi kering keringat suami, begitu ia sampai di rumah langsung saya ajak pergi ke toko mencari robot-robotan buat Afif yang telah menangis berjam-jam lamanya. Nah, pada saat saya dan Afif sudah naik sepeda motor, sementara suami saya masih di dalam rumah, tiba- tiba terdengar deru angin kencang yang disusul dengan suara mengerikan. “Whuuu, whuuu, haa haa hii hiii. Anak kamu ini nakal. Bunuh saja!” ujar suara asing itu. Saya perhatikan sekeliling, tidak ada seorang pun kecuali kami berdua. Namun suara itu, terasa dekat sekali. Suara itu berasal dari sepeda motor yang sedang saya naiki. Bulu kuduk saya langsung merinding.
Sejak saat itu, saya tidak mau makan dan tidak lagi bisa tidur. Bagaimana mungkin saya membunuh darah daging saya yang saya rawat dengan susah payah sejak kecil. Hati orang tua mana yang tega mendengar bisikan seperti itu. Sehingga menjadi wajar bila bisikan mengerikan itu terus saja terngiang di telinga, walau telah berlalu berhari-hari. Akibatnya badan saya semakin kurus, mata saya semakin kuyu. Berat badan saya pun turun 6 kg. Saya akui, memang saat itu saya telah kehilangan semangat. Kalau bukan karena ingat pada Allah dan perhatian keluarga, saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya. Suami saya sampai kebingungan melihat saya tidak mau makan dan tidak bisa tidur. Saya hanya bengong dengan tatapan mata kosong.
Peristiwa itu kemudian saya ceritakan kepada teteh (kakak perempuan) saya. “Jangan diikuti. Itu mah bisikan syetan. Bilang saja, ‘kamu yang harus dibunuh. Bukan anak saya, yang menentukan umur mah Allah,” kata teteh.
Terus terang, sejak awal keluarga saya berpikir bahwa saya mengalami tekanan mental. Untuk itu saya dibawa berobat ke psikiater. Anehnya, dokter sendiri dibuat bingung. “Kok ibu dikasih obat ini tidak mempan diganti dengan obat lain juga tidak berhasil,” kata dokter kepada suami saya.
Pertemuan dengan Majalah Ghoib
Dari sini keluarga saya sadar bahwa apa yang saya alami ini ada kaitannya dengan gangguan jin. Karenanya dalam kondisi fisik yang lemah, mata kuyu dan kaki yang terasa berat untuk digerakkan saya datang ke kantor Majalah Ghoib. Waktu itu saya mendapat jadwal terapi dua puluh hari kemudian. Wah lama amat, pikir saya. Dan secara kebetulan beberapa hari kemudian akan diadakan terapi ruqyah di Hotel Sofyan. Ini adalah kesempatan yang tidak boleh terlewatkan, dan saya pun ikut mendaftar.
Ruqyah di hotel Sofyan terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah ceramah seputar gangguan jin dan dilanjutkan dengan terapi ruqyah massal. Pada sesi ceramah, saya merasa biasa saja, namun pada saat ruqyah di mulai beberapa menit tangan saya langsung teracung ke atas tanpa dapat saya kendalikan. Saya berteriak histeris, “Saya tidak mau membunuh anak saya. Saya tidak mau… Eh, jangan. Jangan itu anak saya.” Yang saya rasakan saat itu ada yang berbuat jahat terhadap anak saya. Saya terus berteriak pilu. Teriakan yang menyayat hati siapapun yang mendengar, apalagi mereka melihat langsung bagaimana kondisi saya saat itu.
Malam itu saya diterapi sebentar dan dilanjutkan keesokan harinya, tempatnya masih di Hotel Sofyan. Saat diterapi Ustadz Junaidi, saya merasa kepanasan, dada sesak dan ingin berontak. Lalu terjadilah dialog dengan jin yang merasuk ke tubuh saya. “Siapa kamu?” tanya Ustadz Junaidi.
“Romlah”.
“Kenapa kamu mengganggunya?”
“Karena dia buang air sembarangan.”
“Maksudnya apa?”
“Dia menyiramkan air panas di kamar mandi dan mengenai anak saya.”
“Ada berapa yang ada di sini?”
“Saya dan ketiga anak saya”
“Semuanya dari kamar mandi?”
“Iya.”
“Salahmu sendiri. Dia kan tidak tahu. Kamu tidak kelihatan. Dia kan membuang air panas di mana saja. Kalau kamu tahu ada orang mau buang air panas, jangan tinggal di situ. Sekarang bila kamu benar-benar mau bertobat. Kamu harus keluar dari Lisa. Biar dia membaca basmalah ketika membuang air panas. Suamimu ada nggak?”
“Tidak ”
“Romlah, siapa nama anak- anakmu?”
“Kodir, Kasim dan Rahmat”
Kemudian Ustadz Junaidi meminta Kodir, salah seorang anaknya Romlah, untuk Naik ke mulut dan diajak berdialog.
“Dir … dir. Kenapa kamu mengganggu orang ini?”
“Disuruh ibu saya.”
“Namamu diganti dengan Abdul Kodir.” Jin Abdul Kodir yang diperintahkan ibunya untuk mengganggu Lisa akhirnya menyerah dan mengucapkan dua kalimat syahadat. la diikuti dengan kedua saudaranya serta jin Romlah. Mereka disuruh Ustadz Junaidi untuk pindah ke masjid.
Sakit Kepala Bertahun-Tahun Itu
Dialog antara Ustadz Junaidi dengan satu keluarga jin penghuni kamar mandi tersebut menyadarkan saya apa yang terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Memang saya suka membuang air panas bekas masakan daging sembarangan. Air panas itu tanpa saya dinginkan terlebih dahulu. Dengan harapan lemaknya juga ikut terbuang dan tidak sulit membersihkannya.
Saya cuek saja meski ibu mertua sejak awal sudah mengingatkan saya agar menghentikan kebiasaan yang tidak baik ini. “Jangan suka buang air mendidih sembarangan,” kata ibu mertua suatu kali. Saya tetap tidak mengindahkan peringatan ibu mertua sehingga pada kesempatan lain, saya membuangnya di lubang-lubang semut yang banyak terdapat di pekarangan rumah. Dan pada kesempatan lain saya membuangnya di kamar mandi. “Rin. Jin itu sukanya di lubang-lubang. Jadi tidak boleh nutup lubang- lubang. Tidak boleh buang air sembarangan. Biarkan airnya menjadi dingin dulu” kata ibu mertua ketika melihat saya masih membandel. “Ah, itu sih tahayul. Biarin saja biar jinnya mati,” kata saya lagi.
Sakit kepala sebelah yang lebih dikenal dengan migran sudah sekitar delapan tahun saya derita. Bisa dipastikan setiap menjelang datangnya haidh, kepala saya pasti pusing sekali. Yang lebih aneh lagi, sakit kepala tersebut selalu menyerang menjelang Maghrib. Memang awalnya saya tidak tahu bahwa sakit migrain tersebut akibat gangguan jin yang membalas dendam karena tempat tinggalnya sering saya siram dengan air panas. Sehingga untuk menghilangkan rasa sakit itu saya selalu minum obat sakit kepala. Namun hasilnya tidak memuaskan. Sakit kepala itu terus saja menyerang.
Kalau sudah semakin parah biasanya saya sampai muntah- muntah. Waktu saya berobat, dokter hanya mengatakan bahwa sakit kepala tersebut akibat pengaruh hormon. Maklum, seperti yang saya katakana tadi, migrain selalu datang menjelang haidh, sehingga saya tidak punya pikiran macam-macam.
Untuk mengurangi rasa sakit kepala, saya pernah diajari salah seorang kerabat dekat saya ilmu tenaga dalam. Saya disuruh menghadap ke barat dan kakak berada tepat di belakang saya. Sejenak saya disuruh menarik nafas dalam-dalam dan bila tangan saya nantinya bergerak sedemikian rupa, maka saya harus mengikutinya saja. Memang, saat itu tangan saya bergerak sendiri, saya sempat keheranan di buatnya.
Gerakan-gerakan tangan yang diajarkan tadi harus diperdalam kembali di rumah. Ketika saya praktikkan di rumah, saya menjadi seperti orang gila. Sesekali tengok kiri- kanan. Takut kalau ada yang melihatnya. Ketika sudah berjalan beberapa hari, saya disuruh latihan gerakan shalat tanpa bacaan. Saya melakukan gerakan shalat satu rakaat tanpa salam. Kakak saya sempat bertanya, “Lho, kok tidak pakai salam.” “Lha wong shalat bohong- bohongan, masak pakai salam, Siapa yang disalamin,” jawab saya sambil tertawa.
Saya bersyukur, derita berkepanjangan akibat sakit migrain akhirnya sembuh setelah saya mengikuti terapi ruqyah ke empat kalinya. Dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa sakit kepala tersebut akibat gangguan satu keluarga jin yang dendam karena rumahnya terusik oleh siraman air panas, seperti yang terjadi dalam dialog dengan jin ketika diterapi.
Inilah sepenggal kisah hidup saya yang mengalami derita berkepanjangan. Semoga kisah ini dapat dijadikan renungan oleh setiap orang bahwa tidak selayaknya kita membuang air panas sembarangan. Barangkali di tempat tersebut menjadi tempat tinggal jin yang tidak terlihat oleh mata kita.
Ghoib, Edisi No. 20 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M