Semut adalah segelintir binatang yang namanya diabadikan di dalam al-Qur’an sebagai nama surat pada urutan yang ke 27. Satu keistimewaan yang tidak terlepas dari sebuah kisah yang terjadi pada masa Nabi Sulaiman. Tatkala Nabi Sulaiman dan balatentaranya yang terdiri dari manusia, jin dan burung melewati lembah di Syam seperti dikatakan Qatadah.
Seekor semut yang bersayap kemudian menyampaikan kepada teman-temannya kedatangan tentara Nabi Sulaiman dan menyuruh mereka segera menyelamatkan diri agar tidak terinjak, “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml. 18) Sungguh indah ungkapan itu, sehingga Nabi Sulaiman pun tersenyum saat mendengarnya.
Selain disebutkan di dalam al-Qur’an, semut juga beberapa kali disebutkan di dalam hadits, di antaranya adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang semut yang menggigit seorang Nabi. “Abu Hurairah mendengar Rasulullah berkata, “Ada seekor semut yang menggigit seorang Nabi di sarang semut. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya bahwa hanya karena digigit semut lalu kamu bakar satu umat dari umat-umat yang bertasbih.” (HR. Bukhari)
Dalam sebuah riwayat yang dikutip Imam Qurtubi dalam tafsirnya disebutkan bawah nabi yang dimaksud dalam hadits di atas adalah Nabi Musa. Hal ini tidak terlepas dari ungkapan Nabi Musa yang mempertanyakan mengapa Allah membinasakan seluruh desa padahal di antara mereka ada penduduk yang shalih dan taat.
Tanda tanya itu kemudian dijawab Allah dengan membuat Nabi Musa tertidur pulas di bawah sebuah pohon rindang di tengah terik panas matahari. Sementara itu semut telah menjadikan pohon tersebut sebagai rumah bagi koloni mereka. Di tengah kenyamanan tidur itu, Nabi Sulaiman merasa terusik dengan gigitan seekor semut. la pun marah dan membunuh sang semut. Namun, kematian seekor semut penggigit itu masih belum bisa meredakan kemarahannya, sehingga Nabi Musa mencari sarang koloni semut dan membakarnya.
Ibrah yang dipetik dari hadits ini adalah bahwa hanya karena kesalahan seekor semut, satu koloni semut mati terbakar. Hal ini berbeda dengan adzab Allah atas suatu kaum. Karena pada hakekatnya adzab itu merupakan bentuk rahmat, keberkahan dan penyucian Allah kepada orang-orang yang sholih. Sedang bagi orang yang dholim maka itu adalah siksa bagi mereka. Karena itu di dalam hadits ini tidak ada yang menunjukkan kemakruhan atau pengharaman membunuh semut.
Membunuh semut dan membakar binatang memang dibolehkan dalam syariat Nabi Musa. Sedangkan dalam syariat Nabi Muhammad hal itu tidak dibolehkan sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah melarang membunuh empat hewan; semut, lebah, burung hud-hud dan burung sharid (jenis burung yang lebih besar dari burung pipit).”
Hal ini berbeda bila semut tersebut menggigit dan berbahaya. Dalam kondisi seperti ini kita dituntut untuk mempertahankan diri meski harus dengan membunuhnya.
Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M