Burung Hud-Hud

Burung Hud-Hud bukan sembarang burung, yang hanya pandai terbang kesana kemari. Burung Hud-Hud jelas berbeda dengan itu semua. la memiliki kemampuan yang tidak dimiliki semua hewan.

Layaknya seorang ahli yang bisa mengetahui keberadaan barang tambang jauh di dalam perut bumi. Bagi Hud-Hud keahlian ini bukanlah sesuatu yang terlalu berlebihan. la sudah memilikinya jauh-jauh hari. Karena itulah ia dikatakan handasah (insinyur) nya Nabi Sulaiman.

Burung hud-hud mampu mencari sumber mata air yang jauh berada di dalam perut bumi. Dan selanjutnya membiarkan Nabi Sulaiman memerintahkan bala tentara dari golongan jin untuk menggali tanah hingga sumber air itu pun menyembur ke atas.

Meski demikian pentingnya kedudukan burung Hud-Hud di mata Nabi Sulaiman, namun ia tidak bisa lepas dari hukuman bila melakukan suatu kesalahan. “Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata, ‘Mengapa aku tidak melihat Hud-Hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang benar.” (QS. an-Naml: 20-21)

Nabi Sulaiman mengancam akan menanggalkan seluruh bulu-bulunya dan membiarkan tergeletak di atas tanah menjadi santapan semut, atau langsung membunuhnya. Sepintas hukuman ini nampak kejam, tapi sesungguhnya tidaklah demikian, karena berat ringannya hukuman tidak ditentukan oleh besar kecilnya tubuh si pelanggar, tapi lebih dititik beratkan pada seberapa besar kesalahan yang telah dilakukan.

Selang beberapa lama kemudian muncullah burung Hud-Hud. la datang membawa berita yang belum diketahui oleh Nabi Sulaiman dan bala tentaranya. Berita tentang negeri Saba yang di bawah kekuasaan seorang wanita yang bernama Bilqis. Seorang ratu yang adil dan arif bijaksana. Penguasa negeri yang makmur, gemah ripah lohjinawi. Singgasananya indah bertahta-kan emas, berlian dan aneka permata lainnya.

Sebuah kemegahan duniawi yang tiada terbayangkan. Namun, di balik kemegahan itu tersimpan kesedihan. Mereka adalah kaum penyembah matahari. Mereka terpedaya oleh tipu daya syetan.

Untuk membuktikan kebenaran berita tersebut. Nabi Sulaiman kembali mengutus burung Hud-Hud ke negeri Saba’ dengan membawa surat dari Nabi Sulaiman yang mengajak Ratu Bilqis dan rakyatnya menyembah Tuhan Yang Esa. Dengan paruhnya burung Hud-Hud membawa surat Nabi Sulaiman dan menyampaikan langsung kepada Ratu Bilqis di kamar pribadinya.

Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi disebutkan bahwa dua keistimewaan di atas yang menyebabkan burung hud-hud tidak boleh dibunuh seperti tersebut dalam hadits riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah melarang membunuh empat hewan, semut, lebah, burung Hud-Hud dan burung sharid (jenis burung yang lebih besar dari burung pipit).

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 40 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Semut

Semut adalah segelintir binatang yang  namanya diabadikan di dalam al-Qur’an sebagai nama surat pada urutan yang ke 27. Satu keistimewaan yang tidak terlepas dari sebuah kisah yang terjadi pada masa Nabi Sulaiman. Tatkala Nabi Sulaiman dan balatentaranya yang terdiri dari manusia, jin dan burung melewati lembah di Syam seperti dikatakan Qatadah.

Seekor semut yang bersayap kemudian menyampaikan kepada teman-temannya kedatangan tentara Nabi Sulaiman dan menyuruh mereka segera menyelamatkan diri agar tidak terinjak, “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml. 18) Sungguh indah ungkapan itu, sehingga Nabi Sulaiman pun tersenyum saat mendengarnya.

Selain disebutkan di dalam al-Qur’an, semut juga beberapa kali disebutkan di dalam hadits, di antaranya adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang semut yang menggigit seorang Nabi. “Abu Hurairah mendengar Rasulullah berkata, “Ada seekor semut yang menggigit seorang Nabi di sarang semut. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya bahwa hanya karena digigit semut lalu kamu bakar satu umat dari umat-umat yang bertasbih.” (HR. Bukhari)

Dalam sebuah riwayat yang dikutip Imam Qurtubi dalam tafsirnya disebutkan bawah nabi yang dimaksud dalam hadits di atas adalah Nabi Musa. Hal ini tidak terlepas dari ungkapan Nabi Musa yang mempertanyakan mengapa Allah membinasakan seluruh desa padahal di antara mereka ada penduduk yang shalih dan taat.

Tanda tanya itu kemudian dijawab Allah dengan membuat Nabi Musa tertidur pulas di bawah sebuah pohon rindang di tengah terik panas matahari. Sementara itu semut telah menjadikan pohon tersebut sebagai rumah bagi koloni mereka. Di tengah kenyamanan tidur itu, Nabi Sulaiman merasa terusik dengan gigitan seekor semut. la pun marah dan membunuh sang semut. Namun, kematian seekor semut penggigit itu masih belum bisa meredakan kemarahannya, sehingga Nabi Musa mencari sarang koloni semut dan membakarnya.

Ibrah yang dipetik dari hadits ini adalah bahwa hanya karena kesalahan seekor semut, satu koloni semut mati terbakar. Hal ini berbeda dengan adzab Allah atas suatu kaum. Karena pada hakekatnya adzab itu merupakan bentuk rahmat, keberkahan dan penyucian Allah kepada orang-orang yang sholih. Sedang bagi orang yang dholim maka itu adalah siksa bagi mereka. Karena itu di dalam hadits ini tidak ada yang menunjukkan kemakruhan atau pengharaman membunuh semut.

Membunuh semut dan membakar binatang memang dibolehkan dalam syariat Nabi Musa. Sedangkan dalam syariat Nabi Muhammad hal itu tidak dibolehkan sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah melarang membunuh empat hewan; semut, lebah, burung hud-hud dan burung sharid (jenis burung yang lebih besar dari burung pipit).”

Hal ini berbeda bila semut tersebut menggigit dan berbahaya. Dalam kondisi seperti ini kita dituntut untuk mempertahankan diri meski harus dengan membunuhnya.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

HUBUNGI ADMIN