“Saya Masih Punya Allah yang Selalu Menyertai”

Siang itu langit mendung menyelimuti kota Bogor. Seorang bapak dengan menggunakan tongkat sederhana yang terbuat dari kayu, berjalan tergopoh-gopoh, menyusuri trotoar di depan Masjid Raya Bogor menuju ke Terminal Baranang Siang. Ketika Majalah Ghoib menemuinya, bapak ini baru saja menunaikan sholat Jum’at untuk kemudian berangkat menuju Depok mencari adik iparnya yang sudah lama tidak pulang. Beribu kisah sedih yang dialaminya sejak kecil, diceritakannya dengan penuh keikhlasan. Berikut kisahnya.

Nama saya Aji Supriyanto. Saya dilahirkan di kota Medan, 5 Mei tahun 1945 tepatnya di daerah Sijungjung, Sumatera Utara. Sejak kecil saya tidak begitu kenal dengan kedua orang tua. Karena, ketika saya berusia 5 tahun Kedua orang tua saya tersebut meninggal dalam perang mempertahankan republik ini dari penjajah. Saya sudah tidak punya saudara siapa-siapa lagi.

Kemudian saya dijadikan anak angkat, oleh sebuah keluarga dari Sinjin, Padang, Sumatera Barat yang tidak punya anak semenjak mereka menikah. Bapak Saoman namanya, seorang guru SMEA dan Ibu seorang guru Sekolah Dasar. Kami tinggal di perkebunan yang dikelola sendiri setelah kedua orang tua angkat saya pulang dari mengajar. Saya sekolah di SD negeri, tempat ibu angkat saya mengajar. Sehingga boleh dikatakan pendidikan saya sangat memadai. Karena orang tua angkat saya keduanya adalah guru. Sepulang dari sekolah saya ikut ke kebun untuk membantu kedua orang tua mengelola perkebunan, setelah itu, sore harinya saya mengaji di pesantren yang berdampingan langsung dengan sekolah saya.

Di pesantren saya diajarkan hapalan huruf hijaiyyah oleh pak ustadz dan itu menjadi bekal saya dalam membaca al Qur’an sampai sekarang. Saya hidup dalam kondisi yang sangat bahagia karena diasuh oleh kedua orang tua angkat yang sangat menyanyangi saya dan telah menganggap saya sebagai anak kandung mereka. Ketika saya berusia 10 tahun. Saya mengalami sakit panas yang sangat tinggi selama 2 hari 2 malam, kemudian saya dibawa ke mantri. Oleh mantri tersebut saya sangat sering disuntik dan juga di beri obat untuk mengobati sakit panas saya. Pada jaman itu dokter masih sangat sulit, adanya hanya di kota besar saja. Sedangkan di desa kecil seperti tempat tinggal saya ini, yang ada hanya mantri saja. Setelah disuntik saya terus tidur untuk beristirahat. Ketika saya bangun dan minta makan kepada kedua orang tua, mereka bilang kepada saya. “Ayo bangun sendiri dan segera makan agar cepat sembuh.” Tetapi alangkah kaget dan sedihnya saya ketika saya tidak sanggup menggerakkan kedua kaki dan tubuh saya sejak itulah saya lumpuh seperti sekarang ini. Selain saya, yang lebih sedih adalah kedua orangtua saya, karena selain saya adalah anak angkat, sekaligus satu-satunya buah hati mereka yang akan menjadi penerus mereka kelak.

Saya sempat terpukul dengan peristiwa ini, sehingga saya sering termenung sendiri di kebun. Kadang-kadang tak terasa air mata menetes di pipi, terlebih kalau saya ingat kedua orangtua kandung yang telah lama meninggalkan saya. Tapi saya terus bersyukur kepada Allah karena sejak saya lumpuh, kalau saya mau pergi ke sekolah dan ke kebun, ibu saya selalu menggendong saya di pundaknya dan mengurus saya dengan telaten. Dalam keadaan seperti itu, keinginan saya untuk sekolah semakin membara. Sampai pernah suatu kali, ketika ibu sedang tidak bisa menggendong saya karena sakit, sambil bertopang pada tangan dan berjalan sambil mengesot saya tetap berusaha pergi ke sekolah. Sehingga walaupun teman-teman banyak yang mengejek dan merasa heran, saya tetap semangat sekolah sampai akhirnya saya lulus Sekolah Dasar. Sehingga seiring dengan perjalanan waktu, teman-teman sudah sangat terbiasa dengan keadaan saya yang cacat seperti ini.

 

Orangtua tiada, rumah disita

Setelah lulus Sekolah Dasar, saya tidak langsung melanjutkan sekolah. Karena ibu menasehati agar saya sembuh total terlebih dahulu. Ketika saya genap berusia 16 tahun, saat saya sedang butuh teman untuk berdiskusi dan perhatian yang lebih, ibunda saya tercinta akhirnya meninggal dunia karena tertabrak motor ketika sedang berjalan di jalan raya. Saya seperti kehilangan kendali, orang yang selama ini menyayangi saya dengan sepenuh hati, akhirnya harus meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Sejak itulah saya tinggal bersama bapak berdua di rumah, sambil mengurus kebun, sampai tak terasa usia saya sudah semakin dewasa, telah menginjak angka 25 tahun.

Pada saat usia saya telah mencapai seperempat abad, Allah kembali menguji keimanan saya dengan meninggalnya bapak karena sakit. Sejak itu saya hidup sebatang kara tanpa siapapun berada di dekat saya. Saat kematian bapak baru saja mencapai hari yang ke seratus, tiba-tiba datang surat dari bank yang menyatakan bahwa rumah saya akan disita. Saya bertambah bingung. Orang tua yang saya cintai yang selalu memberi perlindungan kepada saya yang cacat ini, telah meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Ditambah lagi rumah yang menjadi sandaran saya hidup seorang diri, kini harus disita. Pada saat itu saya katakan pada orang bank, kalau rumah saya disita, saya harus tinggal di mana. Lebih dari itu, uang pensiun orang tua saya, juga diambil semuanya oleh pihak bank. Lengkap sudah penderitaan yang saya alami.

Menurut pihak bank, bapak angkat saya terlibat hutang dan belum sempat terbayar semua. Saya mencoba meminta bukti surat menyurat dari pihak bank. Saya juga sempat melaporkan hal ini kapada pihak kepolisian setempat. Pihak kepolisian menyatakan bukti yang dibawa pihak bank tidak kuat, maka rumah tersebut masih hak milik saya. Akan tetapi karena saya berjuang sendirian serta tidak mampu membayar pengacara, akhirnya saya kalah. Belum tuntas masalah tersebut terselesaikan, rumah saya kebakaran. Saya menduga ini dilakukan oleh pihak bank. Pada saat itu yang bisa saya bawa hanya pakaian yang melekat di badan dan surat tanah yang masih bisa saya selamatkan. Karena sudah tidak punya apa-apa dan siapa- siapa lagi, Saya memutuskan untuk menjual surat tanah seharga Rp. 300.000 untuk bekal hidup saya seorang diri.

Sekitar tahun 70-an, saya memutuskan untuk merantau. ke Ibukota Jakarta, dengan kondisi tubuh saya yang cacat. Kalau berjalan saya harus di topang dengan memakai tongkat kayu sederhana karena saya belum mampu membeli yang terbuat dari besi. Tiba pertama kali di Jakarta, saya mencoba mangadu nasib di daerah Tanah Abang dengan berdagang kaos kaki. Alhamdulillah saya bertemu dengan seorang agen kaos kaki yang kemudian menyuruh saya dagang dan tinggal bersama di rumahnya. Hidup sebagai pedagang kaos kaki saya jalani selama 6 tahun, sebuah perjuangan hidup yang tak mudah saya lakukan tanpa ditemani orang-orang yang mencintai saya. Dalam aktivitas ibadah sholat, saya panjatkan doa untuk mereka semoga dapat hidup bahagia di akhirat kelak.

Perjuangan hidup untuk meraih cita-cita. Saya jalani ditengah-tengah trotoar jalan dan lalu lalang manusia dalam melaksanakan aktivitas mereka. Berjualan kaos kaki, sepatu serta baju murah terus saya lakukan hingga tahun 90-an dengan modal bantuan dari bos saya, seorang agen kaos kaki tersebut, di tengah kejaran dan intaian pertugas trantib. Pernah suatu kali, dagangan saya diangkut ke Kantor Walikota, setelah diberi pengarahan saya dilepas lagi. Tapi hari itu saya tidak dapat uang, karena seharian ditangkap. Untuk makan akhirnya saya pinjam sama teman-teman.

Bos saya, untuk mengembangkan usahanya mengajak saya merantau ke Palembang untuk berjualan baju. Di sana saya bertemu dengan seorang wanita langganan kami. Akhirnya saya kenalan, dan dia mengajak saya ke rumahnya untuk dikenalkan kepada orang tuanya. Pada saat itu saya gemetar, setengah tidak percaya kalau ada wanita yang akhirnya bersedia menjadi istri saya, sungguh anugerah terindah yang pernah Allah berikan kepada saya. Perasaan haru tersebut bercampur menjadi satu dengan kebingunan akan mendapatkan biaya pernikahan dari mana, serta siapa yang akan menemani saya di hari bahagia yang telah lama saya nantikan. Tanpa proses panjang dengan ditemani bos, kami langsung mengadakan akad nikah dalam suasana yang khidmat. Tak terasa air mata menetes membasahi pipi saya, membayangkan kalau saja kedua orangtua angkat saya hadir menyaksikan peristiwa yang bersejarah tersebut. Namun saya tidak mau terlalu larut dalam kesedihan, sebab memang hidup saya ini, selalu bersama bayang-bayang kesedihan dan keprihatinan. Tidak, saya tidak boleh cengeng. Saya masih punya Allah yang selalu menyertai saya kemanapun saya pergi. Itu yang membuat saya tetap kuat menjalani hidup yang keras ini. Saya dikaruniai seorang anak laki-laki, setelah usia pernikahan menginjak 2 tahun berselang.

Bersama istri dan anak, saya tetap tinggal di rumah bos saya di Jakarta. Namun sejak tahun 1992, saya mencoba usaha sendiri dengan berdagang jam di Glodok sebagai pedagang kaki lima. Dari rupiah demi rupiah yang kami kumpulkan. Di tahun 1996 saya bisa menyewa toko dan berjualan alat-alat elektronik yang saya ambil dari agen yang lebih besar dengan dibayar setelah barang laku terjual. Tak terasa saya akhirnya dapat membeli kendaraan operasional walaupun bekas. Proses bisnis saya berjalan sangat lancar, sehingga kehidupan saya mulai semakin membaik.

Tetapi ujian itu datang lagi. Semua barang dan uang yang saya kumpulkan, kembali harus hilang secara cepat. Saat terjadi kerusuhan tahun 1998. Semua harta saya yang ada di toko terbakar, termasuk kendaraan yang saya miliki. Di tahun 1999, saya membawa pindah keluarga ke Bogor, tinggal di rumah sendiri. Karena biaya hidup di Jakarta sangat mahal. Di tahun itu juga, saya kembali merintis dari nol, untuk kembali berjualan jam eceran di Glodok. Dan sekarang usia saya sudah semakin tua, fisik saya sudah tidak seperti dulu, bagi saya walaupun saya cacat. Pantang meminta-minta kepada orang lain. Sekarang untuk berjualan jam, saya serahkan ke adik saya, yang nantinya setor keuntungan ke saya. Dari situlah saya membiayai kehidupan keluarga saya di Bogor ini. Sambil sesekali mengontrol dagangan di Glodok. Saya berharap semoga saya bisa mendidik istri dan anak saya dengan baik sesuai ajaran Islam.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tubuhku Berbau Busuk Setelah Keluar dari ‘Pengajian’

Empat belas abad Islam tegak di muka bumi. Sebuah rentang waktu yang panjang sehingga melahirkan pemahaman dan penafsiran baru terhadap ajaran agama. Seringkali pemahaman dan penafsiran baru tersebut tidak sejalan dengan apa yang digariskan Rasulullah. Karena itu, berhati-hatilah dalam menentukan pilihan di mana dan kepada siapa harus memperdalam ilmu agama agar tidak menyesal di kemudian hari. Seperti yang dialami Nurmala, bukan ketenangan yang ia dapatkan, tapi justru penderitaan yang tiada terperikan. Tubuhnya mengeluarkan bau busuk laksana sampah. la menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya.

Sebagai seorang ibu muda yang telah mengalami pahit getirnya pernikahan, saya membutuhkan pijakan dan pegangan yang kuat agar bisa tetap bertahan. Karena itu sudah sewajarnya bila saya mencari pijakan dengan semakin mendekatkan diri kepada ajaran agama. Bak gayung bersambut, niatan yang mulia itu cepat mendapat respon dari Rohadi, seorang teman dekat yang pada akhirnya menunjukkan dan mengajak saya mengikuti pengajian di kelompoknya.

Rohadi menceritakan panjang lebar tentang kehebatan gurunya yang katanya bisa melihat apa yang terjadi di alam kubur. Apakah si mayat sedang mendapat siksa kubur atau sebaliknya memperoleh kenikmatan yang tiada terkira. Bahkan, masih menurut cerita Rohadi, orang yang tadinya meninggal dalam keadaan masih memeluk Kristen pun bisa diislamkan.

Saya yang masih awam akan ajaran agama ini, tentu dengan mudah terpengaruh dengan kisah demi kisah yang diceri takan Rohadi yang pada intinya semakin memperkuat ketokohan sang guru. Hingga tanpa pikir panjang, saya segera mengiyakan ketika Rohadi mengajak bergabung bersamanya.

Hari pertama datang ke tempat pengajian, saya langsung diberi segelas air putih yang harus diminum dengan disertai wiridan-wiridan tertentu. Dalam hati saya berpikir bahwa semua orang yang baru datang mengalami perjamuan serupa, sehingga saya pun meminumnya begitu saja.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan saya masih menjadi seorang santri yang aktif mengikuti pengajian di kantor cabang. Hingga pada suatu hari, seorang guru pembimbing menawarkan untuk menanam susuk di dagu saya.

Awalnya saya menolak karena saya merasa tidak membutuhkan susuk itu. Tapi ketika guru pembimbing bersikeras untuk memasangnya. saya pun luluh juga. “Nggak apa-apa. Itu buat penjagaan biar tidak ada yang mengirim kamu yang bukan-bukan. Susuk itu sendiri akan keluar empat puluh hari sebelum kamu meninggal. Sehingga tidak akan menyulitkan kematianmu,” ujarnya panjang lebar.

Hati saya semakin terbuka setelah saya berpikir bahwa guru pembimbing lebih paham agama daripada saya. Setelah berwudhu, saya segera dipersilahkan masuk ke dalam ruangan seluas 2×3 meter. Saya disuruh terus melantunkan syahadat dan shalawat, kemudian pada detik-detik berikutnya guru pembimbing memasukkan susuk yang terbuat dari logam ke dagu saya dengan menggunakan alat pemotong kuku.

Benda kecil itu pun masuk begitu saja ke dalam kulit saya tanpa menimbulkan rasa sakit. Semuanya biasa saja, seperti tidak ada benda apapun yang dimasukkan ke dagu saya. Waktu itu saya dipesan untuk tidak bercerita kepada siapa pun bahwa saya dipasang susuk. Saya tidak tahu, mengapa ia melarangnya. Saya sendiri tidak begitu mempedulikannya, karena saya tidak meminta dan semua itu demi kebaikan saya katanya.

Setelah memakai susuk ada sedikit perubahan yang saya rasakan. Bila dulu ada beberapa teman kantor yang suka melecehkan saya, kini semua itu seakan bagian dan masa lalu “Kalau sudah tidak betah tinggal di sini, kamu keluar juga tidak masalah,” ungkapan bernada sinis semacam ini tidak lagi saya dengar. Bahkan sebaliknya. teman-teman kantor semakin menaruh hormat kepada saya. Tidak ada yang jahil atau iseng.

Teman kantor pun merasakan perubahan yang ada sehingga mereka sempat bertanya, “Nur, kamu itu dukunnya di mana sih, kok diapa-apain tidak mempan?” ledek teman-teman suatu siang.

Saya hanya menanggapi semuanya dengan senyuman karena selama ini saya merasa tidak pernah pergi ke dukun. Meski waktu itu terbetik dalam pikiran saya bahwa selama ini ada orang-orang yang tidak senang dengan saya. Hal itu diperkuat dengan hilangnya uang kantor yang bilangannya menembus angka jutaan.

Keterikatan saya dengan tempat pengajian terputus karena Ratih, istri guru pembimbing, cemburu. la menganggap keberadaan saya akan merusak kebahagiaan rumah tangganya. Hal ini tidak terlepas dari mimpi yang dialaminya bahwa akan muncul seorang wanita bertubuh kecil dengan rambut sebahu yang akan meruntuhkan biduk rumah tangganya. Tuduhan itu pun mengarah kepada saya.

Ratih semakin menemukan alibinya ketika suatu hari saya membawakan oleh-oleh dari luar kota untuk guru pembimbing. Di depan mata saya, Ratih membuang oleh-oleh itu. Saya kecewa dan tidak terima diperlakukan seperti itu karena selama ini saya menganggap bahwa hubungan yang ada di antara kami sebatas hubungan seorang guru dan murid. Tidak lebih dari itu.

Karena kecewa, berbagai mustika seperti keris kecil dan batu berbentuk agak persegi, tidak bulat dan tidak persegi empat yang berwarna oranye yang saya dapatkan sewaktu mengikuti ritual berendam di Pantai Anyer pun saya bagi bagikan kepada beberapa teman yang masih aktif di pengajian. Saya ingin mengakhiri semuanya tanpa menyisakan kenangan apapun.

Selang beberapa minggu setelah keluar dari kelompok pengajian saya mengalami peristiwa ganjil yang terjadi berulang-ulang. Seperti yang terjadi pada suatu hari ketika sedang tiduran sambil menonton TV di rumah tante. Tiba tiba saja, seperti ada binatang ngengat yang masuk ke telinga saya. Sayap dan cakarannya jelas terasa di gendang telinga. Cakaran yang sangat menyakitkan, hingga saya pun tidak kuasa menahan teriakan. Saya tutup telinga dan saya pukul- pukul kepala saya, tapi rasa sakit itu tidak juga hilang.

Dokter yang memeriksa pun angkat tangan dan tidak menemukan satu binatang pun yang masuk ke telinga saya. Tapi rasa sakit itu terus merambat dan menggerogoti telinga hingga membentuk terowongan ke tenggorakan di bawah rahang. Kemudian berhenti di sana.

Saya tidak tahu, apakah ada hubungan antara kemunculan binatang misterius itu dengan keinginan saya untuk konsultasi kepada mantan guru pembimbing atas masalah yang saya hadapi di kantor atau tidak. Jika saya datang konsultasi pasti bertemu lagi dengan istrinya yang sudah sangat marah kepada saya. Namun akhirnya, saya mengurungkan niat untuk konsultasi dengan guru pembimbing.

Kehadiran binatang misterius ini terus berlanjut. Seperti semut atau ngengat yang masuk ke hidung atau sekadar berkutat di sekitar telinga. Yang menjadi tanda tanya adalah mengapa hal ini seringkali terulang. Ini bukan suatu kebetulan semata, tapi memang ada orang yang berniat tidak baik kepada saya. Saya tidak berani menunjuk seseorang sebagai kambing hitam karena saya tidak punya sesuatu yang bisa dijadikan sebagai barang bukti.

Keanehan demi keanehan seakan tidak pernah berhenti. Bahkan semakin lama semakin meningkat. Bila sebelumnya hanya mengganggu secara fisik, kini gangguan itu mulai menggerogoti ibadah saya. Seperti yang terjadi pada bulan puasa tahun 2004. Ketika saya akan melaksanakan shalat tarawih, tiba-tiba saja kaki saya tidak bisa digerakkan. Seperti ada dua tangan besar yang memegang kedua kaki saya sehingga tidak bisa berjalan. la seperti orang yang tiduran sambil memegang kaki saya dengan dua tangannya. Saya terus memaksakan diri melepaskan diri dari cengkeramainya dengan sekuat tenaga dan disertai dengan dzikir.

 

Bau Busuk Sampah Menyebar dari Tubuh Saya

Di penghujung malam tahun 2004 yang sekaligus menandai pergantian tahun baru 2005, saya mengikuti kegiatan i’tikaf di Masjid At-Tin, Jakarta Timur. Saya ingin mengawali tahun 2005 dengan sesuatu yang positif. Saya ingin menjadikan malam itu sebagai tonggak baru dalam kehidupan saya. Tapi justru malam itulah awal penderitaan yang tiada terperikan. Sebuah derita yang pernah dialami Nabi Ayyub.

Saat mendengarkan ceramah di lantai atas, orang-orang di sekeliling saya bertingkah aneh. Mereka mengendus bau busuk yang makin lama makin tajam, seperti bau sampah yang lama menumpuk. Satu dua orang di sekeliling saya mulai mengambil tissue dan menjadikannya sebagai penutup hidung.

Tatapan mereka menyiratkan tanda tanya kepada saya. hingga saya pun memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Hati saya gelisah dan tidak tenang, terlebih bila saya selalu bolak-balik berwudhu karena selalu batal. Di saat itulah saya iseng bertanya kepada seorang penjual makanan di halaman masjid.

“Pak, di sini ada timbunan sampah?”

“Nggak ada, Non,” jawab penjual makanan.

“Bapak mencium bau sampah nggak?”

“Nggak, Non,” jawabnya dengan muka keheranan.

Dari sini saya berpikir bahwa bau itu berasal dari diri saya, terlebih mengingat berbagai kejanggalan yang pernah terjadi. Saya semakin pusing, gangguan itu seakan terus membuntuti saya. Berjalan mengelilingi Masjid At-Tin masih tetap tidak bisa menghilangkan kegalauan jiwa, hingga akhirnya saya putuskan untuk mengikuti i’tikaf di lorong bawah Masjid At-Tin.

Untuk menjawab sekian pertanyaan itu, saya berobat ke dokter, tapi hasilnya tetap negatif. Saya tidak menderita penyakit apa-apa yang dapat mengeluarkan bau busuk. Tapi kejadian serupa sesekali terulang ketika saya berada di tempat umum, seperti di kendaraan umum atau pun di lift, hingga orang-orang yang berada di sekitar saya pun kesal dan membanting jendela mobil dengan keras. Mereka memang tidak mengucapkan sepatah kata pun yang memojokkan saya, tapi dari tatapan mata dan gerak-gerik mereka, saya sadar bahwa saya menjadi tertuduh atas merebaknya bau sampah yang tidak wajar itu.

Sedih dan minder tidak dapat saya tutupi, tapi mau berbuat apa? Menyangkal juga tidak ada gunanya. Bahkan ketika naik kereta pun bau busuk itu seakan menyertai saya, sehingga kereta yang penuh sesak itu membiarkan satu deretan bangku yang saya duduki tetap kosong. Mereka memilih berdesak-desakkan di bangku lain atau berdiri sambil bergelayutan. Bila sudah ada isyarat semacam itu, saya sadar bahwa bau sampah itu kembali hadir.

Setelah sekian lama tidak muncul, ketika shalat bau busuk itu kembali hadir bersamaan dengan datangnya sosok tinggi besar. Dari jauh makhluk itu semakin mendekat. Was-was, takut, gemetar bercampur aduk menjadi satu. Tapi saya tidak mau mengalah. Saya berusaha melawan, tapi kekuatan makhluk itu lebih besar dari saya dan terjadilah apa yang harus terjadi. Makhluk itu masuk ke dalam diri saya dan mengalirkan bau busuk. Saya sampai tidak bisa membedakan apakah bau itu di dalam diri saya atau di sekitar saya. Secara reflek saya segera menutup hidung rapat-rapat. Namun ketika hal ini saya ceritakan kepada ibu, ia tidak percaya karena selama ini ia memang belum pernah mencium bau tersebut.

Saya menangis. Orangtua yang selama ini menjadi sandaran kekuatan saya tidak percaya dengan semua yang saya ceritakan. Semuanya dianggap seperti angin lalu. Saya berdoa kepada Allah agar menunjukkan kepada orangtua atas apa yang terjadi.

Doa saya dikabulkan Allah. Buktinya ibu mencium sendiri bau tersebut, awalnya ketika saya mau melaksanakan shalat Dhuha, ibu masuk ke dalam kamar saya. “Baunya Nuur, kayak bau di cubluk (sepiteng) baunya apek campur pahit.” kata ibu. Ibu yang belum lama mencium bau busuk itu pun pusing.

Jam empat sore bau itu muncul kembali. Ibu sampai meminjam bayfresh. “Pinjam dong bayfresh,” kata ibu. Setelah semua ruangan selesai disemprot, dari kamar saya tercium bau harum yang sangat menyengat. Seperti minyak wangi yang sengaja ditumpah kan ke tanah, padahal selama ini saya tidak pernah menggunakan minyak wangi.

Memang, yang mengatakan secara terbuka mencium bau busuk hanyalah ibu semata, sementara saudara-saudara saya tidak ada yang secara terang-terangan mengakuinya. Mereka hanya memasang kipas angin. Tapi dari sini, saya menyadari bahwa mereka juga menciumnya, hanya saja mereka tidak mau menyinggung perasaan saya.

Dalam kondisi demikian, mereka menganjurkan saya untuk berobat ke orang pintar. Saya menurut begitu saja, karena saya sudah tidak tahan dengan apa yang terjadi. Oleh orang pintar itu pun saya disuruh minum air daun kelor dan dimandikan dengan air dan kelor serta disuruh banyak berdzikir. Saya juga diajari bagaimana merasakan datangnya makhluk halus serta mengeluarkannya sendiri melalui pendeteksian dengan tangan.

 

Bisak-Bisik Tetangga yang Merisaukan.

Tetangga kanan kiri akhirnya pada ribut, “Ini bau apa sih!” teriak mereka kepada satu sama lain. Awalnya mereka tidak menyadari bahwa bau busuk itu berasal dari sekitar diri saya, tapi lama kelamaan semuanya itu tentu tidak bisa lagi ditutup-tutupi.

Akhirnya mereka meng tahui darimana sumber bau busuk itu. Ketika melihat saya menyapu di halaman rumah, mereka segera mengambil langkah aman dengan menutup kembali pintu dan jendela yang terbuka. Yang lebih menyakit kan lagi, mereka segera menyemprotkan bayfresh di dalam rumah begitu bau busuk itu mulai mereka cium.

Sebagai orang yang merasa tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa atas apa yang terjadi, saya sangat terpukul dengan perlakuan mereka. Meski saya juga tidak bisa menyalahkan mereka.

Keesokan harinya saya kembali menyapu halaman dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan buruk. Benar saja, saya merasakan diri saya diserang oleh jin dari berbagai penjuru dan saya pas kembali masuk ke dalan. Saya tidak bisa mengobati diri saya lagi, karena ilmu yang pernah saya pelajari dari orang pinter itu seakan hilang begitu saja. Rasanya hambar lagi. Tangan saya tidak bisa digunakan untuk mendeteksi serangan jin.

Perjalanan inilah yang kemudian menimbulkan tanda tanya dalam diri saya, kalau saya bisa merasakan jin, apakah di dalam diri saya juga tidak ada jinnya? Sebuah pertanyaan yang baru terjawab setelah ada seorang teman yang memberi saya kaset ruqyah yang katanya bisa mendeteksi apakah seseorang terkena gangguan jin atau tidak.

Sedangkan kalau saya diam saja, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal saya memiliki anak yang harus dibiayai. Akhirnya saya memutar kaset ruqyah di malam hari. Badan saya gemetar, kepala seakan dibentur-benturkan. Namun, tanpa saya duga sebelumnya, tetangga yang sayup-sayup mendengar kaset ruqyah dari dalam rumah saya menjadi ribut. Mereka marah-marah karena saya dianggap menimbulkan kebisingan. Aneh, saya mengaji di rumah pun dibilang sedang menyanyi. Mereka seakan terusik dengan kaset ruqyah dan suara mengaji saya.

Sejak memutar kaset ruqyah di bulan Maret itu saya berani keluar rumah dan bertemu matahari. Saya bersyukur, kekhawatiran dan ketakutan saya selama ini berangsur-angsur hilang.

Hanya saja, bau korek api terbakar atau bau busuk itu masih saja tercium dari tubuh saya setiap pagi. Satu hal yang membuat saya takut untuk bangun dan shalat shubuh di awal waktu. Selain itu, suara binatang buas yang mencakar- cakar dinding kamar saya sesekali juga terdengar. Sementara keluarga yang lain tidak ada yang mendengarnya. Aneh menang, ketika saya berteriak keras pun seakan tidak ada yang mendengar. Saya melempar pintu atau membuat kegaduhan di kamar pun tidak ada yang tahu. Saya sedih sekali karena dianggap berbohong ketika hal ini saya ceritakan kepada keluarga.

Awal bulan April, saya mengikuti terapi ruqyah di rumah Ustadz Febri sebagai bentuk lanjutan dari terapi dengan kaset. Di sana, saya memberontak dan meronta-ronta. Ustadz yang menerapi saya pun tidak luput dari amukan saya. Saya menendang dan memukul sebisanya sebelum akhirnya badan saya lemas. Setelah itu mulailah terjadi dialog dengan jin yang merasuk ke dalam diri saya.

Cukup banyak jin waktu itu yang katanya keluar, meski ada beberapa yang masih membandel dan tidak mau keluar. Jin- jin itu mengatakan bahwa mereka memang dikirim untuk menyakiti saya oleh orang-orang yang tidak senang dengan keberadaan saya dan keberanian saya keluar dari pengajian. Memang, semua itu hanyalah pengakuan jin yang tidak begitu saja bisa dipercayai, tapi setidaknya dari sini saya bisa melakukan introspeksi dan kembali memperbaiki diri.

Sepulang dari ruqyah yang pertama, saya merasakan badan terasa lebih ringan. Beban yang selama ini menghimpit terasa jauh berkurang, meski saya sadar bahwa proses penyembuhan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Karena itu ketika keluar dari pagar rumah Ustadz Febri dan terdengar bisikan di telinga saya berupa suara tertawa yang melecehkan saya, saya pun biasa saja. “Ha ha ha cuma begitu saja.”

Sesampainya di rumah saya berusaha untuk shalat, tapi entahlah seakan ada sesuatu yang masih menghalangi saya. Saya pun berdoa di dalam hati, “Ya Allah tolonglah saya mau beribadah. Masih banyak dosa yang harus diampuni.”

Keesokan harinya, satu dua hari masih tercium bau-bau yang tidak enak. Tapi beberapa hari kemudian, bau itu berangsur-angsur semakin berkurang. Setelah ruqyah itu saya punya keberanian keluar rumah, walau belum berani sendiri. Tapi setidaknya saya sudah tidak seperti dulu lagi dengan mengurung diri di dalam rumah

Pada ruqyah yang kedua, jin tidak mau mendengar ayat-ayat ruqyah. Air ruqyah yang dicampur garam pun berubah rasanya. Air itu terasa seperti ingus yang menjijikkan. Bahkan air itu berubah laksana air panas ketika saya mencuci tangan dan kaki di baskom dan beberapa detik kemudian terjadilah keanehan. Ketika Ustadz Febri memijat daerah leher karena tenggorokan saya masih terasa sakit, keluarlah sosok makhluk besar seperti seekor Kingkong dengan rambutnya yang panjang. Apakah itu sosok makhluk yang selama ini mengalirkan bau busuk dari dalam diri saya? Saya tidak tahu.

Sekarang bau busuk itu sesekali masih tercium tapi setidaknya dengan ruqyah ini banyak kemajuan yang telah saya alami. Saya sadar bahwa untuk menuntaskan gangguan bau busuk itu masih membutuhkan waktu yang entah sampai kapan. Tapi saya berbahagia karena kini telah menemukan pengobatan yang Islami yang tidak menyimpang dari jalur agama. Bagi saya itu adalah keberuntungan tersendiri.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun. Agar kita berhati-hati dalam mempelajari di mana dan kepada siapa kita menimba ilmu. Dan niatan untuk meraih surga pun tidak berganti bencana. Alih-alih mendapat surga, neraka dunia justru menjadi imbalannya.

 

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 39 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Sakit di Kaki Selama Tujuh Tahun yang Tidak Terdeteksi Medis

Saya orang Pekanbaru asli. Sebagai orang kelahiran sana, saya menamatkan SD, SMP, SMA di Pekanbaru. Sedangkan kuliah, saya mengambil D3 Akademi Perawat di Padang. Setelah tamat saya ingin melanjutkan S1 di Ul Jakarta atau Unpad Bandung. Ujian masuk FIK (Fakultas Ilmu Keperawatan) Unpad dilaksanakan lebih dahulu dibandingkan UI. Selesai ujian, saya segera menuju Jakarta untuk mengikuti ujian masuk FIK di Ul Salemba Jakarta.

Di Jakarta saya menginap di rumah sepupu saya di kompleks Taman Mini, Jakarta Timur. Rumahnya tidak luas. Kamar yang saya tempati berukuran 3×2 M. Tempat tidurnya ukuran single. Di kamar itu ada satu lemari, satu meja belajar, jendela menghadap ke jalan dan tempat tidur di samping jendela. Malam itu saya tidur bersama teman saya dari Padang yang juga akan ikut ujian di Ul pada fakultas yang sama. Karena tempat tidurnya sempit, maka kami tidur saling miring.

Sementara di ruang depan, empat saudara laki-laki saya asyik menunggu jadwal pertandingan final piala dunia 1998 antara Brazil dan Prancis yang bertepatan dengan malam Sabtu, di mana keesokan harinya saya harus mengikuti tes UMPTN/SPMB.

Sebelum tidur, saya sempat berdoa agar bisa bangun malam untuk shalat tahajjud dan berdoa.

Malam itulah awal dari keanehan demi keanehan terjadi dalam hidup saya. Pada saat jam menunjukkan pukul 01.30 malam, saya merasa ada yang membangunkan. Terasa betul kaki saya dipukul-pukul agar bangun. Hanya saja, saya berfikir untuk menunda bangun. Saya pikir yang memukul kaki saya adalah teman saya yang tidur di samping saya. “Ya nanti dulu lah…” kata saya. Karena saya dipukul lebih keras, akhirnya saya bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Saya melihat di kamar itu ada makhluk seperti manusia tetapi pendek botak dan berkulit putih. Pakai baju kotak-kotak merah putih dengan celana pendek hitam. Tapi saya tidak bisa melihat matanya. Dia bicara, “Katanya mau shalat….?”

“lya, mau shalat.”

“Tapi mengapa dibangunkan tidak bangun-bangun?”

“lya, ini saya mau shalat.” “Ya udah, shalat yah!”

“lya”

Setelah dialog itu, dia berbalik dan menembus dinding. Melihat kejadian itu, saya baru merasakan ketakutan dan berteriak sekeras-kerasnya. Teriakan saya ternyata mengejutkan saudara-saudara saya yang sedang menonton di ruang keluarga yang ada di samping kamar saya. Teman di samping saya juga langsung terbangun. Saya lari keluar kamar. Di pintu berpapasan dengan sepupu saya yang mendobrak pintu, “Ada apa?” Saya jawab. “Saya lihat haantuuu….Sssa… saya sempat ngobrol sama dia,” kata saya terengah-engah.

Jawaban saya dijawab dengan tawa saudara-saudara yang lain. “Kok, lihat hantu bisa bicara?”

Sepupu saya yang masih berdiri di pintu marah mendengar saya jadi bahan tertawaan. Katanya, “Di sini memang ada hantunya. Biasanya dia datang kepada tamu yang baru. Tapi biasanya yang datang yang baik-baik.”

Akhirnya kakak-kakak lain nampak lebih serius dan bertanya, “Memang dia suruh kamu apa?”

“Suruh shalat,” kata saya.

“Tuh kan, benar. Dia baik,” timpal sepupu saya lagi.

Teman saya yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan saya dengan sepupu saya justru jadi ketakutan.

Sabtu pagi itu, saya harus berjuang untuk tes masuk FIK di Ul. Pada hari Minggu saya berangkat lagi ke Bandung.

Pengumuman tes menyatakan bahwa saya lulus di dua universitas Unpad dan Ul. Hanya saja saya memilih Unpad karena orangtua melarang saya tinggal di Jakarta, mengingat tahun 1998 adalah tahun kerusuhan lengsernya presiden.

Di Bandung, saya tinggal di Cikutra dekat dengan taman makam pahlawan. Saya tinggal di rumah yang berada di dalam gang yang tidak bisa masuk mobil. Untuk mencapai rumah, jalannya naik. Tetapi rumah itu sangat luas. Halamannya lebar dan pohon-pohonnya besar ada pohon jambu air, bunga sedap malam bahkan kandang kelinci pun ada. Tetapi rumah tersebut terkesan pengap karena sinar matahari tidak bisa menembus daun dan ranting pohon yang besar. Di depannya ada masjid.

Rumah itu terdiri dari dua lantai. Rumah itu sengaja disediakan untuk dijadikan kos-kosan. Ibu kosnya juga tinggal di rumah itu. Saya tinggal di kamar utama yang sangat luas di lantai bawah. Sementara di lantai atas ada 8 mahasiswa laki yang tinggal, termasuk kakak ipar saya.

Bulan itu adalah bulan Agustus. Malam pertama saya tinggal di rumah itu saya lalu biasa saja. Pada malam kedua. makhluk botak yang pernah saya lihat di Jakarta datang lagi. Setelah itu, kemunculannya terhitung sangat sering. Setiap saya berdoa sebelum tidur untuk bisa bangun di malam hari, dia selalu muncul. Padahal dalam satu minggu saya bisa empat kali berdoa untuk bisa bangun malam. Maka setiap itu pula dia muncul dengan wajah dan penampilan persis seperti kemunculannya yang pertama.

Tetapi ada sedikit perbedaan pesan makhluk itu. Sejak saya tinggal di Bandung, pesan makhluk itu ditambah. “Dena, kamu pakai jilbab! Ingat kan kamu dilihatin orang waktu naik angkot di Padang. Ingat kan, waktu kamu ujian di Bandung, orang-orang ingin nyubitin kamu. Sudah saatnya kamu menutup aurat!”

Saya sangat takut. Akhirnya saya menulis surat untuk ibu di Pekanbaru. Saya sampaikan bahwa saya melihat makhluk aneh. Saking takutnya saya mengirim surat dengan isi yang sama dua kali seminggu dalam rentang sebulan. Akhirnya ibu menelepon langsung menanyakan keadaaan saya. Ibu sempat bertanya bagaimana bentuk makhluk itu. Beliau menasehati saya agar berpikir yang matang, agar tidak memakai jilbab hanya karena menuruti pesan makhluk itu. Ibu hanya berkata mungkin saya tidak pernah mengaji atau lupa berdoa sebelum tidur. Selain itu, ibu juga mengirim surat dalam amplop coklat yang berisi doa-doa untuk melindungi saya. Yang saya ingat, doa perlindungan itu berupa bacaan surat al-Insyirah sebanyak 40 kali dan kalau shalat tahajud baca surat al-Kafirun pada rakaat pertama serta al-Ikhlas pada rakaat kedua. Saya menurut nasehat itu, tetapi tetap saja makhluk itu datang.

Karena makhluk itu selalu berpesan sama dan mengingatkan saya pada dua peristiwa, saya mencoba mengingat dua peristiwa itu. Memang, saat saya di Padang ada KKN Di angkot, saya mermakai baju putih pendek dan rok putih pendek. Saya sempat mendengar omongan orang-orang di angkot melihat saya dalam bahasa Minang yang kalau di Indonesiakan, “Anak itu putih banget, kayak ubi.”

Adapun ketika masuk ruangan ujian di Unpad Bandung, waktu itu saya memakai celana panjang dengan baju lengan pendek warna hijau yang sampai sekarang masih saya simpan. Selesal ujian, teman-teman berkata, “Dena, besok-besok kamu pakai lengan panjanglah, orang-orang pada lihatin lengan kamu yang sangat putih dan pinginnya nyubit aja”

Kegelisahan dan ketakutan saya semakin bertambah. Tidak hanya menulis surat ke Pekanbaru, saya kali ini langsung menelepon ibu di rumah. Akhirnya karena saya sering mengirim surat dan menelepon ke rumah, orangtua di rumah menjadi gelisah juga.

Suasana rumah yang seperti itu membuat saya tidak betah. Hanya sekitar dua bulan saya tinggal di rumah itu, untuk kemudian pindah rumah ke Cileunyi. Saya tinggal di rumah itu, bersama kakak saya yang juga kuliah di Bandung. Setelah tiga bulan tinggal di rumah itu saya mulai memakai jilbab. Tentu saja saya memakai jilbab bukan karena perintah makhluk itu. Saya sudah berniat memakai jilbab sejak aktif di pengajian SMA. Tetapi untuk memakai jilbab, saya perlu perjuangan yang tidak ringan. Karena semua kakak-kakak saya yang laki-laki melarang untuk memakai Jilbab. Katanya saya masih kecil. Tetapi ibu mendukung jilbab saya, Ibu hanya bilang bahwa saya boleh pakai jilbab dengan syarat tidak dilepas lagi. Saya ingat, waktu itu bulan Maret 1999 ketika saya pertama masuk ke rumah sakit Hasan Sadikin untuk angkat sumpah sebagai perawat yang biasa dilakukan pertama kali bertugas di rumah sakit. Saya langsung memesan pakaian dinas rumah sakit lengan panjang lengkap dengan jilbabnya. Itulah awal saya memakai jilbab setelah mendapatkan dukungan surat dari ibu. Saya sengaja menyimpannya, agar ketika kelak kakak-kakak komplain saya punya kekuatan dengan surat ibu itu. Tapi justru setelah saya memutuskan memakai jilbab, kakak-kakak ipar saya dan empat saudara kandung saya yang perempuan semuanya pakai jilbab. Rentang mereka memakai jilbab pun hanya tiga bulan setelah saya memakainya. Dakwah saya waktu itu hanya dengan mengirim foto kepada kakak- kakak.

Tetapi, ketika saya bercerita tentang yang sering saya lihat kepada kakak yang tinggal serumah, dia malah menertawakan saya. “Sudah pakai jilbab kok masih ketemu yang begituan.”

Setelah itu, saya merasa semakin ketakutan, karena tidak ada yang mau percaya cerita saya. Hanya ibu yang mau merespon cerita saya. Ketakutan saya berpengaruh pada kuliah saya. Pada semester pertama, nilai saya anjlok banget bahkan ada mata kuliah yang tidak lulus. Semenjak itu, kakak saya mulai percaya dan memperhatikan saya. Tetapi dia hanya bisa menasehati agar saya memberitahukan masalah ini ke keluarga di Pekanbaru.

Setelah saya memakai jilbab, makhluk itu tidak datang lagi. Saya tetap shalat malam tetapi tanpa dibangunkan oleh makhluk itu. Hal itu berjalan hingga satu setengah bulan. Pada suatu malam makhluk itu muncul lagi. Kali ini, dia mengucapkan kata perpisahan. “Beginilah kamu dan yang berhak melihat kamu nanti adalah suami kamu.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia membalikkan badan dan pergi menembus dinding. Entah mengapa, saya menangis sampai terisak-isak. Sebenarnya tidak ada perasaan tertentu. Saya juga tidak paham mengapa saya menangis.

 

Kepergian Makhluk Tinggalkan Sakit Luar Biasa Pada Kaki

Kepergian makhluk itu. meninggalkan sakit yang luar biasa di kaki. Sebenarnya saya telah merasakan sakit kaki ini sejak pertama melihat makhluk itu. Hanya saja sakit yang luar biasa terasa ketika saya mulai tinggal di rumah baru di Cileunyi. Kalau sakit itu muncul, saya tidak bisa mengetahui persis di mana letak sakitnya. Yang jelas rasa sakit itu ada di sekitar lutut sampai pertengahan betis. Rasanya seperti lumpuh dan sakitnya tak tertahankan. Kaki ini seperti ditusuk-tusuk. Kedua kaki saya tidak bisa digerakkan. Saya selalu menangis dan tidak bisa melakukan apa-apa. Biasanya sakit itu berlangsung sampai setengah jam. Bukan hanya itu, kalau digerakkan tulang kaki saya berbunyi seperti bunyi kerupuk dimakan.

Rasa sakit itu datang kapan saja. Saat saya di rumah, di kampus, di rumah teman atau sedang tugas di rumah sakit. Kalau di rumah saya bisa langsung masuk kamar. Yang susah, kalau kambuhnya di dalam kelas. Saya langsung izin untuk meninggalkan kelas dan lari ke kamar mandi. Di kamar mandi saya menahan rasa sakit yang luar biasa. Dua kali saya mengalami sakit itu di kampus. Pernah juga rasa sakit itu datang saat saya berada di rumah teman di daerah sekitar Sumedang. Teman saya bingung, saya hanya menjawab mungkin kekurangan kalsium.

Semester kedua, saya sempat pingsan di kampus. Saat itu dalam penglihatan saya, ibu dosen yang sedang menjelaskan di depan kelas dalam posisi terbalik, kakinya di atas dan kepalanya di bawah. Karena dosen saya dalam posisi terbalik seperti itu, saya pun beberapa kali memiringkan kepala untuk mengimbanginya. Teman saya dari Aceh bertanya, “Ada apa Den? Saya jawab, “Tahu tuh ibu, kebalik-balik.” Mendengar jawaban saya, dia melihat saya keheranan, “Ini anak sadar nggak sih?” Hanya itu yang bisa saya ingat dan setelah itu saya tidak sadarkan diri.

Saya dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri. Menurut analisa dokter saya mengidap penyakit Hipokalsemia (Kekurangan kadar kalsium dalam darah), waktu itu kadar kalsium saya memang rendah, hanya 3,8 mgr/dl padahal normalnya adalah 11 mgr/dl. Saya sempat memberitahukan dokter tentang nyeri yang luar biasa pada kaki saya. “Oh iya pantas, kamu ini kekurangan kalsium.” Kemudian dokter memberikan suntikan kalsium. Reaksianya cepat terlihat. Kalsium saya tinggi kembali. Tapi anehnya, kaki saya tetap sakit padahal kalsiumnya sudah normal kembali.

Yang sulit buat saya adalah tidak ada tempat bercerita. Hanya teman akrab saya yang dulu bersama-sama ujian masuk ke Ul dan dia diterima di Ul. Kita sering telepon. Hanya saja Allah cepat memanggilnya. Dia sakit penyumbatan pada pembuluh darah. Saya tidak mau bercerita tentang penyakit saya kepada orang lain. Takut dikatakan penyakitan.

Setelah pemeriksaan dokter itu, saya tidak puas. Dua bulan Setelah itu, saya memutuskan untuk general check up di sebuah klinik didaerah Cibiru. Ternyata hasilnya normal. Akhirnya saya hanya bisa pasrah dengan sakit di kaki saya ini. Saat saya KKN di daerah Majalengka rasa sakit di kaki sering kambuh. Kemudian saya minta pindah dan mendapatkan daerah di Sumedang. Sakit kaki saya terus berlanjut. Saya hanya bisa pasrah.

Sampai akhirnya saya lulus bulan November tahun 2000. Pada bulan Desember, saya kembali ke Pekanbaru. Kakak nomor dua yang tinggal di Batam mengajak saya jalan-jalan liburan ke Cina, Hongkong. Thailand dan Malaysia. Tetapi saya tidak menikmati sama sekali perjalanan itu, karena rasa sakit di kaki yang luar biasa. Saya tidak menceritakannya kepada kakak. Kalau sakit itu datang, saya hanya meringis untuk menahan agar jangan sampai menangis. Saya tidak ingin mengecewakan kakak yang telah mengajak saya. Dari foto-foto perjalanan bisa dilihat dari wajah saya, betapa saya menahan rasa sakit.

Pertengahan Januari saya sudah sampai Indonesia lagi. Seminggu setelahnya, kakak yang nomor enam menikah. Saat kakak melangsungkan akad nikah, rasa sakit pada kaki kembali kambuh. Tadinya saya pikir ini karena kecapekan. Saya memang baru sehari ini sampai. Ibu yang mengetahui sakit saya, tidak terlalu khawatir. Dan penyakit itu pergi dengan sendirinya.

Awal Februari, saya dipanggil interview untuk kerja di Akper Muhammadiyah. Sepulang dari interview, saya kembali kesakitan. Ibu berkata. “Paling kamu terlalu lama duduk dan menunggu, apalagi kamu nyetir mobil sendiri.” Saya pun tidak berobat dan tidak ke dokter lagi karena sudah hopeless.

Alhamdulillah saya diterima sebagai tenaga pengajar. Kambuh pertama setelah bekerja terjadi pada bulan Mei. Sakit yang sangat luar biasa sampai saya tidak bisa masuk kerja. Saya hanya bisa menangis dan menangis. Saat Itulah ibu baru ngeh bahwa ada sesuatu pada diri saya. Abang-abang menyarankan agar saya dibawa ke rumah sakit untuk rontgen. Tapi ternyata hasilnya bagus.

Sampai akhirnya, teman kerja saya di Akper bercerita bahwa dia punya kenalan yang pernah berobat ke orang pintar di daerah Bangkinang. Orang itu menyebutnya Pak Haji dan masih berumur sekitar 35 tahun. Dan saya pun diajak untuk sekedar melihat praktik Pak Haji.

Sesampainya di tempat praktiknya, saya melihat antrian orang. Metode pengobatannya dengan cara menggigit bagian yang sakit dari tubuh. Jika ada kanker rahim misalnya maka perut pasien itu digigit dan dari mulut si orang pintar itu keluar bongkahan-bongkahan daging.

Ketika dia melihat saya, dia langsung bilang. “Kamu harus digigit kakinya, tapi harus izin orangtua dulu.” “Nggaak…!” teriak saya. Saya ketakutan melihat pemandangan pengobatan yang langsung saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Ada orang yang katanya terkena pelet, digigit lehernya dan keluar paku. Terus digigit punggungnya keluar ulat. “Saya nggak sakit Pak Haji.” kata saya sambil menghindar keluar dari ruangan.

Sesampainya di rumah. saya ceritakan pengalaman seharian itu kepada ibu. Ibu langsung marah. Akhirnya saya pergi ke abang yang ke tiga. “Nantilah kita lihat kebenarannya,” kata abang Abang saya selanjutnya mencari berita tentang Pak Haji itu. Dia pun mendapatkan berita dari temannya. Katanya kepada saya, “Dena, Pak Haji itu punya jin, dan yang keluar dari mulutnya itu buatan jinnya.” “Berarti nggak benar ya, Bang?” “Nggak.”

Teman abang saya itu menyarankan agar saya pergi ke tempat lain saja yang katanya bebas dari jin dan sesuai dengan Islam. Orang yang akan didatangi itu kerjaan sehari-harinya sebagai tukang parkir di pasar. Malam itu, abang musyawarah dengan ibu dan bapak. “Ya udah, coba aja,” kata bapak memberi izin.

Akhirnya kami pergi bertiga, saya, ibu dan abang. Selepas Maghrib, kami berangkat. Perjalanan cukup jauh. Baru kira-kira pada pukul 20.00 kita sampai di rumah orang itu. Tampak sangat sederhana. Seorang bapak keluar dengan badan agak kurus memakai celana panjang dan hanya menggunakan kaos. Kami dipersilakan masuk. Begitu masuk rumahnya, bapak itu bertanya-tanya tentang maksud kedatangan kami. Abang yang menceritakan kasus saya. “Ya, kita coba yah. Saya tidak mengobati, tetapi semuanya tergantung yang di atas.”

Dia kemudian masuk ke dapur. Tidak lama kemudian keluar sambil membawa sebuah piring dan batu yang diletakkan di atas piring. Mulutnya komat-kamit. Saya hanya mendengar basmallah dan al-Fatihah. Selanjutnya dia berkomat-kamit tanpa bisa saya dengar. Matanya menatap tajam batu itu sambil berkata, “Dena, kamu dulu pernah tinggal di sebuah tempat yang di depannya adai sungai, kebun di belakang. Rumahnya berbentuk panggung dan bertingkat.” Saya memang pernah tinggal di tempat seperti itu pada saat KKN di Padang tahun 1997. Selanjutnya dia menjelaskan, “Kaki Dena ini sakit karena pernah melangkahi kuburan dan jinnya marah.” Saya kembali mengulang kembali saat-saat itu dan teringat bahwa saya pernah kesurupan waktu itu. Ketika itu saya disembuhkan oleh seorang nenek.

Ibu yang sedari tadi hanya mendengar mulai muncul kekhawatirannya, “Terus bagaimana ini Pak?” “Ya, kita obati.” Dia memberikan resep agar kita membuatnya sendiri dari tawas, jahe dan timun suri. Timun suri diparut dan dicampur dengan tawas serta jahe yang telah dihancurkan. Setelah diperas kemudian dibalurkan di kaki pada malam hari. Semua itu harus dilakukan selama empat puluh hari setiap malam. Seminggu pertama, sempat terasa enak. Yang saya rasakan selama dibaluri adalah dingin. Tetapi hari setelahnya rasa sakit itu datang lagi. Ibu pun menelpon tukang parkir itu, “Terusin aja sampai habis empat puluh hari,” nasehatnya.

Empat puluh hari berakhir, dia datang dan menanyakan keadaan saya. Saya jawab saja bahwa penyakitnya tidak berkurang. “Ya udah, kalau gitu saya harus pergi dulu mencari obatnya.” Beberapa hari kemudian dia datang lagi dengan membawa daun-daun kering untuk diseduh dan kemudian diminum. Saya pun melakukannya. Ternyata juga tidak banyak bermanfaat, padahal pengobatan kedua ini juga dilakukan sebanyak empat puluh hari.

Saya mulai bosan. Delapan puluh hari sudah saya tersiksa dengan cara pengobatan seperti itu. Saat itu dia datang menasehati agar saya tidak bosan dan meneruskan proses pengobatan, Dia berbisik kepada ibu, “Sebetulnya, entah bagiamana Dena ini dibuntuti terus oleh dua jin laki dan perempuan…” “Kalau mau sembuh, kita harus tanya apa maunya dua jin itu. Caranya Dena harus bangun malam hari kemudian mengaji sendiri dalam keadaan gelap dan hanya boleh ada lilin untuk baca. Nanti dia hadir dalam ruangan itu.” Saya langsung membayangkan betapa menakutkan dan saya pun menolak. “Ya udah lah Pak, jangan dipaksa kalau tidak mau,” pinta ibu saya. “Tapi kalau begini terus dia nggak akan sembuh. Dua jin itu baik kok,” katanya meyakinkan. Tapi saya tetap bersikukuh untuk tidak melakukannya. Setelah itu saya tidak pernah melakukan pengobatan sama sekali. Dalam hati saya hanya berkata, kalau sembuh ya akan sembuh kalau tidak saya pasrah saja.

 

Jumpa Ruqyah di Australia Selatan

Bulan Juni 2004 saya berangkat ke Adelaide, Australia. Waktu itu musim dingin. Dan kaki saya lagi-lagi tidak bisa digerakkan. Saya periksa kepada seorang dokter asli Australia di Adelaide. Tetapi dia tidak menyarankan saya untuk rontgen dan hanya melakukan pemeriksaan lab saja. Hasil pemeriksaan dinyatakan normal.

Sampai akhirnya Allah pertemukan saya dengan Majalah Ghoib dalam acara seminar dan ruqyah massal. Setelah mengikuti seminar dan dijelaskan tentang perdukunan, saya merasa bersalah. Berarti selama ini saya pernah datang ke dukun. Selanjutnya saya putuskan untuk minta diruqyah karena sampai malam sebelum diruqyah pun kaki saya masih terasa sakit.

Ruqyah dilaksanakan di rumah salah satu mahasiswa Indonesia yang juga sedang mengambil S2. Ketika itu yang diruqyah ada dua orang. Saya dan seorang teman perempuan yang sebentar lagi akan menyelesaikan studinya. Di sebuah ruangan yang cukup luas dengan diantar suami, saya menunggu giliran diruqyah. Karena yang pertama diruqyah adalah teman saya itu. Saya menunggu di dalam ruangan itu juga. Tetapi ketika ayat-ayat ruqyah dibacakan untuk teman saya, justru saya yang mulai bereaksi. Ustadz Junaidi akhirnya menangani dua orang sekaligus. Kedua kaki saya tiba-tiba terangkat dengan sendirinya. Saya merasakan panas di sepanjang kaki dan sakit seperti ditusuk-tusuk. Seterusnya, ada yang menjalar di tubuh saya dan rasa sakit tak tertahankan. Sampai saya berguling-guling dua kali dan mau menendang ustadz. Rasa sakit itu menjalar, terus berhenti di pangkal paha dan setiap berhenti terasa sakit. Kemudian berjalan lagi terus dan terus hingga sampai di leher dan saya pun muntah. Saya setengah tidak sadarkan diri. Menurut teman saya, ketika ustadz bertanya, “Ini siapa?” Saya hanya menjawab, “Eh…eeehhh…” Dengan suara yang bukan suara saya.

Setelah muntah itu, kaki saya langsung terasa ringan, alhamdulillah. Hanya saya merasakan badan saya lelah sekali seperti habis melakukan pekerjaan berat.

Semoga Allah memberikan kesembuhan ini selamanya..
Ghoib, Edisi Khusus

“Semoga Ada yang Membantu Biaya Pengobatan Anak Saya”

Ibu Fajarati, Ibunda Uli Oskar Nauli, putranya yang sakit parah (syarafnya terganggu) sejak kecil.

Hiruk pikuk suasana Terminal Kampung Rambutan ditatapnya dengan kosong. Sambil mengendong Uli, buah hati yang syarafnya terganggu sejak kecil, Ibu Fajarati terus menatap lalu lalang manusia yang mulai beraktivitas. Sesekali Uli bergerak dan menangis. Saat itu pula, sang ibu berusaha menenangkan buah hatinya yang sudah tidak bisa berbuat apa- apa lagi tanpa kehadiran dan dekapan kasih sayangnya. Pagi itu, ketika Majalah Ghoib menemuinya, Ibu Fajarati akan berangkat mencari donatur guna kesembuhan putranya. Semua itu ia lakukan, setelah seluruh rumahnya diterjang gelombang tsunami yang menyisakan kepiluan mendalam. Berikut kisahnya.

Orang biasa memanggil saya, ibu Fajarati. Saya seorang guru honorer di sebuah sekolah di Aceh. Sedangkan suami saya mempunyai truck pribadi yang disewakan dan terkadang juga dibawanya sendiri. Kami hidup dalam keadaan berkecukupan, karena kami sama-sama mencari uang. Hingga segalanya habis di terjang tsunami. Kami juga dikaruniai 4 orang anak, 3 orang dalam keadaan sehat sampai sekarang, kecuali anak yang kedua ini. Anak saya yang kedua, namanya Uli Oskar Nauli usia 11 tahun. la lahir pada tanggal 3 Januari 1994 dalam keadaan sehat wal afiat serta normal dengan dibantu oleh seorang bidan teladan di Puskesmas, di daerah Aceh. Saya sangat gembira sekali, anak saya ini lahir selamat tanpa operasi. Sebuah anugerah Allah yang amat besar saya rasakan. Namun setelah 3 hari dari kelahirannya, tali pusatnya tiba-tiba berdarah. Bidan yang biasa memandikannya ditanya ibu mertua saya, kenapa tali pusatnya berair terus tidak kering- kering? Kemudian oleh bidan tersebut diikat balik, tapi tetap terus berdarah. Saya kembali bertanya, bu kenapa diikat balik lagi? Biasanya hanya sekali saja waktu baru lahir. la bilang, nggak apa-apa, nanti akan diberi alkohol. Setelah diberi alkohol, semua badan anak kedua saya berwarna kuning, juga kedua matanya.

Lalu, ibu mertua saya menganjurkan untuk membawa anak saya ke rumah sakit. Dengan perasaan sedih dan panik, saya membawa anak saya ke Dokter Nurjannah, seorang dokter anak yang berpraktek di rumah. Saya panik, karena tidak punya pengalaman seperti ini, sebab anak pertama saya lahirnya sangat baik. Sesampainya di sana, dokter bilang, anak saya harus segera diopname. Malah ia terus marah-marah, kenapa bidan yang merawat anak saya bisa membuatnya seperti sekarang ini?

Atas rujukan dokter, anak saya di bawa ke Rumah Sakit Zaenal Abidin dan langsung di rawat di ruang ICU (Intensif Care Unit). Dokter langsung memberi suntikan penenang agar bisa tidur. Selama dua puluh hari dirawat di sini anak saya disinar dan diinfus, serta tetap dalam pengawasan dokter. Sementara ASI-nya untuk minum harus diperas dan dimasukkan ke dalam botol yang kemudian dimasukkan ke dalam selang, hingga akhirnya dikonsumsi oleh anak saya. Setelah 20 hari, kami pulang ke rumah. Saya sangat sayang pada anak saya tersebut. Setiap orangtua di muka bumi ini menginginkan buah hatinya dapat hidup sehat dengan suasana penuh keceriaan, sebagai obat penawar rindu tatkala pulang dari bepergian. Sehingga usaha apa pun, saya lakukan untuk membiayai pengobatan anak saya. Terlebih pada saat itu, saya masih mampu membiayainya.

Sepulang dari rumah sakit, warna kuning di tubuhnya agak berkurang dan sudah boleh berobat jalan. Namun, 2 hari setelah berada di rumah anak saya terus menangis. la tidak bisa diam. Kami memutuskan untuk kembali membawanya ke rumah sakit agar kesehatannya kembali pulih. Setelah seminggu dirawat, keadaannya kembali membaik namun setelah itu kembali sakit. Keadaan seperti ini, saya jalani dengan tabah selama hampir 3 tahun berjalan. Sungguh sebuah kondisi yang begitu berat saya rasakan. Belaian kasih sayang, senantiasa saya berikan untuk memberikan dukungan kepada anak saya yang memang sudah tidak normal. Tidak seperti ketiga saudaranya yang lahir sehat. Setiap malam, anak saya terus menangis dan kejang. Suhu badannya terus naik, sehingga menurut analisa dokter, fungsi syarafnya agak terganggu. Selama tiga tahun tersebut, saya kurang istirahat. Untuk makan, minum, buang air, sampai untuk duduk saja, anak saya bergantung pada saya. Sampai sekarang, ketika usianya 11 tahun, anak saya tidak bisa berbuat apa-apa, termasuk untuk sekolah. Namun saya tetap berusaha tersenyum dan bertawakal agar saya tetap sehat.

 

Bencana yang Lebih Besar Menimpa Keluarga Kami

Perjalanan mencari kesembuhan terus saya lakukan. Bosan dengan berobat ke dokter, saya mulai mendatangai pengobatan alternatif di seluruh pelosok Propinsi Nangroe Aceh Darussallam. Menurut beberapa orang yang membuka praktek pengobatan alternatif, anak saya terkena gangguan syetan laut. Bahkan ada juga yang menganjurkan untuk memakaikan sebuah cincin suasah 3 gram 3 mili yang harus dipakai sebelum subuh, tapi saya semakin bertambah bingung, karena setiap kali saya mendatangi pengobatan alternatif, setiap kali itu pula analisanya berbeda-beda.

Setelah ada rejeki yang berlebih, saya membawa anak saya ke Medan, sebuah propinsi terdekat dari Aceh. Tepatnya ke Rumah Sakit Elisabeth. Di sana, anak saya ditangani oleh seorang dokter spesilais syaraf khusus anak, namanya dr Bistok Saing. Setelah otak anak saya di scan, hasilnya, anak saya rusak syaraf perintahnya, karena terlalu banyak obat suntik penenang waktu di Aceh. Beberapa hari di sana. anak saya difisioterapi. Saya masih mampu membiayai fisioterapi dan konsul pertama dengan dokter, namun setelah itu, saya dan keluarga mernutuskan untuk pulang ke rumah, karena sudah tidak lagi punya biaya. Fisioterapi di lanjutkan di Aceh, kalau saya punya uang saja. Kalau tidak punya uang, ya kami hanya berusaha sebisanya di rumah.

Gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di Aceh di penghujung tahun 2004 lalu menyisakan kepiluan yang begitu dalam bagi keluarga kami. Di tengah usaha saya untuk mengobati buah hati tercinta, dua buah rumah beserta harta benda yang saya miliki hancur lebur disterjang ombak. Alhamdulillah semua anggota keluarga saya selamat. Saya ditakdirkan selamat dari terjangan air bah bersama Uli berdua setelah tersangkut di pohon Mahoni. Sementara anak-anak yang lainnya bersama ayahnya. Komunikasi terus saya lakukan bersama Uli pada saat tersangkut di pohon tersebut. Saya katakan kepadanya, jangan banyak bergerak, karena di atas pohon Mahoni ada ular besar. Uli dapat memahami maksud saya dan akhirnya kami selamat. Saya pada saat itu berpikir, bahwa dunia telah kiamat.

Setelah bencana, kami tinggal di camp pengungsian yang terletak di TVRI Banda Aceh 4 hari setelah tinggal di sana, datang bantuan dokter- dokter dari Jakarta dan Korea. Saya bawa semua anak saya untuk diperiksa oleh dokter, karena suhu badan anak-anak saya terus tinggi, mungkin karena kebanyakan menelan air dan terkena lumpur. Dokter tersebut menyatakan bahwa semua anak saya harus segera di rontgen. Saya bilang kepada dokter tersebut, di mana rontgennya? karena rumah sakit di Aceh ini sudah banyak yang hancur. Saya semakin bingung dan harus terus begadang setiap malam.

Keesokannya harinya, datang dokter dari Jakarta yang menangani khusus anak-anak yang tenggelam. Saya lalu ikut ke posko kesehatan seorang dokter untuk merawat lebih lanjut anak-anak saya. Setelah satu malam menginap di posko. anak-anak saya kemudian dirawat di Rumah Sakit Kesdam. Namun di sana tidak ada alat yang memadai dan kami harus kembali ke pengungsian. Karena kondisi rumah sakit yang juga terkena gelombang tsunami, saya akhirnya diajak ke Jakarta oleh seorang dokter agar anak-anak saya mendapat perawatan yang lebih intensif. Saya dan suami berangkat bersama anak-anak dengan pakaian seadanya, bahkan tidak pakai sendal.

Tiba di Jakarta sekitar pukul setengah dua malam, kami dijemput pakai Ambulance dan langsung diantar ke Rumah Sakit Harapan kita. Di sana, anak- anak saya dirawat selama satu minggu secara maksimal. Setelah itu, saya diperbolehkan untuk rawat jalan. Saya semakin bingung, harus pulang ke mana, sebab di Jakarta saya tidak punya saudara. Sementara di Aceh, rumah sudah hancur. Saya bertemu dengan seseorang yang melihat kami di TV. la menawarkan tinggal di tempatnya, di Pabrik susu Fajar Taurus di Pasar Rebo.

Saya terus berusaha untuk penyembuhan anak saya Uli. Selama di Jakarta, saya sudah berusaha meminta bantuan ke mana-mana. Saya mendapatkan rujukan ke YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat). Sesampainya di sana, saya dianjurkan oleh ketua yayasan untuk mencari donatur yang sudi membiayai anak saya selama di sana. Saya bingung, harus mencari donatur ke mana. Sementara menurut dokter di YPAC, Uli harus segera memiliki alat bantu jaket, supaya tulang belakang Uli tidak bengkok Jaket yang harus dipakainya selama 24 jam. kecuali mandi. Saya sudah tidak punya uang lagi, apalagi suami sampai sekarang masih belum bekerja. Perjalanan mencari donatur terus saya lakukan. Hari ini, harusnya saya berusaha lagi, tapi saya bingung, karena uang saya tinggal Rp. 15.000, belum lagi Uli harus jajan. Saya sekarang juga siap bekerja sebagai apa saja, kalau ada yang membutuhkan. Kebetulan saya adalah seorang sarjana biologi. Semoga Allah mengabulkan semua harapan saya untuk bisa mengobati buah hati tercinta.

Ghoib, Edisi No. 37 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

STRESS BERAT Akibat Jeratan Rentenir dari Telanjang Hingga Nyaris Bunuh Diri

Jangan pernah berhubungan dengan rentenir, karena bisa terjebak dalam ketidaktenangan yang berkepanjangan. Seperti yang dialami Syamsiar yang meminjam modal kepada rentenir dengan bunga sepuluh persen. Hutangnya terus menumpuk hingga menembus angka limapuluh juta. Akibatnya, Syamsiar mengalami tekanan mental yang pada akhirnya mempermudah masuknya jin ke dalam dirinya. Dengan ditemani Nanang, suaminya, ia menuturkan pengalamannya di kantor Majalah Ghoib. Berikut petikan kisahnya.

Tahun 2001 menjadi sejarah kelam dari kehidupan saya, seorang ibu rumah tangga, yang berusaha membantu suami dalam meningkatkan penghasilan keluarga. Niat yang mulia, tapi kemudian terhalang tembok yang tebal. Terbentur kendala yang dibilang klise dalam pengembangan dunia usaha. Permasalahannya tidak terlepas dari cupret modal yang ada. Sementara menggantungkan semua kebutuhan rumah tangga dari penghasilan suami, juga bukan solusi terbaik.

Alhasil, untuk menambah omset usaha kredit kebutuhan rumah tangga yang saya jalani selama ini, saya meminjam uang dari Nia, orang kaya yang terbilang masih kawan dekat. Dengan perjanjian saya akan mengembalikan modal itu secara kredit perbulan dalam bilangan tertentu.

Awalnya usaha ini berjala lancar, tapi beberapa bulan kemudian, seiring dengan bertambahnya daftar orang-orang yang meminta kredit barang, usaha saya mulai menampakkan tanda-tanda kemacetan. Beberapa nasabah mulai mangkal dan tidak bisa membayar sesuai dengan perjanjian. Sementara dalam setiap bulannya saya tetap mengembalikan cicilan kredit kepada Nia.

Itulah resiko yang harus saya tanggung. Meski untuk menambah modal dan menutup defisit keuangan itu pada akhirnya saya terjebak dalam permainan rentenir dengan bunga sepuluh persen. Kepalang basah, pikir saya waktu itu.

Tiga, empat bulan kemudian saya mengembangkan pelayanan dengan menerima kredit perhiasan berlian. Namun, di sinilah saya mulai tidak bisa mengelak dari kebangkrutan. Saya tidak bisa mengembalikan pinjaman pokok dan hanya membayar cicilan bunganya saja perbulan. Dengan pinjaman modal dua juta misalnya, saya harus membayar bunganya dua ratus ribu rupiah sementara saya tidak bisa menaikkan harga kepada nasabah.

Akibatnya, tumpukan hutang saya semakin tidak terkendali. Kian hari kian banyak hingga menembus angka lima puluh juta rupiah. Dari sinilah, batin saya semakin tertekan. Dalam kondisi sedang mengandung anak yang keempat, saya harus memecahkan masalah ini sendirian, karena sejak awal saya tidak pernah berdiskusi dengan Mas Nanang atau keluarga yang lain. Semuanya saya tangani sendirian.

Pada sisi lain, para pemberi modal selalu menekan agar saya segera menutup hutang. Saya kebingungan, bagaimana harus menutupnya sementara uang saya banyak yang macet di nasabah. Di tengah kegalauan jiwa itulah saya menangis di hadapan suami dan orangtua. Saya mengakui kesalahan langkah yang saya tempuh selama ini. Memang tidak mudah menjelaskan semuanya kepada mereka, terlebih hutang yang ada sudah di luar batas kewajaran.

Dicemooh dan dicibirkan keluarga adalah reaksi wajar yang saya terima. Saya tidak menyalahkan mereka atas kemarahan itu, karena semuanya memang kesalahan saya. Saya ingin menjelaskan semuanya kepada ibu, tapi ibu tidak sudi menemui saya. “Saya tidak mau tahu. Pokoknya jual itu rumah, saya tidak punya uang.” Kemarahan ibu begitu menyentuh perasaan saya. Tapi saya masih menganggapnya sebagai reaksi yang wajar.

Mas Nanang yang tidak tahu apa-apa sempat kalut dengan jumlah hutang yang begitu banyak. Hanya bapak yang terlihat tenang. Dengan kepala dingin, saya berunding dengan Mas Nanang dan bapak. Dengan keputusan akhir rumah saya pemberian ibu harus dijual. Meski rumah itu adalah satu satunya barang berharga yang saya miliki. Itulah jalan keluar terbaik saat itu untuk meredam kemarahan para rentenir yang mau menang sendiri.

 

Hidup dalam pelarian yang menakutkan

Keputusan sudah diambil, tapi untuk mendapatkan pembeli tidak semudah yang dibayangkan. Dalam keterombang-ambingan itu, seorang wanita setengah baya yang bernama Imah datang menemui saya, ia berjanji membeli rumah saya senilai seratus lima puluh juta. Imah memang tidak membayarnya kontan, tapi ia akan membayar lima puluh juta terlebih dahulu dengan syarat sertifikat rumah saya dijadikan sebagai agunan pinjam uang di bank senilai lima puluh juta. Setiap bulannya saya akan menerima uang sepuluh juta dari Imah.

Tanpa pikir panjang, saya sepakat dengan persyaratan ini, karena saya ingin segera terbebas dari tekanan. Sertifikat tanah, yang masih dipegang ibu pun saya minta meski dengan sedikit berbohong. Saya katakan ada orang yang bersedia meminjami uang lima puluh juta, tapi dia ingin sertifikat tanahnya diserahkan ke notaris. Dengan cara seperti itulah akhirnya ibu menyerahkan sertifikat tanah.

Dengan ditemani bapak dan Mas Nanang, saya membawa sertifikat tanah itu ke notaris. Seorang pengacara yang bernama Syahrir telah memperingatkan saya agar berhati-hati. “Syamsiar, kamu harus hati- hati, kalau seandainya pinjaman itu tidak dia cicil, rumah kamu dapat disita bank. Kamu dapat apa? Kamu baru terima uang lima puluh juta. Kalau dia bayar ke bank, maka uang kamu tidak hilang. Tapi kalau dia tidak bayar, uang kamu bagaimana?”

Namun, nasehat itu tidak saya indahkan. Saya kalut. Yang ada dalam benak saya hanyalah segera keluar dari tekanan bertubi-tubi para rentenir. Bayang- bayang dijebloskan ke dalam penjara sangat menghantui pikiran saya, karena mereka tidak mau tahu dengan kondisi saya. Saya harus tetap bayar bagaimanapun caranya. “Harus bayar. Harus bayar,” itulah kata-kata mereka yang selalu terngiang di telinga.

Untuk sementara, saya bisa bernafas lega. Harapan mendapat uang lima puluhan juta mengembang di pelupuk mata. Dengan bersemangat sertifikat itu pun kembali dibawa ke bank sebagai jaminan pinjaman hutang.

Kini, dengan segala resiko yang ada uang lima puluh juta sudah ada di tangan. Satu persatu rentenir itu sudah mendapatkan kembali uangnya. Sementara saya masih terjerat dalam kubangan dalam. Pada satu sisi, rumah sudah tergadaikan dan di sisi lain, puluhan juta uang saya masih tertahan di tangan nasabah. Saya tidak bisa menagih dan menarik uang yang sangat besar nilainya itu dari mereka. Sebuah tragedi yang sangat menyedihkan.

Uang lima puluh juta yang sudah di tangan itu rupanya bukan jaminan ketenangan. Karena kini saya berada dalam ketakutan baru. Saya takut bila ibu bertanya darimana uang itu, sementara dulu saya berbohong. Lantaran itu saya memutuskan untuk melarikan diri dengan menginap di hotel. Berbekal uang cicilan dari Imah, saya berpindah dari satu hotel ke hotel yang lain bersama keempat anak saya yang masih kecil. Anak pertama baru kelas empat SD, sementara anak yang terakhir masih berumur beberapa bulan.

Awalnya anak saya yang pertama sempat heran dan bertanya mengapa harus tinggal di hotel dan berpindah-pindah tanpa kehadiran Mas Nanang “Kenapa Ma, kita harus bersembunyi?” tanyanya suatu hari “lya Nak, kalau ketahuan nenek kita jual rumah dengan kredit, nanti nenek marah,” saya berusaha menjelaskan kepada anak pertama saya, karena dialah tumpuan bagi adik-adiknya. Dialah yang selama ini merawat adik-adiknya.

Dua bulan lamanya, saya hidup dalam pelarian. Dalam kurun waktu itu, saya hanya tiga kali bertemu dengan suami. Itu pun dengan cara sembunyi-sembunyi. Khawatir bila nantinya tempat pelarian saya diketahui oleh ibu. Begitu bertemu Mas Nanang di sebuah hotel, keesokan harinya saya pindah lagi ke hotel yang lain.

Setelah berlangsung dua bulan, saya mengakhiri petualangan dari hotel ke hotel, karena Imah tidak lagi membayar cicilan pada bulan ketiga. Pada sisi lain, ternyata saya ditipu mentah-mentah. Imah adalah seorang penipu ulung. Sertifikat tanah saya dijadikan sebagai jaminan kredit di bank yang lain. Hal itu saya ketahui setelah Pengacara Syahrir menghubungi bapak, karena kebetulan ia juga menjadi pengacara di bank tempat Imah mengambil kredit. “Rumahnya Syamsiar mau disita, karena Imah sudah tidak lagi membayar cicilan. Sekarang rumah Syamsiar ini harus ditebus. Kalau tidak, rumah itu akan disita dan dianggap hilang,” ujar Pengacara Syahrir.

Bagai disambar petir, saya mendegar berita itu. Badan saya terkulai lemas, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Tapi untuk bertemu dengan ibu, saya masih tidak berani. Tidak terbayangkan betapa marahnya ibu, bila mendengar berita yang menyakitkan ini. Akhirnya saya kembali memilih langkah seribu. Saya menyewa rumah petak yang jauh dari keramaian. Rumah beratap seng yang masih dikelilingi dengan semak belukar. Sementara rumah yang lain berjarak sekitar seratus meter dari rumah kontrakan ini.

Sengaja saya memilih tempat yang tersembunyi agar tidak mudah dilacak oleh ibu. Sementara Mas Nanang masih tinggal di rumah tante. Karena saya merasa ada sesuatu yang aneh dalam diri saya. seperti dada saya sesak dan pikiran kalut. akhirnya saya menghubungi Mas Nanang dan memintanya datang ke kontrakan.

 

Dihantui Bisikan jin

Saat Mas Nanang datang, ia berusaha membujuk saya agar terbuka saja kepada ibu, “Syam, kita harus kasih tahu ibu. Kita tidak bisa sembunyi- sembunyi terus begini.” Saya tidak terima, karena saya merasa Mas Nanang berpihak kepada ibu. “Oh tidak. Saya tidak berpihak.” Akhirnya terjadi keributan dalam pertemuan itu, kemudian terdengarlah nada ancaman dari Mas Nanang. “Saya kasih tahu ibu ya, kalau kamu tinggal di sini.”

Mendengar nada ancaman itu darah di ubun-ubun seakan mendidih. Saya mengejar Mas Nanang dan memukulinya. Bag- bug, bag-bug, Mas Nanang hanya mengelak. la sama sekali tidak mau membalas pukulan saya. Akhirnya saya kecapaian dan lari ke dapur. Saat itulah saya mendengar bisikan, “Bunuh saja suamimu! Bunuh saja!” Saya tidak tahu darimana sumber suara itu. Yang saya rasakan hanyalah kekalutan yang luar biasa. Pisau yang tergeletak di atas meja pun sudah sempat saya sambar. Nyaris dilumuri oleh darah suami sendiri.

Langkah kaki saya dihentikan oleh serangan sakit kepala mendadak. Pusing dan tidak lagi tertahankan. Saya seperti kesetanan dan mengamuk. Saya bersyukur akhirnya bisikan siang itu tidak terwujud. Pisau di tangan itu pun lepas dengan sendirinya.

Kegaduhan itu rupanya mengundang datangnya tetangga kiri kanan. Mereka mengira saya stress berat, apalagi mereka juga belum kenal siapa saya. Melihat kondisi yang mengenaskan itu, akhirnya Mas Nanang menginap di rumah. la ingin menjaga saya dari kemungkinan buruk yang bisa terjadi kapan saja.

Benar, di kegelapan malam, di tengah gemerisik suara binatang malam yang mengusik ketenangan tidur, tiba-tiba saja saya kembali mendengar bisikan asing. “Cekik! Cekik! Ayo cekik suamimu!” Bisikan yang menyesatkan itu terus mempengaruhi saya, meski akhirnya saya bisa menguasai diri dengan susah payah.

Keesokan harinya keadaan saya tidak berubah. Sejuknya udara pagi masih tidak kuasa mendinginkan hawa amarah yang menguasai jiwa. Tanpa alasan yang jelas, saya memecahkan piring dan gelas. Saya ingin marah, tapi tidak tahu dengan siapa harus marah. Saya semakin tidak terkontrol. Kembali bisikan yang menyesatkan terngiang di telinga. “Buka baju. Buka baju. Sudah lari saja.” Saya melepas pakaian dan mengikuti bisikan itu. Saya berlari keluar dari rumah dan cepat dikejar oleh Mas Nanang.

Kejadian demi kejadian itu pada akhirnya memaksa Mas Nanang memanggil ‘orang pintar’. Semerbak aroma kemenyan segera menyeruak ke seluruh ruangan begitu sang dukun memulai ritual pengobatannya. la kemudian minta dibelikan kembang tujuh rupa yang katanya harus ditaruh di bawah kolong tempat tidur.

Namun, semua itu tidak membawa perubahan. Akhirnya Mas Nanang menghubungi ibu dan menceritakan apa yang terjadi. Siang harinya ibu datang. Air matanya berlinang. Wanita paruh baya itu tidak bisa menyembunyikan perasaannya. la menyesalkan mengapa semuanya berkembang semakin tidak terkendali. Isak tangis tidak lagi tertahankan. Rasa bersalah yang selama ini terpendam di dada akhirnya menemukan jalan keluar. Saya menangis dan mengakui semua. kesalahan ini.

Sore itu, saya diajak ibu bermalam di rumahnya untuk menenangkan diri. Tapi kenyataannya, saya tetap saja gelisah. Rasa bersalah tidak bisa hilang begitu saja meski ibu telah memaafkannya. Kaki dan badan saya sampai menggigil kedinginan. Keesokan harinya setelah memandikan anak-anak, perasaan saya tidak tenang. Ada bisikan yang menyuruh saya pergi dari rumah ibu. “Keluar! Keluar!”

Setelah merasa tidak ada yang mengawasi, dengan perlahan saya keluar dari pintu, tanpa menggunakan alas kaki. Saya pergi begitu saja tanpa tujuan. Hanya mengikuti perasaan yang tidak karuan. Saya baru sadar ketika terjatuh saat hendak melewati jembatan kecil. Waktu itu saya sendiri heran dengan apa yang saya alami. Mengapa saya sampai berjalan sejauh itu. Saya duduk saja di pinggir jalan sehingga menarik perhatian orang-orang yang lewat. Beruntunglah waktu itu ada orang yang mengenali saya, sehingga ia pun menghubungi ibu.

Setiba di rumah ada keluarga yang cerita bahwa sebelumnya dia sempat melihat saya berjalan. Tapi ia tidak mau menegur karena ia melihat mata saya katanya menyeramkan. Kusut seperti orang gila. Akhirnya ibu membawa saya berobat ke psikeater. Menurut diagnosa dokter saya mengalami tekanan mental yang berat. Saya pun diberi obat penenang. Namun hal itu tidak banyak membantu, karena obat itu hanya berfungsi sesaat. Setelah pengaruh obatnya habis, kepala saya pusing kembali.

Begitulah saya menjalani hari demi hari dalam tekanan mental dan ketidaktenangan. Sesekali diselingi bisikan yang menyesatkan yang tidak hanya mencelakai diri sendiri tapi juga orang lain. Bayangkan, tangan saya nyaris mencekik anak sendiri yang baru berumur beberapa bulan saat ia tertidur pulas di ayunan. Semua itu terjadi hanya karena bisikan, “Cekik saja anakmu! Cekik saja!”

Saya bersyukur dalam kondisi yang kritis itu, Mas Nanang lewat dan dengan cepat menghentikan langkah saya. Saya berontak beberapa saat sebelum akhirnya lemas dan tersadar.

Melihat perkembangan yang tidak kunjung membaik, akhirnya saya dibawa berobat ke Mbah Srono. Mbah Srono memindahkan jin dari diri pasien kepada asistennya dengan cara bersalaman. Setelah itu baru diajak dialog dengan bahasa Jawa. Menurut Mbah Srono, jin yang selalu mengganggu saya berasal dari rumah. Kemudian saya diberi air kelapa muda dan madu. Sehabis minum air kelapa muda dan madu saya merasakan seperti ada angin yang keluar dari kepala.

Sepulang dari Mbah Srono, saya merasakan badan saya agak membaik. Tidak lagi pusing seperti dulu. Saya bisa mencuci, memasak dan mengurus anak- anak. Sebulan lamanya saya menikmati dunia yang sekian lama hilang dari kehidupan saya. semuanya pun berakhir ketika saya mengajak kakak berobat ke Mbah Srono.

Malam harinya saya masih bergurau dengan keluarga kakak. Di tengah kegembiraan itulah, tiba-tiba seperti ada yang melempar dinding rumah. Bug! suaranya keras, seperti lemparan tanah setengah basah, “Ih, suara apa itu ya?” Saya bertanya kepada kakak, namun ia juga tidak berani memastikan suara apa itu. Malam itu pun saya lalui dengan sedikit ketakutan.

Keesokan harinya, gangguan kejiwaan saya kambuh lagi, sampai saya kembali melepas pakaian dan nyaris keluar rumah. Untunglah kakak perempuan saya menyadari apa yang terjadi dan berusaha menahan saya. Saya kembali dibawa ke Mbah Srono. Kali ini, saya diberi minum air dari tujuh masjid dan air tujuh sumur yang tidak dinaungi oleh atap. Selain itu saya juga disuruh mandi sambil membaca shalawat tiga kali ketika menyiram ke badan bagian kiri dan kanan.

Namun, pengobatan yang kedua ini tidak banyak membawa perubahan, bibir saya seringkali bergetar seperti orang kedinginan. Bahkan anak saya juga sesekali bertanya mengapa saya sering tersenyum sendiri.

 

Ruqyah dengan kaset

Berbagai usaha telah di tempuh namun semuanya mengalami jalan buntu. Dalam kondisi demikian, saya dipertemukan dengan Fuadz, seorang pemuda yang kebetulan mengontrak rumah yang sedang saya tawarkan untuk dijual. Di sinilah, Fuadz menjelaskan panjang lebar tentang ruqyah syar’iyyah. Beberapa hari sebelumnya tim Ruqyah Majalah Ghoib mengadakan ruqyah massal di masjid yang tidak jauh dari rumah saya.

Fuadz kemudian meminta saya memusnahkan semua bentuk jimat dan mendengarkan kaset ruqyah. Panaaas! Panaaas! Saya merasa kepanasan begitu kaset diputar dan kepala rasanya pusing. “Aduuh! Aduuh…!” Fuadz yang saat itu mengawasi dengan seksama segera memukul tempat- tempat yang saya katakan sakit.

Begitulah, setiap pagi dan sore saya selalu melakukan terapi ruqyah melalui kaset dengan disaksikan oleh Fuadz atau Mas Nanang. Reaksi yang muncul juga berbeda-beda, terkadang dada saya menjadi sesak, kaki kesemutan, kepala, punggung atau bahkan tertidur beberapa saat setelah kaset diputar.

Ketika mendengar firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya Allah akan membatalkannya.” secara berulang-ulang, telinga saya seakan ditusuk- tusuk. Sakitnya bukan main, tapi jin dalam diri saya tetap saja diam membisu. Tidak ada dialog apapun dengan Fuadz atau Mas Nanang.

Saya hanya berteriak, “Matikan! Matikan!” Sementara anak-anak juga ketakutan. Untuk menghindari trauma yang berkepanjangan akhirnya saya menitipkan anak-anak kepada tetangga.

Pada kesempatan lain, ketika mendengarkan kaset ruqyah, ada perasaan yang menyuruh saya untuk bunuh diri. Bahkan saya sudah melihat kayu, di mana saya akan menggantung diri. Semuanya itu tinggal menunggu kesempatan saja.

Sesekali bisikan masih terngiang di telinga, seperti ketika ada calon pembeli yang datang. “Itu tidak jadi. Bukan itu yang mau beli rumah kamu.” Dan memang orang tersebut batal membeli rumah. Pada kesempatan lain, saya seharian gelisah. Lalu saya berbicara sendiri, “Ya Allah, kapan berakhirnya cobaan ini. Hutang belum terbayar, sakit belum sembuh total, sementara rumah ini sebentar lagi mau disita.”

Saya terkejut ketika omongan saya itu ditimpali oleh suara yang entah darimana “Kamu jangan takut, rumah itu tidak akan disita. Sebentar lagi akan hilang kesusahan kamu.”

Setelah saya tunggu seharian, memang benar ada pembeli yang sepakat dengan harga yang saya tawarkan. Kegembiraan saya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Derita akibat terjebak rentenir berakhir dengan terbayarnya semua hutang. Sementara sisanya saya pakai membuat rumah yang baru, agar kami tidak lagi berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain dan kembali hidup dalam ketidaktenangan.

Bulan September 2003, saya melakukan terapi dengan kaset yang terakhir. Saat itu saya. merasakan seperti mau melahirkan saja. Mual. Begitu saya mengejangkan otot dengan mengeluarkan nafas yang berat, akhirnya saya kembali sehat, tidak lagi merasa mual.

Setelah tiga bulan menjalani ruqyah dengan kaset ini, saya mengalami kemajuan yang cukup berarti. Satu sisi saya tidak lagi datang ke paranormal dan pada sisi lain, bisikan yang sering mengganggu itu pun berangsur-angsur hilang.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang membacanya. Jangan ulangi kesalahan saya dan terjebak dalam jeratan rentenir, karena kerugiannya lebih besar daripada manfaatnya.

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 37 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Saya Selalu Menangis, Melihat Penderitaan Anak Saya yang Masih Tidak Sadarkan Diri”

Untuk kedua kalinya. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima permohonan euthanasia (untik mati) dari masyarakat. Rudi Hartono mengajukan permohonan euthanasia untuk istrinya, Siti Zulaeha. Keputusan sulit yang telah diambil tersebut, merupakan hasil musyawarah. Rudi Hartono bersama keluarga besar pihak istrinya, termasuk dengan ibunda dari Siti Zulaeha, yang akrab dipanggil Ibu Entin. Pada saat Majalah Ghoib menemuinya di RSCM, Ibu Entin sedang terkantuk- kantuk di atas bangku rumah sakit di lingkungan ruangan ICU (International care unit) sambil memeluk kedua lututnya. Pada garis wajahnya tampak kesedihan yang mendalam, bercampur rasa lelah yang membuatnya sedikit terlihat pucat. Majalah Ghoib, datang untuk mendapatkan informasi tentang persetujuannya dalam kasus permohonan euthanasia, untuk putri tercintanya. Berikut kisahnya.

Siti Zulaeha sejak kecil orangnya sangat periang dan banyak mengobrol dengan siapapun yang ia kenal. Sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, ia bersekolah di Jakarta. Selepas SMA, ia pernah bekerja di hilational Gobel Arena Golf dan terakhir di Plaza Indonesia sebaga SPG (Pelayan). Semenjak kecil ia sangat rajin beribadah, terutama kewajiban shalat lima waktu. Karena ia terlahir dari keluarga besar yang semuanya beragama Islam otomatis sudah saya tanamkan nilai-nilai Agama, untuk bekal hidupnya di kemudian hari. Siti Zulana adalah anak saya yang ke 3 dari 4 bersaudara. Dari kecil sampai selepas menikah, ia tinggal bersama saya di Jln Tanah Merdeka 2 Rt. 5/04 No 27 dekat terminal Kampung Rambutan. Saya sangat tahu sifat dan wataknya, kami hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat sederhana.

la kenal dengan calon suaminya sejak masih kelas 2 SMA, akhirnya mereka menikah tanggal 4 September 2004, pada usianya yang hampir menginjak 23 tahun dengan Rudi Hartono (Petugas Securitly) di sebuah perusaah swasta. Pada saat dia menikah, saya sangat bahagia, apalagi ini merupakan pesta pernikahan anak saya yang pertama, karena kakak-kakaknya yang bekerja di Kelapa Gading belum ada yang menikah.

Ketika usia pernikahan mereka baru berjalan 2 bulan, kalau kita bilang, sedang masa “bulan madu”, percekcokan di antara mereka belum pernah saya dengar. Kabar bahagia yang selama ini ditunggu-tunggu yaitu kehamilan Siti Zulaeha, akhirnya datang juga. Saat itu kehamilannya berusia 2 minggu. Saya sangat gembira sekali, karena sebentar lagi akan menimang cucu saya yang pertama. Dan tentunya saya akan dipanggil nenek. Namun Ketika di periksa ke dokter, hasilnya, menurut diagnosa dokter, Siti Zulaeha mengalami hamil di luar kandungan, dirongga perutnya ada darah. Sebelum ini, sebenarnya ia tidak pernah punya penyakit yang serius dan tidak ada tanda-tanda akan mengalami penderitaan separah ini. Setelah di periksa lebih lanjut, akhirnya ia harus di operasi di sebuah Rumah Sakit di Jakarta Timur.

Setelah dioperasi di sana, ia tidak sadarkan diri lagi dari tanggal 6 November 2004 sampai sekarang (23/02/2005-red). Pada saat akan dioperasi, persiapan darahnya sangat kurang, cuma ada dua kantong. Sedangkan anak saya membutuhkan darah yang sangat banyak. Meski demikian dokter tetap melaksanakan operasi. Lepas dari operasi, keadaan Siti Zulaeha tidak semakin membaik. Hari terus berganti tanpa ada perubahan berarti. Siti Zulaeha tetap saja tidak sadarkan diri.

22 hari kemudian saya baru tahu penyebab gagalnya operasi. Itu pun setelah saya tanya terus pada dokternya. Kapan anak saya bisa sadar. Saya sempat marah, dan mengatakan kenapa di operasi kalau persiapan darahnya kurang. Dokter tersebut bilang, kalau anak ibu tidak dioperasi, akan mati di tempat. Lalu saya katakan kepada dokter tersebut, lebih baik mati di tempat dari pada anak saya hidup tetapi tersiksa.

Untuk membiayai anak saya selama dioperasi dan di rawat di rumah sakit, saya yang harus banting tulang untuk mencari uang. Biayanya sangat mahal, sehingga saya harus pinjam sana-sini, kepada keluarga dan tetangga. Suaminya yang bekerja sebagai satpam, hanya membantu sebisanya saja. Saya tidak bisa memaksakan diri, supaya ia menanggung semua keperluan istrinya. Setelah menikah, suaminya sempat di PHK dari pekerjaannya. Tetapi karena keadaannya seperti sekarang ini, Alhamdulillah dipanggil kerja lagi, sehingga bisa membantu membiayai istrinya, walaupun sangat tidak cukup.

Untuk membayar semua biaya perawatan Siti Zulaeha selama di rumah sakit. Hutang saya sekarang, telah mencapai 80 Juta. Saya berjanji menyelesaikannya, setelah semua ini beres. Mungkin saya akan menjual apa saja milik saya. Uang sejumlah tersebut, sebe- narnya masih banyak lagi yang tidak terhitung. Seperti uang yang diberikan kepada kami, dari perusahaan Siti Zulacha bekerja. Jadi sebenarnya, uang yang kami keluarkan untuk keperluan selama ia di rumah sakit, lebih dari 80 juta rupiah.

Sampai tanggal 19 Januari 2005, anak saya belum sadar juga. Melihat kondisi seperti ini. suaminya melapor ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Kesehatan. Setelah mendapat rujukan dari LBH Kesehatan, anak saya tersebut di pindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo ini. Ketika dipindahkan ke RSCM. saya tidak ikut mengantarkannya. Karena pada saat yang bersamaan, saya juga harus mengurus ibu saya yang terkena penyakit jantung. Hal itulah yang membuat saya ‘stress’ karena ujian yang saya rasakan terlalu berat. Neneknya Siti Zulaeha ini, karena juga terlalu memikirkan kondisi cucunya yang sedang tidak sadarkan diri. Sekarang jadi agak pikun, dan semenjak itu, ia tidak lagi bertemu dengan cucu tercintanya. Belum lagi, suami saya yang bekerja jadi pengemudi angkutan koran bekas, sudah tidak lagi bisa bekerja, karena semua urusan ini. Sehingga suami saya, tidak lagi dapat uang. Karena gajinya dibayar dengan sistem upah harian.

Sampai di RSCM (tanggal 19/ 01/2005), anak saya sempat di rawat di ruang Unit Gawat Darurat kemudian dipindahkan selama satu malam di ruang Cendrawasih 3, sampai tanggal 21 Januari 2005. Sejak saat itu, sampai sekarang ia di rawat di ruang ICU ini, tapi tetap juga belum sadarkan diri. Saya tetap tabah untuk selalu mengurusnya sampai kapan pun. Untuk menjaga Siti selama di rumah sakit, secara bergantian, saya. suami dan, menantu bergiliran menemaninya, sampai sekarang. Saya di sini tidur di bawah, hanya beralaskan kasur tipis, sehingga saya sering merasakan tidak enak badan.

Selama pembiayaan di sini, saya mengikuti program Jaringan Pengaman Sosial, untuk orang yang tidak mampu. Selama di sini, saya tidak lagi sering mengeluarkan uang seperti dulu. Tapi saya juga takut, jangan-jangan, ketika anak saya bisa keluar dari sini. Harus membayar lagi, saya sudah tidak punya uang, untuk membayar lagi. Saya hanya bisa mohon pertolongan pada Allah, dalam sujud panjang saya di waktu malam.

Saya selalu menangis, kalau melihat penderitaan anak saya. Sekarang, anak saya kondisinya sudah tinggal kulit dan tulang saja. Untuk makan saja, harus pakai selang atau NGT (NASO GASTRIC TUBE), melalui hidung ke saluran makanan. Kalau yang sakit orang yang sudah tua, mungkin kondisi seperti itu, bisa kita maklumi. Tapi untuk seumuran Siti Zulaeha, keadaannya sangat tersiksa. Anak saya, rencananya akan dipindahkan ke lantai 2 IRNA B. Otomatis kan saya yang mengurus segalanya, dari pada anak saya tersiksa lebih berat lagi, dan saya sudah tidak kuat melihat penderitaannya, serta tidak lagi punya biaya. Lebih baik kami mengajukan euthanasia untuk anak saya tersebut. Keputusan ini, saya ambil setelah bermusyawarah bersama suami, menantu dan anak-anak saya yang lainnya.

Saya ini bukan ibu yang jahat, karena menyetujui euthanasia untuk anak saya. Tapi karena keadaanlah yang membuat saya begini. Penderitaan orang tua itu lebih sakit, dibandingkan yang merasakan, kalau melihat kondisi anak saya yang tersiksa begini. Sekarang ini haid saya datangnya tidak teratur, karena terlalu banyak pikiran.

Sampai hari ini, permohonan ke Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, yang didaftarkan oleh suaminya. Untuk ‘euthanasia’ anak saya belum ada kabar lagi dari sana. Tadinya saya berharap, masih terus dapat berkumpul bersama Siti Zulaeha. Tapi melihat perkembangannya, kelihatannya harapannya sangat tipis sekali. (menangis tersedu-sedu, red). Semoga Allah memberikan yang terbaik buat anak saya. (sambil terisak, red).

 

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

26 Tahun Diteror Jin

Tak ada kata menyerah bagi syetan. Ragam cara ditempuhnya untuk meruntuhkan iman. Seperti yang dialami Intan, seorang guru Taman Kanak-Kanak yang mendapat gangguan sejak kecil hingga sekarang. 26 tahun lamanya, ia hidup dalam bayang-bayang jin. Mulai dari kesurupan hingga penampakan demi penampakan. Di rumahnya yang sejuk, Intan menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya

Menurut cerita yang sering saya dengar dari bapak, uyut dari pihak bapak adalah seorang jawara yang ditakuti Belanda lantaran memiliki ilmu kebal yang tidak mempan ditembak. Berbagai usaha dari Belanda untuk menguasai desa kekuasaan uyut selalu gagal di tengah jalan. Kesaktian tersebut mengantarkan uyut untuk menjabat Kepala Desa.

Selain kebal, uyut juga menguasai ilmu kesaktian lainnya, salah satunya ilmu Harimau Putih. Harimau Putih itulah yang sering menjaga rumah uyut. Bahkan bapak masih melihat keberadaan Harimau Putih tersebut di rumah uyut yang saat itu sudah diwariskan kepada kakek. Padahal uyut sendiri sudah meninggal sekian tahun lamanya, tapi Harimau Putih itu masih sesekali menampakkan diri Bapak sendiri sering bermain-main dengan Harimau Putih itu, sementara kerabat yang lain tidak ada yang berani. Seperti apa permainannya, saya tidak mengerti. Karena cerita bapak itu telah saya dengar sejak kecil.

Secara turun temurun, ilmu kesaktian uyut terus dipelajari hingga di antara mereka kini ada yang berprofesi sebagai dukun. Hanya kakek saja yang saat itu tidak mau mempelajari ilmu kedigdayaan. Kakek memang berbeda dengan saudara- saudaranya yang lain. la dikenal sebagai orang yang taat beragama, begitu juga dengan nenek “Sudahlah, kamu tidak perlu mewarisi ilmu saya seperti saudara-saudaramu. Kamu mewarisi tanah saja”, pesan uyut kepada kakek seperti dituturkan bapak.

Kenyataannya, kakek dan Bapak memang tidak pernah mempelajari ilmu kesaktian apa-apa. Tapi masih ada sesuatu yang terkesan aneh. Bila bapak sakit kepala yang terbilang cukup parah, ia sering menyebut nama nenek. Entah bagaimana, dalam pandangan bapak tak lama kemudian katanya nenek datang. Keesokan hari nya bapak nampak segar kembali seperti tidak mengalami sakit apa-apa.

Peristiwa itu seringkali terjadi setelah bapak merantau dan menetap di Jakarta. Ketika dikatakan bahwa semalam nenek datang dan kirim salam, saya waktu itu hanya diam saja. Saya masih terlalu kecil untuk memahaminya. Waktu itu sesekali saya diajak bapak bermain ke tanah kelahirannya. Pekarangannya luas dan banyak ditanami pohon rambutan.

Dalam rumah beranyam bambu itulah saya menginap. Awalnya saya tidur di dalam bersama nenek, tapi saya merasa gerah. “Saya ingin tidur di luar,” rengek saya kepada nenek” “Jangan, jangan di luar. Kamu masih kecil,” ujar nenek melarang saya. Tapi karena tidak kuat di dalam, saya memaksa tidur di luar bersama kakek dan bapak.

Di atas bale-bale, mata saya tidak bisa terpejam. Tiba-tiba antara sadar dan tidak saya seperti melihat bayangan putih berbalut pocong. Saya terkejut, tapi saya terus menatapnya. Ini apaan? Pikir saya dalam hati. Kok seperti pocong. Setelah sekian lama bayangan itu tidak hilang, saya ketakutan. Sambil merengek saya minta bapak pindah ke dalam. Sejak saat itu saya tidak mau lagi menginap di rumah kakek.

Riwayat keluarga bapak yang tidak terlepas dari dunia klenik itu pada akhirnya menjadi jawaban atas derita berkepanjangan yang saya alami selama dua puluh enam tahun ini. Dalam kurun waktu yang panjang itu tidak hentinya saya mengalami gangguan demi gangguan yang kian lama semakin berat.

Bayangkan!! Sejak usia lima tahunan saya sering menangis karena sakit kepala yang tidak tertahankan. Bila sudah demikian, Ibu selalu mengikat kepala saya dengan kain. Hanya cara itulah yang dilakukan untuk menghilangkan sakit kepala. Bapak tidak membawa ke rumah sakit atau menghubungi saudara-saudaranya karena bapak sudah paham bahwa sakit kepala itu beberapa menit kemudian akan reda dengan sendirinya.

Selain sakit kepala, saya juga sesekali mengalami kebutaan sementara. Waktunya selalu habis maghrib dan berakhir menjelang isya. Tidak terlalu lama memang tapi hal itu sudah cukup membuat orangtua gelisah. Ibu yang biasanya tidak mau berurusan dengan orang pintar, akhirnya menyerah. Ibu pun memanggil dukun yang tinggal tidak seberapa jauh dari rumah.

Pada akhirnya sakit kepala maupun kebutaan sementara berakhir seiring dengan perjalanan waktu. Semenjak menginjakkan kaki di bangku Sekolah Dasar, sakit kepala semakin jarang muncul dan pada akhirnya hilang dengan sendirinya berganti dengan kesurupan yang tidak kalah menyesakkan dada.

 

Dalam Dera Kesurupan yang Berpekanjangan

Di sekitar rumah saya kata orang masih banyak yang angker. Sebuah pekarangan yang luas yang ditumbuhi pohon jambu dan rambutan. Cocok buat bermain dengan teman- teman selepas sekolah. Saya sendiri sudah dilarang ibu bermain-main di sana. Tapi karena masih anak-anak, semakin dilarang, saya semakin senang.

Biasanya, kami ke sana pada jam dua belas bertepatan dengan orang-orang yang pergi ke masjid untuk shalat Jum’at. Satu, dua buah jambu yang berjatuhan kami kumpulkan lalu bermain dengan riang. Tidak ada perasaan apa-apa. Semuanya berjalan seperti biasa. Sepulang dari bermain pun saya biasa saja. Sama seperti sebelum bermain di bawah rindangnya pohon jambu dan rambutan.

Hingga ketika adzan maghrib berkumandang suasananya berubah Tiba-tiba saya ngoceh tidak karuan, persis seperti orang kesurupan. Ocehan yang tidak berhenti sebelum orang pintar yang dipanggil ke rumah memberi saya air putih. “Penunggu rumah itu terganggu sama kamu. Jangan main ke situ lagi!” begitulah kesimpulan yang disampaikan dukun, padahal teman-teman yang ikut bermain tidak satu pun yang mengalami kesurupan seperti saya.

Selain itu, saya juga dilarang bermain di sebuah pojokan dekat jalan raya yang ditanami pohon rindang, di saluran pembuangan air yang agak menjorok ke dalam. Namun, di sanalah saya sering bermain petak umpet. Sementara tidak ada teman-teman yang berani bersembunyi di sana.

Akibatnya sudah bisa ditebak. Menjelang maghrib, saya kerasukan jin lagi. Saya ngoceh tidak karuan. Satu- satunya jalan yang biasa ditempuh oleh orangtua adalah memanggil orang pintar. Ibu tidak bisa berbuat banyak untuk melarang saya bermain di dua tempat itu, karena ketika berada di sana saya merasa senang-senang saja. Tidak ada sesuatu yang membuat saya takut. Saat dinasehati ibu, saya hanya tersenyum dan di lain hari saya main lagi ke sana. Saya tidak pernah merasa jera walau bisa dipastikan saya pasti kesurupan sepulang dari sana.

Kesurupan yang datang nyaris seminggu sekali itu pun berakhir seiring dengan perjalanan waktu. Setelah masuk SMP, saya tidak lagi kesurupan dan tidak ada lagi dukun yang datang ke rumah. Saya sedikit tenang karena tidak harus merepotkan banyak orang.

Sejak kelas satu SMP saya mulai terbiasa shalat tahajud meski awalnya terdorong oleh rasa penasaran. Menurut cerita teman-teman kalau kita shalat tahajud, apapun yang diinginkan akan terkabul. Akhirnya saya ingin merasakan sendiri. Jam dua malam, saya bangunkan ibu untuk minta diantar mengambil air wudhu di kamar mandi yang terletak di depan rumah.

Pertama shalat tahajud, saya merasakan sesuatu yang lain. Tenang, hening, sunyi. Saya menikmati saat- saat shalat tahajud. Dari sinilah saya memperoleh banyak kemudahan dalam urusan sekolah. Ulangan mendadak pun bisa saya kerjakan dengan mudah, hingga teman-teman penasaran “Kamu kok bisa sih In, ulangan- ulangan mendadak?”

Kenikmatan yang tiada terkira itulah yang membuat saya senang shalat tahajud meski gangguannya juga tidak kecil. Hembusan angin yang sering menemani malam-malam saya kian lama kian berat hingga akhirnya saya menyerah.

Di malam terakhir tahajud itu saya merasakan suasana yang lain dari biasanya, hembusan angin kencang menerpa gorden kamar. Padahal secara logika tidak akan ada angin sekencang itu karena kamar saya agak jauh dari pintu depan sehingga mustahil angin kencang masuk ke kamar.

Mukenah saya tersingkap ketika sedang sujud pada rakaat pertama. Hati saya berdegup kencang, badan bergetar hingga keringat dingin pun langsung saja mengucur. Segera saya percepat shalat tahajud dalam balutan ketakutan yang luar biasa, setelah selesai saya benamkan diri dalam balutan mukenah hingga pagi.

Dalam kurun waktu yang sama, sejak kelas satu SMP hingga awal kelas satu SMA sebulan sekali saya pasti rep- repan. Biasanya menjelang jam sepuluh malam. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba tubuh saya seakan melayang. Badan saya menjadi ringan, laksana tak ada berat sama sekali.

Saya biarkan mata terpejam dan merasakan apa yang terjadi hingga beberapa menit kemudian seeet’ saya merasakan raga saya masuk kembali. Saya pun melanjutkan tidur malam yang sempat terganggu. Sebenarnya, saat tersadar itu saya sedikit takut atas apa yang terjadi, tapi semuanya itu saya pendam saja. Saya tidak bercerita kepada siapapun. Karena saya berpikir rep-repan itu intensitasnya hanya sebulan sekali. Saat itu, saya belum melakukan perlawanan. Saya biarkan saja melayang seperti biasa.

 

Gangguan Jin Terus Meningkat Seiring dengan Perlawanan

Menjelang naik kelas tiga SMA, saya pindah ke Bogor mengikuti keluarga yang telah lebih dulu pindah. Pertama menginjakkan kaki di rumah ini saya tidak merasakan hal yang aneh. Hanya saja ketika disuruh menempati rumah di belakang yang telah lama kosong, saya merasa seperti ada yang menemani. Tapi ketika saya tengok, tidak ada siapapun di rumah itu selain saya.

Semenjak pindah ke Bogor, saya mulai aktif terlibat di ROHIS. Dan sinilah saya mulai bersentuhan dengan kajian- kajian keislaman. Bila sebelumnya saya hanya pasrah saja, kini saya mulai melawan rep-repan itu dengan ayat Kursi, surat al- Alaq, an-Naas serta doa-doa lainnya. Meski kini rep-repan itu tidak lagi datang menjelang tidur, tapi beralih beberapa saat menjelang bangun subuh.

Ketika mata saya sudah terbuka, tiba-tiba saja badan saya terasa kaku. Tidak bisa digerakkan sama sekali. Itulah tanda-tanda kehadiran jin yang selalu mengganggu tidur saya. Seperti sepasukan tentara, saya siapkan diri untuk berperang. Ayat demi ayat saya baca dengan lancar. Tapi selang beberapa detik kemudian, dada saya terasa sesak. Nafas mulai tersengal-sengal. Makin lama makin berat. Dada saya seakan ditindih oleh kekuatan besar. Sekujur badan menjadi kaku dan sulit digerakkan, hanya mulut yang bisa komat-kamit.

Bila saya membaca dalam hati, maka kekuatan besar itu semakin kencang menindih saya. Akhirnya dengan sekuat tenaga saya pusatkan kekuatan di mulut, meski akhirnya tinggallah lafadz Allah’ yang bisa saya ucapkan. Saya sudah pasrah atas apa yang terjadi. Selang beberapa menit kemudian keluar cahaya putih berpendaran di kamar seluas 2 x 3 meter. Ruangan yang semula gelap sekarang berubah terang. Semuanya menjadi putih.

Keadaan ini terus berlangsung hingga bertahun-tahun. Bahkan semakin meningkat semenjak adik sepupu yang bersuamikan seorang dukun ikut tinggal di rumah selama sebulan pada tahun 2002. Selama mereka di sini, entah kenapa saya mulai sedikit emosional. Saya ingin marah saja kepada suami adik sepupuh. Mungkin karena kamarnya yang gelap atau cara dia yang tidak shalat dan berbau klenik.

Hingga suatu malam, ketika jarum jam menunjuk angka 12, terdengar langkah kaki mendekat, “Mar..” saya memanggil adik saya, tapi tidak ada jawaban. Saya pikir itu hanya pikiran saya saja dan saya kembali merebahkan diri. Saat itulah tiba-tiba sepotong tangan hitam menyembul dari lantai. “Haah!” saya terpekik. Mau apa tangan itu? Belum selesai saya berpikir, sepotong tangan hitam itu bergerak cepat mengarah ke leher saya. Saya tidak mau menyerah begitu saja. Dengan sekuat tenaga saya melawannya dengan surat an- Naas. Dan tangan itu pun kembali hilang ditelan bumi, Tidak ada bekas. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya.

Saya berpikir, kejadian malam itu tidak terlepas dari kehadiran seorang dukun di rumah ini. Akhirnya dengan cara yang halus saya mendekati adik sepupu agar mau pindah ke tempat lain.

Peristiwa demi peristiwa itu akhirnya menjebol pertahanan saya untuk tidak bercerita kepada siapapun. Meski belum tentu mendapat solusi yang tepat, tapi setidaknya sedikit mengurangi beban pikiran saya. Saya tidak ingin menyusahkan orangtua dan terus membebani mereka, sehingga untuk curhat saya memilih teman-teman yang memiliki pemahaman Islam yang baik.

Jawaban mereka pun beragam. Ada yang mengatakan kalau saya hanya kecapekan saja. Aktifitas saya yang memang terbilang padat. Semenjak lulus PGTK, saya membenamkan diri dalam rutinitas pengajaran yang cukup menyita waktu. Sehingga ketika ada teman yang mengatakan mungkin saya sedikit mengalami kemunduran dalam aktifitas ibadah, saya benarkan saja. Karena demikianlah kenyataannya.

Puncaknya terjadi pada tahun 2002. Setelah mengikuti seminar tentang tahayul, bid’ah dan khurafat yang membedah dunia jin dan gangguannya kepada manusia, saya mulai sadar bahwa apa yang saya alami sejak kecil tidak terlepas dari gangguan jin. Sejak itu saya ingin mengikuti terapi ruqyah.

Anehnya, semakin kuat keinginan untuk ruqyah, semakin gencar pula serangan yang saya terima. Kini, jin memulai permusuhan baru dengan menampakkan diri dalam wujud yang kasat mata. Dengan intensitas yang semakin sering, sebelum dan ketika bangun tidur.

Seperti yang terjadi pada bulan Ramadhan 2002, doa-doa pelindungan sebelum tidur sudah selesai saya baca, tapi mata tetap tidak mau terpejam. Hingga akhirnya saya kecapekan berdzikir dan tertidur. Saat itulah sosok tinggi besar berkulit gelap muncul begitu saja di dalam kamar. Entah darimana masuknya. Gelapnya kamar tak berpenerang itu masih tidak bisa menyembunyikan sosok hitam besar itu.

Perlahan, namun pasti ia semakin mendekati saya. Saya terus melawan dengan merapal bacaan-bacaan yang saya hapal. Pertarungan yang tidak berjalan seimbang, karena tiba-tiba saja badan saya kaku dan tidak bisa digerakkan. Namun dengan kekuatan dzikir, alhamdulillah akhirnya sosok hitam itu pun menghilang. Badan saya langsung lemas. Saya heran mengapa di bulan Ramadhan gangguan yang saya alami semakin berat.

Dalam kondisi demikian, ada teman yang menyarankan saya mengikuti terapi ruqyah di Bekasi, Jawa Barat. Sepulang dari terapi saya merasakan intensitas gangguannya semakin berat. Seminggu rep-repan itu bisa datang tiga kali, bahkan kini saya mulai was-was, dada berdebar-debar. Saya tidak berani tidur dalam kegelapan. Murattal surat al-Baqarah pun saya putar tanpa henti.

Karena kecapekan, saya setengah tertidur. Saat itulah saya merasakan seperti ada sesuatu yang menekan-nekan leher saya seperti hendak mencekik. Saya berpaling, dan ohh… dua makhluk berkuku panjang telah mencengkeram leher saya. Makhluk kerdil berwarna kuning keemasan dan berbulu tajam-tajam itu terus berusaha mencekik. Goresan kukunya telah menyentuh leher saya. Di bawah cahaya lampu yang terang saya menyaksikan posturnya yang buruk dan mengerikan. Matanya kuning, semuanya serba kuning. Dia bukan manusia, tapi landak yang menakutkan.

Ketika melihat makhluk itu, saya langsung membaca doa-doa sambil tangan saya memukul mukulnya. Makhluk itu pun meloncat dan menghilang entah kemana. Sementara saya menenangkan diri dengan shalat tahajud.

Beberapa minggu kemudian muncul lagi penampakan berwujud kepala buntung yang mengelilingi kamar sambil menyeringai. Kepala terbang itu mengenakan jilbab. Seperti biasa saya selalu melawannya dengan dzikir. Dan sesekali saya hardik bahwa dia adalah penghuni neraka Jahanam. Karena sering melihat penampakan dalam wujud dan rupa yang berbeda-beda, saya mulai berani melawan jin dan tidak lagi ketakutan seperti dulu. Sebab dengan keberanian itulah manusia menjadi kuat di mata jin.

 

Terkurung dalam Jeratan Jin Kecil

Setelah sekian lama tidak ada perubahan yang berarti, di akhir tahun 2002, saya mengikuti terapi ruqyah di Majalah Ghoib yang waktu itu masih di Kebon Manggis. Terapi pertama tidak ada dialog dengan jin. Karena sedemikian mbandelnya jin itu sehingga Ustadz Junaidi meludahi mulut saya. Baru pada terapi yang kedua terjadi dialog. “Kamu di sana ada berapa?” “Dua” Sekarang kamu keluar!” “Ya, saya keluar”. Setelah dialog itu saya merasakan ada rasa dingin di mulut saya kemudian saya lemas.

Giliran berikutnya saya harus menunggu satu bulan lagi, karena terlalu lama saya kembali terapi di Bekasi, Jawa Barat. Dua tahun setengah saya menjalaninya tapi gangguan masih tetap datang. Meski hanya fisik dan tidak mengganggu ibadah saya, tapi tetap saja mengganggu. Akhirnya pada bulan Desember 2004, saya kembali terapi ke Majalah Ghoib.

Tiga kali terapi di Majalah Ghoib yang selalu muncul adalah jin anak-anak. Saya sendiri tanpa sadar bertingkah laku seperti anak-anak. Jin itu menangis terus. “Ya, saya mau nunggu ibu dulu. Ibu kok ninggalin saya. Saya nggak mau tinggal di sini sendirian,” jin kecil itu terus merengek “Keluar sekarang.” “lya, tapi kata ibu, besok saja,” kata jin kecil.

Setelah terapi, saya merasakan agak tenang, meski jin kecil masih belum mau keluar. Tapi tiga hari kemudian, dada saya berdebar lagi. Dan saya pun ruqyah kembali. Kini, saya tidak lagi kepanasan saat mendengar bacaan al- Qur’an, sebaliknya saya terbengong saja sambil memperhatikan orang-orang yang sedang diterapi.

“Di situ Ustadz!” ujar jin kecil. “Apa yang di situ?” tanya Ustadz. “Coba saja periksa tangannya!” “Oh, itu kan tissue,” ujar Ustadz. Dari sini saya paham bahwa Ustadz yang menterapi di Majalah Ghoib tidak bisa melihat jin. Sehingga apa yang saya ucapkan berdasarkan petunjuk dari jin kecil tidak diketahuinya.

“Bukan tissue. Coba periksa! Akhirnya Ustadz memeriksa “Bohong, awas ya kamu!” Saya tertawa-tawa saja seperti anak kecil. “Tidak percaya sih Ustadz. Coba!” ketika pasien ruqyah itu dipencet tangannya, dia berteriak. Jin kecil yang telah menguasai saya itu pun kembali tertawa. “Tuh, Ustadz sih tidak percaya.”

“Ustadz, jinnya lari ke belakang! Lari ke kaki. Di dalam ruangan ruqyah itu saya membuat kegaduhan dengan perkataan yang membuat jin dalam diri pasien marah. “Sudah saya yang pukul,” kata saya kepada Ustadz. Kemudian saya pukul kaki pasien itu dan benar saja dia menjadi marah.

“Ustadz, saya tidak mau dipukul dia, lebih sakit,” ujar pasien itu. Saya hanya tertawa saja mendengar pengaduannya.

Ketika terapi di kantor Majalah Ghoib itu saya memang bisa melihat apa yang ada di dalam diri pasien. Sehingga ketika ada pasien lain yang sedang diterapi dengan cepat saya berkomentar.

“Dia itu tidak ada jinnya, Ustadz,” teriak saya sambil cengengesan “Eh, tidak ada jinnya ke sini,” kali ini saya berbicara kepada ibu yang sedang diterapi. “Dia itu ke sini bukan untuk mengusir jin. Kamu saja yang diam.” ujar Ustadz

Waktu terapi kemarin, saya memang seperti anak kecil saja. Saya suka bermain-main dan memperhatikan orang-orang yang sedang diruqyah. Bahkan kemudian tiba-tiba saja saya menangis. “Ibu, pulang!. Saya mau pulang sama ibu.” Akhirnya ada seorang Ustadz menterapi saya. Tapi memang jin kecil itu masih sulit dikeluarkan.

Dengan kata lain, jin kecil itu masih terus membuntuti saya hingga sekarang. Seperti yang terjadi pada beberapa hari yang lalu, saya kembali merasakan ngantuk yang berlebihan setelah shalat subuh. Itu adalah pertanda bahwa jin itu akan datang kembali. Liciknya, jin itu kini datang setelah saya dalam kondisi setengah tertidur, sehingga agak kesulitan untuk melawannya dengan doa-doa. Meski demikian, saya sempat memegang sesuatu yang lunak di kepala. Saya tarik benda itu dan dilemparkan kepada jin yang akan datang. tapi yang saya rasakan justru saya dan jin itu saling memperebutkan benda yang lunak tersebut. Dalam kondisi demikian, terdengar langkah-langkah kaki yang kian mendekat dan akhirnya membuyarkan segalanya. Jin kembali menghilang, dan saya pun dibangunkan oleh Ibu yang mungkin mendengar teriakan-teriakan saya.

Saya sadar, bahwa perjuangan untuk mengeluarkan jin yang telah bersarang 26 tahun bukan hal yang mudah. Mereka tentu tidak rela begitu saja meninggalkan tubuh saya, yang merupakan cicit dari seorang jawara terkenal. Bagi saya cicit siapapun tidaklah berarti karena mereka tidak akan bisa menolong saya di akhirat. Karena saya harus menentukan langkah saya sendiri, meski harus berseberangan dengan mereka, nenek moyang saya yang jelas melakukan kesalahan.

Semoga sepenggal kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun. Jangan biarkan anak cucu menjadi korban kebiadaban jin karena kesalahan kita. Karenanya marilah berhati-hati dalam melangkah.
Ghoib, Edisi No. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Saya Berusaha Tabah, Walaupun Sering Diejek”

Di tengah guyuran hujan deras, di lokasi Taman Wisata Lido Bogor, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi. Seorang bapak duduk termenung untuk sekadar berteduh, sambil berharap dagangannya ada yang membeli. Postur tubuhnya, memang tidak seperti orang normal (Bungkuk). Akan tetapi, semangatnya dalam mencari nafkah, tidak mengenal lelah. Manisan pala dan kinciran mainan yang dibuatnya sendiri, sejak pagi belum banyak yang terjual. Namun ia tetap tabah, untuk terus menyambung hidup, bersama buah hatinya tercinta, yang harus diurusnya sendiri, karena ia telah di tinggal oleh istri yang telah dinikahinya. Berikut kisah hidupnya.

Nama saya Uus, usia 36 tahun. Bapak saya pada jaman perjuangan dahulu, bekerja sebagai buruh tani, sedangkan Ibu seorang pedagang pakaian kecil-kecilan di rumah. Saya tinggal di rumah sendiri, di desa Citugu Jaya, Cigombong, Kabupaten Bogor. Saya juga dilahirkan di sana. Pada saat saya lahir, kondisi saya memang sudah cacat seperti ini, (bungkuk-red) Sejak lahir sampai usia 3 tahun, saya tidak pernah diberi ASI, karena ibu saya menderita sakit yang sangat parah. Sehingga pertumbuhan badan saya tidak normal dan seperti sekarang ini, sering sakit-sakitan. Kehidupan saya bersama orang tua di desa, dalam kondisi sangat sederhana. Namun, kami menghadapi kehidupan yang sulit ini dengan senang dan tawakal.

Saya sekolah di SD Citugu Jaya, hanya sampai kelas 5 saja, karena orang tua saya tidak sanggup lagi membiayai saya untuk bersekolah. Saya sebenarnya sangat sedih, karena harus keluar sekolah. Apalagi saat itu, adik saya jumlahnya 6 orang. Tanggung jawab saya sangat berat, karena saya harus mulai bisa membantu orang tua dalam membiayai adik-adik saya tersebut, padahal usia saya masih sangat muda. Pada saat sekolah, saya tidak pernah merasa minder, walaupun saya cacat. Teman-teman saya di sekolah sering mengejek saya, dengan mengatakan, saya anak bungkuk. Saya sebenarnya sangat tersinggung dan sedih, tapi kemudian saya hadapi saja dengan senang, karena semua ini sudah takdir Allah.

Setelah keluar dari sekolah, saya melanjutkan pendidikan di Pesantren Kalang Sirna, yang sekarang menjadi Al Amin di Cicurug, Bogor selama 2 tahun. Saya bisa melanjutkan di pesantren, karena budi baik dari para donatur, yang bersedia menanggung semua beban saya secara urunan. Selama di sana saya banyak belajar tentang ilmu agama Islam, seperti: Kitab Jurumiah, Safinah, al- Qur’an, dan lain-lain. Seperti biasa, di pesantern saya juga sering diejek oleh kawan-kawan. Namun karena saya sering mendengarkan ceramah dari Pak Kiyai, saya hadapi semua itu dengan tabah, karena menurut ajaran Islam, manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah manusia yang paling bertaqwa. Bukan dilihat dari wajah, harta kekayaan atau kondisi fisik.

Lama kelamaan, entah karena apa para donatur yang membiayai saya tersebut tidak lagi mengirim biaya untuk keperluan saya selama di pesantren. Sehingga saya tidak bisa beli kitab dan pakaian lagi. Akhirnya dengan rasa sedih, saya harus meninggalkan tempat yang telah banyak memberikan saya ilmu, yang sangat berguna bagi kehidupan saya sehari-hari sampai sekarang ini.

Allah menghendaki peristiwa lain untuk saya. Alhamdulillah, saya bisa lagi melanjutkan belajar di pesantren yang letaknya di kampung saya sendiri. Saya di suruh belajar di pesantren al Furqoniyyah oleh seorang Kiyai. Semua biaya selama di pesantren di tanggung oleh pesantren. Di sini, saya banyak belajar al Qur’an dan belajar bahasa Arab bersama teman-teman sebaya. Diejek memang sudah menjadi makanan saya sehari-hari. Ketika di sini, saya kembali sering diejek oleh kawan-kawan, tetapi saya sudah biasa, sehingga tidak merasa sedih yang mendalam seperti pada awal- awal dulu.

 

Pengalaman mencari nafkah pun dimulai

Setelah belajar di pesantren selama 2 tahun. Usia saya sudah semakin beranjak dewasa. Usia 20 tahun, buat saya merupakan saat untuk mulai mencari nafkah dengan serius, untuk membantu orang tua membiayai sekolah dan makan adik-adik saya, apalagi saya adalah anak pertama. Pada saat itu, saya mulai belajar berdagang asongan kecil-kecilan, di dekat rumah. Pengalaman pertama berdagang, saya keliling di sekitar Cigombong ini, dengan menawarkan es lilin dan permen di dalam bis jurusan Jakarta- Sukabumi. Walaupun fisik saya tidak senormal para pedagang yang lain, saya berusaha tabah. Sering saya kalah cepat dalam memburu pembeli di bis-bis. Tapi kemudian saya bangkit dan terus berusaha. Apalagi kalau ingat adik-adik di rumah.

Kalau musim haji, saya mencoba mengadu nasib di daerah Pondok Gede. Dengan mengharap pembelinya, dari para pengantar yang keluarganya akan pergi haji. Kalau sudah begitu, saya tidak pulang ke kampung dalam waktu yang cukup lama. Memang menjadi pedagang asongan di Pondok Gede, banyak sekali dukanya. Selain sering diburu kamtib, saya juga harus berjalan berkilo-kilo memanfaatkan kemacetan. Banyak juga sih orang yang membeli dagangan saya, karena rasa kasihan mereka kepada saya.

Sekitar tahun 1990 saya bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis, ketika sedang berjalan-jalan di kota Bogor. Pada saat itu, kami tidak pake pacaran seperti anak sekarang. Mulanya saya takut, tidak diterima oleh orang tuanya, karena saat cacat. Tetapi saya (percaya diri) PD aja untuk melamar gadis pujaan hati saya tersebut. Alhamdulillah proses lamaran sampai ke jenjang pernikahan berjalan dengan lancar. Saya sangat gembira sekali, karena akhirnya bisa menikah. Terlebih lagi kedua orang tua saya, yang sampai sekarang masih hidup. Linangan air mata bahagia mereka, melepas saya untuk bisa hidup lebih mandiri dan bertanggung jawab. Mereka bersyukur walaupun saya cacat, akhirnya saya mendapatkan pendamping hidup. Sungguh sebuah kebahagiaan yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata.

Hidup berkeluarga saya jalani dengan senang. Semangat saya untuk mendapatk penghasilan yang lebih, semakin menggebu-gebu. Dengan berjualan asongan seperti: tahu lepet, bacang, di sekitar Cigombong ini. Kebahagian saya bertambah, ketika buah hati kami lahir dalam keadaan sehat wal afiat. Anak tersebut kami pelihara dengan kasih sayang.

Ketika anak saya berusia 13 bulan, cobaan kembali datang menghampiri saya. Istri yang sangat saya sayangi, dengan berasalan bahwa saya kurang memenuhi kehidupan rumah tangga, ia meninggalkan begitu saja, saya dan anak saya di rumah. Saya sangat sedih sekali, terlebih lagi, kalau memikirkan perkembangan anak saya tersebut. Tapi Alhamdulillah, saya masih memiliki ibu yang mau merawat cucunya tersebut dengan ikhlas. Memang kebaikan seorang ibu tidak akan pernah habis sampai kapan pun. Makanya saya banyak berdoa untuknya.

Harapan saya setelah ini, bisa mendapatkan seorang istri yang sholihah. Yang bisa berbakti kepada suaminya. Dengan menerima apa adanya keadaan suami, dan juga mau mendidik anak saya dengan baik. Saya juga berharap bisa meningkatkan dagangan saya ini. Sehingga dagangan saya, tidak hanya kinciran mainan dan manisan pala seperti hari ini. Semoga Allah SWT mengabulkan harapan-harapan saya.
Oleh: Bapak Uus (Pedagang Asongan)
Ghoib, Edisi No. 35 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Saya Dirayu & Dipaksa Dukun Jadi Istrinya

Berita seputar dukun cabul sudah sering kita dengar. Berita dukun yang menipu pasien dengan berkedok pengobatan juga hal biasa. Cerita seorang dukun yang ingin menikahi pasiennya juga sering tersiar. Seperti yang dialami Anggraeni, seorang mantan dirut perusahaan swasta. la menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Jakarta. Berikut petikannya.

Jabatan sebagai direktur utama di sebuah perusahaan swasta rupanya tidaklah senyaman yang saya bayangkan. Secara materi boleh dibilang tidak ada masalah, tapi semuanya itu masih belum memberikan ketenangan batin bagi saya. Karena sebagai seorang manusia, tentu saya ingin menikmati dunia kerja dengan tenang. Saya ingin menjalin hubungan yang baik dengan berbagai pihak. Namun apa yang terhampar di pelupuk mata, jauh dari harapan.

Saya merasakan sesuatu yang lain. Suasana kerja tidak lagi seperti dulu. Rupanya keberhasilan saya mengeluarkan perusahaan dari kerugian menjadi awal bencana. Karena sejak itulah intrik dari pemegang saham semakin kuat, hal yang membuat saya semakin tertekan. Tidak tenang dan terkesan emosional.

Akibatnya saya mulai malas pergi pagi ke kantor. Padahal sebagai pimpinan seharusnya saya datang lebih awal dari karyawan. Kadang jam sembilan, lain waktu jam sepuluh baru berangkat ke kantor. Di kantor pun saya tidak betah berlama-lama. Kepala saya pusing dan dada berdebar tanpa alasan yang jelas. Saya sendiri heran dengan apa yang terjadi. Satu kenyataan yang jauh berbeda dengan dulu, saat saya merintis bisnis ini dengan beberapa teman.

Dari sini beberapa orang mengajak saya berobat ke orang pintar. Saya menuruti saja kemauan mereka, karena saya sendiri merasakan memang ada keanehan dalam diri saya sejak tahun 2000. Pada sisi lain, orang pintar tersebut sering memberi nasehat agama. Dan apa yang mereka berikan pun tidak terlepas dari tulisan-tulisan yang berbahasa Arab. Tulisan yang tidak boleh saya bawa ke kamar mandi atau melayat orang meninggal.

Tahun telah berganti, tapi suasana perkantoran tetap tidak berubah. Selesai satu masalah muncul lagi masalah baru. Hingga saya pun semakin terombang-ambing dalam ketidaktenangan. Dalam keadaan demikian Suroso, tetangga sebelah rumah yang telah saya anggap sebagai orangtua sendiri, kedatangan tamu dari Jakarta Selatan yang katanya orang pintar. la biasa dipanggil dengan Ki Brojol.

Kedatangan Ki Brojol yang telah dianggap Suroso sebagai anak angkatnya terkait dengan keadaan rumah Suroso yang katanya dihuni oleh bangsa lelembut. Tak ayal Ki Brojol yang berkulit gelap dan buncit itu pun menarik perhatian warga. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik, ia menunjukkan kehebatannya dalam menaklukkan makhluk halus.

Entah angin apa yang membawanya. Ki Brojol menyempatkan diri mampir ke rumah saya. “Mbak Eni, di kamar 21 dan ruang belakang Mbak Eni ada jin berambut gondrong yang menghuninya,” tutur Ki Brojol setelah beberapa saat memperhatikan bangunan rumah saya.

“Kalau Mbak Eni mau, saya bisa membantu mengusirnya,” ujarnya lagi. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik, tapi saya tidak mau mengecewakan Suroso yang sudah saya anggap seperti keluarga. “Kalau menurut Bapak itu baik, silahkan saja. Sepanjang tidak bertentangan dengan agama.” Izin saya itu pun disambutnya dengan antusias.

Ki Brojol duduk bersila di ruang tamu dengan segelas air putih berisi sebutir kerikil kecil di depannya. Mulutnya komat- kamit membaca mantra. Dan sejurus kemudian, tangannya bergerak perlahan. Makin lama tangannya kian bergetar. Wajahnya menegang. Dan Ki Brojol pun segera bangkit. Dalam beberapa gerakan ia seakan menarik sebuah kekuatan kasat mata lalu memasukkannya ke dalam gelas.

 

Bakal Janin Berwujud Belut

Saya memang awam dalam masalah seperti ini, sehingga ketika dikatakan bahwa ia telah berhasil memindahkan jin berambut gondrong ke dalam batu kecil itu pun saya percaya begitu saja, meski secara logika intelektual hal itu sepertinya mustahil. Tapi itulah kenyataannya. Nama Ki Brojol mulai tersebar luas di kalangan masyarakat sebagai seorang sakti ahli pengobatan alternatif.

Hasilnya, beberapa hari kemudian rumah Suroso secara terbuka dijadikan sebagai tempat praktik Ki Brojol. Satuhal yang membuat pertemuan saya dengan Ki Brojol semakin sering. Dalam beberapa pertemuan berikutnya ia mengatakan bahwa di dalam diri saya ada jin cewek yang melindungi saya.

Penuturan Ki Brojol mengingatkan saya kepada beberapa peristiwa yang telah lalu. Ketika itu saya melintas di jalan tol dengan kecepatan tinggi, tiba- tiba saja ban sebelah kanan meletus. Saya panik, tapi syukurlah sopir saya bisa mengendalikan kemudi, sehingga kecelakaan pun bisa dihindari. Padahal secara matematis kemungkinan mobil saya tergelincir berjumpalitan itu sangat besar. Saya sendiri sebenarnya tidak pernah mengaitkannya dengan keberadaan makhluk halus yang melindungi saya. Antara percaya dan tidak, saya menyikapi penuturannya. Tapi ketika ia menawarkan jasa untuk membuangnya, saya langsung menyetujuinya.

Sebagai ganti dari jin perempuan itu, saya disuruh untuk membeli cincin emas putih. Entahlah, mengapa saya menurut begitu saja kepada Ki Brojol, sehingga dengan senang hati saya membeli cincin putih meski tidak terlalu berat. Cincin yang tidak boleh dipindah ke jari yang lain bila telah disematkan pada salah satu jari, Selain itu cincin yang pada hakekatnya masih melekat di jari saya itu sebenarnya telah ditanam di punggung saya. Perlindungan cincin pada diri saya akan terus berlanjut selama saya tidak menjualnya atau memberikannya kepada orang lain. Sementara untuk mempertahankan jabatan di kantor agar tidak diotak-atik oleh orang yang tidak berkompeten, saya dibekali dengan cincin emas kuning.

Setelah memakai cincin itu, tidak ada perubahan yang berarti. Kenikmatan dunia kerja yang saya harapkan tetap saja masih jauh dari jangkauan. Berbagai kebijakan yang saya terapkan masih belum bisa memuaskan semua pihak. Kesempatan ini dimanfaatkan Ki Brojol untuk menyeret saya semakin jauh ke dalam pengaruhnya. “Ni, ada jin yang ngumpet di kaki kamu. Jin itu sudah mengikutimu sejak kamu lahir,” katanya suatu hari.

“Mau dihilangi semua apa tidak? Soalnya yang di kaki ini, bawaan dari lahir. Istilahnya dia yang paling berbahaya karena sudah menahun. Tebusannya juga agak mahal. Bayarannya seumur hidup kamu. Dulu mungkin kakek kamu yang merawatnya,” ujarnya meyakinkan saya. Saya percaya saja dengan apa yang dikatakannya, sehingga ketika dia menyuruh saya mandi kembang pun saya turuti saja.

Ritual mandi kembang dilakukan di rumah saya. Bak kamar mandi yang telah ditaburi kembang tujuh rupa itu pun ditutup dengan kain. Degup jantung saya semakin kencang setelah tahu bahwa Ki Brojol sendiri yang akan mengguyur badan saya. Saya khawatir bila terjadi sesuatu yang tidak saya inginkan. Akhirnya saya meminta Suroso untuk menemani kami di dalam kamar mandi dan saya biarkan pintunya terbuka. Sebenarnya saya malu melakukannya, tapi entahlah kekuatan apa yang telah mempengaruhi saya sehingga saran Ki Brojol saya turuti begitu saja.

Setelah ritual mandi kembang selesai, muncul keanehan yang tidak saya bayangkan. Dari dalam bak mandi keluar delapan ekor belut dan seekor ular kecil dengan kepala tegak siap menerkam saya. Menurut penuturan Ki Brojol delapan ekor belut itu adalah kebaikan yang ada di dalam diri saya, sementara seekor ular kecil itu adalah wujud kejahatan saya. Terkejut, ngeri, takut dan was- was bercampur menjadi satu.

Menurut penuturan Ki Brojol pula, belut penjelmaan kebaikan saya itu berasal dari bakal janin yang ada dalam diri saya, sehingga bila dimakan oleh suami istri yang belum punya anak, mereka akan memperoleh keturunan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Suatu penjelasan yang tidak masuk akal.

Tapi Ki Brojol adalah seorang dukun yang kata-katanya didengar oleh sebagian warga sehingga tidak lama kemudia muncullah seorang laki-laki yan berniat mengambil seekor belut. Oleh Ki Brojol, laki-laki itu disuruh meminta persetjuan saya dan diharuskan mengganti belut yang diambilnya dengan pakaian dalam yang diserahkan kepada saya.

Mandi kembang yang saya lakukan katanya masih belum mampu menghilangkan jin yang berada di kaki, sebelum terpenuhi satu syarat lainnya. Untuk itu, saya masih diminta menyediakan uang lima juta rupiah yang dijadikan sebagai syarat. Uang itu nantinya akan diberikan kepada fakir miskin.

Saya kembali tidak berdaya. Tanpa pikir panjang, keinginan Ki Brojol itu pun saya turuti begitu saja. Uang lima juta itu kemudian ditaruh dalam kaleng lalu dimasukkan ke dalam kardus. Sebelum membungkusnya, Ki Brojol juga meminta saya menyerahkan pakaian yang paling saya sayangi. Waktu itu saya menyerahkan kain sarung pemberian paman yang telah meninggal. Kain sarung yang sering saya pakai untuk shalat dan menjadi kenangan tersendiri atas kebaikan paman. Pakaian itu kemudian dijadikan satu dengan uang lima juta.

Semuanya itu saya relakan demi menghilangkan gangguan demi gangguan yang terus mendera saya. Setelah semua persiapan selesai. Kardus yang katanya berisi uang lima juta dibawa masuk Ki Brojol ke dalam kamar untuk dibacakan mantra. Selanjutnya dengan diantar Suroso, Ki Brojol mengajak saya melarung kardus itu di aliran sungai Ciliwung.

Di keremangan senja, kami berangkat dengan mobil pribadi saya menuju aliran sungai Ciliwung di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Begitu tiba di pinggir sungai saya melemparkan kardus itu. Saat itu saya masih berpikir positif saja, kalau memang uang lima juta itu untuk menghapus penyakit, saya pikir tidak apa-apa. Karena kemungkinan besar uangnya ditemukan orang miskin yang tinggal di pinggir kali. Mudah mudahan dapat digunakan di jalan yang benar. Seperti pesan yang tertulis di sana, “Barang siapa menemukan uang ini, semoga dapat memanfaatkannya di jalan yang benar dan diridhai Allah.”

Setelah melakukan pembuangan uang ke kali, saya masih tetap tidak merasakan perubahan apa-apa. Bahkan saya merasakan kehancuran. Masalah di kantor semakin bertubi-tubi dan meruncing. Hanya karena masalah sepele, dengan mudahnya saya memberhentikan karyawan atau sopir saya.

Pada sisi lain, Ki Brojol mulai sering memanfaatkan diri saya. la sering meminjam mobil dinas saya hingga berhari-hari. Terkadang saya mengalah dan naik taxi untuk urusan kantor. Pada mulanya, saya masih menganggapnya biasa. Tapi semakin lama, ia semakin aneh. Kesana kemari ia sering mengatakan bahwa saya adalah istrinya. Hal ini saya ketahui setelah ada seorang relasinya yang menelpon ke kantor menanyakan dirinya.

Beberapa hari kemudian orang tersebut menghubungi kembali ke rumah dan dengan kesal mengatakan, “Mbak ini gimana sih, istrinya kok tidak tahu ke mana perginya.” Saya terkejut, rupanya desas-desus yang saya dengar selama ini benar adanya. Ki Brojol sering mengaku saya istrinya kepada orang-orang di luar. Hal ini mungkin tidak terlepas dari kedudukan saya sebagai seorang direktur utama di sebuah perusahaan swasta.

 

Dipaksa menjadi istri dukun

Selama ini ia memang belum pernah mengutarakannya langsung kepada saya. Mungkin waktunya masih belum tepat. Hingga suatu hari ia berhasil membujuk saya untuk menjalin bisnis spare part motor. Untuk itu ia mengajak saya membeli ban motor langsung ke pabrik- nya di Jawa Tengah.

Awalnya saya tidak tertarik dengan bisnis ini, tapi setelah sekian lama didesak, saya pun mengalah. Saya menuruti kemauannya. Waktu itu rombongan terdiri dari lima orang, namun yang tiga orang turun di Cirebon. Perjalanan selanjutnya hanya kami lalui berdua saja. Sepanjang jalan saya terus berdoa semoga Allah melindungi saya dari niat jahat Ki Brojol.

Selama ini saya tidak pernah bepergian jauh berduaan dengan Ki Brojol, apalagi sejak semula saya sudah tahu bahwa ia punya niat tertentu kepada saya. Setiba di pabrik ban mobil, Ki Brojol segera turun dan melakukan negosiasi harga. Saya dibiarkan menunggu di dalam mobil, dan hanya turun untuk membayar transaksi yang terjadi. Tentu semuanya menggunakan uang pribadi saya.

Sepulang dari Jawa Tengah itulah Ki Brojol mengutarakan isi hatinya. la menginginkan saya menjadi istrinya. Apa yang saya khawatirkan selama ini akhirnya terucap juga. Namun, untuk menolak dengan bahasa yang keras, jelas saya tidak berani, Terlebih keadaan saya yang tidak menguntungkan.

“Saya kan sudah menganggap bapak sebagai orangtua saya. Kita mendingan seperti anak sama bapak saja,” kilah saya dengan halus. Ki Brojol belum mau menyerah. Sampai la berkata, “Apa karena saya hitam? Apa karena saya gendut? Apa karena saya sudah tua? Apa karena saya sudah punya istri? Dia menyebutkan empat alasan yang membuat saya tidak tertarik.

Kalau saya boleh jujur, Ki Brojol memang bukan tipe orang yang saya harapkan menjadi pendamping saya. Tapi untuk membenarkan apa yang dikatakannya saya tidak berani. Saya takut ia naik pitam dan melakukan hal-hal yang tidak baik.

la mengatakan seandainya ia ingin mendapatkan saya dengan ilmunya, itu bukanlah hal yang sulit. Tapi ia tidak mau. la ingin menikahi saya dengan cara yang normal. Atas dasar cinta, bukan karena terpaksa. “Apa saya perlu berhenti jadi dukun?” katanya lagi. Saya hanya diam membisu dengan hati bergemuruh. “Kalau seandainya alasan Mbak Eni karena saya sudah berkeluarga, nanti kalau misalnya Mbak Eni dapat orang yang sudah berkeluarga bagaimana?”

Saya diam saja. Saya tidak ingin sepatah kata yang keluar dari mulut saya nanti tidak berkenan di hatinya dan dijadikan sebagai alasan untuk menyakiti saya. Suasana yang kaku itu baru mencair saat dia mengajak mampir makan di Cirebon. Itu pun saya juga yang membayar semuanya.

Setiba di Cikampek hari sudah larut malam. Ki Brojol menawari saya untuk istirahat sejenak untuk melepas lelah. “Di situ ada tempat saya biasa mampir. Di situ biasa kok mobil-mobil mampir, tidur.” Astaghfirullah, hati saya rasanya hancur setelah tahu bagaimana Ki Brojol memandang saya. la menganggap saya seperti wanita murahan yang bisa diajak apa saja, karena tempat yang ditawarkannya adalah warung remang-remang di pinggir jalan. Saya tidak mau disepelekannya lagi. Saya harus menolaknya apapun resikonya.

Saya baru mau diajak berhenti ketika tiba di tol Cikampek, di area parkir truk- truk yang istirahat. Letih, lemah, lesu setelah menempuh perjalanan dua hari masih tidak sebanding dengan remuknya hati saya. Saat saya menyandarkan diri di kursi, tiba-tiba tangan Ki Brojol mencoba meraih saya. Dengan reflek saya menolak dengan keras, “Saya tidak bisa.” Ki Brojol terkejut. Matanya merah menyeramkan tersembul dari kulitnya yang hitam.

“Ya sudah kalau tidak mau, celupkan tangan ke dalam air.” Dada saya bergetar, bintik- bintik keringat dingin keluar di dahi saya, melihat Ki Brojol langsung membeli air aqua gelas. Saya khawatir bila ia bermaksud yang tidak-tidak terlebih waktu itu jam tiga dinihari. Bintang-bintang yang mengintip dari kegelapan dan hembusan semilir angin dingin menjadi saksi tangisan saya. Cukup lama saya baru bisa menguasai diri dan memaksanya melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Beberapa hari kemudian, Ki Brojol datang ke rumah, ia masih menginginkan saya menjadi istrinya. Saya tetap tidak mau. la memaksa saya mencelupkan tangan ke dalam air. “Ya sudah tolong bantu saya, kalau tidak saya masih ingat terus. Tolong celupkan ke air.” Saya berpikir, daripada selalu berkeliaran di sekitar saya, lebih baik saya turuti kemauannya. Dengan terus membaca ayat Kursi saya mencelupkan jari ke dalam gelas. Saya sudah pasrah. Yang akan terjadi terjadilah. Dengan celupan tangan itu, maka apa yang dilakukannya selama ini dianggap tidak ada. Jin yang katanya sudah dikeluarkan dengan berbagai cara itu pun katanya masuk kembali ke dalam diri saya. Tapi saya tidak peduli.

“Tiga tahun hidup kamu akan meruncing terus. Karir kamu berantakan dan jodohmu menjauh,” sumpah Ki Brojol.

Sebagai seorang wanita yang hidup sendirian di Jakarta, saya merasa sedih, mengapa orang yang selama ini saya bantu, tega berbuat kejam. Pengorbanan saya dianggap angin lalu. Meski saya tidak mengharapkan imbalan, tapi setidaknya tidak harus disakiti.

Sementara itu intrik-intrik di kantor juga semakin tajam. Tekanan kiri kanan semakin sulit saya kendalikan, akhirnya dengan berat hati saya putuskan untuk mengundurkan diri dari kantor pada bulan Mei 2002, setelah menimbang dan meminta pertimbangan beberapa teman.

Saya akui bahwa minggu- minggu awal keluar dari kantor saya sempat tidak bisa menerima atas apa yang terjadi. Perasaan didzolimi menghimpit di dada. Bisnis yang saya rintis dengan air mata darah, tiba tiba saya harus terdepak setelah semuanya berjalan dengan baik. Di kegelapan malam saya sering berdoa, “Ya Allah perlihatkanlah kekuasaan Mu kepada orang-orang yang telah menyakiti hatiku.”

Ketika naik taxi atau pun kendaraan umum terkadang air mata saya mengalir begitu saja. Saya menjadi sangat sensitif. Sejak bulan Oktober saya diterima kerja di tempat baru, tapi kenangan kantor lama begitu dalam. Sangat sulit dilupakan.

Pekerjaan di tempat baru pun hanya bertahan setahun. Ada saja masalah yang saya hadapi. Selain itu usaha untuk mendapatkan pendamping hidup sering kali kandas di tengah jalan. Selalu ada aral yang melintang di jalan. Kenyataan ini semakin meyakinkan saya bahwa ada seseorang yang mencoba terus menghalangi langkah saya.

Saya beruntung di pertengahan 2004 akhirnya dipertemukan dengan Majalah Ghoib yang memang berbeda. Saya langsung tertarik mengikuti ruqyah, karena dan dulu saya memang mencari pengobatan yang benar. Karena selama ini semuanya mengaku benar.

Juli 2004 menjadi lembaran sejarah baru dalam kehidupan saya, karena semenjak itu apapun isim atau jimat pemberian orang pintar saya bakar semuanya sambil membaca ayat Kursi, isim-isim yang ditempel di rumah saya buang semuanya. Apapun yang membuat malaikat rahmat menjauhi rumah saya, saya buang.

Sudah belasan kali saya mengikuti terapi ruqyah, dan alhamdulillah saya merasa kejiwaan saya semakin stabil, intensitas ibadah saya juga semakin baik. Meski jin yang merasuk ke dalam diri saya tidak mau bicara. Saya hanya merasakan kesakitan yang luar biasa ketika diterapi.

Saya sadar bahwa masalah kesembuhan itu dari Allah, karena itu saya tidak boleh berputus asa. Bahkan saya bersyukur karena ruqyah di Majalah Ghoib sudah merubah pandangan hidup saya. Saya selalu berdoa semoga apa yang diberikan Allah ini melebur dosa saya pada masa lalu dan mengangkat derajat saya di sisi- Nya.

Dengan itu saya bisa menghadapi hidup ini dengan tenang. Sekarang saya sedang merintis bisnis dengan teman- teman. Semoga perjalanan ke depan tidak sesulit kemarin. Dan semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang membacanya.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

“Saya Akui Perjuangan ini Tidaklah Mudah”

Saat mulai dinas, saya menemukan banyak keganjilan. Anggota yang mbolos dengan alasan yang tidak jelas dan mbandel, justru tidak mendapatkan sanksi apa-apa. Komandan hanya tersenyum saja saat bertemu mereka.

Justru anggota yang setiap hari rajin, malah diomelin. Orang lain yang salah, tapi saya yang kena getahnya. Akhirnya saya berpikir, kalau begini terus saya akan selalu menjadi korban. Singkat cerita, saya pun terpengaruh untuk melakukan hal yang serupa.

Untuk itu, saya mencari guru supranatural. Dan bertemu dengan orang pintar yang katanya sering menjadi media kedatangan Bung Karno atau tokoh-tokoh yang terkenal kesaktiannya. Kebetulan orang itu masih tinggal satu asrama dengan saya.

Setiap malam Jum’at saya dan teman-teman disuruh kumpul yasinan. Saya juga sempat dimandikan kembang tujuh rupa dan dikasih jimat dan wiridan untuk mempengaruhi komandan, rezeki, pergaulan dan lain-lain.

Hanya dalam hitungan bulan, hasilnya sudah saya rasakan. Komandan yang biasanya suka marah, sekarang sikapnya mulai berubah. Tapi lama kelamaan saya tidak kuat berkumpul dengan teman yang sudah mulai ngelantur pembicaraanya.

Keluar dari perkumpulan di asrama, saya berburu perguruan lain yang bisa transfer ilmu secara instant. Akhirnya pilihan saya jatuh ke sebuah perguruan di Madiun, Jawa Timur. Di sana saya diberi kapsul yang harus diminum. Waktu itu untuk membayar mahar 350.000 rupiah. Tapi sampai beberapa bulan, saya tidak merasakan manfaatnya. Akhirnya beralih ke paranormal di Jakarta.

Setelah berpindah ke berbagai perguruan, saya mulai tersadar. Bahwa selama ini tidak ada manfaat yang saya dapatkan. Nasib saya toh masih begitu-begitu saja. Tidak ada peningkatan dari segi pendapatan. Justru kegersangan jiwa yang saya rasakan.

Pada sisi yang lain, hati saya mulai tersentuh dengan ceramah AA Gym dan Arifin Ilham. Sampai saya membeli kaset VCD nya. Terus saya mulai membaca buku-buku agama itulah awalnya hidayah.

Pertengahan tahun 2003, saya ditugaskan ke Aceh. Di sanalah saya banyak berhubungan dengan tahanan- tahanan GAM, yang tidak sedikit di antara mereka yang dipanggil dengan Tengku. Di sela-sela waktu shalat itulah saya banyak berkumpul dengan mereka, membicarakan seputar agama dan mendapat siraman rohani.

Hanya saja waktu itu saya masih mendapat cobaan. Saya masih suka jatuh bangun. Kadang shalat dan pada kesempatan lain terseret kepada kemaksiatan. Minum- minuman keras atau perempuan. Padahal saya sadar bahwa itu semua suatu kesalahan. Namun, saya akui bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh sekali.

Satu kenyataan yang membuat batin saya semakin tersiksa. Barulah setelah kembali ke jakarta saya temukan kedamaian. Saya telah bertekad untuk meninggalkan dunia hitam itu. Saya tidak ingin lagi berurusan dengan minuman keras, perempuan ataupun pergi ke perdukunan. Meski saya akui perjuangan ini tidaklah mudah. Banyak godaan yang datang dari teman sendiri.
Oleh : Jonathan (Anggota TNI)
Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M
HUBUNGI ADMIN