“CIKARANG, habis! …. Cikarang, habis!” teriak seorang kernet bus sambil mengetuk- ngetuk pintu mobil dengan uang recehan. Suara itu membangunkan kami yang sedang asyik tertidur di bangku barisan paling belakang. Perjalanan 3 jam yang ditempuh dari Bogor, cukup melelahkan. Air hujan yang menggenangi ruas jalan di beberapa titik di Cikarang, membuat perjalanan sangat lambat. Belum lagi, banyaknya waktu ngetem awak bus untuk mengambil penumpang. Kami melepaskan jaket yang dikenakan untuk menahan dinginnya cuaca hari itu. Hujan sudah menjadi langganan setiap harinya di Jabotabek.
Tepat jam 12:01, kami tiba di kantor Ruqyah Syar’iyyah cabang Cikarang yang lokasinya tidak terlalu jauh dari terminal lama. Hanya 10 menit, kami berada di sana. Ustadz Arif (pimpinan cabang Cikarang), langsung mengajak berangkat ke tempat tujuan, karena tuan rumah telah lama menanti. Bersama dengan istri dan seorang anaknya, kami berangkat ke rumah Yuli Astuti (28) di daerah Bekasi. Di tengah perjalanan, kami mewawancarai Ustadz Arif, mengenai perkembangan cabang Cikarang yang berencana akan mengisi kajian tetap di sebuah stasiun radio ternama di sana. Tak terasa, tepat jam 2 lebih 9 menit, kami tiba di rumah Yuli yang siang itu nampak lengang dari luar.
Seorang ibu membukakan pintu, sesaat setelah kami mengucapkan salam. Pagar rumah berwarna kuning tua dengan tembok birunya terbuka lebar, seakan riang menyambut kedatangan kami. Sebuah mobil diparkir di garasi yang ukurannya tidak begitu luas, bersama sebuah sepeda motor yang sepertinya menjadi alat transportasi pribadi Yuli. “Silakan masuk Ustadz!,” kata ibunda Yuli menyambut kami. “Anak siapa ini Ustadz?” sambung Yuli sambil membetulkan jilbabya yang agak miring. “Anak pertama saya yang tinggal bersama neneknya di kampung,” sahut Ustadz Arif. Beberapa buah minuman kemasan gelas disodorkan oleh kakak Yuli di sebuah nampan. Kami langsung menyambutnya dengan menenggak segelas air kemasan yang sangat segar. Dua piring makanan disuguhkan pula bersama dua toples snack yang isinya melebihi kapasitas. Kami larut dalam bincang-bincang kecil, dengan menanyakan keadaan masing- masing. Nampak sekali keakraban antara Ustadz Arif dengan keluarga Yuli, yang telah menjadi pasien tetap Ustadz Arif selama ini.
Selesai melaksanakan shalat Zhuhur di sebuah musholla yang berada di dalam rumah Yuli. Kami melanjutkan bincang-bincang sambil menikmati jus alpukat yang baru saja dihidangkan. “Saya lulus kuliah tahun 1999, ” ungkap Yuli mengawali ceritanya. “Saya langsung mendapatkan pekerjaan dengan posisi dan gaji yang sangat layak. Setelah setahun bekerja, kondisi saya tiba-tiba berubah. Saya mulai sering kejang-kejang tanpa sebab. Mulai saat itulah, penyakit demi penyakit menghampiri saya, sampai saya merasa minder dan kurang percaya diri”, ungkap Yuli lebih lanjut. Melihat penyakit Yuli tersebut, orangtuanya membawa ke rumah sakit untuk di rawat. Namun, analisa dokter hasilnya berbeda-beda. Ada yang menyatakan ia kena penyakit Kista, ada yang menyatakan ia tidak apa-apa. Setelah sempat empat kali masuk ke rumah sakit. Yuli dan orangtuanya mencoba menggunakan pengobatan alternatif.
Banyak sudah ‘orang pinter’ yang mereka sambangi. Dari Ibukota Jakarta, Cilacap hingga ‘orang pinter lokal’ yang berada di Bekasi. Beragam ritual pernah mereka lakukan, di antaranya mandi di tengah malam serta disedot menggunakan media telur. Tujuannya satu, untuk menyembuhkan penyakit Yuli. Apa yang diharapkan tidak kunjung datang. Penyakitnya malah bertambah parah. Pipinya bengkak- bengkak, dadanya sering terasa sesak. Dan yang paling menyiksa, emosinya yang tidak terkendali. Menurut ‘orang pinter’, Yuli dikerjain oleh seseorang yang pernah patah hati padanya. “Dulu memang saya pernah kenal dengan seorang laki-laki. Tapi karena seluruh anggota keluarga tidak setuju, akhirnya saya putus. Sejak putus itulah saya sering merasa kejang-kejang,” tegasnya dengan semangat. Inilah salah satu dari korban slogan yang menyesatkan “Cinta ditolak, dukun bertindak”. Sebuah cara yang hanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai jiwa pengecut.
“Kalau dihitung-hitung, mungkin biaya untuk berobat ke alternatif, bisa membeli sebuah rumah mewah…. (sambil tertawa geli). Alhamdulillah, saya mempunyai teman yang terus memberikan nasehat kepada saya untuk segera diruqyah dan meninggalkan dukun-dukun itu,” tuturnya lagi. Yuli telah menjalani terapi ruqyah yang langsung ditangani oleh Ustadz Arif. Setelah menjalani ruqyah, ia banyak merasakan perbaikan. Emosinya mulai terkendali. Pipinya sudah jarang membengkak, walaupun terkadang masih muncul. Dan yang lebih penting, kini ia tidak lagi merasa minder dan menghadapi hidup lebih happy. “Tapi kira- kira ada nggak ya, yang mau sama orang yang penyakitan seperti saya?” selorohnya. Ustadz Arif kemudian menjelaskan, kita tidak boleh mengklaim diri seperti ini dan itu. Dalam sebuah hadits Qudsi Allah 35 berfirman, “Sesungguhnya Aku bersama prasangka hamba- Ku”. Jadi kita harus selalu yakin dengan pertolongan Allah kepada hamba-Nya yang selalu berdoa,” ungkapnya dengan penuh perhatian.