Ibarat kertas, anak-anak adalah kertas putih bersih yang belum terkotori oleh noda setitik pun. Kertas yang bisa berganti menjadi indah dan menarik atau sebaliknya menjadi kertas yang menyebalkan. Semuanya karena goresan warna-warni yang tertoreh di atasnya.
Satu kenyataan yang melahirkan proteksi dari orangtua yang terkadang berlebihan. Berlebihan karena sudah tidak lagi pada tempatnya. Berlebihan karena mengaitkannya dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Taruhlah contoh mencium tangan bayi.
Sampai detik ini masih berkembang luas di masyarakat bahwa seorang bayi tidak boleh dicium tangannya. Kalaupun toh itu Anda melakukannya maka bersiaplah untuk menerima teguran dari ibunya atau neneknya. “Jangan cium tangannya, nanti celamitan. Cium pipinya saja!” ujar seorang nenek sambil menepuk tangan orang yang mau mencium sang bayi.
Celamitan. Ya, orangtuanya khawatir bila sang bayi dicium tangannya maka kelak dia akan tumbuh menjadi seorang anak yang suka meminta-minta seperti pengemis di jalanan. Seharusnya dia menjadi anak manis yang menyenangkan, tapi karena ulahnya yang suka meminta makanan atau mainan teman sepermainannya, membuat hati orangtua teriris sembilu. Malu dan kehilangan muka.
Anak itu akan menyodorkan tangannya kepada orang lain, sebagaimana dulu waktu bayi tangannya diraih dan dicium. Memori otaknya masih kuat merekam apa yang terjadi dan mempraktekkannya dalam bentuk yang lain.
Ini adalah satu keyakinan yang harus diluruskan. Orangtua atau siapapun boleh saja memproteksi bayi yang masih bersih, tapi jangan sampai proteksi tersebut terlalu berlebihan, hingga melahirkan suatu keyakinan yang tidak pada tempatnya.
Mencium bayi atau anak yang manis itu sah- sah saja. Tidak ada pantangan dan larangan sama sekali dalam agama. Mau cium pipi, silahkan. Cium kening, silahkan. Cium tangan juga boleh saja. Tidak ada masalah. Karena ciuman itu merupakan bentuk kasih sayang seseorang kepada anak-anak.
Dahulu Rasulullah menunjukkan kasih sayangnya kepada anak- anak juga dengan ciuman, seperti yang dikisahkan Abu Hurairah. “Rasulullah mencium Hasan bin Ali sedang di sampingnya duduklah Aqra bin Habis at- Tamimi. Aqra’ berkata, “Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak. Dan tidak satu pun dari mereka yang saya cium.” Rasulullah melihat Aqra’ kemudian berkata, “Orang yang tidak menyayangi (orang lain) maka dia tidak akan disayang (orang lain)” (HR. Bukhari Muslim).
Hadits Abu Hurairah dan beberapa riwayat lain tidak membatasi ciuman tersebut harus di pipi atau di kening. Hadits-hadits tersebut juga tidak melarang untuk mencium tangan bayi, karena takut kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang sering menangis karena rebutan dengan mainan temannya.