“Daun Teh Petikan Saya, Dihargai Rp. 300,- per Kilo”

Ibu Engkom (60 Tahun), Pemetik Teh di Gunung Mas, Puncak, Jawa Barat.

Sebuah jaket kumal berwarna biru dikenakannya, saat hari semakin senja. Cuaca semakin dingin, karena daerah puncak yang berada di dataran tinggi itu, dibasahi oleh rintik- rintik air hujan. Seorang ibu tua yang bekerja sebagai pemetik teh, saat itu sedang menunggu jemputan bersama rekan-rekan kerjanya, yang akan mengantarkannya pulang ke rumah, untuk kembali berkumpul bersama suaminya yang sering sakit-sakitan. Ditengah kabut tebal yang turun ke permukaan bumi, sehingga keindahan jalan yang meliuk-liuk di area puncak tidak dapat dilihat, karena jarak pandang yang terbatas, Majalah Ghoib datang menemuinya. Berikut kisah hidup seorang ibu tua, yang tetap kelihatan tabah merenda koyak- koyaknya kehidupan ini.

Nama saya Engkom, usia 60 tahun. Saya dilahirkan di Cikopo, Babakan, Desa Kuta, Kecamatan Megamendung. Ibu saya dulu seorang penjahit. Sedangkan bapak bekerja sebagai tukang bangunan di Kota Cianjur. Pada saat usia saya genap 40 hari, bapak dan ibu saya bercerai. Jadi memang sejak kecil sampai sekarang saya tidak pernah melihat wajah bapak kandung saya yang seharusnya menyayangi dan mengasihi saya. Sampai berusia 2 tahun saya dan ketiga orang kakak yang juga masih kecil-kecil, diurus oleh ibu seorang diri. Ketika saya berusia 1 tahun saya sering menangis menanyakan bapak saya. Saat itu saya sering melihat linangan air mata ibu saya karena sedih dan harus membiayai keempat anaknya seorang diri. Alhamdulillah kakak-kakak saya telaten membantu ibu, mengurus saya sebagai anak yang paling bontot (bungsu). Kehidupan kami pada saat itu hanya mengandalkan jahitan yang disuruh orang. Itu pun kalau ada. Tapi kalau tidak ada jahitan yang dikerjakan, terkadang harus ngutang sana-sini juga.

Ibu saya kemudian menikah lagi ketika saya berusia 2 tahun. Mulai saat itulah saya mengenal sosok bapak yang selama ini, tidak saya rasakan. Kehidupan kami agak membaik setelah mempunyai bapak tiri. Saya mempunyai 3 orang adik tiri, bawaan bapak dari istrinya yang pertama. Bapak tiri saya tersebut bekerja di perkebunan teh. Bapak dan ibu mengajarkan nilai-nilai agama, sejak saya masih kecil seperti shalat lima waktu dan belajar membaca al-Qur’an. Saya mengaji di mushalla kampung bersama teman-teman. Alhamdulillah bapak tiri baik kepada saya. Sehingga saya juga sangat sayang kepada bapak tiri saya tersebut. Untuk makan dan jajan saya sangat diperhatikannya, walaupun apa adanya. Sejak kecil pekerjaan saya hanya membantu ibu dengan mengerjakan pekerjaan yang bisa saya tangani, seperti mencuci dan mengepel, sampai saya beranjak remaja. Tapi kami semua tidak bisa melanjutkan sekolah, karena orang tua tidak punya biaya yang cukup untuk menyekolahkan kami. Ya hasilnya seperti sekarang ini, saya hanya bekerja di perkebunan teh ini. Tetapi kami maklum, karena bapak hanya seorang yang bekerja di perkebunan teh.

Saya menikah ketika berusia 17 tahun. Kan di kampung mah, kalau anak gadis berumur 17 tahun belum menikah, sama kawan-kawannya dibilang jomblo. Suami saya masih tetangga sekampung. Kami ketika masih muda memang sangat aktif di pengajian kampung kami. Nah dari pengajian itulah saya mengenal dia sebagai orang yang baik dan pintar mengaji. Tiba-tiba saja, dia datang bersama orang tuanya untuk melamar saya sebenar nya orang tua bingung, kok belum pernah kelihatan dekat sudah melamar saja (tertawa, red). Selang beberapa bulan setelah acara lamaran tersebut akhirnya kami resmi menikah. Saya sangat senang sekali karena telah mendapatkan pendamping yang bisa membimbing saya. karena selama ini, memang saya terus berdoa agar cepat dapat jodoh supaya dapat mengurangi beban orang tua kami, yang hidup dalam kondisi pas-pasan dan harus membiayai banyak anak.

Dari pernikahan ini saya medapatkan 7 orang anak, Anak pertama lahir setelah usia perkawinan saya baru setahun. Suami saya itu kan semenjak muda pekerjaannya sebagai petani. Sehingga kehidupan kami dari dulu memang tidak banyak berubah. Hidup dalam kondisi apa adanya. Ketujuh anak saya, sekolahnya hanya sampai tingkat sekolah dasar saja. Karena saya dan suami tidak cukup biaya untuk mem- biayai mereka. Tapi untuk pendidikan agama Islam, saya sudah menanamkannya sejak mereka masih kecil, agar selalu mengerjakan shalat lima waktu dan senantiasa berlaku jujur.

Pertama kali bekerja di perkebunan ini ketika sudah punya anak dua. Karena penghasilan suami yang hanya bertani tidak mencukupi untuk keperluan keluarga sehari-hari, bahkan selalu kurang. Saya harus membagi waktu antara bekerja sebagai pemetik teh dengan tugas sebagai ibu rumah tangga. Kadang saya merasa sedih, karena harus meninggalkan anak-anak saya dirumah untuk bekerja. Padahal mereka kan sedang butuh belaian dan kasih sayang orang tua secara penuh, tapi ya harus bagaimana lagi keadaan yang membuat saya harus bekerja seperti ini.

Kedua anak perempuan saya yang paling besar, sekarang ikut menjadi pemetik teh juga bersama saya di daerah puncak Gunung Mas ini. Karena penghasilan suami mereka juga tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari. Saya di Gunung Mas sudah bekerja selama tiga tahun. Sedangkan sebelumnya, dari muda saya bekerja di perkebunan di daerah Cikopo, dekat rumah.

Sekarang saya tinggal bersama suami yang sudah berusia 80 tahun. Suami saya sering sakit- sakitan, karena usianya sudah semakin tua. Saya jarang sekali membawa suami saya untuk berobat ke rumah sakit, karena tidak ada biaya lebih untuk itu. Dua anak saya yang paling kecil juga masih tinggal bersama saya, karena mereka belum menikah seperti kakak-kakaknya yang lain. Yang sering membantu kehidupan ekonomi sehari-hari adalah anak laki-laki yang paling kecil. Alhamdulillah dia sudah bekerja. Tapi untuk anak-anak yang lain jarang sekali membantu saya, karena mereka juga punya kebutuhan masing- masing.

Rumah yang sekarang saya tinggali sehari-hari ini, kalau hujan sering banjir karena atapnya pada bocor. Tapi sampai saat ini belum diperbaiki karena tidak ada biaya juga. Kalau cuaca sudah seperti ini, suami saya tambah parah sakitnya. Saya pun sering sakit, sehingga sering juga saya tidak bisa bekerja, kalau sudah begini, saya sering bingung sendiri, darimana dapat uang untuk makan hari itu.

Sampai sekarang saya masih harus bekerja terus untuk membiayai makan sehari-hari, sambil mengurus bapak yang sudah semakin tua dan sudah tidak bisa membiayai kehidupan sehari-hari kami lagi. Setiap jam enam pagi, saya berangkat dari rumah dengan naik jemputan. Mulai bekerja jam delapan pagi sampai jam 2 siang. Kemudian jam 3 sore diantar pulang, dan baru tiba di rumah jam 4 sore, Sampai di rumah saya sudah kecapaian dan langsung istirahat.

Hasil petikan teh saya di sini dihargai perkilonya 300 rupiah. Saya paling banyak bisa memetik 20 kilo perhari. Sehingga paling besar saya mendapat upah hanya 6.000 rupiah saja. Karena gaji yang saya dapat sangat kecil, untuk makan siang saya bawa dari rumah sebagai bekal. Walaupun kadang-kadang makanan yang saya makan sudah tidak enak karena teralalu lama disimpan. Tapi ya dinikmati saja, soalnya kan perut lapar. Yang saya sedang pikirin sekarang adalah mencari cara menutupi kekurangan uang setiap harinya. Kan gaji saya hanya 6.000 sehari. Sementara untuk makan sehari-hari sekeluarga, saya harus mengeluarkan uang 10.000 rupiah. Jadi kan masih kurang juga.

Saya ridho dengan hidup begini, karena ini merupakan ketentuan dari Allah. Tapi saya sih maunya tidak kerja lagi, di usia yang sudah semakin tua ini. Mudah-mudahan ada perubahan pada kehidupan anak- anak saya, sehingga kehidupan saya lebih baik. Dan saya bisa lebih khusu’ beribadah menghadapi ajal yang akan menjelang.
Ghoib, Edisi No. 33 Th. 2/ 1425 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN