Saya dan Mas Toni menikah di tahun 1997. Saat itu musim penghujan. Seperti sekarang di bulan Februari. Hujan sering mengguyur permukaan bumi, yang kian dingin. Menambah keindahan romansa pernikahan. Bunga-bunga di halaman mekar. Indah warnanya. Diselingi kicauan burung yang bertengger di ranting pepohonan.
Kami menetap di sebuah perkampungan, dengan hamparan ladang yang menghijau di sebuah kabupaten di Jawa Barat. Di sanalah kami merajut benang kasih. Menikmati hari-hari pertama yang indah. Tidak perlu berbulan madu ke puncak atau Bali, toh perkampungan kami menawarkan kesejukan. Lebih dari sekadar cukup untuk menyemai kebahagiaan.
Waktu mengalir begitu cepat. Tak terasa tiga minggu sudah usia pernikahan kami. Semuanya berjalan seperti biasa. Hingga peristiwa pilu itupun terjadi. Saya mengalami pendarahan. Aneh rasanya. Di hari pernikahan itu saya masih kedatangan tamu bulanan. dan belum saatnya dia datang kembali. “Mas, kok saya mengalami pendarahan?” keluh saya kepada Mas Toni.
la pun heran. Pendarahan masih terus berlanjut. Saya terkulai lemah di atas tempat tidur. Kami khawatir bila dibiarkan akan semakin parah. Siang itu, Mas Toni membawa saya ke rumah sakit. Di sana, tidak banyak yang bisa dilakukan. Pendarahan terus saja berlanjut. Tidak ada pilihan lain, saya harus menjalani kuret.
Keputusan itu saya terima. Meski secara logika bila terjadi pembuaian, itu pun masih dalam tahapan awal. Terus terang, saat itu kami tidak memiliki pemikiran macam- macam. Kami menganggap pendarahan itu murni gangguan kesehatan biasa. Seperti yang banyak dialami kaum wanita. Bukan karena gangguan orang lain. Meski saya sadar bahwa ada hati yang terluka atas pernikahan kami.
Harapan kami, kuret menjadi solusi yang ampuh. Namun, seutas harapan itu segera kandas. Baru beberapa jam beristirahat di rumah, saya harus kembali menjalani perawatan di rumah sakit. Pendarahan memang sudah terhenti. Perut juga tidak lagi terasa mual. Namun, masalahnya sekarang berpindah ke dada. Jantung saya berdegup kencang. melebihi hitungan yang normal. Padahal tidak ada masalah yang membebani pikiran kami. Usia pernikahan yang belum genap sebulan belum memercikkan api. Semuanya berjalan seperti yang kami harapkan. Tiga hari lamanya, saya opname di rumah sakit.
Sepulang dari rumah sakit, sudah menunggu lagi masalah yang baru. Saya mengamuk seperti kesyetanan. Kontan, teriakan histeris ibu dan keluarga menarik perhatian tetangga. Mereka berdatangan ke rumah dan berusaha menenangkan saya. Saya yang sedang dalam pengaruh makhluk ghaib tidak tinggal diam. Enam orang yang memegangi saya, saya lawan. Secara logika, tidak mungkin kekuatan seorang wanita seperti saya yang lemas sanggup mementalkan enam orang. Saya baru tersadar setelah ada orang pintar yang mengobati saya.
Saya menangis dalam pelukan Mas Toni. Ingin rasanya menghilangkan kesedihan yang masih tersisa. Mas Toni menatap lembut, penuh kasih sayang yang mendalam. Menenangkan hati yang sedang gundah. Seharusnya kami lewati hari- hari dengan suasana yang romantis. Namun, Allah punya kehendak lain. Kami harus melewati masa-masa bulan madu dengan sedikit berbeda. Di bawah cengkeraman kecemasan. Dalam hati, saya berjanji menebusnya di hari-hari yang lain.
Aktifitas saya kembali mengalir seperti biasa. Masuk kerja di sebuah instansi pemerintah dan menjadi istri yang berbakti kepada suami. Namun, menunaikan dua tugas yang sama pentingnya tidaklah mudah. Lelah dan letih menjadi imbalan yang sepadan. Sejak awal, saya telah menyadari resiko ini. Meski demikian saya punya komitmen untuk berlaku adil.
Masalahnya saya bukan tipe wanita terbuka, yang mudah menceritakan masalah kepada orang lain. Meski, di samping saya ada Mas Toni yang siap berbagi. Permasalahan yang muncul di kantor menjadi bagian dari masalah saya sendiri. Seberat apapun itu. Biasanya saya bertingkah laku seolah-olah tidak ada masalah. Tetap aktif dan ceria. Padahal dalam hati kecil, masalah itu mengganggu pikiran sampai terbawa dalam mimpi.
Akibatnya nafsu makan saya menurun, dada berdebar-debar dan saya harus dirawat di rumah sakit. Ada saja penyakit yang saya alami. Tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba saja badan saya lemah. Kaki kanan saya lumpuh, tangan kiri juga lumpuh. Anehnya kaki kiri dan tangan kanan tetap normal. Dokter syaraf yang memeriksa saya pun keheranan. Kelumpuhan yang saya alami ini di luar kewajaran. Biasanya kaki kanan lumpuh disertai dengan tangan kanan. Bukan menyilang dengan tangan kiri. Lagi-lagi saya harus menelan obat pahit.
Saya pulang dari rumah sakit mengendarai mobil. Di tengah perjalanan saya minta izin untuk ke kamar kecil. Perlahan, Mas Toni menuntun saya bergeser dari kursi mobil. Berat memang, kaki kanan saya belum bisa digerakkan dengan leluasa. Saya pun duduk sebentar. Sedih rasanya, di usia pernikahan yang masih muda harus dipapah seperti seorang pesakitan. Namun, saya tidak dapat berbuat banyak. Saya berusaha melemaskan otot- otot kaki kanan. Saya gerak- gerakkan perlahan. Alhamdulillah, ujung jari saya sedikit bisa digerakkan perlahan. Keesokan harinya, kaki kanan kembali normal, tangan kiri juga demikian.
Hari itu saya tidak masuk kerja. Saya masih ingin istirahat sejenak. Belum saatnya kaki kanan banyak digerakkan. Namun, malam harinya saya mulai gelisah. Tidur pun tidak nyenyak. Bayangan mengerikan mengganggu alam bawah sadar saya. Akibatnya tiga hari lamanya kepala terasa pening. Kemudian disusul dengan perut mengembung.
Awalnya saya tanggapi biasa saja. Tapi beberapa detik kemudian keajaiban terpampang di depan mata. Perut saya terus menggelembung. Yang tadinya baru sebesar hamil empat bulan, dalam hitungan detik membesar layaknya hamil sembilan bulan.
“Aduuh Perut saya kenapa ini?” Saya berteriak histeris. Teriakan itu mengejutkan orang-orang di sekitar rumah. Mereka berdatangan dan menyaksikan keanehan. Perut saya bergerak-gerak. Ke kiri, kanan dan naik turun. Seperti ada makhluk hidup sebesar tikus putih di dalamnya. la mengobrak-abrik perut saya. Sesekali makhluk itu membawa lari seluruh isi perut ke atas, mendekat ke arah dada. Meninggalkan kulit perut yang menempel dengan tulang. Seakan tidak ada usus di sana. Seakan tidak ada benda lain di dalamnya. Semuanya kosong. Terbawa lari ke atas.
Saya bergulingan. Saya tak kuasa menahan rasa sakit ini. Keluarga segera membawa saya ke rumah sakit. Di atas ranjang dorong, saya segera dilarikan ke ruangan USG. Bapak, ibu dan Mas Toni beriringan menjaga saya dari samping ranjang. Saya terus merintih. Peralatan USG telah terpasang. Anehnya tidak ada benda apapun yang terdeteksi. Meski saat itu perut saya terus bergerak.
Dokter mengatakan, itu hanya udara saja. Sementara perut saya terus bergerak- gerak. Bapak yang mendampingi saya tidak kuasa menahan tangisnya. la sesenggukan. Katanya, saat itu kondisi saya seperti orang yang mau meninggal. Ketika perut naik ke atas, nafas saya tersengal-sengal. Nyaris seperti orang yang mau meninggal.
Untuk beberapa saat saya dirawat di rumah sakit. Saya baru diizinkan pulang, setelah kondisi saya mulai membaik. Namun, baru beberapa jam di rumah perut saya membesar lagi. Apa yang terjadi sebelumnya kembali terulang. Orangtua pun tidak kuasa lagi menolak saran dari tetangga kiri kanan yang menyarankan untuk berobat ke orang pintar.
BERPINDAH DARI SATU ‘ORANG PINTAR’ KE ‘ORANG PINTAR’ LAIN
Berbekal informasi dari tetangga, bapak dan Mas Toni membawa saya berobat ke ‘orang pintar’ di sebuah kabupaten di Jawa Barat. Sebut saja namanya Ki Iming. Seorang kakek yang telah ompong. Konon, pengobatannya tergolong mujarab. Banyak pasien yang terkena sihir sembuh setelah berobat ke sana. Kami berangkat dengan harapan membuncah. Perut saya yang mengembung segera kempis kembali.
Setiba di rumah Ki Iming, saya segera disuruh berbaring di tempat tidur. Saya pun menuruti perintahnya. Bapak dan Mas Toni ikut masuk ke dalam ruangan. Dengan harap cemas saya menunggu. Ki Iming masuk ke dalam ruangan. la menyuruh saya membuka perut saya. Nada suaranya bergetar.
Saya bingung. Sekian detik saya hanya diam terpaku. Saya ragu apakah perintah itu harus saya turuti atau tidak. “Neng, buka dulu neng. Cuma sebentar,” suaranya menghilangkan keraguan saya. Dengan terpaksa saya membuka sedikit kain bagianperut saya. Ki Iming pun mendekat dibawah tatapan mata bapak dan Mas Toni. Ya keberadaan merekalah yang memberanikan saya untuk menuruti perintah Ki Iming.
Ki Iming mendekat. Tangannya yang dingin menyentuh perut saya. la meraba dan menekan sejenak. Sakit rasanya. Sejurus kemudian, ia menunduk. Tanpa terduga, mulut Ki Iming mengambil alih tangannya. la menghisap perut saya dengan mulutnya yang sudah tidak lagi bergigi. Geli rasanya. Saya nyaris tidak kuasa menahan rasa geli itu. Beberapa saat mulut Ki Iming terus beraksi.
Begitulah caranya mengobati. Meski telah dihisap beberapa kali, tetap saja perut saya membesar. Sama sekali tidak ada perubahan. Kami pun pulang dengan tangan hampa. Dengan derai tawa yang tidak lagi tertahankan mengingat cara pengobatan yang dilakukannya. Dalam hati saya berpikir cukup sekali saja mendapat perlakuan sedemikian rupa.
Perut kembung itu memang datang dan pergi sesuka hatinya. Kapan mau datang, dia langsung datang. Kapan mau pergi dia pun pergi. Sejak itu, saya berkelana dari satu orang pintar ke orang pintar lainnya.
Nyaris setiap minggu saya berobat ke orang pintar. Bahkan sehari bisa dua kali. Pagi baru pulang dari dukun, sorenya sudah pindah ke dukun lain. Semuanya demi satu tujuan. Ingin mencari kesembuhan atas penyakit yang saya alami ini. Berbagai terapi medis sudah saya ikuti. Namun, semuanya tidak memberikan hasil yang memuaskan. Bahkan teman- teman yang berprofesi sebaga dokter pun menyarankan saya untuk berobat ke pengobatan alternatif. Mereka sudah mengaku, tidak tahu lagi bagaimana caranya menyembuhkan penyakit ini.
Mendengar ungkapan mereka, terus terang saya hanya bisa gigit jari. Pasalnya, saya adalah seorang perawat di salah satu klinik. Sedikit banyak saya tahu dan paham tentang dunia medis.
Hingga suatu saat, perut kembung itu hilang dengan sendirinya. Tepatnya di tahun kedua pernikahan kami. Bertepatan dengan saat kehamilan yang pertama. Selama masa-masa kehamilan, perut saya kembali normal. Hanya saja kesehatan saya sedikit terganggu. Nyaris tiap minggu saya harus berobat ke dokter. Ada saja penyakit yang menghampiri. Mulai dari muntah-muntah sampai sesak nafas. Anak pertama pun lahir melalui operasi cesar.
Selama kehamilan itu saya merasa senang. Lantaran perut saya yang membesar itu adalah faktor alami. Saya memang benar-benar hamil. Bukan seperti dulu. Tapi kebahagiaan itu tidakbertahan lama. Hamil palsu itu kembali datang. Bahkan dengan intensitas yang semakin tinggi. Saya kembali terjebak daam praktik perdukunan. Berpindah dari satu orang pintar ke orang pintar lainnya. Saya sering mendapat informasi beberapa dukun dari satu orang. Tak ubahnya seperti mafia.
Bahkan saya pernah menjalani operasi. Punggung saya dibedah dengan sebilah pisau. Operasi tersebut tidak dilakukan oleh seorang dokter, tapi Ki Jambrol. Orang pintar yang cukup ternama. Saya disuruh tidur tengkurap. Setelah punggung saya dibalur dengan minyak, Ki Jambrol membedah pingang saya dengan golok. Anehnya tidak ada darah yang keluar, walau hanya setetes. Sobekan golok itu menembus ke dalam kulit dan membelah daging. Memang, saat itu saya tidak merasakan kesakitan ketika ujung golok itu membelah kulit. Hanya dingin yang menjalar dari golok yang terasa.
Aneh memang. Bapak, Mas Toni dan ibu terperangah. Setengah tidak percaya mereka menyaksikan apa yang diperagakan oleh Ki Jambrol. Tak lama kemudian Ki Jambrol menarik goloknya dan kulit saya menyatu kembali seperti semula. Seperti tidak ada operasi bedah. Dan tidak ada golok yang menembus daging dan kulit.
Tidak cukup di sini atraksi yang dipertontonkan Ki Jambrol. Dengan sebilah keris ia mencukil sesuatu dari punggung saya. Ada suatu benda yang ingin dikeluarkannya. Hening.Orang yang menyaksikan penasaran benda apakah itu. “Sini pak, tarik paku ini,” kata Ki Jambrol kepada bapak yang berdiri terpaku.
Bapak mendekat. Dengan disaksikan keluarga yang lain, ia menarik sebuah paku yang telah berkarat dari punggung saya. Paku sepanjang sepuluh centimeter itu pun ditunjukkan kepada saya. Antara percaya dan tidak, tapi itulah yang nampak di depan mata. Entahlah, apakah itu hanya tipuan semata atau memang demikian adanya.
“Pak, paku ini bisa dikirim balik. Kalau memang itu yang diinginkan bapak,” kata Ki Jambrol menawarkan jasanya. Tapi kami tidak setuju. Karena selama ini kami tidak merasa memiliki musuh. Kami juga tidak ingin membuat permusuhan baru dengan orang yang belum tentu bersalah. Terlebih kami juga tidak tahu siapa pengirimnya. Semuanya hanya dugaan dan rekaan semata. Kami tidak ingin terjebak dalam permainan jahat. Biarlah Allah yang membalasnya. Saya hanya ingin sembuh dan tidak mau bermusuhan dengan siapapun. Akhirnya kami pulang dengan tenang. Perut saya memang kembali normal. Namun, selang beberapa hari kemudian perut saya kembali membesar. Saya pun dibawa ke Ki Jambrol. Kali ini, ia tetap mengeluarkan paku dari punggung saya.
Setelah dua kali ke sana, selalu paku yang dikeluarkan, akhirnya kami memutuskan untuk mencari pengobatan alternatif lain. Selama 8 tahun, sejak 1997 lebih dariseratus dukun yang saya datangi. Yang terakhir terjadi pada tahun 2004. Saat itu saya berobat ke Ki Diro, masih di wilayah Jawa Barat. Berbeda dengan Ki Jambrol, dalam pengobatannya Ki Diro selalu memanfaatkan murid-muridnya sebagai mediator jin. Dari sinilah kemudian, Ki Diro menanyakan persyaratan yang diperlukan untuk menyembuhkan pasien-pasiennya.
Pada terapi yang pertama, Ki Diro meminta kami untuk menyembelih dua ekor kambing sebagai syarat kesembuhan, serta menyerahkan uang seharga dua ekor kambing sebagai biaya ritual. Kami penuhi persyaratannya, meski dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Waktu itu, kami menganggapnya sebagai seseorang yang mengerti agama. Karena selain membekali wiridan ia juga membagikan daging kambing itu kepada fakir miskin. Saya dan Mas Toni hanya disuruh memakan kedua hati kambing sampai habis. Dari sini kepercayaan kami kepadanya mulai tumbuh. Tidak langsung sembuh memang, tapi berangsur-angsur perut saya mulai mengecil. Dua hari kemudian perut saya kembali normal. Tidak lagi sakit seperti dulu.
Namun, semua itu hanya bertahan dua hari. Saya menghubungi padepokan Ki Diro dan disuruh balik ke sana. Katanya, itu bukan penyakit yang lama. Kali ini, kami disuruh membawa empat ekor ayam. Berbeda dengan daging kambing, keempat ekor ayam itu harus saya habiskan sendiri.
Memang, sepulang dari Ki Diro perut saya mengempis, tapi selang beberapa hari kemudian kambuh lagi. Selain itu, saya mulai sering pusing ketika bepergian kemana- mana. Menurut pengamatan Ki Diro, penyakit saya sudah terbilang cukup lama sehingga mudah kambuh lagi. Kalau diibaratkan sebuah batu yang berlubang oleh tetesan air, maka air yang baru akan mudah masuk kembali ke dalam lubang itu. Katanya, jin mudah masuk ke dalam diri saya. Karena itu, saya harus mengikuti ritual penjagaan yang disebut dengan ritual ayaman.
Ritual ayaman merupakan bentuk pembersihan diri dan lingkungan dari gangguan jin. Dengan menyediakan seekor ayam yang telah dimasak, nasi sepiring, bubur merah, bubur putih, sebelas gelas minuman, sebelas jenis rokok. Ritual ini dilakukan semalam suntuk dan tidak boleh tidur.
Bersama delapan orang yang baru saya kenal malam itu, saya mengikuti ritual ayaman. Tepat jam sembilan, kami dipersilahkan untuk menghabiskan semua sesajen masing-masing. Semuanya harus habis tak tersisa sebelum Shubuh. Tidak boleh dimuntahkan dan tidak boleh buang air besar. Bilapantangan ini dilanggar, maka pelakunya dinyatakan gagal dan harus mengulangnya di lain kesempatan. Waktu itu saya berhasil menghabiskan semua makanan yang cukup untuk lima orang itu, meski pada akhirnya saya langsung teler.
Sementara itu, tulang ayam, puntung rokok, batok kelapa muda dan kembang harus disimpan di rumah. Setelah mengikuti ritual ayaman, memang ada sedikit perubahan. Saya mulai jarang sakit perut lagi. Kalaupun toh kambuh, tinggal datang ke padepokan Ki Diro, tak lama kemudian juga kempes lagi.
Delapan bulan, saya menempuh pengobatan ini, sebelum akhirnya saya berhenti total. Saya tidak lagi cocok dengan pengobatannya. karena sudah dijadikan sebagai mediator untuk mengobati orang lain. Jin yang merasuk ke tubuh saya itu kemudian ditanya berbagai macam. bahkan sudah menjurus pada minta kekayaan dari Nyi Roro Kidul. Selain itu wiridan yang diajarkan Ki Diro juga selalu berganti. Bila tidak ke sana seminggu saja, bisa dipastikan sudah ketinggalan wiridan yang harus dirapal.
SINETRON ASTAGHFIRULLAH MENUNJUKKAN JALAN KEBENARAN
Suatu malam, di pertengahan 2005 Mas Toni melihat sinetron Astaghfirullah di televisi. la pun tertarik dengan terapi ruqyah yang sangat berbeda dengan pengobatan alternatif. Selama ini kami memang sudah kenyang pengalaman dengan berbagai pengobatan alternatif.
Setelah dua kali mengikuti terapi di kantor Majalah Ghoib, saya mengalami keguguran. Saat itu saya memang hamil tiga bulan. Bagi saya, mungkin ini adalah jalan terbaik, karena saat di USG dokter mengatakan bahwa janin saya masih belum kelihatan. Padahal dalam usia tiga bulan, setidaknya ada titik hitam yang bisa terdeteksi.
Keguguran itu bukan halangan untuk terus ruqyah. Keguguran juga bukan alasan untuk kembali ke praktik perdukunan. Padahal sakit perut itu masih saja terulang. Entah makhluk apa yang terus bergerak-gerak di dalam perut ini. Karena alasan harus menunggu sebulan untuk terapi ketiga, akhirnya saya mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib cabang Cikarang. Di sana, saya diterapi Ustadz Arif dan ustadz Suhaili secara bergantian.
Setelah menjalani terapi ruqyah, perut saya yang membesar itu kembali normal. Meski demikian, saya tetap menjalani terapi ruqyah secara berkala. Awalnya sekali seminggu, kemudian dua munggu sekali. Di bulan Ramadhan 1426 H, saya merasakan kondisi badan saya sudah membaik. Akhirnya di bulan itu, saya tidak berangkat ke Cikarang, karena memang jarak perjalanan yang jauh. Saya harus menempuh perjalanan tujuh jam dengan jalanan yang berliku-liku.
Seminggu setelah lebaran, saya kambuh lagi. Perut saya kembali membesar, bahkan intensitasnya semakin tinggi. Bisa dibilang dua hari sekali. Akhirnya saya bolak-balik ke Cikarang. Dua bulan lamanya, serangan sakit perut itu menggila. Saya sampai menangis. Rasa sakit itu sudah dibatas kemampuan saya. Ketika menenangkan diri dengan membaca syahadat, saya merasakan ajal saya sudah diambang pintu.
Dalam kondisi yang kritis itu, Mas Toni menenangkan jiwa saya. Saya tidak boleh berputus asa. Saya harus tetap tegar. “Allah itu memberikan cobaan sebatas kemampuan kita. Tidak mungkin Allah memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba- Nya. Kalau pun penyakit ini belum sembuh, berarti Allah belum memberikan izin kesembuhannya,” nasehat semacam inilah yang menenangkan jiwa. Di samping dukungan dari orangtua untuk menempuh jalur ruqyah juga tidak kecil. Saya bahagia hidup di tengah- tengah mereka. Di tengah orang-orang yang saling menyayangi.