Dengan Becak, Saya Menjemput Rezeki Allah

Ternyata tidak semua kegetiran hidup harus dihadapi dengan kesedihan dan keluh kesah. Rupanya dengan dekat kepada Alah dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya kesulitan hidup bisa ditempuh dengan ketenangan dan kebahagian. Pak Qasim, ayah dari II anak, sudah membuktikan. Meski hanya sebagai tukang becak masih bisa menyungging senyum dalam membesarkan anak-anaknya. Apa resepnya?

 

Nama saya Qasim bin Sireppa. Saya termasuk keluarga besar dengan 16 bersaudara. Ayah saya 6 bersaudara sedangkan ibu saya 17 bersaudara. Mungkin karena itulah saya akhirnya juga punya anak 12 orang. Masa kecil saya banyak saya dihabiskan di tempat kelahiran. 52 tahun yang lalu saya lahir di daerah Tanah Duri kab. Enrekang Sulawesi Selatan.

Ayah saya seorang petani sederhana dan bersahaja. Kondisi perekonomian keluarga yang pas-pasan membuat saya bertekad untuk merantau di negeri orang. Akhirnya pada usia sekitar 17 tahun saya merantau ke Sumatera tepatnya di Indra Giri Hilir, Tanjung Pinang Propinsi Riau. Saat itu pendidikan saya hanya sampai SPGAP (Sekolah Pendidikan Guru Agama Pertama) yang setingkat SMP. Waktu itu dengan tekad membara saya mengarungi lautan hanya dengan kapal kecil selama sekitar 31 hari. Dalam perjalanan, saya tetap berusaha menjalankan shalat walaupun saya lihat orang lain tidak ada yang shalat. Untungnya mereka masih menghormati dengan memberikan tempat shalat. Waktu itu untuk melaksanakan shalat harus hati- hati karena kapalnya kecil sehingga getaran dan goyangannya cukup terasa. Terkadang saya harus pegangan atau pasang kuda-kuda untuk menjaga keseimbangan. Alhamdulillah selamat sampai tujuan.

Saya di tanah rantau bekerja sebagai petani kelapa sawit. Di Sumatera saya bekerja selama 7 tahun dilanjutkan ke daerah Johor Malaysia selama 1 tahun.

Setelah 8 tahun di perantauan saya banyak mengingat orang tua dan kampung halaman. Akhirnya setelah rindu tak tertahankan lagi saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Betapa bahagia rasanya setelah 8 tahun berpisah kini bertemu kembali dengan orang- orang yang saya cintai.

Selang hanya 2 bulan berada di kampung, saya berniat mengakhiri masa lajang. Gayung bersambut, hampir semua keluarga menyatakan setuju, apalagi paman sangat mendukung niat saya. Tidak lama saya pun menemukan gadis yang saya anggap cocok mendampingi saya. Namanya Simari gadis tetangga kampung. Usianya terpaut 10 tahun dengan saya. Saya menikah usia 27 tahun sedangkan istri 17 tahun. Kami menikah tahun 1979. Setelah menikah istri saya berganti nama menjadi Sumarni. Tahun berikutnya anak pertama kami lahir dan kami beri nama Muadz terinspirasi dari kehebatan sahabat Nabi Muadz bin Jabal. Dua tahun berikutnya menyusul anak kami Kasyaf dengan niat dia mampu menyingkap tabir kegelapan dan menggatinya dengan cahaya terang benderang. Selanjutnya anak ke tiga saya beri nama Marsus diilhami oleh ayat tentang bun-yanun marsus (bangunan yang kokoh), lalu anak ke empat sampai ke enam saya beri nama masing-masing Wardan, Marhamah, dan Burhan.

Suatu ketika datang seorang santri dari sebuah pesantren di Kab. Maros. Santri yang bernama Hasannah Lawang itu merupakan putra daerah kami yang beberapa tahun mondok di pesantren dan saat itu lagi berlibur ke kampung. Kedatangannya sangat memukau penduduk desa kami karena kecakapannya berceramah dan ilmu keislamannya yang memadai. Alhasil saya pun tertarik dan berniat mencari tahu di pesantren mana dia mondok. Setelah mencari info kami ketahui bahwa pesantren tempat Hasannah belajar itu bukan hanya membina santri tetapi juga para keluarga yang berminat menjadi warga pesantren yang selanjutnya akan dibina oleh pihak pesantren.

Setelah memikirkan masak-masak dan memusyawarahkan dengan keluarga, kami sekeluarga sepakat untuk hijrah ke pesantren dengan niat ingin mencari lingkungan yang lebih Islami dan suasana yang lebih mendukung ibadah kami minimal anak-anak kami terdidik dengan akhlak Islami sehingga menjadi anak-anak yang shaleh. Banyak keluarga yang menyarankan agar anak-anak saya saja yang di sekolahkan di pesantren dan tidak perlu kami orang tuanya ikut. Namun saya menjawab bahwa yang mau sholeh bukan hanya anak-anak. Kamipun sebagai orang tua ingin meningkatkan ilmu dan ibadah kami yang selama ini kami rasa masih sangat kurang. Mereka akhirnya tidak mampu lagi menahan kami untuk pindah.

 

Hijrah ke Pesantren

Akhirnya pada tanggal 1 Januari 1991 kami resmi menjadi warga pesantren Darul Istiqamah Maros Sulawesi Selatan. Tidak banyak bekal yang kami bawa. Hanya dengan modal semangat dan tawakkal kami menjalani hari-hari kami. Alhamdulillah oleh pihak pesantren kami diberi lahan untuk bercocok tanam. Dari situlah saya menafkahi istri dan anak-anak saya. Sangat terasa keberkahan hidup kami lebih meningkat dibanding ketika kami masih tinggal di kampung. Apa yang saya tanam rata-rata bisa saya panen dengan baik. Selain bertani saya juga mencoba menambah penghasilan dengan kuli serabutan.

Di pesantren ini pula anugerah berupa keturunan juga semakin bertambah. Kalau saat masuk pesantren kami baru punya 6 anak maka di sini bertambah sampai 11 orang (yang ketujuh Rahmah lalu Furqan, anak kesembilan dan sepuluh lahir kembar saya beri nama Hafsah dan Hafizhah, dan yang terakhir Hibban). Mestinya ada lagi yang terakhir tapi akhirnya meninggal di usia 5 bulan yang saya beri nama Syahdan.

Banyak orang yang bertanya mengapa saya memilih punya anak banyak padahal dalam hal penghasilan boleh dibilang sangat pas-pasan bahkan terkadang kurang. Saya hanya menjawab. sebagaimana prinsip kami bahwa “Lebih baik ada yang mau makan tetapi tidak ada yang dimakan daripada ada makanan yang banyak tapi tidak ada yang makan”. Mungkin sebagian orang ada yang tidak sependapat dengan prinsip saya, tetapi untuk saya pribadi dengan banyak anak akan mendorong saya untuk bekerja lebih giat dan mudah-mudahan kekayaan berupa keturunan inilah yang merupakan ladang amal bagi saya. Apalagi saya berusaha menjadikan mereka anak-anak yang shaleh.

Prinsip saya ini mendapat respon dengan keinginan istri saya sehingga kloplah sudah. Diapun senang dengan banyaknya anak. Hampir tidak pernah dia mengeluh kerepotan mengurus anak padahal semua dikerjakan sendiri tanpa bantuan pembantu. Hampir setiap kali melahirkan ia mendapat omelan dari petugas BKKBN karena menolak ber-KB. Setiap kali diminta untuk ber- KB dia hanya bilang bahwa ini yang terakhir atau mengatakan bahwa dia tidak akan hamil lagi karena sudah tua. Namun jika yang bertanya warga pesantren yang faham agama ia jawab jihadnya wanita adalah ketika dia melahirkan siapa tahu ia bisa syahid dengan melahirkan.

Istri saya juga tidak pernah mengeluhkan uang belanja yang pas-pasan bahkan tidak jarang kurang Inilah yang membuat saya bahagia dan bersyukur punya istri seperti dia. Ketika sakit pun istri tidak pernah mengeluh, dia hanya bilang bahwa rasanya tidak pantas kita mengeluh ketika sakit karena dibanding dengan nikmat sehat yang diberikan Allah jauh lebih banyak.

Selain kesabaran saya dan istri, kami juga senantiasa menanamkan selalu kepada anak-anak rasa syukur terhadap apa yang Allah karuniakan kepada kita. Di samping itu untuk melatih rasa syukur itu kami ingatkan untuk senantiasa melihat ke bawah dalam arti melihat orang yang lebih sengsara dari kita. Di saat kaki terasa sakit kita mesti sadar bahwa mata kita masih baik, tangan kita masih baik, yang mungkin masih banyak orang lain yang tidak memiliki nikmat ini. Dengan begitu kita akan senantiasa bersyukur dengan apa yang ada.

 

Perginya Orang yang Kami Cintai

Keinginan istri untuk syahid ketika melahirkan akhirnya terwujud. Pada saat istri saya mengandung anak kami yang ke 12. Ada beberapa hal aneh yang terjadi padanya. Ketika hamil muda dia meminta saya untuk melunasi hutang-hutangnya. Termasuk hutang 100 rupiah kepada salah seorang tetangga kami. Alasannya siapa tahu suatu saat dia meninggal sementara ada sangkutan. sangkutannya pada orang lain. Dari dulu memang saya bersama istri punya komitmen untuk sedapat mungkin tidak berhutang kepada orang lain.

Ketika melahirkan anak ke 12, istri saya tidak menunjukkan tanda apa-apa. Kami pun sempat mengadakan acara aqiqah kecil-kecilan di hari ke 7 kelahiran. Istri saya malah sudah terlibat melayani tamu. Namun setelah acara berlangsung istri saya mulai merasa tidak enak. Sampai akhirnya saya bawa ke dokter. Ternyata dokter mendiag nosa istri mengalami peningkatan tekanan darah (hipertensi), padahal ini berbahaya bagi orang yang baru habis melahirkan. Mungkin apa yang dikatakan dokter benar sebab ketika acara aqiqah, istri saya ikut makan daging kambing. Mungkin inilah pengaturan Allah, sebab penyakit inilah yang akhirnya mengantarkan istri saya menghadap kepada-Nya.

Menjelang detik-detik kematian istri saya, saya berusaha untuk tetap tegar dan terus berdoa. Tidak peduli sudah berapa biaya yang mesti kami bayar. Saya pun berupaya siap menghadapi apapun yang Allah akan tetapkan pada kami. Akhirnya Allah menakdirkan istri saya lebih dulu menghadap kepada-Nya. Saya yakin istri saya pergi sebagai syahid, sebab walaupun ia bukan meninggal ketika melahirkan tetapi penyakit yang dideritanya berhubungan dengan persalinannya beberapa hari sebelumnya.

Beberapa tamu yang melayat menyatakan belasungkawanya yang mendalam serta rasa iba. Apalagi mereka melihat anak-anak saya masih kecil-kecil bahkan yang terakhir masih bayi. Namun saya sendiri mencoba untuk selalu tegar menghadapi ujian ini. Saya harus bisa mandiri mengurus anak meski tanpa bantuan istri.

Ujian yang saya terima tenyata tidak sampai di situ. Belum pulih rasa duka yang kami rasakan, bayi saya di usia 5 bulannya menyusul ibunya. Saya pun harus tabah menerima kenyataan ini.

Terkadang anak-anak saya yang kembar menangis sambil mengadu kepada saya bahwa mereka ingat bunya. Saya hanya menghibur mereka dengan menceritakan bahwa di akhirat nanti kita semua akan bertemu dengan ibu.

Sekarang, dengan mengandalkan kayuhan becak setiap hari, saya mencoba menjemput rezeki yang sudah dititipkan Allah. Dengan inilah saya menghidupi amanah Allah. Terkadang berlebih terkadang pas-pasan. Di saat berlebih anak-anak bisa dibekali jajan ke sekolah. Di saat pas-pasan buat makan terpaksa anak-anak tidak jajan. Alhamdulillah anak-anak bisa mengerti keadaan orangtuanya. Bahkan ada anak saya yang tinggal di asrama yang setiap saya bekali uang jajan uang itu tidak dibelanjakan tetapi ditabung. Setelah terkumpul ternyata uangnya buat beli kelambu. Saya terharu menyaksikannya.

Selain itu, meskipun saya sekarang menjadi orang tua tunggal untuk anak-anak tetapi saya selalu berusaha untuk tetap memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maka selain mencari nafkah setiap hari saya pun harus masak dan mengasuh anak yang masih membutuhkan banyak kasih sayang. Saya juga berusaha agar apa yang dimakan anak-anak saya harus betul-betul halal.

Pernah saya memarahi salah seorang anak saya yang saya dapati lagi makan buah coppeng (sejenis buah Ciremai) yang katanya ambil dari tetangga. Saya pun menyuruh untuk memuntahkannya lalu saya datangi pemilik pohon untuk meminta kehalalnya sekaligus minta maaf.

Saya sendiri sangat bersyukur walaupun anak- anak pendidikannya tidak tinggi-tinggi amat namun saya melihatnya mereka patuh dan tidak ada yang bandel. Memang saya pernah bilang pada anak- anak bahwa mereka tidak mesti mempunyai pendidikan yang tinggi, yang penting mereka menjadi anak yang sholeh. Sebab betapa banyak anak yang pendidikannya tinggi namun jauh dari kesholehan bahkan durhaka pada orang tua. Alhamdulillah anak pertama saya sudah menyelesaikan penghafalan Al-Qur’an.

Harapan saya, minimal suatu saat nanti anak- anak saya bisa memperbaiki, mendidik, dan mengurus diri sendiri. Syukur-syukur kalau bisa mengurus orang lain atau menjadi contoh di tengah-tengah masyarakat. Saya tidak banyak mengharap anak-anak mau membalas pamrih yang saya pernah berikan kepada mereka.

Seperti dituturkan Pak Qasim kepada Hasri Hasan dari Majalah Ghoib di rumahnya.

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 17 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN