Hati-hatilah saat buang air panas dan jangan membuangnya sembarangan. Karena anda mungkin akan menyiram jin yang kebetulan tinggal di tempat tersebut. Seperti pengalaman Rina, seorang ibu rumah tangga asal Jakarta Timur yang telah bertahun-tahun lamanya membuang air panas sembarangan. Satu keluarga jin akhirnya mengganggu Rina. Hingga derita pun tidak lagi terelakkan. Cemas dan hilang semangat, badannya kurus dengan tatapan mata sayu. Berikut penuturan kisahnya kepada Majalah Ghoib, setelah diruqyah yang ke empat kalinya.
Saya hidup di tengah keluarga yang harmonis bersama dengan suami dan anak-anak saya. Canda tawa yang penuh ceria seakan menjadi bagian keseharian kami sekeluarga. Namun, keceriaan itu mulai terusik setelah saya mengalami kejadian yang cukup mencengangkan. Di suatu malam pada bulan Januari 2004 muncullah suatu kejanggalan di kamar saya. Seperti biasanya saya tidur bersama suami dan anak saya yang paling kecil, Afif namanya, Malam semakin larut, dan suara binatang malam terus menggelitik telinga. Di tengah ketenangan itulah tiba-tiba muncul seberkas sinar bulat dari pojok kamar bagian atas.
Saya penasaran sinar apakah itu. Tatapan mata saya seakan tidak bisa terlepas dari sinar itu. Ooh, … sinar itu bernyawa. la bergerak perlahan dan tiba-tiba melesat, ‘Seeet… buuk’. Belum hilang keterkejutan saya, sinar bulat tersebut telah menghantam dada hingga saya terjengkang. Ini bukanlah halusinasi, karena saat itu saya dalam keadaan terjaga di bawah cahaya lampu kamar yang terang.
Bulu kuduk saya pun merinding. Dalam ketakutan itu saya membangunkan suami yang tertidur pulas. Nampak dari guratan wajahnya, ia sama sekali tidak terganggu dengan peristiwa yang baru terjadi. “Yah, kok ada sinar masuk ke dada ibu. Sinar apa ya?” “Ah, itu tidak apa- apa,” ujarnya menenangkan hati saya yang masih was-was. Sepenggal kata menyejukkan tersebut mengalahkan keterkejutan yang bercampur dengan ketakutan hingga saya pun kembali terlelap dalam tidur.
Peristiwa malam itu melengkapi derita yang saya alami. Sebelumnya saya sudah menderita sakit migrain bertahun- tahun. Namun apa yang terjadi setelah masuknya sinar bulat ke dada saya seakan mengobrak- abrik pertahanan saya selama ini. Sejak saat itu, saya mulai cermas dan ketakutan tanpa sebab yang pasti. Saya sendiri heran mengapa cemas sedemikian rupa padahal tidak ada apa-apa. Rasa cemas itu selalu muncul menjelang Maghrib.
Untuk menghilangkan rasa cemas itu saya berusaha banyak berolahraga. Saya tidak lagi peduli dengan komentar orang- orang yang sempat melihat tingkah pola saya. “Ibu, mainan tali kayak anak kecil saja,” ujar Afif, ketika melihat saya bermain tali. “Biarin, wong ibu pingin sehat,” jawab saya sambil terus bermain tali. Kadang- kadang saya juga lompat-lompatan di depan suami sambil menonton TV. Awalnya ia juga terkejut, namun setelah saya jelaskan ia pun menjadi paham dan sering mengingatkan saya, “Bu, senam bu. Jangan lupa.”
Rasa cemas itu akhirnya membawa saya datang ke pengobatan alternatif di Tanjung Priok, dengan ditemani suami. Waktu itu hari Minggu dengan mengendarai sepeda motor di tengah terik panas matahari. Ketika sampai di rumah sang dukun waktu sudah menjelang senja.
Saya dan suami dipersilahkan masuk ke ruang tamu. Tak lama setelah saya menyampaikan permasalahan yang saya hadapi, dukun tersebut mengambil minyak wangi dan mengusapkan ke tangan kanannya. la menyuruh istrinya mengambil satu botol air. Sang dukun kemudian berkomat-kamit dengan bahasa yang tidak saya pahami, lalu meniup air di botol tersebut sebelum mengocok-kocoknya kemudian saya disuruh meminumnya. Baru dua teguk meminumnya, saya langsung tidak bisa mengendalikan diri lagi. Tiba-tiba muncul perasaan benci kepada dukun itu, “Eh, jelek loe. Tukang bohong loe,” bentak saya kepadanya. Botol air yang masih saya pegang langsung saya tutup dan saya lempar kepadanya dengan geram.
la terkejut melihat reaksi saya. Dan dengan segera mengambil kembali botol aqua yang saya lemparkan lalu mulutnya kembali komat-kamit. Tak lama kemudian terdengar suara aneh dari sang dukun, “Woohini aku”. Ternyata ia sekarang menjadi media jin untuk mengobati saya. “Saya minta minyak wangi. Saya tidak minta apa-apa. Cuma nanti dikirimi minyak wangi saja,” ujar jin melalui mulut sang dukun.
Selesai pengobatan sang dukun bercerita bahwa ia tidak memungut biaya. Si pasien hanya diminta datang lagi dengan membawa minyak wangi. Kedatangan pasien sendiri bisa bertahap. Awalnya tiga hari sekali, lalu seminggu sekali kemudian sebulan sekali. Setiap kali pasien datang terlebih dahulu sang dukun shalat dua rakaat lalu menjalin kontak jarak jauh dengan pasien. Dari kontak batin tersebut si pasien ditunjukkan minyak wangi jenis apa yang harus dibawa.
Mendengar penjelasannya saya semakin yakin bahwa ia menggunakan jin. Saya yakin botol air yang dibaca menjadi media jin antara pasien dan sang dukun. Dari sini saya sudah tidak percaya dengan cara pengobatannya. Sebelum pulang, dukun tersebut memberi saya sebotol air yang pada akhirnya saya buang di halaman masjid. Saya tidak ingin kerasukan jin gara- gara minum air itu,
Pengobatan di Tanjung Priok bukannya menyelesaikan masalah tetapi malah semakin memperparah keadaan. Terus terang, rasa cemas dan hawatir semakin tak terkendali. Saya seperti orang linglung. Sering lupa dan tidak ingat lagi apa yang harus saya lakukan. Misalnya ketika saya berada di ruang tamu dan ingin mengambil obat di dapur, saya langsung lupa begitu sampai di dapur. “Duh ya Allah…. Tadi itu mau ngapain ya. Saya kok lupa begini sih.” Akhirnya saya balik lagi ke ruang tamu dengan menyusuri kembali jalan ketika ke dapur. “Saya tadi melangkah dari sini, terus ke ruang tengah dan… Oh iya, saya mau ngambil obat.” Kejadian seperti ini seringkali berulang.
Tetangga kiri kanan juga bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya, “Kok ibu Afif sekarang tidak seperti dulu, kenapa?” tanya para tetangga kepada yang lain. Bisik-bisik tetangga yang tidak ditemukan jawabannya.
Penderitaan yang tiada henti semakin membuat saya gelap mata. Sungguh menggelikan memang. Saya disuruh makan telur isim tujuh, yaitu telur ayam matang dengan tulisan arab tujuh surat dalam al-Qur’an di kulitnya. Saya disuruh menjilat tulisan tujuh surat tersebut sebelum memakannya. Katanya bila telur dikupas dan warnanya menjadi hitam berarti ada orang yang jahat sama saya. Ada orang yang jahil kepada saya.
Bisikan Menyuruh Saya Membunuh Anak Saya Sendiri
Februari 2004, penderitaan saya semakin lengkap. Ya, keteguhan hati seorang ibu sedang di uji dengan datangnya bisikan tanpa diketahui siapa yang berbicara. Tanggal 22 Februari sebenarnya adalah hari ulang tahun Afif. la menangis dan merengek minta dibelikan robot-robotan sebagai hadiah ulang tahun. “Kok, ayah lupa hadiah ulang tahun Afif sih,” rajuknya sambil terus menangis. Apa boleh buat, saya biarkan saja Afif menangis karena suami saya masih belum pulang kerja. Selang beberapa menit kemudian terdengar dering telpon. Ternyata suami saya yang menelpon. “Ayah, sekarang ulang tahun Afif. Kok ayah lupa sih?” rengek Afif kepada bapaknya. Hari itu Afif menangis terus, hati saya pun semakin tidak tenang.
Belum lagi kering keringat suami, begitu ia sampai di rumah langsung saya ajak pergi ke toko mencari robot-robotan buat Afif yang telah menangis berjam-jam lamanya. Nah, pada saat saya dan Afif sudah naik sepeda motor, sementara suami saya masih di dalam rumah, tiba- tiba terdengar deru angin kencang yang disusul dengan suara mengerikan. “Whuuu, whuuu, haa haa hii hiii. Anak kamu ini nakal. Bunuh saja!” ujar suara asing itu. Saya perhatikan sekeliling, tidak ada seorang pun kecuali kami berdua. Namun suara itu, terasa dekat sekali. Suara itu berasal dari sepeda motor yang sedang saya naiki. Bulu kuduk saya langsung merinding.
Sejak saat itu, saya tidak mau makan dan tidak lagi bisa tidur. Bagaimana mungkin saya membunuh darah daging saya yang saya rawat dengan susah payah sejak kecil. Hati orang tua mana yang tega mendengar bisikan seperti itu. Sehingga menjadi wajar bila bisikan mengerikan itu terus saja terngiang di telinga, walau telah berlalu berhari-hari. Akibatnya badan saya semakin kurus, mata saya semakin kuyu. Berat badan saya pun turun 6 kg. Saya akui, memang saat itu saya telah kehilangan semangat. Kalau bukan karena ingat pada Allah dan perhatian keluarga, saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya. Suami saya sampai kebingungan melihat saya tidak mau makan dan tidak bisa tidur. Saya hanya bengong dengan tatapan mata kosong.
Peristiwa itu kemudian saya ceritakan kepada teteh (kakak perempuan) saya. “Jangan diikuti. Itu mah bisikan syetan. Bilang saja, ‘kamu yang harus dibunuh. Bukan anak saya, yang menentukan umur mah Allah,” kata teteh.
Terus terang, sejak awal keluarga saya berpikir bahwa saya mengalami tekanan mental. Untuk itu saya dibawa berobat ke psikiater. Anehnya, dokter sendiri dibuat bingung. “Kok ibu dikasih obat ini tidak mempan diganti dengan obat lain juga tidak berhasil,” kata dokter kepada suami saya.
Pertemuan dengan Majalah Ghoib
Dari sini keluarga saya sadar bahwa apa yang saya alami ini ada kaitannya dengan gangguan jin. Karenanya dalam kondisi fisik yang lemah, mata kuyu dan kaki yang terasa berat untuk digerakkan saya datang ke kantor Majalah Ghoib. Waktu itu saya mendapat jadwal terapi dua puluh hari kemudian. Wah lama amat, pikir saya. Dan secara kebetulan beberapa hari kemudian akan diadakan terapi ruqyah di Hotel Sofyan. Ini adalah kesempatan yang tidak boleh terlewatkan, dan saya pun ikut mendaftar.
Ruqyah di hotel Sofyan terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah ceramah seputar gangguan jin dan dilanjutkan dengan terapi ruqyah massal. Pada sesi ceramah, saya merasa biasa saja, namun pada saat ruqyah di mulai beberapa menit tangan saya langsung teracung ke atas tanpa dapat saya kendalikan. Saya berteriak histeris, “Saya tidak mau membunuh anak saya. Saya tidak mau… Eh, jangan. Jangan itu anak saya.” Yang saya rasakan saat itu ada yang berbuat jahat terhadap anak saya. Saya terus berteriak pilu. Teriakan yang menyayat hati siapapun yang mendengar, apalagi mereka melihat langsung bagaimana kondisi saya saat itu.
Malam itu saya diterapi sebentar dan dilanjutkan keesokan harinya, tempatnya masih di Hotel Sofyan. Saat diterapi Ustadz Junaidi, saya merasa kepanasan, dada sesak dan ingin berontak. Lalu terjadilah dialog dengan jin yang merasuk ke tubuh saya. “Siapa kamu?” tanya Ustadz Junaidi.
“Romlah”.
“Kenapa kamu mengganggunya?”
“Karena dia buang air sembarangan.”
“Maksudnya apa?”
“Dia menyiramkan air panas di kamar mandi dan mengenai anak saya.”
“Ada berapa yang ada di sini?”
“Saya dan ketiga anak saya”
“Semuanya dari kamar mandi?”
“Iya.”
“Salahmu sendiri. Dia kan tidak tahu. Kamu tidak kelihatan. Dia kan membuang air panas di mana saja. Kalau kamu tahu ada orang mau buang air panas, jangan tinggal di situ. Sekarang bila kamu benar-benar mau bertobat. Kamu harus keluar dari Lisa. Biar dia membaca basmalah ketika membuang air panas. Suamimu ada nggak?”
“Tidak ”
“Romlah, siapa nama anak- anakmu?”
“Kodir, Kasim dan Rahmat”
Kemudian Ustadz Junaidi meminta Kodir, salah seorang anaknya Romlah, untuk Naik ke mulut dan diajak berdialog.
“Dir … dir. Kenapa kamu mengganggu orang ini?”
“Disuruh ibu saya.”
“Namamu diganti dengan Abdul Kodir.” Jin Abdul Kodir yang diperintahkan ibunya untuk mengganggu Lisa akhirnya menyerah dan mengucapkan dua kalimat syahadat. la diikuti dengan kedua saudaranya serta jin Romlah. Mereka disuruh Ustadz Junaidi untuk pindah ke masjid.
Sakit Kepala Bertahun-Tahun Itu
Dialog antara Ustadz Junaidi dengan satu keluarga jin penghuni kamar mandi tersebut menyadarkan saya apa yang terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Memang saya suka membuang air panas bekas masakan daging sembarangan. Air panas itu tanpa saya dinginkan terlebih dahulu. Dengan harapan lemaknya juga ikut terbuang dan tidak sulit membersihkannya.
Saya cuek saja meski ibu mertua sejak awal sudah mengingatkan saya agar menghentikan kebiasaan yang tidak baik ini. “Jangan suka buang air mendidih sembarangan,” kata ibu mertua suatu kali. Saya tetap tidak mengindahkan peringatan ibu mertua sehingga pada kesempatan lain, saya membuangnya di lubang-lubang semut yang banyak terdapat di pekarangan rumah. Dan pada kesempatan lain saya membuangnya di kamar mandi. “Rin. Jin itu sukanya di lubang-lubang. Jadi tidak boleh nutup lubang- lubang. Tidak boleh buang air sembarangan. Biarkan airnya menjadi dingin dulu” kata ibu mertua ketika melihat saya masih membandel. “Ah, itu sih tahayul. Biarin saja biar jinnya mati,” kata saya lagi.
Sakit kepala sebelah yang lebih dikenal dengan migran sudah sekitar delapan tahun saya derita. Bisa dipastikan setiap menjelang datangnya haidh, kepala saya pasti pusing sekali. Yang lebih aneh lagi, sakit kepala tersebut selalu menyerang menjelang Maghrib. Memang awalnya saya tidak tahu bahwa sakit migrain tersebut akibat gangguan jin yang membalas dendam karena tempat tinggalnya sering saya siram dengan air panas. Sehingga untuk menghilangkan rasa sakit itu saya selalu minum obat sakit kepala. Namun hasilnya tidak memuaskan. Sakit kepala itu terus saja menyerang.
Kalau sudah semakin parah biasanya saya sampai muntah- muntah. Waktu saya berobat, dokter hanya mengatakan bahwa sakit kepala tersebut akibat pengaruh hormon. Maklum, seperti yang saya katakana tadi, migrain selalu datang menjelang haidh, sehingga saya tidak punya pikiran macam-macam.
Untuk mengurangi rasa sakit kepala, saya pernah diajari salah seorang kerabat dekat saya ilmu tenaga dalam. Saya disuruh menghadap ke barat dan kakak berada tepat di belakang saya. Sejenak saya disuruh menarik nafas dalam-dalam dan bila tangan saya nantinya bergerak sedemikian rupa, maka saya harus mengikutinya saja. Memang, saat itu tangan saya bergerak sendiri, saya sempat keheranan di buatnya.
Gerakan-gerakan tangan yang diajarkan tadi harus diperdalam kembali di rumah. Ketika saya praktikkan di rumah, saya menjadi seperti orang gila. Sesekali tengok kiri- kanan. Takut kalau ada yang melihatnya. Ketika sudah berjalan beberapa hari, saya disuruh latihan gerakan shalat tanpa bacaan. Saya melakukan gerakan shalat satu rakaat tanpa salam. Kakak saya sempat bertanya, “Lho, kok tidak pakai salam.” “Lha wong shalat bohong- bohongan, masak pakai salam, Siapa yang disalamin,” jawab saya sambil tertawa.
Saya bersyukur, derita berkepanjangan akibat sakit migrain akhirnya sembuh setelah saya mengikuti terapi ruqyah ke empat kalinya. Dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa sakit kepala tersebut akibat gangguan satu keluarga jin yang dendam karena rumahnya terusik oleh siraman air panas, seperti yang terjadi dalam dialog dengan jin ketika diterapi.
Inilah sepenggal kisah hidup saya yang mengalami derita berkepanjangan. Semoga kisah ini dapat dijadikan renungan oleh setiap orang bahwa tidak selayaknya kita membuang air panas sembarangan. Barangkali di tempat tersebut menjadi tempat tinggal jin yang tidak terlihat oleh mata kita.
Ghoib, Edisi No. 20 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M