KERAMAT PULAU TUKUNG, BALIKPAPAN
Mobil kijang abu-abu melaju perlahan membelah keheningan malam, menyusuri jalanan kota Balikpapan yang terkenal dengan sebutan kota minyak Jalanan terasa lengang dan nampak sepi. Wajar memang bila warga memilih tidur daripada berkeliaran di luar rumah, karena jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Barulah ketika mobil melewati kawasan Pantai Melawai terlihat sekumpulan anak muda yang sedang kongkow- kongkow di atas sepeda motor yang diparkir di pinggir jalan. Di Pantai Melawai ini, bila malam minggu akan dibanjiri oleh ratusan muda-mudi yang menghabiskan malam panjangnya. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak beranjak dari Pantai Melawai hingga jam dua malam.
Mobil terus bergerak ke arah pelabuhan Semayang yang hanya ditempuh sepuluh menit dari Pantai Melawai. Namun, niat untuk masuk ke pulau Tukung, tempat makam keramat, yang hanya berjarak seratus meter dari pelabuhan Semayang malam itu harus dibatalkan. Tujuan dibelokkan ke arah Telagasari, satu dari sekian tempat yang dianggap keramat oleh sebagian warga sekitar. Seperti namanya, Telagasari dahulu merupakan relaga yang kini sebagiannya telah menjadi lapangan bola, sementara bagian yang lain masih ditumbuhi rumput-rumputan.
Di Telagasari inilah terjadi peristiwa yang menggelikan. Saat mobil sudah berhenti di pinggir jalan, Cahyo dan Heri yang mengaku bisa melihat jin rerdengar ribut, “Itu, itu ada ahaya sebesar puntung rokok”. “Cahaya apa?” “Wah, cahaya itu hilang”. “Coba mana senternya”. Akhirnya kami dengan ditemani Syafaat, Heri dan Cahyo segera keluar dari mobil. Berdiri mematung di atas trotoar dengan senter terus diarahkan ke sumber cahaya.
Dua menit berlalu cahaya itu masih belum menampakkan tanda-tanda untuk menyala lagi. Padahal jaraknya hanya sekitar empat meter dari trotoar. “Itu dia nyala lagi” seru Cahyo. Setelah terus disorot dengan senter, cahaya itu semakin memanjang membentuk setengah lingkaran. Dan… oalah, itu hanyalah batang pohon yang terbakar. Dan menyisakan bara yang kadang nyala dan kemudian redup.
Sebuah pengalaman yang menggelikan. Bagi sebagian orang terkadang pandangan sepintas itu dianggap suatu realita. Kemudian dikaitkan dengan dunia mistis yang terkesan menakutkan. Padahal hanya kejadian yang sangat biasa.
Sesajen Kambing dan Ayam di Keramat Makam Pulau Tukung
Pulau Tukung, cukup eman untuk dilewatkan begitu saja. Karena menurut mitos yang berkembang di masyarakat Balikpapan, di pulau kecil seluas 25 x 50 meter ini terdapat sebuah makam yang dikeramatkan. Dan tidak sedikit orang yang datang dengan membawa kambing ke tempat ini. Untuk melihat dari dekat mitos yang santer di pulau itu, kami dengan ditemani Ilham kembali mendatangi pulau Tukung keesokan paginya.
Dari jalan Yos Sudarso Pulau Tukung terlihat begitu mempesona. Pulau karang kecil itu seakan menjadi perhiasan yang mempercantik pelabuhan Semayang, Balikpapan. Sejajar dengan Pulau Babi yang terletak lima ratus meter dari pulau Tukung. Kedua pulau ini bagaikan dua gundukan batu karang hijau yang menyembul di antara deburan ombak laut.
Untuk menuju ke pulau Tukung para peziarah biasanya menggunakan jasa speed boat yang banyak terdapat di pelabuhan Semayang. Dari arah pelabuhan speed boot membawa penumpang ke bagian selatan dari Pulau Tukung, karena di sinilah bagian yang landai sehingga orang dengan mudah naik dan terus melangkah ke makam yang terletak di puncak gundukan batu karang ini. Di kanan kiri bangunan makam terlihat batu cadas yang kokoh. Meski pulau ini adalah pulau karang, tapi cukup banyak ditumbuhi pepohonan yang menambah kesejukan dan keindahan pulau.
Begitu tiba di sekitar makam, kami segera disambut oleh suara yang sebenarnya tidaklah asing di telinga. Tapi menjadi aneh. ketika suara itu ada di pulau Tukung ini. “Petook, petook” suara ayam berbulu abu-abu sambil berlari ketakutan. Dua meter dari makam juga terlihat onggokan bangkai ayam yang sudah tidak mengeluarkan bau busuk lagi.
Makam yang dikeramatkan ini, bukan seperti makam yang biasa dikeramatkan. Dari luar, bangunan makam itu nampak seperti gubuk petani yang ada di pematang sawah. Bangunan makam itu berukuran 3 x 2 meter, beratap asbes dan dinding bercat biru hanya setinggi satu meter lebih. Sementara di tengah pusara tertancap kayu yang juga menjadi bagian dari lima tiang penyangga bangunan makam. Tiang di tengah pusara yang menembus atap penuh dengan lilitan plastik hitam dan putih. Demikian pula halnya dengan atap bangunan ini, penuh dengan lilitan-lilitan plastik. Entahlah mitos apa yang ada dibalik lilitan- lilitan plastik itu. sementara di atas tanah pusara masih tergeletak dua buah telur yang separuhnya sudah terendam tanah makam.
Ternyata, ayam yang berkeliaran di sekitar makam adalah sesajen yang dibawa oleh peziarah yang datang ke pulau Tukung. Menurut tukang ojek yang mangkal di pelabuhan Semayang, para peziarah itu tidak hanya membawa ayam bahkan ada pula yang membawa kambing. “Bukan hanya ayam yang sering dibawa. Tapi tidak sedikit orang yang datang ke pulau Tukung dengan membawa kambing hidup-hidup. Kambing itu dilepaskan begitu saja dan lari mencebur ke laut. Meski tidak sedikit kambing itu kemudian terdampar kembali di sekitar kawanan speed boat. Ada juga yang langsung menyembelih kambingnya di pulau Tukung kemudian dagingnya dibagikan ke orang-orang yang biasa mangkal di speed boat. Ketika ditanya lebih jauh apakah dia juga ikut menikmati daging kambing itu, dengan tersenyum dia mengatakan, “Saya tidak pernah ikut makan.”
Entahlah kelebihan apa yang dimiliki makam di atas pulau Tukung itu sehingga tidak sedikit orang dari Balikpapan dan sekitarnya yang datang mencari berkah dengan beragam alasan. Seperti yang diceritakan seorang pengemudi speed boat yang biasa mengantarkan mereka, “Orang yang datang ke sini, tujuannya macam-macam. Ada yang minta pesugihan dan ada pula yang minta agar menang lotre,” ujarnya sambil tertawa.
Kenyataan yang membuat bulu kuduk merinding. Untuk memenangkan lotre yang jelas terlarang itu mereka rela datang ke makam yang katanya keramat. Sebuah realita yang tidak hanya terjadi di Balikpapan, tapi juga di belahan tanah Jawa, Sumatera dan pulau-pulau lainnya.
Selimut mistis pulau Tukung ternyata tidak terhenti sampai di sini. la masih terus berkembang sehingga ada yang mengatakan bahwa di pulau Tukung ada goa maya/ghoib yang ujungnya ada di kampung Pelayaran. “Di kampung Pelayaran yang terletak tidak jauh dari pelabuhan Semayang ada gua yang dikenal dengan Goa Jepang, yang bila ditelusuri akan tembus ke Pulau Tukung Namun ada juga masyarakat yang menganggap Goa Jepang ini berwujud maya atau ghoib, Untuk menuju ke Goa Jepang orang harus melakukan pembersihan jiwa dengan melakukan ritual tertentu.” Cerita syafaat setelah bertanya ke beberapa warga Balikpapan.
Nyai Syarifah dimanakah makamnya?
Makam Tukung memang menyimpan banyak misteri, terlebih setelah mendengar informasi bahwa makam yang di pulau Tukung itu tidaklah sendirian, masih ada satu makam lagi yang tidak kalah keramatnya menurut masyarakat. Ya, itu adalah makam dan suami wanita yang ada di pulau Tukung. Makam kedua ini hanya berjarak dua ratus meter dari pelabuhan Semayang.
Tulisan “Keramat Pulau Tukung berwarna kuning terlihat jelas di atas papan bercat hijau terpampang di atas pintu sebuah bangunan berdinding tembok di pinggir jalan. Tulisan yang mempermudah setiap orang menemukan makam yang dikeramatkan itu.
Bau wangi kembang terasa menusuk hidung, begitu melewati pintu dan masuk ke dalam komplek makam, berbeda dengan makam yang di puncak pulau Tukung. Di tengah ruangan yang cukup luas itu terlihat sebuah makam yang tertutup kain. Bagian atas berwarna kuning sementara kain bawahnya berwarna biru. Di sebelah selatan makam terlihat sebuah kendi yang terbuat dari tanah liat, dua jerigen dan empat botol minuman aqua. Dan setelah melongok ke dalam makam yang kebetulan terbuka dari arah barat terlihat pusara makam itu penuh dengan taburan kembang yang sedikit bergerak-gerak oleh ulah rayap yang menjadikan pusara makam sebagai tempat mengais makanan.
Entahlah, mana yang benar. Siapakah sebenarnya yang dimakamkan di daratan ini dan siapa pula yang dikebumikan di atas batu karang pulau Tukung. Terus terang ini adalah kebingunan yang wajar terjadi setelah mendengar penjelasan dari Hj. Mistiyah, kuncen makam Keramat yang terletak di daratan ini. “Makam yang ada di pulau itu bukanlah makam yang sebenarnya. Itu hanya tipuan saja. Orang-orang bisa saja meyakini bahwa yang di pulau Tukung itu adalah makam istri sedang yang di sini adalah makam suaminya. Padahal sebenarnya tidak demikian. Karena Nyai Syarifah Maryam binti Alaidrus ini masih perawan,” ujar wanita asal Banjarmasin ini.
Namun, sayang saat ditanya lebih jauh tentang Nyai Syarifah yang dimakamkan di tempat ini, Hj. Mistiyah tidak banyak menjawab. Dia hanya menunjuk kepada sebuah foto bersorban yang dikatakan sebagai ayah dari Nyai Syarifah yang terletak di dinding. Entahlah, siapa pula yang harus dipercaya, kuncen makam Tukung ini ataukah warga masyarakat sekitar. Yang jelas pasti ada salah satu pihak yang salah, karena tidak mungkin seseorang dimakamkan di dua tempat. Atau bahkan, kedua pendapat itu salah.
Pembicaraan dengan kuncen harus terhenti, setelah dari pintu terlihat seorang laki-laki masuk diikuti seorang wanita berkaos kuning yang membawa satu sisir pisang hijau dan kembang di tangan kirinya. Kedua orang itu berjalan perlahan menuju ke arah makam, sebelum akhirnya duduk bersimpuh di samping makam. Kuncen mendekati mereka dan dari bibirnya terdengar doa berbahasa arab yang diaminkan oleh kedua peziarah. Sebelum akhirnya sang wanita menaburkan kembang ke pusara makam keramat dan menyerahkan pisang hijau ke kuncen.
Ternyata mereka adalah sepasang suami istri yang datang untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, “Anak kami sudah bisa berjalan setelah berumur satu tahun dua bulan. Kedatangan kami ke sini merupakan wujud rasa syukur kami setelah doa kami terkabul,” ujar Rahman, lelaki asal Padang setelah berjabatan tangan dengan kami.
Ternyata masyarakat tidak lagi peduli, siapa sebenarnya yang dimakamkan di daratan ini dan siapa pula yang dimakamkan di puncak pulau Tukung yang terpisah dari daratan. Rahman dan istrinya hanyalah satu dari sekian orang yang sering datang berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan. Seakan mereka tidak lagi menghiraukan apakah tempat itu memang layak dan disyariatkan untuk dikunjungi. Terlebih bila sampai diadakan shalat berjamaah, seperti yang biasa dilakukan di makam keramat pulau Tukung ini setiap malam nishfu Sya’ban.
Sayangnya, ketika ditanya lebih jauh, sang kuncen mengatakan dengan terus terang bahwa dia tidak tahu alasannya. Itu adalah tradisi yang sudah berjalan sejak dulu. Sungguh ironis, bila sebuah ibadah dibangun di atas tradisi, tanpa mau meneliti apakah tradisi itu bertentangan dengan syariat atau tidak. Laporan Muswadi dari Balikpapan.
Ghoib, Edisi No. 17 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M