Katanya, bila ada seorang gadis yang duduk di pintu, maka dikhawatirkan dia akan susah dapat jodoh. Bisa-bisa jadi perawan tua.
Wah, gawat nih. Bisa jadi seorang ibu tidak pernah bosan mengingatkan anak gadisnya agar tidak duduk di pintu, Pagi, siang atau malam, sang ibu mengawasi dimana anak perempuannya sedang bersantai dengan teman-temannya.
Lebih kasihan lagi bila sang ibu itu tidak hanya beranak satu, tapi lima misalnya. Dan…semuanya perempuan. Aduh, kasihan sang ibu, bisa-bisa ia akan beralih profesi. Bukan sekedar ibu bagi anak-anaknya, tapi menjadi satpam dari mereka. Sang ibu akan pasang tampang garang bila melihat seorang anaknya terlihat hendak duduk di pintu. “Sudah-sudah, pindah sana. Jangan coba-coba duduk di pintu ” Apalagi bila ia itu si anak sulung.
Bukan apa-apa, dengan tertutupnya jodoh si sulung, otomatis adiknya juga mengalami jadwal nikah yang mundur. Biasa gerbong kereta bagian belakang khan tidak boleh menyalip dan melewati gerbong depan.
Entahlah, kenapa mitos ini berkembang di berbagai daerah. Mulai dari Sulawesi, Kalimantan, Jawa hingga Sumatera.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya, maksud dari mitos yang berasal dari katanya ini cukup unik. Ini adalah cara orangtua dalam mendidik anak- anaknya agar memiliki akhlak yang terpuji. Agar sang anak tidak duduk di pintu. Ya, tidak sopan seorang gadis duduk di pintu.
Hanya saja, masalah mitos ini tidak sebatas sebuah pendidikan akhlak semata. Tapi jauh lebih dari itu. la sudah masuk dalam ruang aqidah, yang seharusnya tidak tercampuri oleh hal-hal yang berbau katanya. Apalagi masalah jodoh, memang tidak ada seorangpun yang tahu kapan datangnya jodoh itu. Itu adalah bagian dan rahasia Tuhan. Dan bila saatnya tiba, maka jodoh itu akan datang. Tidak perlu takut pemah duduk di pintu atau tidak. Karena tidak ada keterkaitan antara pintu dan jodoh.
Ketidaktahuan itu jangan sampai menimbulkan suatu bentuk ketakutan baru. Ketakutan yang tidak berdasar hanya karena duduk di pintu. Kalau toh, kita memang punya keluarga seorang gadis dan sudah layak menikah. Bukan dengan cara melarangnya duduk di pintu, agar segera datang seorang lelaki yang meminangnya.
Banyak cara yang bisa dilakukan. Mendekatkan diri kepada Allah dan berdoa dengan penuh keikhlasan. Atau boleh juga, pihak keluarga gadis menawarkannya kepada seseorang yang memang dianggap layak untuk menjadi suaminya. Dan itu bukanlah aib. Seorang shahabiat saja pernah menawarkan diri kepada Rasulullah. Meski pada akhirnya Rasulullah tidak berkenan dan akhirnya shahabiat itu dinikahkan dengan shahabat yang saat itu hadir bersama Rasulullah.
Kisah ini terjadi pada zaman Rasulullah, masa turunnya risalah. Seandainya hal ini dianggap memalukan tentu Rasulullah akan menegur dan meluruskannya. Tapi kenyataannya tidak. Karena tidak ada salahnya bila seorang ibu yang memiliki anak gadis untuk melirik kanan kiri, siapa kiranya yang layak menjadi suami anaknya. Bukan dengan melarangnya duduk di pintu.
Ya, kalau halamannya luas dan ada tempat lain untuk beristirahat. Tapi sebagian orang yang tinggal di rumah petak atau kos-kosan terkadang sulit untuk menghindar duduk di pintu. Harap maklum saja, tempatnya memang terbatas.
Karena itu, waspadalah terhadap musuh dalam selimut ini. Dilihat sepintas larangan ini memang bagian dari pendidikan etika. Tapi hakekatnya adalah racun, karena telah masuk dalam mitos permasalahan yang hanya diketahui oleh Allah. Dan menganggap sesuatu sebagai penghalang jodoh, padahal tidak ada kaitan antara pintu dan jodoh.
Melarang anak gadis duduk di depan pintu bagus saja demi etika. Tetapi jangan termakan keyakinan salah di balik itu. Tetaplah waspada segala berita yang sumbernya adalah katanya.
Ghoib, Edisi No. 16 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M