Empat Anakku Disihir Dukun Sebelah Rumahku

Hati-hatilah dengan tetangga. Itulah pesan singkat yang ingin disampaikan pada kesaksian ini. Kisah seorang ibu yang harus merelakan keluarganya hidup dalam ketidaktenangan. Hanya karena masalah sepele. Ia meminta buah alpukat yang menjulur ke rumahnya. Tapi apa yang terjadi? Sungguh di luar perkiraan. Ia dan keluarganya hidup dalam ketidaktenangan. Ibu Rifda menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Jakarta. Berikut petikannya.

Palembang, September 1985

Ahad malam, bulan purnama menggantung di ufuk langit. Temaram cahayanya berpadu dengan gemerlap bintang yang menerangi halaman rumahku. Tepat di depan beranda, tempat di mana aku duduk bersama suami, kakak iparku dan istrinya. Ditemani gorengan singkong dan secangkir kopi. Semilir angin malam menggoyang dedaunan di halaman. Udara sejuk pun mengalir ke pori-pori. Ditingkahi suara binatang malam, yang menggelitik telinga.

Sejuk. Damai. Tak jauh berbeda dengan malam-malam di perkampungan lain. Pikiran kami menerawang ke beberapa tahun lalu, saat kakak ipar masih tinggal sekota. Kak Leo, namanya. Ada nuansa kehangatan terpancar dari raut muka Kak Leo, yang banyak bercerita seputar kegiatanya di kota sebelah.

Jarum jam menunjuk angka Sembilan, Mas Eko, suamiku mempersilahkan Kak Leo untuk istirahat. Sudah beberapa kali, ia menguap. Suatu isarat bahwa ia butuh merebahkan badanya yang seharian digoncang bis antar kota.

Malam terus merambat. Aku dan Mas Eko pun ke kamar. Anak-anak juga sudah di kamar masing-masing. Kupejamkan mata seperti biasanya. Tak ada yang aneh malam itu. Bagiku, masih seperti malam-malam yang lain.

Hingga kami sekeluarga dikejutkan suara minta tolong. “Tolong. Tolooong.” Suara nyaring terdengar dari kamar sebelah. Tepat dari kamar Kak Leo dan istrinya. Aku terperanjat. Demikian pula dengan Mas Eko. Raut mukanya menyiratkan tanda Tanya.

Setengah berlari, aku dan Mas Eko keluar kamar. Demikian pula dengan anak-anak. Mereka serentak menyerbu ke sumber suara. Kamar Kak Leo dan istrinya. Ia terduduk lemas. Wajahnya sendu. “Aku dicekik makhluk berbadan tinggi besar. Rambutnya merah,” katanya menceritakan apa yang terjadi dengan terbata-bata.

“Tidak apa-apa. Mbak hanya mengigau. Jangan terlalu dipikirkan ya,” kata Mas Eko menenangkan. Kusodorkan segelas air putih. Hal yang sama kuulangi kembali, bahwa di rumah ini tidak ada apa-apa. Semuanya berjalan seperti biasa. Ini hanya masalah kecil dan tidak perl u dicemaskan. Tapi istrinya Kak Leo tetap ketakutan. Ia yakin bahwa yang dialaminya itu bukan mimpi. Ia merasakan sosok makhluk menyeramkan itu memang ada. Itu bukan mimpi.

Malam itu pun, mereka tidak berani tidur di kamar. Mereka keluarkan kasur dan selimut lalu menggelarnya di ruang tengah.

Peristiwa Ahad malam itu, membuka cakrawala kami. Selama ini aku dan Mas Eko tidak percaya saat anak-anak menceritakan keanehan yang ada di rumah ini. Andi misalnya. Anak pertamaku itu pernah becerita bahwa ia mendengar suara terompah di belakang rumah. Seperti ada orang yang lewat. Tapi siapa? Ketika Andi menengok ke belakang, katanya, ia tidak melihat seorang pun di sana.

Lain pula cerita Dina, anak keduaku, katanya ia pernah melihat sosok bayangan berkelebat si samping rumah, tapi ia juga tidak tahu siapa mereka. Anak-anakku sering mengatakan ini dan itu. Masalahnya, aku dan Mas Eko, sama sekali tidak pernah melihat apa yang mereka saksikan atau mendengar suara tanpa wujud itu.

Selama ini, aku selalu mengatakan bahwa di rumah ini tidak ada yang aneh. Sehingga ketika ada anak-anak yang bercerita macam-macam, kami sering mengatakan, bahwa itu karena mereka tidak membca doa sebelum tidur atau suka melamun.

Bergerilya Mencari Dukun

Kusisir permalahan keluarga ini satu persatu. Kian hari masalah demi masalah mulai bermunculan. Keluarga enam anak ini memang tidak lagi seharmonis dulu. Selama ini, kami hidup tenang. Tak ada riak yang mengusik ketenangan.

Sampai ketika anak-anak sudah mulai mandiri, masalah itu datang silih bergantii. Sejak anak pertamaku diterima di AKABRI lalu anak kedua menikah dengan dokter, aku merasakan rumah tangga ini tak lagi senyaman dulu.

Aku dan Mas Eko mengambil kesimpulan, bahwa memang ada yang tidak beres di rumah ini. Ada yang harus diselesaikan. Tapi bagaimana caranya? Ketika kami tanyakan masalah ini kepada teman-taman, rata-rata mereka menyarankan kami pergi ke dukun.

Kebetulan, tetangga sebelah rumah dikenal sebagai dukun. Satu dua pasiennya, juga terlihat datang ke rumahnya, tapi untuk meminta bantuannya mengusir gangguan di rumahku, aku tidak mau.

Aku merasa kurang cocok dengan gaya perdukunannya, karena menurut informasi yang kudengar, penangananya mengarah ke asusila. Aku tidak mau terlibat terlalu jauh dengan gaya perdukunan seperti ini, karena aku juga memiliki tiga anak perempuan.

Andi yang pernah bertugas ke Kalimantan, menyodorkan nama seorang dukun dari Cianjur, Jawa Barat. Namanya Ki Krina. Ia yakin dengan kesaktian Ki Krina. Sebab ia pernah diberi golok sakti sebelum berangkat ke Kalimantan.

Suatu hari, sesuai dengan kesepakatan, Ki Krina datang ke Palembang. Kami mengundangnya untuk mengusir gangguan jin yang menyelimuti keluargaku. Lazimnya seorang dukun, Ki Krina juga meminta disediakan sesajen. Ada ayan hitam, bunga tujuh rupa dan kemenyan. Ia juga minta disediakan air dalam jerigen. Ki Krina menyembelih aya dan menampung darahnya ke dalam jerigen berisi air 20 liter.

Air dalam jerigen itu berubab merah. Andi kemudian disuruh membawa jerigen ke lantai dua. Tak lama kemudian, tembok-tembok rumah beganti warna. Dinding yang berwarna putih bersih itu memerah. Ki Krina menyemprot-nyemprotkan air bercampur darah sambil membaca al-Qur’an. Waktu itu yang dibaca adalah surat al-jin. Tembok-tembok rumah itu, berubah warna semuanya. Sampai anak saya yang kelima protes setelah Ki Krina pergi. “Mama, katanya ini pengobatan. Dilihat dari caranya saja sudah merusak,” kata anakku. “Coba lihat ini, semuanya berlumuran darah.”

“Sudahlah,” saya bilang. “Kalau tidak diobati, kita bagimana? Saya pun tidak tahu. Kata dia memang bagus.” Saya menerangkan sbisanya agar anak kelima saya itu tidak marah. Waktu itu, saya beranggapan bahwa pergi atau mengundang dukun itu adalah bagian dari usaha. Apalagi dukun yang diundang juga membaca ayat-ayat Al-Qur’an.

Meski sudah mendatangkan dukun dari Cianjur, tetap saja suasana rumah tangga tidak berubah. Perkembangan anak-anak justru makin mengkhawatirkan. Anak kedua yang menikah dengan dokter, malam-malam menelpon dari Medan. “Mama, mama aku mau cerai,” katanya.

Saya menangis. Saya tahu bahwa suaminya itu alim. Suaminya itu baik sifatnya, tapi mengapa sekarang menjadi begini. Mereka sudah dikaruniai tiga orang anak. Mengapa masalah yang muncul itu harus diselesaikan dengan cara-cara kekerasan seperti itu. Saya membuka ruang pertanyaan, tapi belum ada jawaban. Semuanya masih gelap.

Akhirnya, saya terjerembab semakin jauh. Saya berganti-ganti dukun. Entah sudah berapa banyak dukun yang datang ke rumah, atau kami yang ke sana. Dimana ada dukun yang katanya bagus, kesanalah kami pergi. Ada yang menyuruh memasang emas di lantai atas, ada yang menyuruh mengubur bebek di pekarangan rumah, ada pula yang member berbagai bentuk jimat dan isim. Semua keinginan mereka itukami penuhi. Tapi masalah yang kami hadapi tidak kunjung berakhir. Masalah demi masalah terus datang beruntun.

Meninggalkan Perdukunan Setelah Berhaji

Tahun 2001, saya dan Mas Eko berangkat haji. Di sanalah, di tempat yang penuh dengan keberkahan itu, tak henti-hentinya saya berdoa. Saya menangis di hadapan-Nya. Sudah belasan tahun, rumah tanggaku centang perenang. Sudah bertahun-tahun, aku meminta jasa perdukunan. “Ya Allah, ya Tuhanku, apa yang terjadi di tengah rumah tangga kami hingga anak-anak kami tidak ada yang akur? Ya Allah, kami minta petunjuk-Mu.”

Sepulang dari pelaksanaan ibadah haji itu, hati kami mulai terbuka. Kami sadar, bahwa selama ini telah menempuh langkah yang salah. Kesadaran itu bermula, ketika kami mendapatkan kaset seputar perdukunan. Dari sini, kamu tahu bahwa yang kami lakukan itu salah.

Sejak itu, kami tidak pernah mengundang dukun atau datang ke dukun. Cukup sudah kemusyrikan yang kami lakukan saat itu. Meski tidak berarti gangguan di dalam rumah tanggaku berakhir. Sebaliknya, ujian yang kami rasakan semakin berat. Karena rumahku, telah menjadi sarang jin. Sekian banyak dukun itu meninggalkan jimat, isim atau benda-benda lainnya yang tidak lepas dari permintaan bantuan kepada jin. Tidaklah mengherankan bila masalah demi masalah terus mendera rumah tangga ini.

Kondisi rumah tangga semakin tidak kondusif. Mas Eko mulai muadah marah, anak ketiga malas, sementara anak yang keenam juga bertingkah aneh. Ia sering melamun. Diajak komunikasi pun terkadang tidak nyambung.

Di tengah kegalauan itu, Allah memberikan secercah harapan. Kala kami sekeluarga menonton sinetron Astaghfirullah di salah satu TV swasta. Kami sadar bahwa ketidakberesan di rumah ini karena unsure Xnya, tapi setelah tidak lagi berhubungan dengan dukun, kami tidak tahu usaha apa lagi yang bisa kami lakukan selain berdoa. Dengan adanya sinetron Astaghfirullah, muncul harapan baru. Akhirnya, rapat keluarga pun memutuskan untuk mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib.

Menantu, cucu dan anak saya yang keenam, Riska, ketiganya mengikuti terapi ruqyah. Saat dibacakan ayat-ayat al-Qur’an katiganya bereaksi keras. Saya sampai menangis, tidak tahu harus berbuat apa. Sementara suami saya tidak ada dalam ruangan. Yang bisa kulakukan hanya bergantian memegangi ketiganya, dengan hari yang hancur.

Ruqyah di Jakarta itu mulai membuka mata hati kami, bahwa ada solusi yang Islami atas masalah yang kami hadapi. Masalahnya, tempat ruqyah itu jauh dari tempat tinggal kami. Sementara setitik harapan mulai terpancar saat ruqyah pertama itu, maka kami mengambil keputusan untuk mengundang tim ruqyah Majalah Ghoib ke Palembang. Kebetulan yang dikirim waktu itu Ustadz Endang dan Ustadz Slamet.

Tim Ruqyah Majalah Ghoib, tidak membawa benda apapun yang dipakai sebagai jimat atau penangkal bala’. Sangat berbeda dengan dukun-dukun yang saya undang sebelumnya. Mereka justru memusnahkan semua jimat, isim atau benda-benda peninggalan dukun lainya. Termasuk parang  dari Ki Krina.

Saat pembakaran parang itu, entah bagaimana caranya, Ki Krina dapat mendeteksinya. Ia menelpon dari Cianjur. Menurut Andi yang mengangkat telpon, katanya, KI Krina meminta agar parang yang telah dibakar itu dikembalikan. Tapi Andi dengan tegas mengatakan bahwa parang itu sudah dibakar. Ia sudah tidak membutuhkannya dan tidak akan mengirimnya ke Cianjur.

Ki Krina tidak terima parangnya dibakar. Maka keesokan malamny, ia menyerang Ustadz Endang dan Ustadz Slamet yang sedang meruqyah. Ia mengirim jin dari Cianjur. Riska yang sedang kerasaukan jin, saat itu melihat parang berkelebatan. Tak ada tangan yang menggerakkan, tapi parang itu terbang dengan sendirinya. Apa yang disaksikan Riska itu seperti film saja. Sulit bagi orang yang tidak beriman kepda yang ghaib untuk mempercayai cerita ini. Mungkin mereka menganggap itu cerita fiktif semata.

Parang Ki Krina mengitari Ustadz Slamet dan Ustadz Endang yang telah membakarnya. Parang itu terus berputar, berkelebatan kesana-kemari. Sementara mereka berdua, tetap khusyu’ membaca ayat-ayat al-Qur’an. Setelah sekian kali berputar-putar, parang itu pun meluncur dengan deras menuju ustadz Endang. Riska yang menyaksikan kelebatan parang itu tidak tinggal diam. Ia kibaskan tangannya menagkis parang. Parang pun terpental lalu menghilang. Beberapa saat kemudian, Riska, katanya melihat jin hitam bertanduk yang menempel di leher Ustadz Endang.

Suasana malam itu semakin mencekam. Selain parang yang hanya dilihat Riska, orang-orang yang berkumpul di rumahku menyaksikan keanehan lainnya. Mereka menjadi saksi mata atas perang yang terjadi di malam aitu.

Menantuku bertingkah aneh saat ke kamar belakang. Ia melompati beberapa orang yang berada di dekat pintu, seperti terbang. Ia berteriak, “Ada yang mau menyerang. Ada yang menyerang.” Katanya sambil berlari.

Perubahan perilaku itu mengejutkan semua orang. Tidak ada yang menduga bila kemudian, menantuku berontak sedemikian rupa. Akhirnya mereka mengambil tindakan cepat. Menantuku ditangkap ramai-ramai, sebelum kahirnya sadar kembali.

Beberapa tetangga ada yang melihat kejadian aneh di malam itu. Ada yang bercerita, bahwa mereka melihat bola api berterbangan di atas rumahku. Anehnya, bola apai itu hilang sebelum menyentuh atap rumahku.

Empat Anakku Menjadi Korban Sihir

Dengan ruqyah itu terbongkar semua permasalahan yang terjadi selama ini. Gangguan demi gangguan yang terjadi sejak tahun 80 an memang disengaja. Menurut pengakuan jin, yang melakukan itu adalah Sirpan. Seorang dukun yang masih tetangga sendiri. Padahal selama ini, kami sekeluarga tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Kami tidak pernah menyakiti keluarganya.

Kalaupun ada persinggunganku dengan dukun Sirpan, maka itu hanyalah masalah sepele. Dulu, dua puluh tahunan yang lalu, saya pernah meminta agar buah alpukat yang menjulur ke pekaranganku itu dibiarkan saja. Itu pun tidak semua. Saya hanya minta beberapa buah yang mudah dijangkau. Saya memintanya dengan terus terang.

Itulah mengapa ketika buah alpukat itu mau dipetik, saya beranikan diri melarang, pemetik buah agar membiarkan beberapa alpukat yang bergelantungan ke pekarangan rumahku. Memang, kuakui saya sempat bicara sedikit keras kepadanya, karena di tidak mengindahkan perkataanku.

Rupanya, pemetik buah itu mengadu kepada Pak Sirpan. Entah apa yang dikatakannya, hingga Pak Sirpan naik darah. Hal itu saya ketahui dari istrinya yang menemuiku sepeninggal kepergian pemetik buah.

Maslah buah itu adalah masalah yang sepele. Sangat tidak sepadan dengan apa yang kualami. Empat anakku, terkena gangguan jin. Semua jin yang merasuk ke tubuh mereka, mengaku dikirim Dukun Sirpan yang kini telah meninggal.

Riska misalnya, ia mengalami gangguan sejak umur tujuh tahun. Saya tidak mengerti, mengapoa anak yang masih polo situ juga harus menanggung penderitaan sedemikian panjang.

Sejak kena gangguan hingga diruqyah, Riska merasa tidak berbahagia. Bagaimana tidak miris hati ini mendengar pengakuannya, kalau untu memeluk ibunya sendiri, Riska merasa tidak mampu. Ia merasakan ada dinding yang membatasi dirinya dengan diriku, sebagai orangtuanya. Dinding pembatas yang diciptakan oleh jin kiriman dukun.

Dina, anak kedua yang menikah dengan dokter juga tidak kalah parahnya. Jin yang merasuk ke dalam dirinya itu mengaku bila inging mengahncurkan keharmonisan rumah tangganya. Hingga maslah sepele yang seharusnya ditanggapi dengan kepala dingin, sudah membiatnya naik pitam. Tak tanggung-tanggung, Dina minta cerai. Suatu saat, ia bahkan dusah menggenggam pisau di tangan. Hanya satu tujuannya. Ia ingin menghabisi nyawa suaminya sendiri. Matanya sudah dibutakan oleh jin. Hatinya sudah tidak bisa lagi menimbang, mana yang benar dan tidak. Semua itu karena pengaruh jin. Saya bersyukur, Allah masih melindungi keluarga mereka.

Alhamdulillah, ia menikah dengan seorang dokter yang alim. Seorang dokter yang tidak mentang-mentang, bahwa tanpa istrinya, ia dengan mudah menyunting wanita lain. Hingga biduk rumah tangga imasih selamat hingga kini.

Anak yang ketiga juga mendapat gangguan. Maksudnya itu mau dibuat bodoh. Karena itulah dia tidak mau sekolah. Disuruh kursus pun tidak mau. Inginya hanya berdiam diri di rumah. Katanya badanya itu lemas. Pembawaanya itu ingin tidur terus.

Buka berarti dengan tidur itu ia menemukan kedamaian, karena saat tidur pun ia taklepas dari gangguan. Ia sering mimpi buruk dan mengigau dengan nafas terengah-engah. Katanya, ia sedang dikejar oleh makhluk hitam yang menyeramkan.

Hal yang sama terjadi pada Nita, kakaknya Riska. Berbeda dengan ketiga saudaranya, bisa dikatakan Nita terkena gangguan akibat menolak cinta anaknya Pak Sirpan. Ya, cerita ditolak dukun bertindak memang sangat kental. Kepalanya sering sakit, sampai ia nyaris meninggal di malam pernikahannya.

Jam sebelas malam, tiba-tiba ia berteriak. “Ampun … Ampun … “ katanya. Badanya seperti mau diangkat ke kuburan. Tubuh Nita pu kaku. Sudah mulai dingin. Seorang kerabat dari Banten yang saat itu datang ke rumah, mengetahui bahwa Nita sedang dalam pengaruh sihir. Ia pun mengambil segelas air, membacakan beberapa ayat al-Qur’an, secara perlahan Nita sudah mulai sadarkan diri.

Kini setelah melakukan terapi ruqyah secara konsisten dan berkelanjutan serta memutar kaset / cd ruqyah, Alhamdulillah, gangguan demi gangguan itu mulaiberkurang. Sekarang anak saya yang kedua sudah menunaikan ibadah haji. Keluarga mereka juga tidak lagi sepanas dulu. Kalau ada masalah, mereka segera sadar dan berintrospeksi. Anak bungsu saya saya pun sudah menikah. Ia menemukan tambatan hatinya, yang semoga bisa menjaganya dengan baik.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang mau mengambil pelajaran. Bahwa tidak semua orang itu bersikap baik kepada kita, meski kita tidak pernah mengusiknya. Karena itu hati-hatilah, jangan sampai menyakiti tetangga.

 

Ghoib Ruqyah Syar’iyyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN