“Gaji Saya Tergantung Uang SPP yang Masuk”

Oleh : Darma Wiharja (Guru Honorer – Madrasah Sirojul Athfal di Bogor, Jawa Barat)

Ribuan orang, sampai kini masih berstatus sebagai guru honorer. Tentunya, mereka mengharapkan perhatian yang lebih baik dari pemerintah. Dari sekadar menaikkan tingkat kesejahteraan sampai keinginan untuk diangkat menjadi guru negeri. Salah satunya adalah Bapak Darma Wiharja. Sudah hampir 10 tahun, ia merasakan pahit getirnya menjadi guru honorer. la berharap, semoga di Hari Pendidikan Nasional tahun ini. Pemerintah terus berusaha memperbaiki nasib guru honorer sepertinya. Berikut kisahnya.

Sebagai anak yang terlahir dari keluarga besar, sejak kecil saya sudah terbiasa belajar hidup mandiri. Sejak kelas lima SD. saya berdagang kue keliling, sebelum berangkat sekolah. Semua itu saya lakukan, karena tidak mau terlalu membebani orangtua yang telah melahirkan dan membesarkan saya. Atas bimbingan dan dorongan Uwa (kakak dari orangtua), saya berani berkeliling desa untuk menjajakan kue. Awalnya sih malu juga sama teman-teman. Kadang-kadang kalau ketemu mereka, saya harus sembunyi-  sembunyi. Lama-lama saya terbiasa juga. Kan Allah telah menginformasikan pada kita, bahwa orang yang paling mulia di sisi-Nya adalah orang yang paling bertaqwa. Bukan orang kaya atau orang miskin.

Saya anak keempat dari 12 orang bersaudara. Ayah saya seorang pemuka masyarakat yang selama bertahun-tahun mengelola sebuah madrasah ibtidaiyyah di kampung. Saya sangat menganguminya. Kami dididik dengan diberikan tauladan secara langsung. Bukan hanya sekadar diperintah dan diperintah. Nilai-nilai agama yang diajarkannya, terpancar pada perilakunya sehari-hari. Kami sangat senang melakukan perintah-perintah Allah, karena Ayah memberikan dorongan dengan bimbingan yang menyentuh hati. Wal hasil, sejak kecil saya sudah akrab dengan sholat berjamaah dan membaca al-Qur’an. Nilai-nilai inilah yang sampai sekarang menjadi bekal kehidupan saya.

Karena didikan orangtua yang seperti itu. Sejak masih duduk di madrasah tsanawiyah, saya bercita-cita menjadi seorang guru. Saya kepingin sekali mengikuti jejak orang tua. Saya tidak tertarik menjadi seorang Pilot, Presiden atau cita-cita tinggi lainnya, sebagaimana impian anak kecil seusia saya. Pokoknya jadi guru aja deh, cukup. Alangkah mulianya menjadi seorang guru itu. Bisa mengajarkan berbagai macam disiplin ilmu. Memberikan contoh suri tauladan kepada murid-muridnya. Dan yang terpenting, bisa memberikan bimbingan kepada mereka, bagaimana mengenal Allah secara baik. Saya jadi teringat kepada Rasulullah, seorang guru terbaik sepanjang masa. Dengan sentuhan lembutnya beliau dapat merubah bangsa arab yang jahiliah menjadi bangsa yang berperadaban Islam. Sudah seharusnya, semua guru mentauladani dan mencontoh Rasulullah ketika mendidik dan mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Kalau sudah demikian, insya Allah akhlaq generasi yang akan datang akan lebih baik dari sekarang.

Memasuki masa SMA, timbul pergolakan bathin dalam hati kecil saya. Setelah memperhatikan orang-orang terdekat. Mimpi saya menjadi seorang guru, nyaris luntur. Saya merasa hidup ini akan terasa berat, jika menjadi seorang guru. Terbayang dibenak saya, gaji yang kecil. Belum lagi, harus menjadi guru honorer terlebih dahulu sebelum diangkat menjadi PNS. Suasana kelas yang ribut. Wah pokoknya berat saya rasakan. Wajar saja, kalau ada sebuah syair yang menggambarkan seorang guru seperti tokoh Oemar Bakri yang setia naik sepeda bututnya setelah bertahun-tahun mengajar. Yang terpikir oleh saya, menjadi seorang pengusaha yang sukses, Yang dikelilingi dengan harta benda yang melimpah. Saya pikir ini pemikiran yang wajar, jika pemerintah tidak terus berusaha mensejahterakan guru, seperti di negara- negara lain di dunia.

Orangtua menganjurkan saya masuk ke sebuah madrasah aliyah yang cukup bagus di daerah saya. Ayah bilang, cari ilmu itu harus sungguh-sungguh, walaupun letaknya tidak jauh dari rumah. Sepertinya Ayah memang mempersiapkan saya untuk menjadi seorang pendidik. Sikap inilah, yang terus memperkuat hati saya untuk menjadi seorang guru, seperti yang saya cita-citakan sejak kecil. Saya jalani masa SMA dengan sepenuh hati. Untuk menambah pengetahuan agama sore sampai malam harinya, saya ikut belajar di sebuah pesantren dekat rumah. Kalau istilah sekarang mah, Salong- santri kalong. Alhamdulillah, saya bisa terus membantu orangtua dalam mencari uang. Saya menjadi pencari order cetak undangan, pada sebuah percetakan milik teman. Hasilnya cukup lumayan untuk biaya sendiri.

 

PERJALANAN MENJADI GURU HONORER DI MADRASAH

Selulus dari SMA, saya tidak bisa melanjutkan kuliah karena terbentur biaya yang sangat mahal. Mencari kerja juga bukan perkara yang mudah. Kebetulan di sekolah yang Ayah pimpin (Madrasah Sirojul Wildan), kekurangan tenaga pengajar. Saya memberikan diri untuk menjadi pengajar di sana Alhamdulillah, Ayah mengizinkan saya mengajar di sana “Daripada kamu kerja di pabrik, lebih baik belajar mengajar disini, “tegasnya. Saya sangat gembira sekali bisa mulai mengajar. Saya ingat, pertama kali saya mengajar sekitar tahun 1996. Ilmu yang saya dapat dari sekolah dan pesantren, saya baktikan untuk mendidik anak- anak. Tak tanggung-tanggung. saya dipercaya mengajar sebuah kelas dengan jumlah murid 48 siswa. Bermodalkan semangat dan idealisme untuk menciptakan generasi yang memiliki aklhaq yang karimah. Saya mencoba berbagi bersama murid-murid di kelas. Suara tangisan atau aduan seorang anak yang diganggu temannya, menjadi hiasan hidup sehari- hari. Belum lagi menangani anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis. Kalau kita tidak sabar, wah pasti tidak akan kuat. Pengalaman inilah yang membuat saya terus bertahan untuk terus mendidik anak-anak, apalagi kebanyakan dari mereka termasuk golongan yang kurang mampu. Saya baru bisa merasakan, terpujinya seorang guru yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk pendidikan.

Yang namanya kepuasaan, memang tidak pernah bisa  diukur dengan seperak uang atau segunung emas. Selama mengajar di sini, gaji saya tergantung dari uang SPP yang masuk dari murid-murid. Kalau yang bayar sedikit, ya honornya pun juga sedikit. Bahkan tak jarang, saya tidak mendapatkan honor. Saya hanya bisa berlapang dada. Kepenatan dan rasa lelah yang ditambah dengan honor yang pas-pasan, langsung sirna seketika, ketika mendapatkan anak-anak yang kita ajar meraih prestasi gemilang di sekolah. Saya berpikir, bahwa Allah telah menetapkan rezeki bagi hamba-hambanya yang mau berusaha. Dengan sikap tawakal inilah, saya merasakan ketenangan batin dalam menjalani hidup.

Setelah beberapa bulan mengajar di Sirjul Wildan. Saya berkesempatan mengajar di sebuah madrasah yang agak jauh dari rumah. Kalau pergi mengajar, saya harus naik ojek. Madrasah ini bernama Sirojul Athfal. Selama 3 hari saya mengajar disini, selebihnya di madrasah Sirojul Wildan. Di tempat inilah, sampai sekarang saya menjadi guru honorer. Sementara di Sirojul Wildan, saya mengajar sampai tahun 2000. Ketika itu, adik saya yang baru lulus sekolah ingin sekali mengajar. Lalu saya keluar, untuk memberikan kesempatan kepadanya. Ketika pertama kali mengajar di Sirojul Athfal, kondisinya tidak banyak berbeda dengan di sekolah yang lama. Anak-anak yang bersekolah di sini, mayoritasnya juga kurang mampu. Honor saya juga tergantung uang SPP yang masuk. Terkadang uang honor yang saya dapatkan, dibayar setiap 3 bulan sekali. Semua ini saya jalani dengan tabah. Harapan menjadi guru negeri, hanyalah angan-angan, kalau saya tidak melanjutkan kuliah lagi.

 

BERBAGAI USAHA UNTUK MENJADI GURU NEGERI (PNS)

Bagaikan mimpi di siang bolong. Ketika saya mendapatkan berita, ada kuliah murah setingkat D2 yang diadakan oleh IAIN. Kuliah ini diperuntukkan bagi guru madrasah yang belum sempat kuliah atau hanya berpendidikan SMA. Beribu harapan terbayang dalam benak saya, untuk menjadi PNS. Selama 2 tahun, saya menjalani kuliah dengan semangat. Setiap hari ahad dari Jam 08.00 sampai jam 16.00 saya mengikuti kuliah di daerah Cibinong. Uang kuliahnya pun sangat murah, hanya Rp.50.000 per semester. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa mempunyai ijazah D2 guna persayaratan mengikuti ujian guru PNS. Saya berharap kehidupan saya akan lebih baik, jika menjadi guru negeri. Minimal mendapatkan gaji yang tidak tergantung pada uang SPP yang masuk. Lebih lebih, kalau punya uang pensiun, untuk bekal dihari tua.

Pada awal tahun 2003, saya mengikuti program pengangkatan guru kontrak dari Depag selama I tahun. Gaji saya, dibayar langsung oleh Depag. Jadinya saya agak lega, tidak lagi tergantung pada SPP, walaupun gaji saya dibayar perenam bulan oleh Depag. Saya harus super ngirit, karena menerima uang setiap enam bulan sekali, Sekadar uang transport yang diberikan pihak sekolah, hanya cukup untuk bolak-balik rumah- sekolah. Setelah program ini selesai, gaji saya kembali di bayar oleh pihak sekolah. Untuk menambah penghasilan, saya mencoba membuka usaha sendiri di rumah. Saya mulai menerima order cetak undangan, dan saya kerjakan sendiri. Hasilnya lumayan. Sejak punya usaha sambilan itu, saya sudah mulai berpikir untuk menikah.

Sebelum menikah, tepatnya di tahun 2004, saya mengikuti tes PNS yang diselenggarakan oleh Pemda Kab. Bogor. Segala upaya sudah saya lakukan. Dari persiapan belajar, berdoa serta minta restu orang tua. Dari ribuan yang mengkuti ujian seleksi, hanya beberapa orang saja yang diterima. Dan saya belum termasuk di dalamnya. Sebenarnya sih sedih juga. Tetapi, saya berpikir bahwa Allahlah yang telah mengatur semua ini. Jadi saya menerimanya dengan lapang dada. Setelah itu, saya menikah dengan seorang gadis, yang pernah menjadi murid saya di madrasah dahulu. Dari pernikahan tersebut, saya dikaruniai seorang putri yang sangat cantik. Kehidupan berkeluarga, membuat saya harus berpikir extra untuk mencari uang halal guna membiayai hidup yang serba sulit ini. Alhamdulillah, sejak tahun 2004 gaji saya bisa dibayar tetap, tanpa bergantung pada SPP dari siswa. Hal itu bisa terjadi, setelah ada dana Bantuan Operasional Sekolah. BOS dari pemerintah.

Pada awal tahun 2006 kemarin, saya kembali mengikuti tes PNS. Dari 1700 orang yang ikut tes, hanya 29 orang yang diterima. Lagi-lagi rezeki menjadi PNS belum menghampiri saya. Sekali lagi, saya tetap percaya terhadap semua keputusan Allah. Saya berharap, dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini Pemerintah lebih memperhatikan guru-guru swasta honorer seperti saya. Sudah 10 tahun saya menjalani pahit getir sebagai guru honorer. Semoga guru-guru seperti kami dapat lebih disejahterakan nasibnya Syukur-syukur kalau bisa diangkat menjadi guru negeri. Semoga dunia pendidikan kita semakin maju. Salam hormat saja, untuk semua guru yang telah mengabdikan dirinya, terutama mereka yang mengajar di daerah pedesan. Semoga Allah selalu menyertai kita..

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 64 Th. 4/ 1427 H/ 2006 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN