RANCANGAN Undang-Undangan Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang terdiri dari 11 bab, 90 pasal serta sebuah rancangan penjelasan, hingga saat ini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Sebenarnya RUU ini sudah diajukan pemerintah ke DPR RI sejak tahun 2002. Entah mengapa, anggota dewan pada saat itu belum mau mengesahkannya. RUU ini baru dibahas kembali secara serius oleh anggota Komisi VIII DPR RI, hasil pemilu legislatif tahun 2004.
Dalam perjalanannya, pembahasan RUU APP oleh Komisi VIII DPR RI terkesan tersendat- sendat. Padahal diagendakan RUU ini sudah bisa disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna bulan Juni 2006. Menurut Wakil Ketua Pansus RUU APP Komisi VIII, Ibu Yoyoh Yusroh pada para wartawan beberapa waktu lalu, sejak bulan Oktober 2005 pihaknya sudah melakukan dengar pendapat dengan masyarakat untuk mendapatkan masukan. Setidaknya ada 65 lembaga masyarakat, mulai dari kalangan artis, tokoh agama, organisasi perempuan, organisasi Islam, LSM, mahasiswa termasuk sutradara film. Selanjutnya, sudah bisa ditebak, dari dengar pendapat itu ada yang menerima dan ada yang menolak. Bahkan di kalangan komisi VIII sendiri terjadi beda pandangan.
Mereka yang menolak terdiri dari gabungan beberapa LSM di Jakarta. Mereka beralasan, RUU APP sudah memasuki wilayah pribadi seseorang yang seharusnya diberi kebebasan untuk mengekspresikan diri. Mereka juga menilai unsur-unsur perbuatan pidananya yang tidak jelas dalam RUU tersebut akan memberikan legitimasi bagi aparat untuk menangkap seseorang yang dianggap melakukan pornoaksi berdasarkan penafsirannya sendiri, sehingga membuat orang rentan menjadi pelaku tindak kriminal. Mereka menyarankan, untuk masalah pornografi dan pornoaksi sebaiknya pemerintah mengacu pada hukum positif yang sudah ada yaitu KUHP tentang Kesusilaan. Sementara itu mereka yang mendukung agar RUU APP ini segera disahkan, mayoritas berasal dari kalangan umat Islam dan aktivis anti pornografi dan pornoaksi. Menurut mereka, pornografi di Indonesia sudah sangat membahayakan generasi muda. Mereka mencontohkan peredaran VCD porno yang tak terkendali, gambar-gambar maupun siaran-siaran di televisi.
Anggapan yang mengatakan bahwa pornografi di Indonesia sudah sampai pada tingkat yang membahayakan, tidak terlalu berlebihan. Selain VCD porno, kita bisa melihat tabloid dan majalah- majalah porno begitu bebas bertebaran bahkan dengan harga yang murah. Hasil riset Associated Press (AP) tahun 2003 menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua setelah Rusia sebagai surga pornografi. Rasanya, memang sudah saatnya Indonesia lebih memperhatikan secara senius masalah ponografi mengingat dampak negatifnya bagi generasi muda.