Seringkali kita melihat fenomena ‘penyucian diri’ yang dilakukan oleh beberapa orang pejabat atau penguasa yang tersandung kasus korupsi, tokoh-tokoh public yang terseret dalam tindak pidana atau perdata serta kasus tertentu, lalu mereka melakukan aksi yang bernuansa sangat relegius. Seperti membangun masjid, menyumbang panti yatim piatu atau yayasan social dan yang lainnya, sampai dengan melaksanakan haji atau umroh.
Kalau memang mereka betul-betul bertaubat dari kejahatan dan kemaksiatannya. Maka penyucian diri mereka tidak cukup dengan memohon ampunan kepada Allah, atau dengan melaksanakan haji dan umroh. Tapi tambah satu hala lagi, yaitu mereka harus meminta maaf kepada pihak yang dirugikan atau terdholimi secara materi atau non materi, lalu mengembalikan hak yang telah dirampas. Begitulah syarat diterimanya taubat seseorang yang punya kesalahan kepada sesama, sebagaimana yang dinyatakan Imam Nawawi dalam Kitab Riyadhus Shalihin, hal. 33.
Tapi kalau mereka menjadikan haji dan umroh sebagai media peredam kekecewaan sesama, atau sebagai usaha untuk memulihkan citra dan mengangkat martabat, atau menutupi aib yang terlanjur terkuak oleh public, maka ibadah haji yang dilakukannya tidak ada nilainya di sisi Allah. Manusia bisa kita tipu dengan perbuatan-perbuatan secara lahiriyah memang baik adanya, tapi Allah tidak akan bisa kita tipu. Bahkan tindakan seperti itu justru merupakan upaya untuk mengelabuhi diri sendiri.
Karena telah banyak contohnya. Begitu mereka pulang dari haji atau umroh, mereka tampak berubah sesaat dan opini masyarakat terhadap diri mereka membaik, karena masyarakat mengira bahwa mereka betul-betul insaf atau bertaubat. Tapi tak lama kemudian mulai terkuak kembali tabiat buruknya, dan ternyata syetan masih dijadikan sebagai taman sejati mereka.
Al-Qadhi Fudhail bin ‘Iyadzh berkata, “Wahai pendusta, wahai pembohong! Bertaqwalah kamu kepada Allah, janganlah kamu mengumpat syetan di depan khalayak ramai, padahal kamu menjadi tamannya saat suasana sepi.”
Ibnu Sammak berkata, “Sungguh mengherankan, orang yang tidak taat kepada yang telah bertaubat baik kepadanya (Allah), padahal ia tahu betul akan kebaikan-Nya. Dan ia mentaati yang telah dilaknat oleh-Nya (syetan), padahal ia tahu betul bahwa dia sebagai musuhnya. (Tafsir al-Qurthubi: 14/323).
Haji memang mampu menjadi media pelebur dosa, jika kita laksanakan sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. buka sekadar tamasya, jalan-jalan, rekreasi, berlibur, berwisata atau hanya mencari sensasi public, jaga imej atau menarik simpati dan penghargaan masyarakat sekitar. Ia datang sebagai tamu Allah untuk melengkapi keislamannya, untuk menapaki jejak Rasul-Nya.
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa berhaji dan tidak melakukan rafats dan tidak berbuat fasik, maka dosa-dosa yang telah berlalu akan diampuni.” (HR. Tirmidzi, no. 739 dan dinyatakan sebagai hadits hasan shahih).
Kalau kita betul-betul ingin bertaubat kepada Allah, akan dosa-dosa yang ada. Kita juga mau meminta maaf kepada orang-orang yang pernah kita dholimi atau kita sakiti, dan mengembalikan hak mereka yang pernah kita rampas, serta bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Lalu kita pergi haji dengan uang yang halal, memenuhi rukun dan syaratnya dan menjauhi larangan dan hal yang membatalkannya, ikhlas karena Allah. Maka haji itu akan mengahapus dosa dan kesalahan kita. Kesalahan kepada Allah dan kesalahan kepada sesama.
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW memberitahukan, “Ikutilah haji itu dengan umroh, karena haji dan umroh itu bisa menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana panasnya api menghilangkan karat besi, emas dan perak. Dan tidak ada balasan bagi haji yang mabrur selain surge.” (HR. Nasa’i, no. 2584).
Haji dan Rasa Pasrah
Rasa pasrah dan tawakkal kita betul-betul diuji oleh Allah dalam pelaksanaan ibadah haji. Ketika kita telah mengetahui bahwa Allah telah mewajibkan haji bagi kita yang punya kemampuan untuk melaksanakannya. Dan Rasulullah SAW telah memberikan contoh kepada kita akan tata cara pelaksanaanya (manasik). Maka kita pun seharusnya dengan ihklas melaksanakan perintah tersebut.
Kita tidak menawar-nawar lagi, kenapa pergi haji harus ke Mekkah. Kenapa kita harus thawaf (mengelilingi Ka’bah). Kenapa harus sa’i (lari kecil) antara bukit Shafa dan Marwa. Kenapa kita harus wukuf (berhenti) di Arafah. Ketika itu semua kita laksanakan karena perintah Allah, berarti kita telah melakukan kepasrahan tanpa syarat kepada Allah. Itulah makna yang terkandung dalam lafadz talbiyyah yang kita ucapkan saat berhaji.
“Ya Allah, aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Segala puji dan kenikmatan hanya milik-Mu, begitu juga kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dengan kalimat dan lafadz talbiyyah tersebut, kita berpasrah diri kepada Allah. Kita serahkan hidup kita ini sepenuhnya kepada Allah. Baik saat kita berada di Mekkah atau sedang berhaji, atau saat kita telah pulang ke kampong halaman. Karena Mekkah, Madinah atau tanah kampong halaman kita adalah milik Allah. Sehingga untuk selanjutnya, tak pantas lagi kita minta bantuan kepada selain Allah, apalagi kepada syetan dan para dukun untuk menghadapi masa depan yang akan datang.
Dalam berhaji, kita tidak boleh memikirkan lagi bagimana nanti sepulang haji kita bisa mengembalikan uang jutaan rupiah yang telah habis untuk ongkos dan bekal. Dalam haji kita jangan berfikir bahwa pulangnya kita akan menjadi orang fakir atau pailit. Karena sewaktu kita dilahirkan di dunia, kita tidak dibekali apa-apa. Kita lahir dalam keadaan telanjang bulat. Kalaupun setelah itu kita punya ini dan itu, memiliki deposito dan uang jutaan rupiah. Itu semua adalah karunia dan titipan Allah. Bila harta itu kita alokasikan untuk ibadah kepada Allah, itulah distribusi yang tepat, itulah ibadah yang terkadang perlu perlu pengorbanan jiwa dan harta. Itulah bagian aplikasi konkrit dari perintah Allah dan sebagai wujud nyata dari penghambaan kita kepada-Nya.
“Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepada kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. Al-An’am: 61 – 62).
Haji dan Napak Tilas
Saat kita melaksanakan rangkaian ibadah haji. Seperti thawaf, sa’i, melempar jumroh dan sebagainya. Kita diingatkan kembali akan sejarah (historis) Nabi lbrahim dan keluarganya. Kita melakukan tapak tilas dari sebagian lembar kehidupan Nabi pejuang tauhid tersebut. Begitu tegarnya Nabi lbrahim dan keluarganya mempertahankan keimanan dan tauhid mereka. Dan begitu gigihnya mereka melawan tipu daya syetan jin dan syetan manusia.
Misalnya saat kita melaksanakan sa’i, dalam ibadah ini kita menapaki jejak Hajar, istri Nabi lbrahim dan ibu Nabi lsma’il. Saat itu lsma’il yang masih bayi menangis kehausan. Hajar berlari antara Shofa dan Marwah, mundar-mandir untuk mencari air. Akhirnya Allah memancarkan mata air dari bawah kaki lsma’il yang sekarang dikenal dengan air Zam-zam.
Begitu pula saat kita melempar jumroh. Kita merasakan bahwa kita sedang menirukan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi lbrahim. Saat beliau hendak melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih puteranya yang bernama lsma’il. Di tengah perjalanannya, Nabi lbrahim dihadang oleh syetan yang hendak menggagal kan ketaatan Nabi lbrahim. Lalu Nabi lbrahim mengambil rujuh kerikil yang ada di sekitarnya, kemudian dilemparkan ke syetan tersebut. AlhamduIillah, Nabi lbrahim berhasil menggagalkan godaan syetan terkutuk.
Begitu juga saat kita menyembelih hewan kurban. Kita mengikuti apa yang telah diperintahkan Allah kepada Nabi lbrahim. yang saat itu beliau diuji oleh Allah untuk menyembelih puteranya tercinta semata wayang. Ketika Nabi lbrahim benar-benar hendak menyembelihnya, tiba-tiba Allah mengagantinya dengan domba.
Dan tidak hanya itu. Dalam melaksanakan rangkaian ibadah haji, kita juga menapaki jejak Rasulullah SAW. Jejak dalam pelaksanaan ibadah haji yang pernah beliau lakukan, juga tapak tilas perjuangan beliau dalam menyebarkan agama lslam. Beliau telah berhasil mengentaskan ummatnya dari jurang kesyirikan, dan menghiasi hati mereka dengan iman dan tauhid yang lurus. Sungguh merupakan perjuangan yang sangat berat, melebihi beratnya kita sekarang ini dalam meluruskan kembali aqidah ummat lslam dari noda kesyirikan dan virus perdukunan.
Dengan begitu, kita bisa menarik saru kesimpulan. Yaitu dakwah Nabi Muhammad dengan dakwah Nabi lbrahim atau nabi-nabi yang lainnya, ternyata merupakan satu kesatuan. “Mengajak manusia untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan sembahan-sembahan lainnya”. Dan itulah beban dakwah yang harus kita usung sampai sekarang ini, dan sampai Akhir nanti.
Ghoib Ruqyah Syar’iyyah
Sumber : Majalah Ghoib Edisi 74/4