Allah telah mengingatkan kita semua agar kita tidak terlena dalam buaian syetan. Entah syetan manusia atau syetan jin. Begitu juga Rasulullah SAW, nabi dan suri tauladan kita. Beliau telah mewanti-wanti kita untuk memperbanyak memohon perlindungan kepada Allah dari tipu muslihat musuh-Nya, yaitu Ibli dan bala tentaranya. Karena hanya dengan perlindungan Allah, kita bisa aman dari perangkap dan serangan syetan.
Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Dzar! Hendaklah kamu memohon perlindungan kepada Allah dari (kejahatan) syetan manusia dan syetan jin. Lalu Abu Dzar bertanya: “Ya Rasulullah, apakah ada syetan manusia?” Rasulullah menjawab, “Ya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Dengan berbagai macam ibadah yang kita lakukan sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kita mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari musuh-Nya. Dengan mengikuti Rasulullah, kita menapaki jalan yang lurus dan menjauhi jalan yang menyimpang yang dipandu oleh syetan.
Namun realitanya masih banyak di antara kita yang malas beribadah kepada Allah enggan untuk melaksanakan perintah-Nya dan gemar melanggar larangan-Nya. Kalaupun kita mau melaksanakan perintah-nYa, terkadang dalam pelaksanaannya kita jauh dari tuntunan Rasul-Nya. Ada penyelewengan dalam niat, dan ada penyimpangan dalam praktik pelaksanaannya.
Termasuk dalam ibadah haji, yang mana merupakan ibadah yang cukup berat dirasakan oleh banyak kaum muslimin. Ada yang merasa berat secara financial. Ada yang merasa berat secara ritual. Ada yang merasa berat mengikuti manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, karena merasa ilmunya belum maksimal. Dan ada juga yang merasa berat karena belum isap untuk dipanggil ‘pak haji’ atau ‘bu haji’ oleh masyarakat.
Haji Wajib bagi Yang Mampu
Allah telah berfirman, “Berhaji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa yang kafir (menginkatinya), maka sesyngguhnya Allah Maha Kaya.” (QS. Ali ‘Imran: 97)
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah telah berkhutbah di hadapan kami. Beliau bersabda, ‘Wahai manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian semua’. Lalu berdirilah seorang shahabat yang bernama al-Aqra’ bin Haris. Ia bertanya, ‘Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Kalau aku katakana ‘Ya’, maka akan diwajibkan setiap tahun. Dan kalau diwajibkan tiap tahun maka kalian tidak akan biasa menunaikannya dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya. Haji (yang wajib) itu sekali. Barangsiapa yang melaksanakannya lebih dari itu berarti itu tathawwu’ (sunnah)’.” (HR. Ahmad dan Abu Daud serta dishahihkan Imam al-Hakim).
Kalau kita telah diberi kemampuan oleh Allah untuk melaksanakan ibadah haji, janganlah menunda-nunda lagi. Sebagaimana ibadah yang lainnya, tiada pamrih yang kita cari dalam berhaji, kecuali ridha Allah dan pahala-Nya. Semakin besar pengorbanan yang kita lakukan – materi atau non materi – maka semakin banyak pahala dan balasan yang akan kita dapatkan.
Haji dan Landasan Kokohnya
Agar haji yan gkita laksanakan betul-betul menjadi suatu ibadah yang berpahala atau diterima oleh Allah. Maka dalam pelaksanaanya harus kita dasarkan pada tiga hal utama sebagimana ibadah-ibadah lainnya.
Pertama, iman yang yang benar. Orang yang berhaji harus membekali diri dengan iman yang benar agar keimanan itu betul-betul mampu menghantarkanya untuk menuju ketaqwaan. Dan dengan berbekal taqwa itulah perjalanan haji yang berat dan banyak resikonya akan terasa ringan. Baiay materi yang banyak akan terasa sebagai tabungan dan simpanan abadi di sisi Allah yang tidak akan hilang sia-sia. Aktifitas dan bisnis yang ditinggalkan akan menjadi pengorbanan besar bagi seorang hamba kepada tuhannya.
Allah SWT berfirman, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Kedua, Ikhlas dalam pelaksanaan. Orang yang pergi haji secara ikhlas akan menghasilkan banyak hal yang tidak akan dimiliki oleh orang yang hajinya tidak ikhlas. Materi, tenaga dan waktu yang ia korbankan untuk melaksanakan perintah Allah yang satu ini akan terasa sangat berarti dalam kehidupannya. Dan ia yakin, semuanya itu akan dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik dan lebih kekal. Tidak hanya di akhirat, di dunia pu ai akan merasakan karunia dan nikmat Allah sebagai balasan baginya.
Dalam sebuah riwayat Abu Hurairah berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, Barangsiapa yang berhaji karena Allah sedangkan dia tidak berbuat rafats dan fasik, maka ia akan kembali suci seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan kata ‘rafats’ di sini adalah bersetubuh dengan istri atau hal-hal yang mengantarkan pada persetubuhan. Seperti bercumbu, merayu, membelai dan perkataan serta perbuatan yang merangsang nafsu birahi kedua suami istri. Sedangkan ‘fasik’ atau ‘fusuk’ adalah semua bentuk kemaksiatan dan larangan-larangan bagi orang yang sedang berihram.
Ketiga, Ittiba’ pada Rasulullah SAW. maksudnya, dalam pelaksanaan ibadah haji kita tidak boleh membuat aturan sendiri, tapi harus mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Inilah bagian dari ilmu yang harus kita siapkan sebelamu pergi haji. Dengan mengikuti bimbingan manasik haji yang ada, membaca buku-buku yang menjelaskan tentang haji Rasulullah. Atau bertanya kepada para ulama’ dan ustadz yang telah menunaikan ibadah haji sehingga tidak terjadi kesenjangan antara teori ilmu yang dimiliki dengan praktik di lapangannya nanti.
Jabir bin Abdullah berkata: “Saya telah melihat Rasulullah melempar jumroh dan beliau sedang di atas ontanya. Waktu itu beliau bersabda, “Wahai manusia, pelajarilah manasik (tata cara haji) kalian (dariku). Karena aku tidak tahu pasti, barangkali akau tidak bisa melaksanakan haji setelah tahun ini.” (HR. Muslim)
bersambung …
Ghoib Ruqyah Syar’iyyah
Sumber : Majalah Ghoib Edisi 74/4