Saya Tuti, usia 29 tahun, anak 2 (laki-laki dan perempuan) tinggal di Jakarta. Saat ini saya sudah cerai dengan suami. Suami yang gugat duluan dan akhirnya sudah ikrar talak. Waktu di pengadilan suami pakai pengacara tapi saya maju sendiri.. Seingat saya, prosesnya cepat banget, cuma 3 kali dan terus putus. Yang saya bingung, waktu cerai dulu, kok putusannya cuma cerai sama nafkah iddah saja tapi soal anak dan gono-gini enggak ada diputuskan. Sekarang saya bingung, status anak saya ada sama siapa, sama saya atau sama suami? Dulu saya pernah tanya ke pengacara suami saya, dia bilang masalah anak dan harta belakangan saja. Tapi sekarang saya sendiri yang bingung. Soalnya saya pingin banget ngerawat anak saya dua-duanya tapi sekarang yang sama saya cuma anak yang kecil saja. Saya tolong diberitahu bagaimana caranya biar kedua anak saya bisa tinggal sama saya, terus saya juga dapat bagian harta gono-gininya.
Terimakasih.
Jawaban:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ibu Tuti yang saya hormati, pertanyaan ibu sangat menyangkut masalah teknis beracara di pengadilan. Akan tetapi perlu terlebih dahulu saya jelaskan sebagai berikut:
- Dalam perceraian dikenal adanya dua buah terminologi, yaitu apabila yang mengajukan ke Pengadilan Agama adalah suami, maka disebut sebagai permohonan ikrar talak. Sedangkan bila yang mengajukan adalah istri, maka disebut dengan gugatan perceraian.
- Bahwa paling tidak ada 3 (tiga) buah dampak dari suatu perceraian, yaitu:
- Mengenai hak pengasuhan dan pemeliharaan . anak;
- Nafkah istri; dan
- Pembagian harta gono-gini
Sangat dimungkinkan dalam suatu gugatan/ permohonan, penggugat/pemohon meminta kepada Pengadilan Agama untuk memutus mengenai perceraian sekaligus dengan ketiga hal tersebut di atas. Sehingga dalam putusannya, Majelis Hakim akan memutuskan apakah perceraian dikabulkan, kemudian hak pengasuhan anak-anak berada pada suami atau istri, juga mengenai berapa besar nafkah istri (dan juga iddah) serta besaran pembagian harta gono-gini yang diperoleh masing-masing bekas suami/bekas istri.
Dalam praktek, pengajuan seluruh hal-hal tersebut di atas dilakukan apabila suami/istri telah mencapai kesepakatan mengenai semua hal-hal tersebut di atas. Karena apabila belum tercapai kesepakatan, maka dalam persidangan terjadi perbedaan argumentasi si antara masing-masing pihak. Pada akhirnya akan terdapat pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Agama. Pada akhirnya akan terdapat pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Agama, sehingga akan mengajukannya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat banding ke Pengadilan Tinggi Agama dan setelah itu kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Apabila ini yang terjadi, maka proses perceraian tersebut menghabiskan waktu yang lama dan biaya yang tinggi karena sangat mungkin keseluruhan proses tersebut memakan waktu hingga 2-5 tahun. Padahal selama kurun waktu tersebut memakan waktu hingga 2-5 tahun. Padahal selama kurun waktu tersebut suami-istri tersebut belum bercerai, melainkan masih berstatus sebagai suami-istri yang sah.
Sehingga dalam praktek berkembang bahwa didahulukan diperolehnya kejelasan suatu status perceraian pasangan suami-istri tersebut beserta besarnya nafkah bagi istri (termasuk iddah). Sedangkan mengenai hak pengasuhan dan pemeliharaan anak dan pembagian harta gono- gini dapat diajukan gugatan/permohonan secara terpisah.
Berdasarkan sedikit cerita yang ibu berikan, pengacara suami ibu mengambil jalan untuk lebih mendahulukan kejelasan putusnya hubungan perkawinan ibu dengan suami dan mengenai hak pemeliharaan anak serta gono-gini dapat dilakukan kemudian. Lagi-lagi ini, hal ini semata-mata menyangkut masalah teknis beracara di pengadilan. Akan tetapi yang saya sesalkan adalah apabila pengacara bekas suami ibu tidak menjelaskan secara detail hal tersebut di atas. Terlebih lagi, ibu juga tidak berupaya meminta pendapat dari pihak lain yang mengerti hukum perkawinan.
Namun apapun yang terjadi, yang dapat ibu lakukan saat ini adalah ibu dapat mengajukan. permohonan ke Pengadilan Agama terkait untuk meminta putusan Pengadilan Agama agar hak untuk mengasuh dan memelihara anak-anak hasil perkawinan ibu dan bekas suami dapat diberikan kepada ibu. Selain itu, ibu juga dapat sekaligus meminta kepada Pengadilan Agama tersebut agar diputuskan besarnya bagian dari harta bersama yang menjadi hak ibu dimana hal ini tentunya. harus didukung dengan bukti-bukti yang akurat, misalnya bukti kepemilikan rumah, kendaraan ataupun tabungan/deposito.
Mengenai hak pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak, dapat saya sampaikan bahwa hukum positif di Indonesia mengatur bahwa hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berusia 12 tahun) berada pada ibunya. Artinya ibu Tuti memiliki kesempatan yang sangat besar untuk dapat memelihara dan mengasuh kedua anak ibu asalkan kedua anak ibu belum berumur 12 tahun.
Sehingga yang dapat ibu lakukan saat ini adalah segera mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama terkait untuk meminta agar Pengadilan Agama menetapkan bahwa ibu lah yang berhak untuk memelihara dan mengasuh kedua anak hasil perkawinan ibu dengan bekas suami serta ibu juga dapat meminta agar ditetapkan besarnya harta bersama yang berhak ibu peroleh. Saran saya, untuk mengajukan permohonan tersebut sebaiknya ibu terlebih dahulu berkonsultasi dengan orang yang mengerti hukum perkawinan.
Demikian jawaban saya, semoga dapat membantu.
Wassalamu’alaikum Warahamtullahi Wabarakatuh
PAHAM INDONESIA
Anatomi Muliawan, S.H
Direktur Eksekutif
Ghoib, Edisi No. 19 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M