Hasbunallah (Cukuplah Allah)

“Wahai anak muda! Saya memberitahukan kepadamu beberapa pesan; Jagalah (perintah-perintah) Allah niscaya Allah menjagamu. Jagalah (perintah-perintah) Allah niscaya kamu mendapatkan Allah selalu di sisimu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwasannya, jika umat manusia bersatu untuk memberimu suatu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya, kecuali sesuatu itu telah ditetapkan Allah kepadamu. Dan jika mereka bersatu untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya, kecuali hal tersebut telah ditetapkan Allah atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering (tintanya)”.

(HR. Tirmidzi, hadits hasan shahih).

Itulah untaian emas yang berisi pesan-pesan Rasulullah yang waktu itu beliau tujukan kepada sepupunya, yang bernama Abdullah bin Abbas. Tentu saja pesan itu juga berlaku untuk kita semua sebagai umatnya. Pesan tersebut merupakan wasiat yang sangat penting, di dalamnya menjelaskan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya yang Maha Perkasa. Tak ada seorang makhluk pun di dunia ini termasuk malaikat, manusia, jin, hewan, tumbuhan atau makhluk lainnya yang bisa melawan kehendak Allah atau menyalahi takdir- Nya. Roda kehidupan makhluk di jagad raya ini akan berjalan sesuai dengan skenario yang telah digariskan Allah dan tercatat di suratan takdir-Nya. Termasuk keberuntungan dan kesialan, anugerah dan musibah, hoki dan apes, celaka dan selamat, derita dan bahagia yang mewarnai kehidupan semua makhluk yang ada di setiap belahan alam ini, termasuk kita di dalamnya.

Memang kita tidak boleh diam berpangku tangan menunggu suratan takdir. Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk berusaha sesuai dengan kemampuan dan potensi kita masing-masing. Dan syariat Islam juga telah menuntun kita dalam melakukan usaha yang kita lakukan, agar tetap diridhoi Allah. Termasuk saat kita mau melakukan suatu usaha yang bisa mendatangkan keuntungan, atau mengamankan diri dan keluarga dari berbagai macam bencana dan malapetaka, semua rambu-rambunya telah diatur oleh Syari’at Islam.

Setiap usaha yang kita lakukan ada dua jenis, yaitu jenis usaha yang menyimpang dari Syari’at atau jenis usaha yang sesuai dengan syari’at. Saat kita keluar rumah misalnya, untuk beraktifitas. Ada di antara kita yang keluar dari rumahnya. berbekal jimat atau mantra, dan ada juga yang hanya berbekal doa dan tawakkal penuh kepada Allah. Maka hasilnya sama saja, ada dua kemungkinan. Yaitu usahanya berhasil atau gagal total. Tapi dampak yang ditimbulkan dari keduanya tidak sama dan sangat jauh berbeda, sejauh perbedaan antara timur dan barat atau antara bumi dan langit.

Kalau usaha kita yang berbekal dengan jimat itu berhasil, maka hanya kepuasan duniawi yang kita dapat serta kebahagiaan sesaat yang tidak akan mendatangkan berkah, karena keberhasilan tersebut tidak disertai ridho Allah, walaupun terjadinya atas ijin Allah. Hal itu disebabkan cara kita dalam meraih keberhasilan tidak sesuai syari’at Allah. Dan mengikuti syari’at syetan. Apalagi kalau nyatanya usaha kita tersebut gagal total, maka kerugian yang berlipat-lipat yang kita dapat. Kekecewaan dan kekesalan kita rasakan, murka Allah kita dapatkan, dosa-dosa telah kita lakukan, kepada syetan kita mendekatkan diri. Kalau kita tidak cepat bertaubat, maka adzab Allah yang sangat pedih akan kita rasakan. Rugi dunia dan akhirat.

Dan bila usaha kita berbekal dengan doa dan tawakkal. Kalau benar-benar sukses, maka kepuasan duniawi kita dapatkan, kebahagiaan dan ketenangan kita rasakan, karena kita telah melakukan ketaatan kepada Allah, Pahala kita dilipatgandakan, kebaikan kita ditambahkan, ridho Allah dicurahkan, dan dari gangguan syetan kita dijauhkan. Tapi kalau ternyata usaha kita gagal, itu adalah suatu musibah. Jika kita bersabar, maka tidak sedikitpun kerugian yang kita rasakan. Karena dana dan tenaga yang kita kerahkan akan di catat oleh Allah sebagai shadaqah yang mengandung pahala, dosa-dosa kita diampuni, rahmat Allah diberikan, pundi-pundi pahala kita juga dilipat gandakan. Sungguh menakjubkan perkara orang- orang mukmin yang taat, tidak ada yang sia-sia atas setiap usaha yang dilakukannya, begitu juga apapun hasil yang didapatkannya.

Sama juga dengan bencana atau malapetaka yang setiap saat bisa menimpa kita. Ketika musibah yang mengincar itu menghampiri kita. Yang mana saat itu kita membawa jimat andalan, lalu kita terhindar dari malapetaka tersebut, dan dengan keyakinan yang salah kita mengatakan, “Alhamdulillah berkat jimat ini saya selamat”. Berarti mulai saat itu kita sudah terseret dalam lingkaran syetan yang licik, dan kita sudah terjebak dalam jurang kesyirikan. Tapi kalau dengan jimat andalan itu, ternyata bencana masih menimpa kita, berarti kita mengalami kerugian dua kali lipat. Penderitaan dan kepedihan serta kesusahan kita rasakan. Dan jika bencana itu merenggut nyawa kita, maka kematian kita adalah kematian yang konyol. Murka Allah kita dapatkan, dan adzab Allah di akhirat telah disediakan.

Dan sebaliknya, jika hanya dengan doa dan tawakkal kepada Allah kita hiasi diri kita. Lalu bencana itu menerpa kita. Dengan kesabaran kita, Allah akan merahmati dan mengampuni kita serta menjadikan kita sebagai orang-orang yang mendapatkan petunjuk (QS. Al- Baqarah: 155-157). Dan jika bencana itu menyebabkan datangnya ajal kita, maka kematian kita merupakan syahid, gugur di jalan Allah dan sudah tentu surga beserta para bidadarinya sudah menunggu kita. Begitu juga bila musibah itu batal menimpa kita, kita akan merasakan kebesaran Allah dan Keperkasaan-Nya, yang akan semakin memperkokoh iman kita dan menambah pahala- pahala kita. Rasa syukur kita kepada Allah semakin kental dan mengkristal, sehingga Allah semakin banyak menambahkan kenikmatan kepada kita.

Semua alur dan siklus kehidupan ini merupakan sunnatullah. Entah itu kita memakai jimat dan dukun atau tidak, pasti akan terjadi. Tapi konsekuensinya tidak akan sama. Dan jika nurani kita masih sehat, niscaya kita akan memilih konsekuensi yang baik, yang bisa mendatangkan ridha dan petunjuk Allah.

Siapa pun kita dan apa pun tugas kita, jangan sampai rasa pasrah kepada Allah dikotori oleh ikhtiar yang tidak diridhoi- Nya. Seberat apa pun tugas kita, jangan pernah menghalalkan segala cara untuk melindungi diri dari kesialan.

Lihatlah Rasulullah yang suatu saat diacungi pedang oleh Du’tsur dalam suatu kesempatan pulang berperang. Para shahabat jauh dari keberadaan Nabi yang sedang sendirian di bawah sebuah pohon. Tentu Du’tsur merasa bahwa dirinya tidak terbendung. Tetapi dia lupa, masih ada Allah. Pedang yang dipegang pun jatuh setelah mendengar kata Allah yang dilontarkan Rasul menjawab tentang pelindungnya. Rasulullah tidak mungkin punya jimat. Kata Allah adalah bentuk rasa pasrah yang tinggi kepada Allah disertai kedekatan beliau kepada-Nya.

Karena ketidakberuntungan dan keberuntungan hanya ada di tangan Allah. Maka, cukuplah Allah sebaik-baik pelindung dan penolong. Hasbunallahu Wa Ni’mal Wakil.

 

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 18 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN