Saya seorang perempuan yang menikah di usia muda. Belum genap 20 tahun. Saya tidak pernah menyangka kalau harus meninggalkan perguruan tinggi, hanya untuk menikah. Padahal saya sangat senang belajar.
Waktu itu, masih semester tiga. Saya bertemu dengan seorang pemuda di acara keluarga. Roni namanya. Gayung bersambut, pertemuan tidak terduga itu pun berlanjut. Meski saya kuliah di Semarang dan Roni di Jakarta, tapi tidak menjadi halangan jalinan kasih ini, Tepat enam bulan setelah perkenalan itu, kami melangsungkan pernikahan.
Sebenarnya, saya sangat hati-hati dalam bersikap dan bertingkah laku. Terutama terhadap laki-laki. Saya selalu mengambil jarak. Terus terang saya tidak pernah bisa bicara banyak dengan laki-laki, kecuali bila ada hal yang penting. Cukup dengan tegur sapa saja. Bagaimanapun kita tidak bisa hidup sendiri. Apalagi sejak masih di bangku sekolah saya tak pernah lepas dari organisasi.
Saya beruntung menikah dengan seorang pemuda yang tidak mengekang hak-hak sosial saya. Aktifitas sosial tetap terpelihara setelah menikah. Aktifitas itu membawa saya kepada pengabdian yang lebih jauh. Saya dipilih menjadi ketua RW. Amanah yang tidak ringan memang. Di sini, saya dituntut untuk bisa bekerja sama dengan sekian banyak orang dari berbagai latar belakang.
Dari sini awal permasalahan saya. Aktifitas sosial membawa saya pada pengembaraan jiwa yang melelahkan. Saya terjebak dalam permainan cinta semu. Ironisnya perasaan itu lahir di tengah persahabatan kami dengan tetangga. Bima, tetangga sebelah rumah yang juga telah berumah tangga adalah sahabat suami saya. Mereka bekerja dalam satu perusahaan.
Persahabatan kami itulah yang menjadi titik tolak. Seiring dengan rutinitas pertemuan kami sebagai tetangga dan sama-sama aktif di masyarakat, percikan api cinta semu mulai berpijar. Ada yang aneh, tatkala Bima memandang saya. Saya pun merasakan getaran yang sama. Saya akui, Bima memang tampan. Pembawaannya kalem dan tatapannya lembut.
Awalnya, saya menganggap itu reaksi yang wajar. Tapi ketika reaksi spontan itu tidak hilang begitu saja, saya mulai terganggu. Sebagai seorang wanita yang telah bersuami, jelas ini pertanda yang tidak baik. Saya merasakan perasaan aneh yang luar biasa. Padahal, saya jarang berbicara berdua dengan Bima. Perasaan aneh itu kian mengganggu. Siang dan malam saya terus mengingat dan memikirkannya. Tanpa pernah bisa dihentikan. Bahkan rasanya melebihi dua remaja yang lagi kasmaran.
Saya tahu ini memalukan, tapi nyatanya saya tak bisa menghilangkan perasaan itu. Segala cara saya tempuh untuk mengalihkan pikiran yang gila ini, tapi sulit sekali. Bahkan semakin lama semaki berat. Perasaan tertarik makin kuat luar biasa. Segala kegiatan saya tambah, menjadi sangat padat. Hanya untuk mengalihkan pikiran. Selain organisasi kemasyarakatan, organisasi di kantor suami, sampai segala macam kursus saya ikuti.
Memang, jika di tempat kursus maupun di tempat pengajian saya sedikit bisa melupakannya. Tapi setelah sampai di rumah, saya teringat lagi. Seolah semua gerak dan langkah saya diawasi Bima. Keterlaluan memang! Hanya dengan melihat sekilas saja, atau sekadar tegur sapa, hilanglahlah rasa penasaran itu.
Saya sering berkhayal bahwa Bima akan menyatakan rasa simpatinya. Kemudian saya akan menjawab bahwa itu tidak boleh terjadi. Kita, masing-masing mempunyai tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan.
Tapi sayangnya hal itu tidak pernah terjadi! hingga saya sering memakinya dalam hati. “Kenapa kamu ini?”
“Kenapa kamu tidak memulainya?”
“Kenapa kamu siksa saya dengan prasangka-prasangka yang tidak jelas?”
“Apakah kamu mengira bahwa saya akan memulainya dulu?”
“Oh itu tidak mungkin. Saya adalah perempuan yang sangat berprinsip. Saya tidak akan menjatuhkan harga diri hanya demi seorang laki laki. Dulu, sewaktu masih sendiri saja saya tak mau. Apalagi sekarang di kala saya sudah berkeluarga.”
Kadang saya juga menyumpahi dia sebagai pengecut. Namun tak jarang juga merasa kasihan padanya. Bagaimana mungkin laki-laki setampan dia, memiliki istri dengan wajah yang tidak sepadan dengannya. Bahkan lebih tua darinya.
TERBAKAR API CEMBURU
Untuk mengisi kesibukan, saya membuka salon perempuan dan anak-anak. Tentu, saya senang bila ada pelanggan yang datang ke salon. Tapi tidak demikian halnya bila yang datang itu adalah istrinya Bima. Wanita yang biasa saya panggil dengan Jeng Ike itu memang tidak tahu, bila saya memendam perasaan cinta yang tidak wajar kepada suaminya.
Suatu hari Jeng Ike ingin facial. Saya terpaksa menerimanya, meski dengan suasana hati yang amburadul. Betapa sesak nafas saya selama masa facial itu. Dengan tangan ini saya harus mempercantik perempuan yang seolah menjadi saingan. Saya harus menyentuh dan membelai wajah tua dan keriput ini. Menyapukan satu demi satu kosmetik ke wajahnya.
Hati saya menangis. Wajah inilah yang dimiliki lelaki yang saya kagumi. Wajah inilah miliknya yang sesungguhnya. Dengan wajah ini pula dia setiap saat, setiap hari, dan setiap malam menikmati hidup.
Pikiran saya melayang kemana-mana. Tanpa saya sadari Jeng Ike tertidur. la mendengkur. Ingin rasanya menampar perempuan ini agar terjaga dari mimpi yang melenakannya. Tapi tentu saja itu tak saya lakukan.
Sebenarnya saya beruntung dia tertidur pulas seperti itu. Kalau tidak, dia akan tahu kalau sebenarnya saya sedang menangis. Dan ada air mata yang menetes di pipinya bercampur dengan kosmetik yang saya sapukan ke seluruh wajahnya.
Saya harus bisa menahan diri. Harus! Saya harus bisa menjaga martabat saya sebagai seorang istri. Harga diri adalah segalanya. Jika seorang perempuan sudah tak bisa menjaga harga dirinya. apalagi yang tersisa pada dirinya. Apalagi yang bisa dibanggakan.
Memang tak semudah mengucapkannya. Tapi setiap perempuan yang bermartabat harus terus berjuang bagaimanapun dan apapun yang terjadi. Barangkali karena prinsip yang sangatkuat itu, Bima tidak berani menyampaikan kata hatinya. Meskipun indikasi yang menunjukkan bahwa dia tertarik kepada saya banyak sekali. Dia tahu persis saya adalah perempuan yang sangat disegani dan dihormati.
Untuk mengalihkan pikiran, saya aktif di berbagai kegiatan. Berbagai lomba saya ikuti. Tapi sayang, perjuangan yang panjang itu tak bisa menggeser Bima dari pikiran. Saya bahkan sering memaki diri sendiri dalam hati. “Ada apa kamu ini Farah? Bukankah kamu adalah seorang perempuan yang tidak mudah terganggu oleh laki laki? Kalau kamu mau, waktu masih muda banyak sekali yang menyukai kamu. Apa yang kamu inginkan darinya? Dulu kamu bisa memilih yang seperti apa saja ada. Tapi kamu malah tidak mau. Sekarang di saat kamu sudah berkeluarga dan mempunyai anak, kamu malah senang dengan laki laki lain. Apalagi kamu tahu bahwa dia juga sudah beristri. Keterlaluan kamu Farah! Ngapain kamu ini Farah ayo bangun dari mimpimu….!!” Saya memaki diri sendiri.
Makian-makian itu tak pernah mempan saya rasakan. Jangankan makian, shalat dan doa saya yang siang malam saya panjatkan pun seolah tak mampu menahan gejolak air mata pedih saya. Hanya kepada Allah semua ini saya sampaikan. Hanya kepada-Nya saya keluhkan semua yang saya rasakan. Saya sama sekali tak berani dan tak berniat juga untuk menyampaikan kepada orang lain. Sekalipun itu, suami, saudara atau sahabat.
Namun, ada satu keganjilan yang saya rasakan. Sejak muncul benih-benih cinta itu, saya sering mengalami gangguan kesehatan. Banyak yang sering saya rasakan, mulai dari sakit di ulu hati, sakit pinggang, sampai sakit kepaka yang luar biasa.
Bila sakit kepala menyerang. Saya merasakan sakit yang tidak terkira, hingga bumi seolah akan runtuh. Saya berteriak-teriak memanggil orang-orang yang ada di rumah.
Segala macam dokter telah saya datangi. Dari dokter umum sampai dokter spesialis syaraf otak, spesialis syaraf tulang. Tapi tak ditemukan penyakit yang jelas. Bahkan ketika diperiksa dokter spesialis syaraf otak, hasilnya bagus. Dokter heran, “Ibu, hasil pemeriksaan ibu bagus. Bahkan sangat bagus untuk usia ibu yang sudah 30 tahun,” kata dokter.
Demikian juga dengan hasil pemeriksaan tulang. Syaraf tulang pinggang saya bagus, Artinya tidak ada masalah. Padahal saya merasakan pinggang sakit dan terasa panas. Puluhan kali terapi telah saya jalani, tapi hasilnya tetap tidak sembuh. Saya bahkan sempat kecewa tatkala dokter tak memberi obat sama sekali. Dokter syaraf otak hanya memberikan tip cara senam untuk menjaga keseimbangan badan. Lain tidak.
MELUNTURKAN CINTA KE DUKUN
Saya jadi berfikir, jangan- jangan dia memelet saya. Kecurigaan saya semakin bertambah sejak istrinya sering mengantar makanan ke rumah dan katanya yang memasak adalah suaminya sendiri. Ditambah lagi bila main ke rumah, Bima selalu berhenti sebentar di depan pintu. Seolah ada yang harus dibacanya dulu.
Kecurigaan itu saya balas dengan merapal bacaan yang diberikan ayah ketika saya masih muda dulu. Kata ayah bacaan itu untuk melindungi diri agar laki-laki tidak berani kurang ajar. Setiap saya merasakan sesuatu yang tidak enak, kontan saja saya membaca bacaan yang diberikan ayah itu. Waktu itu saya percaya kalau dia semakin takut dengan saya.
Ketakutan Bima kepada saya, terlihat nyata. Tapi perasaan dalam hati saya tidak hilang juga. Bahkan semakin menyiksa. Hingga suatu hari saya terjerumus pergi ke dukun yang biasa dipanggil dengan Ki Dargo, la meminta saya membawa photo Bima. Kemudian saya diajari zikir dengan cara yang berbeda dari yang selama ini saya lakukan.
Karena ingin terbebas dari penderitaan batin, saya amalkan wiridan dari Ki Dargo. Entah apa sebabnya setiap saya berzikir, tangan saya bergerak sendiri memukuli seluruh badan tanpa dapat saya kendalikan. Saya seperti sedang melakukan terapi tertentu. Dan di tempat yang terasa sakit, tangan itu akan memukuli atau menepuk- nepuknya lebih lama dari tempat yang lain.
Meski sudah berobat ke Ki Dargo, bayangan Bima tetap lekat dalam ingatan. Akhirnya saya berpindah satu dukun ke dukun yang lain. Semua itu saya lakukan hanya untuk membebaskan saya dari zina hati ini. Saya tak mau menjadi pengkhianat walau hanya dalam hati. Saya bahkan tidak mau berselingkuh walau hanya dalam mimpi. Saya tidak mau mengingkari janji kepada Allah. Karena menikah itu adalah berjanji atau bersumpah di hadapan Allah.
Entah syetan apa yang menggoda saya. Saya pergi lagi ke dukun Mbah Lola diajak seorang teman. Sebenarnya saya sudah mulai ragu. Meski perjalanan panjang dan melelahkan, sesampai di depan rumah Mbah Lola saya ingin membelot. Berulang kali saya katakan bahwa saya tidak jadi masuk saja. “Nggak jadi saja. Perasaan saya nggak enak,” kata saya. Tapi kelihatannya teman saya sangat kecewa. Sehingga timbul rasa tidak enak di hati saya. Seolah-olah saya tidak menghargainya yang telah bersusah payah mengantar sampai sejauh ini.
PERPISAHAN ITU PUN TERJADI
Empat tahun berlalu tanpa terasa, saya hidup dalam bayang-bayang cinta semu. Dengan segala penderitaan yang hadir di tengahnya. Bukan waktu yang pendek memang. Sekian kali saya berusaha menghindar pertemuan dengan keluarga Bima, tapi semuanya berujung kepada kegagalan. Lagi dan lagi saya atau keluarga mereka yang datang ke rumah. Hubungan sebagai tetangga yang selama ini terjalin baik menjadi sebab tersendiri.
Jeng Ike memang sering mengajak saya dan keluarga jalan-jalan. Baik sekadar ke mall atau makan siang bersama. Saya akui ajakan mereka memang sulit saya tolak. Ironisnya, setiap kali bepergian dengan mereka, saya selalu berusaha berpenampilan menarik. Layaknya seseorang yang sedang berbulan madu. Bukan karena ingin dipuji suami, tapi lebih ingin dihargai oleh Bima.
Seperti yang terjadi pada suatu pagi. Ketika keluarga saya dan Bima mengadakan acara rekreasi keluarga ke pantai. Saya membeli baju yang terbuat dari kain katon dengan warna yang menarik. Setelah sampai di rumah, setelah merasakan cocok dengan modelnya, saya kembali ke mall dan membeli satu baju lagi dengan model yang sama.
Hanya karena merasa cocok dengan modelnya, saya bisa beli dua setel sekaligus dengan warna yang sedikit berbeda sungguh….
Saya sadar ini adalah suatu kesalahan. Tidak seharusnya saya mencari keridhaan orang lain. Dia bukanlah suami saya. Dia hanya orang lain, tapi mengapa hati ini masih terus memikirkannya. Pikiran dan bayang wajah itu tetap tegak menatap. Seolah tak dapat diusir dengan cara apapun. Seribu kali saya tulis dalam buku harian bahwa saya sudah bisa mulai melupakannya “Saya bisa! Saya bisa!” Tapi itu nyatanya hanya tulisan. Karena esok hari, ketika melihat wajah Bima, saya kembali tergoda “Alangkah manis senyumnya. Alangkah sejuk pandangan matanya…” Segudang pujian yang melenakan kembali mengisi hati dan pikiran saya.
Setiap kali tersadar, saya ingin menalingkan dari wajahnya. Tapi yang terjadi kemudian, justru kepala didera rasa sakit yang luar biasa Seakan mau meledak saja atau bahkan saya bentur benturkan kepala ini ke tembok.
Obat dokter, jelas tidak bisa menyembuhkan. Sakit kepala itu hanya bisa dihilangkan dengan menatap wajahnya. Menatap matanya atau sedikit senyumannya. yang menggelisahkan. Tubuh ini terasa tersirami kesejukan yang melenakan. Seolah kepenatan kepala saya yang luar biasa saya rasakan itu hilang begitu saja.
Saya tahu itu salah. Tapi seolah tak ada pilihan. Saya bahkan khawatir bila tidak melihatnya saya bisa gila. Saya bisa merasakannya. Ini benar benar tak wajar. Sedemikian bingungnya, saya sempat berharap kehilangan ingatan. Saya iri dengan orang yang mengidap penyakit amnesia dan melupakan masa lalunya.
Saat-saat menjelang perpisahan itu pun tiba, ketika jeng Ika mengatakan bahwa mereka tak lama lagi akan pindah ke Surabaya, mengikuti dinas suaminya “Hmm… bagus” kata saya dalam hati. Entah apa maksud hatiku berkata bagus. Padahal saya sendiri tidak tahu pasti, apakah itu sebuah rasa syukur, ataukah karena rasa lega. Ataukah saya harus berterimakasih karena dia mengerti akan apa yang dia lakukan terhadap saya. Atau kah, sebagai sumpah serapah karena dia ternyata hanyalah seorang pengecut. Yang tak bisa menerima sebuah kenyaatan. Serta menggantungkan masalah tanpa bisa memecahkannya terlebih dulu. Atau bisa disebut kalah sebelum perang nyata. Karena perang batin jelas sudah dia lancarkan dengan sangat gencar dan menyakitkan.
Saya tidak tahu…! Berita kepindahannya menyenangkan atau menyakitkan buat saya. Yang pasti saya tak akan pernah lagi melihat sejuk matanya. Tak ada lagi yang harus saya tunggu lewat depan rumah setiap pagi pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Tiada lagi orang yang bisa menyanyikan lagu lagu dengan suara hati menyentuh kalbu. Tak perlu lagi ada yang kutengok, jika saya tak menampakkan wajah di depan rumah atau sekadar terlihat wajah dan senyumku.
Perjalanan panjang dan melelahkan ini akhirnya berakhir. Mereka pindah ke ujung timur pulau Jawa. Untuk memperjuangkan hidup keluarganya. Demikian juga dengan saya, walau merasa sangat kehilangan tapi rasanya saya baru mau memulai hidup lagi. Setelah sekian lama hidup dengan dibayang-bayangi sesuatu yang tak jelas. Berat diawal, memang. Bahkan saya sempat mendengar gunjingan bahwa penampilan saya sekarang menjadi kusut.
Kalau saja saya tidak mendengar gunjingan itu, barangkali saya sendiri tak menyadarinya. Karena gunjingan itu, saya jadi memperhatikan penampilan saya di depan kaca. Saya amati dengan seksama apakah benar ada yang salah dengan diri saya. Dan ternyata benar, apa kata orang orang. Sejak saat itu saya mulai bangkit lagi. Harus bangkit lagi. Itulah tekat saya. Tidak boleh hanya karena segelintir manusia yang tak jelas pula, kita menjadi patah semangat dalam beraktifitas dan beribadah. Saya harus menjadi diri sendiri.
Alhamdulillah, saya kembali rajin beribadah, bahkan lebih giat lagi. Terutama banyak belajar melalui buku-buku agama. Organisasi organisasi sosialpun tak pernah saya tinggalkan. Karena dari sinilah semua potensi yang diberikan Allah kepada saya dapat saya ekspresikan.
AKHIRNYA, JIN SURUHAN ITU PUN KELUAR DARI TUBUH SAYA.
Cerita ini terkuak setelah lebih dari sepuluh tahun saya lupakan. Saya sama sekali tidak mengira bahwa, kesengsaraan yang saya alami lebih dari tujuh tahun itu, akibat ilmu pelet. Bila tidak diruqyah, barangkali perkiraan-perkiraan yang saya simpan, hanyalah sebuah prasangka yang tak berujung pangkal.
Subhanallah. Allah selalu menunjukkan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Walau kebenaran seringkali terkuak setelah sekian lama bersembunyi.
Saya terbujur di antara anak, kedua mertua, dan adik ipar, tatkala ayat-ayat al- Qur’an dikumandangkan Ustadz Junaedi. Itu adalah terapi yang ketiga. Pada terapi pertama dan kedua, saya hanya mengalami sakit yang luar biasa. Serta menangis dengan suara aneh seperti bukan suara tangis saya. Bahkan, saya sendiri tak bisa mengendalikan tangisan itu.
Saya membaca astaghfirullahal adzim dalam hati, sementara ustadz Junaidi membacakan ayat-ayat al- Qur’an. Lama-lama bagian- bagian tubuh saya mengeluarkan gerakan- gerakan aneh. Diawali dari mata yang berkedip-kedip dengan cepat, lalu bagian perut yang bergerak aneh, dan dilanjutkan ke dada.
Reaksi-reaksi itu tidak berkurang. Bahkan lama-lama bertambah dengan suara- suara yang aneh. Seperti orang yang mengerang. Herrng… herrng…suara itu akhirnya keluar dari mulut saya. Padahal dalam hati saya tetap beristighfar tak henti- henti. Semakin lama semakin jelas saja suara itu. Tanpa bisa saya larang dan saya kendalikan.
“Siapa kamu? Keluar kalian dari tubuh ini!” seru Ustadz.
Tapi tidak dijawab. Saya hanya mengeluarkan gerakan- gerakan dan ekspresi wajah yang sangat genit. Lenggat- lenggot serta lidah saya keluarkan sedikit-sedikit di pinggir bibir. Semua itu terjadi begitu saja. Tanpa dapat saya kendalikan.
Lalu Ustadz bertanya lagi. Diulang-ulang dengan sedikit ancaman serta bacaan dari ayat-ayat al-Qur’an. Setelah diancam jika tidak keluar, jin itu akan terbakar dengan ayat-ayat Allah, maka jin mulai menjawab melalui mulut saya.
“Dari mana kamu? Apakah dari Jawa, dari Jakarta apa dari Sunda,” tanyanya.
“Dari Sunda deh …..” jawabnya dengan genit.
“Mengapa kamu di situ. Karena benci atau senang?”
“Karena senang.” jawab suara itu.
“Kalau gitu, jenisnya pelet dong.” kata ustadz “Ya gitu deh,” jawabnya masih dengan genitnya.
“Mengapa dia mengirimmu?” tanya ustadz “Habis dia cantik sih….” jawabnya lagi.
“Bertobatlah kalian kepada Allah! Bacalah istighfar!. Sebelum kalian menyesal. Kalau tidak kalian akan tersiksa dengan ayat-ayat Allah. Atau bahkan kalian bisa terbunuh dengan ayat-ayat Allah,” ancam Ustadz.
“Ya, sehebat itukah kau Ustadz?” tanya jin itu dengan kurang ajarnya.
“Ya, untuk itu mohonlah ampun kepada Allah yang Maha Kuasa! Ikuti saya bacalah astaghfirullahal adzim!” kata ustadz lagi.
Tapi aneh sekali mulut saya tidak bisa mengucapkan kata indah itu.
“Asas…as…ta…firullah” Katanya dengan terbata-bata.
“Ayo keluar kalian! Pergi kalian dari sini! Semuanya pergi!” Ustadz kembali mengusir jin-jin tersebut.
“Enggak boleh tinggal di rumah Farah?” tanyanya lancang.
“Enggak, nggak boleh. Kalian harus pergi semuanya dari sini. Ayo keluar!” kata Ustadz sambil memijat tempat-tempat yang disinyalir ada jinnya. Tapi jin itu tampaknya memang bandel.
“Bacalah kalimat Syahadat. Laaillahaillallah Muhamadarrosullullah!” kata Ustadz.
Ternyata tidak mudah menyuruh jin ini untuk mengucapkan kalimat syahadat. Dia hanya bereaksi dengan gerakan-gerakan yang tidak jelas. Lalu Ustadz berkata lagi, dengan diselingi bacaan ayat-ayat al-Qur’an. “Jangan hanya bergerak- gerak. Keluarlah kalian dari tubuh ini!” Sambil menekan tempat-tempat yang bergerak-gerak tadi. Dan setiap kali tekanan itu dibacakan ayat-ayat Allah, rasa sakitnya semakin bertambah. Bahkan jin sempat meminta ampun.
“Ampun Ustadz Ampun. Sakit Ustadz. Sakit,” katanya.
“Minta ampunlah kepada Allah. Bukankah kalian adalah ciptaan-Nya. Bacalah kalimat istighfar. Dan bersyahadatlah, agar kalian tidak menyesal nanti.” Lalu sambil kesakitan jin itu mengucapkan istighfar. Dan bacaannya sudah lebih lancar dari sebelumnya. Tapi ketika membaca kalimat Syahadat kembali terbata-bata lagi.
Asy…asy…asy… hadu alla ilaaha illallah….
Setelah terus-menerus dibacakan ayat-ayat al- Qur’an, akhirnya jin itu keluar. Saya merasakan seperti memakai topeng yang sangat lengket dengan kepala. Topeng itu sepertinya mau dikupas dari kepala saya. Berulang kali saya mengalami muntah.
Setelah hati saya benar- benar jernih dari gangguan itu, saya sering merenungi apa yang pernah terjadi di masa lalu itu. Dan betapa malunya diri ini kepada Allah. Saya telah berbuat sesuatu yang tidak pantas saya lakukan. Saya malu sekali jika ingat waktu itu. Jikalau bisa waktu itu saya putar kembali, saya ingin menjadi perempuan yang bisa berbuat tegas waktu itu. Dan tidak akan pernah memberi peluang untuk laki- laki seperti dia. Tapi itu tidak mungkin. Waktu tak akan pernah bisa kembali.