Bercermin dari kisah perjalanan hijrah Rasulullah dan para shahabat. Berkaca pada peristiwa menentukan yang sangat bersejarah, kita pun harus hijrah segera. Segala bentuk kemaksiatan, segala bentuk dosa, segala bentuk kesyirikan, segala bentuk kemunkaran, segala bentuk kedzaliman, sekaranglah saatnya mengakhiri itu semua.
Hijrah itu sangat indah namun tidak mudah. Indah karena di sanalah kita akan menjumpai orang-orang shalih yang membuat hidup ini lebih berwarna terang. Indah karena di sanalah kita akan saling berbagi segalanya dalam konteks hubungan persaudaraan yang sangat kuat. Indah karena di sanalah segala egois diri dan penyakit hati dikikis. Indah karena ketentraman, kebahagiaan, kedamaian ada semua di sana. Indah karena bumi ini akan diberikan kepada mereka yang beriman dan hijrah untuk memakmurkannya. Indah karena janji surga Allah diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar beriman, dan orang yang hijrah termasuk golongan mereka, “Dan orang- orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan, mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.” (QS. al-Anfal: 74).
Namun tidak mudah. Tidak ringan. Tak sesederhana membalikkan telapak tangan. Tetapi ini sangat wajar, melihat keutamaan dan pahala yang sedemikian besar dan hebat, maka pasti ada nilai bayar yang besar pula. Dan berikut ini hal hal yang membuat orang lebih memilih berlama-lama dalam kemaksiatan dan enggan berhijrah menuju cahaya Allah. Disarikan dari perjuangan hijrah Rasulullah dan para shahabat.
- Tidak Mudah untuk Ikhlas
Hijrah dari kemaksiatan atau dosa adalah merupakan amal yang sangat besar dan mulia. Dan yang terusik pertama kali adalah para syetan. Dan bisa jadi Iblis sendiri menjadi terguncang karena salah satu korbannya yang selama ini bisa dipermainkan, kini akan menjadi musuhnya. Untuk itulah Iblis sendiri pernah menyatakan, “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka” (QS. al-Hijr: 39-40)
Untuk itulah hadits tentang hijrah yang dimuat sebagai hadits pembuka dalam kitab shahih Bukhari adalah berbicara tentang keikhlasan dalam berhijrah. “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Sesungguhnya setiap orang tergantung pula dengan niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrah itu (dinilai) karena Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia, dia akan mendapatkannya atau karena wanita yang ingin dinikahinya. Maka hijrahnya tergantung karena apa dia hijrah.”
Sehingga diriwayatkan tentang muhajir Ummu Qois, kisah seseorang yang mau hijrah tetapi karena ingin menikahi gadis pujaannya yang hijrah ke Madinah. Inilah yang disinggung oleh hadits di atas tentang hijrah dengan niat untuk mendapatkan seorang gadis.
Lebih detail tentang niat bagi siapapun yang hijrah. termasuk kita yang berusaha untuk hijrah dari segala bentuk kebiasaan buruk, kita simak penjelasan Imam Ibnu Hajar al Atsqalani, “Nash hadits hijrah mensinyalkan bahwa dicelanya hijrah, dikarenakan niat murni untuk mendapatkan wanita. Adapun yang menggabungkan niat hijrah dengan niat mendapatkan wanita sekaligus maka dia akan diberikan pahala hijrah tetapi tentu tidak sama dengan orang yang niat hijrahnya benar-benar tulus. Seperti kisah Abu Talhah dan Ummu Sulaim, diriwayatkan oleh Nasa’i dari Anas, Ummu Sulaim masuk Islam dan Abu Talhah belum, Abu Talhah melamarnya, Ummu Sulaim menjawab lamarannya, “Aku telah masuk Islam, jika kamu masuk Islam maka aku mau kamu nikahi”. Abu Talhah pun masuk Islam dan Ummu Sulaim bersedia untuk dinikahi. Maka ini sama dengan orang yang berniat untuk puasa sekaligus untuk penjagaan diri (dari hawa nafsu).
Imam Ghozali berpendapat tentang pahala sebagai berikut jika berniat untuk dunia saja atau niat untuk dunianya lebih besar maka tidak mendapatkan pahala. Jika berniat untuk akhirat maka akan diberikan pahala sesuai dengan kadar niatnya. Jika antara dunia dan akhirat sama, maka niat akan ragu antara keduanya maka tidak mendapatkan pahala. (Fathul Bari 1/17-18)
Jadi, dari awal tinggalkan kemaksiatan, kesyirikan bukan karena syarat dari manusia tertentu, tetapi landasi dengan keikhlasan. Dan juga waspadai pembelokan niat di tengah jalan, dari ikhlas menjadi tidak ikhlas. Karena memang ikhlas itu tidak mudah.
- Tidak Mudah untuk Berkorban
Hijrah adalah pengorbanan. Hanya saja berbeda bentuk pengorbanan itu dari orang perorang. Ada yang meninggalkan kemaksiatan berisiko pada hilangnya pekerjaan. Ada yang berisiko pada gagalnya pernikahan. Ada yang berisiko pada dibencinya oleh keluarga. Jiwa berkorban pasti dibutuhkan bagi mereka yang hendak hijrah. Dan itu tidak mudah.
Bercermin pada kisah Abu Salamah, semoga kita siap berkorban demi hijrah yang sempurna. Abu Salamah adalah termasuk orang pertama yang hijrah ke Madinah. Dia berniat membawa istri dan anaknya yang masih bayi untuk ikut serta. Saat mereka telah bersiap untuk melakukan perjalanan hijrah, rupanya tidak disetujui oleh keluarga besar mereka. Akhirnya keluarga besar mereka berkumpul untuk melarang. Abu Salamah tetap kukuh niatnya untuk hijrah meninggalkan kota syirik menuju kota iman. Keluarga istrinya juga tetap ngotot untuk melarang. Dan kalau pun Abu Salamah tetap ingin hijrah maka mereka tidak mengizinkan istrinya dibawa. Berikutnya yang terjadi justru perebutan anak yang masih bayi antara dua keluarga besar. Hingga diriwayatkan, tarik menarik bayi itu mengakibatkan putusnya tangan si bayi. Dan Abu Salamah tetap melenggang untuk hijrah, berkorban demi Allah meninggalkan kekasih dan belahan jiwanya. Satu tahun perpisahan dengan orang terdekat dalam hidup bukan waktu yang sebentar. Dan memang hijrah itu perlu pengorbanan.
Lain lagi kisah Suhaib ar- Rumy, seorang shahabat pendatang kota Mekah yang hidup kaya sebagai saudagar. Ketika hendak hijrah dia dihalang-halangi oleh para penduduk kafir Mekah. Orang- orang itu menginginkan harta Suhaib. Dan Suhaib pun menunjukkan ruh pengorbanan yang agung, “Apakah kalau aku tinggalkan seluruh kekayaanku kalian biarkan aku hijrah?” Dan Suhaib pun pergi tanpa membawa sedikit pun harta yang telah dikumpulkannya bertahun-tahun, kecuali pakaian menempel di badan. Sesampainya di Madinah, Rasul menyambutnya dengan kabar gembira, “Beruntunglah perdaganganmu, Abu Yahya. Beruntunglah perdaganganmu, Abu Yahya. Beruntunglah perdaganganmu, Abu Yahya.”
Memang akan beruntung orang yang berkorban apa saja demi pembersihan diri dan keluarga dari kesyirikan dan kemaksiatan. Tetapi berkorban itu tidak mudah.
Imam Qurthubi menyebutkan riwayat yang menunjukkan sebab turunnya ayat, “Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri. Allah lah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Ankabut: 60). Riwayat tersebut dari Ibnu Abbas berkata, “Bahwasanya Nabi berkata kepada orang- orang beriman di Mekah ketika mereka diintimidasi oleh orang musyrik, ‘Keluarlah ke Madinah, berhijrahlah dan jangan bertetangga dengan orang-orang dzalim.’ Mereka berkata, ‘Nanti kami tidak mempunyai rumah, pekarangan, tidak ada yang memberi kami makan dan minum.’ Maka kemudian turun ayat Allah tersebut.” (Tafsir al- Qurthubi 13/360)
Kehilangan banyak hal adalah pengorbanan. Dan sesungguhnya kata kehilangan adalah kata-kata kita sebagai manusia. Tetapi sesungguhnya kita tidak kehilangan, karena itu adalah simpanan mahal di sisi Allah dan pasti Dia akan menggantinya. Sehingga bahasa yang benar adalah bahasa nabi, “Beruntunglah perdaganganmu!”
- Tidak Mudah karena Melelahkan
Hijrah adalah merupakan revolusi diri yang dahsyat. Merubah keyakinan tidaklah mudah. Apalagi kalau keyakinan salahnya selama ini nampak seperti selalu benar. Maka hijrah adalah proses yang sangat melelahkan hati atau pun fisik.
Nabi sendiri kepalanya dihargai oleh orang-orang Quraisy bagi siapa saja yang bisa memberitahu keberadaan Muhammad dalam peristiwa hijrah beliau.
Begitulah, terkadang niat dan tekad yang sudah kuat itu selalu ada saja halangannya. Akhirnya harus membangun niat dan tekad kembali dengan susah payah. Melelahkan.
Belum lagi ketika harus sabar membangun infrastruktur kehidupan barunya setelah hijrah. Memulai dari nol adalah sesuatu yang tidak mudah dan memang sangat melelahkan.
Sebagai hiburan untuk kita yang kelelahan, Allah berfirman, “Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. an-Nisa’: 104).
- Tidak Mudah Istiqamah Setelah Hijrah
Hijrah kepada aqidah yang murni dan pembersihan diri tidak mudah. Dan lebih tidak mudah lagi istiqamah setelah hijrah.
Pelajaran kembali bisa kita ambil dari kisah hijrah Rasul dan para shahabatnya. Madinah, kota hijrah Nabi bukanlah tempat yang nyaman bagi shahabat yang datang dari Mekah. Karena Madinah adalah kota endemis malaria. Benar saja, beberapa shahabat diserang penyakit demam malaria ini. Di antara yang sakit adalah Abu Bakar dan Bilal. Bahkan diriwayatkan sampai pingsan beberapa kali karena demam tinggi.
Mari kita dengar rintihan Bilal yang kembali terbayang kota Mekah, “Alangkah indahnya jika malam ini aku bermalam di lembah dan di sekelilingku pohon idzkhir.
Ya Allah laknatlah Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Umayyah bin Khalaf sebagaimana mereka telah mengeluarkan kami ke negeri endemis malaria ini.” Idzkhir adalah pohon yang tidak tumbuh di Madinah tetapi dia tumbuh di Mekah.
Sampai-sampai Rasul perlu berdoa ketika mendapatkan pengaduan tentang sakit Abu Bakar dan Bilal dari istri beliau Aisyah, “Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa cinta kepada Madinah sebagaimana kami mencintai Mekah atau bahkan lebih dan perbaikilah kota ini, berkahilah dalam sha dan mudnya (Sha’ dan Mud adalah ukuran timbangan di zaman itu), dan pindahlah demamnya ke Juhfah.” (HR. Muslim).