“Hijrah (Perubahan Diri) Harus Terus Berlangsung, Sampai Akhir Hayat”

Dari daerah Bekasi Selatan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini, setiap pagi meluncur menggunakan sepeda motor GL Pro tahun 1997 menuju gedung DPR yang megah di bilangan Senayan, Jakarta. Setelah sebelumnya mengantarkan ketiga buah hatinya ke sekolah. Sikapnya yang peramah dan sederhana, membuat siapapun yang bertemu dengannya pasti berkesan. Majalah Ghoib datang dan menemuinya di kantor dinasnya yang berhiaskan beberapa tulisan kaligrafi ayat-ayat Al qur’an, untuk mengetahui lebih jauh tentang makna yang terkandung dari momentum Hijrah Rasulullah. Berikut petikannya.

 

Bisa Anda jelaskan, makna yang terkandung dalam peristiwa Hijrah Rasulullah pada 15 abad yang lalu?

Bismillahirrahmanirrahim. Kalau kita melihat perjalanan hijrah Rasulullah itu, selalu terkait dengan proyek dakwah dan perjuangan membangun umat. Sehingga perjalanan hijrah tersebut, titik tekannya lebih kepada estafeta dakwah. Bukan karena takut, bukan karena ingin menyelamatkan diri, serta bukan juga karena ingin mendapatkan tempat yang lebih enak. Dari wilayah-wilayah yang dipantau dan dilihat oleh Rasulullah untuk menjadi basis dakwah di kemudian hari, pengamatan yang dilakukan sangat teliti dan berkali-kali. Misalnya, hijrah pertama ke Habsaysh, ternyata pengamatan para shahabat yang diutus yang diantara salah satunya adalah Ustman bin Affan, mendapatkan Habasyah tidak cocok untuk dijadikan sebagai basis dakwah kaum muslimim pada saat itu, karena kurang strategis. Lalu yang kedua ke Thoif, ternyata juga tidak pas, walaupun daya ekonomi di sana cukup bagus, sebagai tempat yang banyak memiliki perkebunan dan pertanian. Akan tetapi basis masyarakatnya, tidak siap untuk menerima dakwah Rasulullah pada waktu itu.

Akhirnya dari hasil berbagai pengamatan tersebut, yang sangat berpeluang di jadikan basis dakwah adalah Madinah atau Yatsrib. Kaum muslimin ingin mendapatkan dukungan keamanan, untuk mendapatkan situasi yang lebih nyaman, dan keluar dari tekanan. Sehingga hijrah ini, lebih kepada perjalanan baru dakwah yang dialami oleh Islam. Kalau kaitannya kepada individu, maka hijrah merupakan makna dakwah pada diri seseorang, Rasulullah bersabda: “seorang yang hijrah itu adalah orang yang pindah dari sesuatu yang dilarang oleh Allah kepada sesuatu yang dicintai oleh Allah. Karena itu, momentum tahun baru hijrah ini, adalah perubahan yang fundamental pada semua sisi kehidupan kita.

 

Pada perkembangan pemikiran kaum muslimin, masih ada sebagian orang yang merasa perlu untuk hijrah tempat, karena lingkungan yang ada di sekitarnya masih belum Islami, bagimana pendapat Anda tentang hal ini?

Setelah terbentuknya Madinah sebagai basis dakwah Islam dan sebagai mercusuar peradaban Islam. Rasulullah membatasi dengan sabdanya, “Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah.” Artinya hijrah itu sebagai sebuah monumental dakwah Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah. Adapun ketika seseorang ingin mendapatkan tempat yang lebih baik, untuk bisa menerapkan nilai Islam secara sempurna. Hal tersebut tidak bisa dikatakan hijrah monumental dakwah, tetapi lebih kepada situasional.

Hijrah mencari kondisi yang lebih baik itu, prinsipnya adalah kemauan, bukan hanya sekadar perasaan tidak puas dengan kondisi satu tempat tertentu. Rasulullah pernah menceritakan kapada kita, ada seorang hamba yang telah membunuh 99 orang, kemudian dia membunuh lagi satu orang ulama sehingga genap 100 orang. Oleh ulama yang berikutnya dijelaskan bahwa semua dosanya bisa diampuni seluruhnya. Asal pindah dari semua perbuatan yang buruk itu. Nah kemauan yang kuatlah yang menjadikan hamba tersebut menjadi hamba yang beruntung. Dalam hal ini, dapat kita ambil hikmahnya bahwa semua tempat itu memiliki peluang, selama kemauan kita juga besar untuk mewujudkan itu.

 

Apakah hijrah itu, terus terjadi sampai hari kiamat?

Kalau pengertiannya adalah hijrah kepada kondisi yang lebih baik. Saya memahami itu terus terjadi, karena semua manusia itu harus hijrah untuk merubah kondisinya. Misalnya, dari keenakan menerima fasilitas, dengan harus berjuang sendiri mendapatkan fasilitas, juga harus terus berjuang untuk selalu memperbaharui keimanannya. Inilah yang diingatkan oleh Umar bin Khattab kepada kita bahwa, “hijrah (perubahan) merupakan titik awal kebangkitan seseorang.” Sampai Umar bin Khattab lah yang mengusulkan untuk menjadikan hijrah sebagai momentum penanggalan kaum muslimin, supaya kita ingat terus filosofi pertistiwa tersebut. Hijrah semacam ini, tidak akan pernah berhenti, selama dunia ini ada.

Untuk melakukan hijrah (perubahan) kepada kondisi yang lebih baik, ada beberapa point yang harus diperhatikan. Pertama adalah Motivasi yang kuat untuk mencapai apa yang ia inginkan. Makanya ketika Rasulullah mengkaitkan momentum hijrah, hal yang pertama yang beliau ingatkan adalah masalah niat yang bersih. Yang kedua, hijrah itu harus memiliki fokus dan sasaran yang akurat. Harus ada target yang jelas untuk memudahkan evaluasi. Misalnya, ada seorang shahabat yang berencana, tahun ini akan menjauhkan dari omongan yang buruk. Maka ia berusaha dengan sebaik-baiknya untuk mencapai hal tersebut, begitu terus selanjutnya sampai tahun-tahun berikutnya dengan rencana yang lain. Dan yang ketiga, tentunya dengan perencanaan yang matang dan terarah. Komitmen yang dibangun juga harus kuat, sehingga di tengah jalan kita tidak larut dalam kemaksiatan yang lalu.

 

Untuk saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari peristiwa Hijrah Rasulullah?

Bencana yang terjadi selama ini merupakan bagian dari ayat-ayat (tanda-tanda kekuasan) Allah, yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Karena dia adalah ayat-ayat Allah, Maka bagi kita adalah bagaimana memahami ayat-ayat Allah itu. Apakah ayat-ayat Allah tersebut semakin meningkatkan keimananan kita kepada Allah dalam menjalani hidup? Maka bagi saudara- saudara kita yang terkena musibah, jadikan itu sebagai ayat-ayat Allah. Supaya kita senantiasa selalu ingat dan dekat kepada Allah. Dan tidak menjadi orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah tersebut. Semoga kita sesantiasa dalam perlindungan Allah.

 

 

Ghoib, Edisi No. 34 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN