Ali bin Abi Thalib Berkata, ” Tidak ada kebaikan dalam ibadah, jika tidak ada ilmu yang mendasarinya. Tidak bemutu suatu ilmu jika tidak disertai pemahaman. Tidak bermutu suatu bacaan jika tidak diiringi renungan isinya.” (Tafsir al-Qurthubi : 14/344)
SEHARUSNYA setiap ibadah yang kita lakukan didasari dengan ilmu. Agar ada keyakinan di dalamnya, ketenangan saat melakasanakannya, dan tidak mudah menjadi bulan- bulanan syetan. Syetan akan dengan mudah mempermainkan orang yang beribadah tanpa didasari dengan ilmu. Bahkan dengan tipu dayanya itu, syetan akan mampu menggelincirkannya, sedangkan orang yang ibadah itu tidak menyadarinya. la mengira bahwa Ibadahnya itu akan menghasilkan pahala. Padahal apa yang dilakukannya sudah menyimpang dari apa yang telah dicontohkan Rasulullah.
Seorang ulama’ hadits yang terkenal, Imam Bukhari telah mengingatkan kita dalam kitab Shahihnya. Dia telah menulis satu bab yang isinya, “Ilmu sebelum berbicara dan berbuat, karena Allah berfirman, “Maka ketahuilah, bahwasannya tidak ada Tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat tersebut Allah memulai dengan ilmu.” (Lihat Shahih Bukhari: 1/37).
HINDARI KERAGUAN DALAM IBADAH, DENGAN ILMU
Orang yang ragu dalam melaksanakan suatu ibadah tidak akan mendapatkan ketenangan dalam melaksanakannya. Karena ia tidak tahu untuk apa dia melaksanakan ibadah. Kepada siapa ia menujukan ibadahnya. Apalagi kalau saat ia tekun beribadah, ternyata cobaan dan mushibah datang menerpanya atau menimpa keluarganya silih berganti.
Dalam hati ia akan bertanya- tanya, “Apakah Allah melihat apa yang saya lakukan”? “Ngapain saya rajin-rajin ibadah, kalau mushibah masih datang silih berganti”. Atau pertanyaan-pertanyaan usil lain yang sejenisnya.
Dalam kebimbangannya itu, syetan akan datang dan memperkeruh suasana, “Apa gunanya tekun ibadah kalau kehidupan kamu masih miskin”. “Kenapa kamu menyembah Allah, toh Allah tidak peduli dengan nasibmu”. “Lihat si Fulan, ia jarang shalat bahkan tidak pernah, tapi rizkinya berlimpah, kehidupannya mewah.” Dan pertanyaan-pertanyaan yang mematahkan semangat lainnya.
Dalam al-Qur’an, Allah 5 mencela orang-orang yang ragu dalam beribadah melalui firman- Nya, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan keraguan. Jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu. Dan jika ia ditimpa suatu fitnah (bencana), berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. al-Hajj: 11).
Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud fitnah dalam ayat tersebut adalah bencana. Ada seseorang yang hijrah ke Madinah. la mengatakan, “Jika sesampai di Madinah badannya menjadi sehat, kudanya bisa beranak yang bagus, istrinya bisa melahirkan bayi laki-laki, maka saya akan rela dengan islam dan tenang di dalamnya.
Lalu sesudah di (Madinah), ia tertimpa sakit, dan istrinya melahirkan bayi perempuan, dan kudanya belum juga beranak. Kemudian syetan mendatanginya dan membisikkan, “Demi Allah, sejak kamu masuk Islam, kamu tidak memperoleh kecuali kesialan’. Dan itulah yang disebut dengan fitnah.” (Tafsir Jami’ul Bayan: 17/ 122-123).
Maka dari itulah Rasulullah berpesan kepada Abu Dzar, agar belajar ilmu terlebih dahulu daripada beribadah tanpa didasari ilmu. “Wahai Abu Dzar, kamu pergi untuk mempelajari satu ayat saja dari kitab Allah (al-Qur’an), adalah lebih baik bagimu daripada shalat seratus rakaat. Dan kamu pergi untuk mempelajari satu bab dari ilmu sudah kamu amalkan atau belum, adalah lebih baik daripada shalat seribu rakaat.” (HR. Ibnu Majah).
ILMU YANG MENJADI PRIORITAS UNTUK DIKUASAI
Ilmu yang berkaitan dengan suatu yang pokok atau utama, yang mengantarkan seseorang bisa beribadah dengan baik dan benar adalah wajib diprioritaskan. Hukumnya wajib ‘ain. Di antaranya adalah ilmu Tauhid, yang mengenalkan seseorang dengan Tuhan yang berhak dia sembah. Mengenal nama dan sifat-sifat-Nya agar kita bisa mencintal dan mengagungkan- Nya. Begitu juga ilmu yang bisa mengenalkan kita dengan Rasul- Nya, agar kita mengetahui apa kewajiban kita terhadap Rasulullah.
Begitu juga ilmu yang menuntun kita untuk bisa beribadah kepada Allah dengan cara yang benar. Sebagaimana yang tercantum dalam rukun Islam itu sendiri. Setelah kita bersaksi dan meyakini bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya. Selanjutnya kita belajar bagaimana shalat yang benar, puasa yang diajarkan Rasulullah, dan seterusnya.
Rasulullah bersabda, “Seseorang tidak akan mendapatkan keutamaan yang melebihi keutamaan ilmu yang dapat memberikan petunjuk kepada pemiliknya atau mengangkatnya dari kehinaan. Dan tidaklah seseorang akan lurus agamanya hingga lurus ilmunya.” (HR. Thabrani).
YANG TAKUT KEPADA ALLAH HANYALAH ORANG YANG BERILMU
Allah 3 berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama’. (QS. Fathir: 28). Sai’id bin Jubair berkata, “Yang dimaksud dengan khasyyah (rasa takut) adalah perasaan yang dapat menghalangimu dari perbuatan maksiat kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir: 3/554).
Sedangkan yang dimaksud dengan ulama’ dalam ayat tersebut, para ulama’ sendiri punya banyak defisi, yang satu sama lainnya saling melengkapi.
Ibnu Abbas berkata, “Hamba Allah yang alim adalah yang tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, ia menghalalkan apa yang telah dihalalkan-Nya, mengharamkan apa yang telah diharamkan-Nya. Ja yakin bahwa dirinya akan menemui Allah, oleh karenanya ia selalu mengevaluasi amal perbuatannya. (Tafsir Ibnu Katsir: 3/554).
Hasan al-Bashri berkata, “Orang alim adalah yang takut kepada Allah dalam kesunyiannya, dan mencintai apa yang dicintai Allah, dan menahan diri dari apa yang dimurkai Allah.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/555).
Imam Mujahid berkata, “Orang yang benar-benar alim adalah orang yang takut kepada Allah. Ibnu Mas’ud berkata, “Cukuplah dikatakan sebagai seorang alim, apabila ia takut kepada Allah. Dan orang bodoh adalah orang yang terpedaya oleh dirinya sendiri. Sa’ad bin Ibrahim pernah ditanya, “Siapa penduduk Madinah yang paling alim?” la menjawab, “Orang yang paling bertaqwa kepada Allah.” Rabi’ bin Anas berkata, “Barangsiapa yang tidak punya rasa takut kepada Allah, maka dia bukanlah seorang ulama’.” (Tafsir al-Qurthubi: 14/343).
Imam Thahawi berkata, “Seorang alim diukur dari dua hal, alim dalam al-Qur’an dan Sunnah serta syari’at agama. Dan yang kedua dengan rasa takutnya kepada Allah Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama’. (QS. Fathir: 28). (Lihat Mu’tashirul Mukhtashar: 21 340).
ILMU DIPELAJARI UNTUK DIAMALKAN
Sudah salah tujuannya kalau seseorang belajar ilmu untuk dipamerkan atau keren-kerenan. Apalagi kalau dia belajar ilmu untuk menyaingi dan menyombongkan diri di depan para ulama’ lainnya, atau untuk mengekploitasi orang-orang bodoh yang ada di sekitarnya.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang. orang yang bodoh, dan menyombongkan diri di depan orang-orang yang alim, atau untuk menarik perhatian manusia disekitarnya, maka tempatnya adalah neraka Jahannam.” (HR. Tirmidzi dan Darimi).
Ilmu dipelajari untuk diamalkan bukan untuk bangga- banggaan atau kesombongan. Mu’adz bin Jabal berkata, “Beribadahlah kamu sekehendakmu setelah kamu menguasai ilmunya. Dan Allah tidak akan memberikan pahala atas ilmu yang kamu pelajari, sampai kamu mengamalkannya.” (HR. Darimi).
Jabir bin Abdullah bercerita, “Ada beberapa shahabat rasul bersamaku lagi belajar bareng tentang beberapa bidang ilmu. Lalu Rasulullah bersabda, Belajarlah kalian apa saja yang ingin kalian pelajari. Tapi ingat, kalian tidak akan bisa disebut ulama’ dengan ilmu yang kalian miliki, sampai kalian mengamalkannya’.” (Musnad ar-Rabi’: 1/364).
Abdullah bin Umar berkata: Rasulullah bersabda, “Orang yang sedikit ilmunya lebih baik daripada orang yang banyak ibadahnya (tanpa ilmu). Cukuplah seseorang dikatakan mumpuni agamanya, apabila ia hanya menyembah Allah semata. Dan cukuplah seseorang dikatakan bodoh, jika ia lebih kagum akan pendapatnya sendiri.” (HR. Thabrani dan Baihaqi, dan ia menshahihkannya).
SIFAT ORANG ALIM YANG SEJATI
Abu Darda’ berkata, “Ketika Rasulullah ditanya tentang orang yang mumpuni ilmunya, beliau bersabda, ‘Siapa saja yang baik prilakunya, jujur lisannya, lurus hatinya, menjaga perut dan kemaluannya (dari yang haram), itulah orang yang mumpuni agamanya.” (HR. Abu Hatim).
Ibnu Mas’ud berkata, “Ilmu itu bukan dilihat dari banyaknya bicara seseorang, tapi bisa dilihat banyaknya rasa takutnya kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir: 3/555).
Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya orang yang benar-benar mumpuni agamanya adalah orang yang tidak membuat manusia putus asa terhadap rahmat Allah, tidak memberi toleransi mereka dalam bermaksiat kepada Allah, tidak memberi rasa aman kepada mereka terhadap adzab Allah, tidak meninggalkan al-Qur’an dan berpaling ke kitab lainnya.” (Tafsir al- Qurthubi: 14/344).
Marilah kita terus beribadah sampai maut menjemput kita. Dan jangan lupa untuk terus belajar, agar ibadah yang kita lakukan menjadi benar. Apabila ibadah kita benar, maka kita akan semakin dekat dengan Allah. Apabila kita dekat kepada Allah, maka Allah akan senantiasa melindungi kita dari tipudaya dan makar musuh- musuh kita, termasuk syetan sebagai musuh utama.
Imam Bukhari menulis dalam kitab shahihnya, “Sesungguhnya ulama’ itu adalah pewaris para nabi. Para nabi hanya mewariskan ilmu, barangsiapa yang memilikinya berarti ia memiliki keuntungan yang banyak. Barangsiapa yang menyelusuri jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya untuk masuk surga. Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama’. (QS. Fathir: 28). (Lihat Shahih Bukhari: 1/37).
Mush’ab bin Zubair berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, tuntulah ilmu. Karena ilmu akan memperindah dirimu jika kamu kaya, dan ilmu itu akan menjadi harta jika kamu miskin.” (Ilmu dan Ulama’: 31).