Usai Shalat Ashar di masjid Quba’, Madinah, seorang shahabat mengundang Rasulullah beserta jamaah untuk menikmati hidangan daging onta. Ketika sedang makan, ada tercium aroma tidak sedap. Rupanya ada di antara yang hadir buang angin (kentut). Para shahabat saling toleh. Wajah Nabi berubah tanda tidak senang.
Waktu Magrib hampir tiba. Sebelum bubar, Rasulullah berkata: “Barangsiapa yang makan daging onta tadi hendaklah berwudhu!” Mendengar perintah Nabi tersebut, maka seluruh jamaah mengambil air wudhu. Dan terhindarlah aib orang yang buang angin (kentut) tadi. Maksud Nabi berkata demikian demi menutupi aib orang yang buang angin itu, meskipun beliau tidak menyukai dengan sikap seperti itu (buang angin di depan umum).
Suatu ketika seorang lelaki menemui Umar bin Khattab ra. Maksudnya menyampaikan satu berita dengan harapan ia mendapat pujian dari Khalifah kedua ini. Di hadapan Umar ia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, saya melihat si Fulan dengan si Fulanah berpelukan di balik pohon kurma.” Lalu bagaimana reaksi Umar? Lelaki ini malah dijambak jubahnya oleh Umar. Sambil mengacungkan cambuk kepadanya, ia berkata: “Kenapa tidak kamu tutupi kesalahannya dan menyeru mereka agar sadar dan taubat? Bukankah Rasulullah telah mengatakan, ‘Barangsiapa menutupi aib atau kesalahan saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat.”
Dari kedua kisah di atas dapat kita ambil sebuah pelajaran berharga, bahwa sebagai saudara sesama muslim, kita dianjurkan untuk saling menutupi aib saudara-saudara kita sesama muslim. Insya Allah, jika kita berusaha untuk menutupi aib saudara kita, Allah pun akan menutupi aib kita di dunia dan di akhirat nanti. Namun setelah itu kita diwajibkan untuk berusaha memperbaiki aib saudara kita itu dengan cara yang bijaksana.
Satu yang harus kita waspadai pada diri kita adalah lisan. Berbicara tidak membutuhkan tenaga yang besar, tidak perlu mengeluarkan biaya, tetapi kita bisa terluka secara psikis dan fisik hanya dengan satu patah kata saja. Rumah tangga bisa bubar, yang dilarang jadi boleh dengan satu patah kata. Dua negara bisa saling serang, saudara bisa saling bunuh dengan satu patah kata. Bahkan akhir hayat bisa su’ul khatimah dengan sepatah kata.
Ada sesuatu yang dahsyat bahayanya tetapi kadang tidak terfikir oleh kita yaitu bahaya ghibah (gosip). Dalam surat al-Hujurat ayat 12 dinyatakan, artinya: “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik dengannya”
Nabi pernah menerangkan makna ghibah (menggunjing) dalam sabdanya: “Tahukah kalian apakah ghibah itu? “Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. “Beliau bersabda: “Yaitu engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” Ada yang bertanya: “Bagaimana halnya jika apa yang aku katakan itu (memang) terdapat pada saudaraku? “Beliau menjawab: “Jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka engkau telah menggunjingnya (melakukan ghibah). Dan jika ia tidak terdapat padanya, maka engkau telah menfitnahnya”. (HR. Muslim, 4/2001).
Jadi, ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika ia mengetahuinya). Baik dalam soal jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya dan sebagainya. Caranya pun bermacam- macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok. Dan mungkin saat ini dengan sadar atau tidak, kita masih melakukannya terhadap teman-teman kita dalam pergaulan sehari-hari.
Banyak orang meremehkan masalah ghibah ini, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah, “Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya”. (As-Silsilah As-Shahihah, 1871).
Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Kami pernahberada di tempat Nabi, tiba-tiba ada seorang laki- laki berdiri meninggalkan majelis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah dia tidak ada. Maka Nabi berkata kepada laki-laki ini: ‘Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: ‘Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan daging? Maka Nabi menjawab: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu.” (HR. Thabrani).
Orang yang ibadahnya pas-pasan, namun sangat menjaga kesucian hatinya, kebeningan pikirannya, kebersihan hartanya, insya Allah dia bisa melesat kedudukannya di sisi Allah . Ada sebuah riwayat yang menunjukkan hal itu. Riwayat ini mengisahkan tentang ‘Amr bin Ash yang tidur di rumah seseorang, karena ‘Amr mendengar bahwa Rasulullah menyebut-nyebut orang tersebut sebagai calon penghuni surga, padahal ia masih hidup. Sedang amal ibadah ritual yang dilakukan orang itu sama sekali tidak kelihatan yang menonjol bila dibanding dengan shahabat-shahabat lainnya.
Maka menginaplah ‘Amar bin Ash di rumah lelaki tersebut selama tiga malam berturut-turut. Maksudnya hanya untuk mengetahui jenis ibadah yang dilakukannya di malam hari. Ternyata sejak tidur selepas shalat Isya’ sampai terdengar azan Shubuh, ia hanya tidur. Setelah ditanya resepnya, rupanya lelaki itu tidak pernah menceritakan aib orang lain dan dalam dirinya tidak ada rasa dengki terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain.
Wajib bagi kita yang hadir dalam sebuah pertemuan yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah kemungkaran dengan menghentikan gunjingan tersebut, atau keluar meninggalkannya. Karena Nabi amat menganjurkan hal demikian, sebagaimana dalam sabdanya yang artinya: “Barangsiapa tidak menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api neraka dari wajahnya”. (HR. Ahmad, 6/450, shahihul Jami’ 6238).