Jangan Sampai Bencana Alam Menjadi Bencana Aqidah

Musibah tanah longsor terjadi lagi baru-baru ini, kali ini menimpa Kec. Cililin, Kab. Bandung. Kami mewawancarai Dr. Surahman Hidayat seorang pakar syariar jebolan 3-3 Al-Azhar Mesir, untuk mencari tahu apa hikmah di balik musibah ini. Ditemui di kantor DPP PKS, ustadz ini banyak memberikan penjelasan. Berikut petikan wawancaranya:

 

Baru-baru ini terjadi musibah tanah longsor di Cililin yang menelan 15 korban jiwa dan ratusan rumah rusak. Apa komentar Anda?

Kalau kita mau berpikiran positif, musibah ini merupakan teguran dari Allah. Bencana alam itukan secara umum disebabkan oleh perlakuan manusia yang salah terhadap alam. Ini sebetulnya menjadi tanggung jawab kita bersama namun terutama sekali pemerintah yang punya porsi lebih besar.

 

Sebagian masyarakat menganggap musibah ini terjadi akibat kelalaian mereka dalam memberikan sesajen kepada “penunggu” wilayah mereka. Mungkinkah itu?

Kita mesti meneliti betul dahulu apa penyebab musibah ini. Jika seandainya masyarakat itu sudah memelihara dan merawat alam dengan baik lalu terjadi musibah maka wacana lain bisa masuk untuk kita telaah. Apakah ada keterlibatan makhluk selain manusia. Dalam pandangan Islam yang konprehensif musibah bisa terjadi karena keteledoran manusia.

 

Apakah persembahan mereka berupa sesajen itu memberikan manfaat?

Jin itu sebenarnya tidak diberi makan juga bisa cari makan sendiri. Biasanya yang minta sesajen itu adalah jin musyrik atau kafir yang ingin menyesatkan manusia. Sebetulnya makanan jin itu adalah dari yang kotor-kotor seperti sisa-sisa makanan, tulang, bahkan kotoran. Jadi mereka tidak butuh sesajen lagi. Buktinya sesajen yang diberikan tidak termakan juga sebab bukan makanan mereka. Kembali ke masalah tadi, menurut saya di saat kerusakan alam itu bersifat luas dan terjadi di beberapa tempat maka ini adalah akibat kecerobohan manusia terhadap alam. Dan perbaikan ke depan juga lebih mudah dipahami ketimbang melihat kemungkinan lain apalagi dihadapi dengan cara pemberian sesajen. Lebih baik manusia lebih disiplin dalam hidup dengan tidak sembarangan membabat apa saja yang mungkin menjadi tempat-tempat tinggalnya makhluk-makhluk itu. Dengan kita sembarangan bisa saja ada ketergangguan. Lalu kita membentengi diri dengan meningkatkan ibadah.

 

Dalam tinjauan syariat, bagaimana Islam memandang tindakan masyarakat ini?

Jelas tidak dibenarkan sebab ini menunjukkan manusia berkhidmat (menjadi pelayan,) kepada jin. Padahal posisi kemuliaan manusia di atas jin. Itu saja sudah salah. Lalu, yang kedua maksud berkhidmat itu adalah supaya golongan jin itu tidak marah, tidak mengganggu, sama artinya dengan meminta perlindungan. Ini salah lagi. Sebab kita meminta perlidungan itu hanya kepada Allah. Jadi yang melakukan sesajen itu penyimpangannya sudah berganda terutama sekali penyimpangan aqidah.

 

Bagaimana jika suatu daerah yang tertimpa musibah itu karena masyarakatnya banyak yang maksiat kepada Allah atau telah melupakan-Nya. Adakah relevansinya?

Oo, sangat bisa terjadi. Kalau seperti itu keadaannya bisa jadi Allah SWT memberikan peringatan tidak dengan marahnya para jin tetapi dengan malaikat yang toh oleh Allah juga malaikat ini diberi tugas menjaga alam. Nah, Allah melalui para malaikat-Nya memberikan peringatan kepada manusia dengan memberikan musibah supaya manusia mau mengintrospeksi diri mereka masing-masing. Suatu kesyukuran jika mereka sadar bahwa selama ini mereka jauh dari Allah dan mereka banyak maksiat. Malah jika kita bawanya ke keyakinan itu lebih baik daripada mengkambing- hitamkan makhluk-makhluk jin. Dan kita diajarkan oleh Islam untuk bersikap tegas terhadap yang namanya setan atau jin apalagi kalau di suatu tempat itu diyakini sangar dan dihuni oleh makhluk jin maka kita memasukinya harus lebih mantap dalam mengusir mereka dengan dzikir-dzikir yang dicontohkan Nabi. bukan malah dengan memanggilnya dengan memberikan sesajen. Ini malah berseberangan dengan ajaran aqidah Islam.

 

Dari berbagai banyak kemungkinan mulai dari gangguan alam, ulah jin, ataupun teguran Allah, mana yang kemungkinannya paling besar?

Apapun penyebabnya namun intinya adalah penyimpangan manusia itu sendiri, jadi keyakinan mereka, keberagamaan mereka, akhlak dan pelaku semuanya itu harus diperbaiki. Baik itu akhlak mereka terhadap Allah, terhadap alam dan terhadap sesama. Itu yang baik untuk perbaikan di masa depan. Terhadap penyimpangan moral ini lebih baik diperbaiki dengan taubat. Bukan malah semakin terperosok dalam kubangan dosa dan maksiat. Dalam al-Qur’an diingatkan bahwa “Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan akibat tangan-tangan manusia” lalu hikmahnya agar mereka sadar bahwa ini hanyalah sebagian kecil saja. Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan yang benar.

 

Sebagian masyarakat setempat ada yang mengeramatkan beberapa makam. Bagai mana pandangan Islam terhadap pengeramatan makam ini?

Makam itu bukan untuk dikeramatkan. Makam itu memang tidak boleh dirusak untuk mengingatkan manusia kepada maut. Itu sebabnya ketika kita masuk ke kompleks pemakaman kita diajarkan mengucapkan salam kepada mereka. Makam itu tidak untuk dibangun dan ditinggikan dengan batu sebab itu akan mengganggu aqidah kita sebab itu merupakan penyimpangan. Makam itu memang dipelihara dan dirawat sewajarnya untuk keperluan dzikrul maut, itu saja. Kalau dikeramatkan itu hanya kita diingatkan kepada yang ada di makam itu saja, sedangkan banyak yang datang ke makam bukan untuk mendoakan tapi untuk minta-minta. Menyimpang lagi dari agama. Apalagi kalau yang datang itu melakukan pertapaan bermalam- malam. Dalam membuat makam itukan sudah ada aturan dan itu sederhana saja. Tidak muluk-muluk dan dibangun sedemikian rupa.

 

Bagaimana kalau upacara sesajen itu malah didukung oleh pemda setempat karena dianggap warisan leluhur yang perlu dilestarikan?

Itu repotnya, sebab biasanya pemerintah hanya ingin masyarakat itu tenang, atau mungkin ada kepentingan lain seperti income daerah. Jadi tindakan mereka ini sangat pragmatis. Beda dengan para da’i yang biasanya berani mengungkapkan kalau itu menyimpang dari kebenaran. Inilah tugas para dai dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat jangan sampai masyarakat itu mengambil kesimpulan sendiri. Akibatnya yang awalnya cuma bencana alam menjadi bencana aqidah. Bisa jadi apa yang dilakukan masyarakat itu karena ketidaktahuan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu menyimpang dari aqidah.

 

Biodata

  • Nama                  : Dr. H. Surahman Hidayat.
  • TTL                       : Ciamis, 13 Juli 1957
  • Pendidikan      : S3 Syariah Univ. Al-Azhar Mesir (Th. 2000)
  • Keluarga           : 1 istri, 2 putra, 2 putri
  • Jabatan              : Anggota Dewan Syariah Nasional MUI                                  :   Dosen di Univ. Ibnu Khaldun
  • Organisasi        : Mantan Anggota PII                                  : Mantan Pengurus HMI

 

 

 

Ghoib, Edisi No. 17 Th. 2/ 1425 H/ 2004 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN