“Jangan Sembarang Percaya kepada Orang yang Menamakan Dirinya ‘Kyai'”

Mengapa tayangan mistik sangat digemari masyarakat Indonesia?

lya, memang tayangan mistik banyak digemari masyarakat, dan itu harus kita akui. Karena, ajaran agama Islam yang sebenarnya belum dihayati oleh masyarakat seutuhnya, sehingga hal- hal yang dianggap ghaib, seperti yang diajarkan agama. Misalnya ‘yukminuna bil ghaib’ (percaya kepada hal-hal yang ghaib), diartikannya, bahwa yang ghaib itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan hal berbau mistik.

 

Islam masuk ke Indonesia sudah lebih dari lima abad, tapi mengapa pemahaman keimanan kaum muslimin masih stagnan?

Itu disebabkan banyak faktor. Seperti faktor lingkungan. Lingkungan masyarakat kita ini masih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran yang bisa mengarah kepada memusyrikkan orang. Misalnya, ada lapisan masyarakat tertentu yang percaya kepada keris, percaya kepada kuburan, percaya kepada hal-hal yang mestinya tidak perlu dipercayai, itu banyak sekali. Sehingga ketika Islam datang dan mencoba meluruskan kepada mereka itu agak sulit kelemahan-kelemahan tersebut kemudian dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan. Dan biasanya orang yang oreantasinya profit itu selalu mencari celah, di mana dia bisa mendapatkan keuntungan. Barangkali tujuan utamanya bukan untuk memusyrikkan, tapi bagaimana mendapatkan keuntungan. Saya anggap bahwa mereka itu mungkin tidak tahu, saya masih husnuzhanlah, bahwa mereka tidak tahu ajaran agama yang benar. Kalau mereka tahu ajaran agama yang benar, mereka tidak mungkin melakukan itu.

 

Pada sisi lain, tayangan mistik di TV, seringkali memanfaatkan ‘kyai’ untuk memberi komentar atas apa yang mereka lakukan. Bagaimana Anda melihat masalah ini?

Itu kan karena tidak ada kriteria yang jelas, siapa sebenarnya kyai itu. Karena kyai itu orang yang dituakan dalam satu kelompok masyarakat dan memiliki ilmu agama yang dapat dipertanggung jawabkan. Sementara sekarang ini, orang yang bisa dianggap kyai itu, mungkin hanya memahami satu dua ayat saja. Karena itu, barangkali peran majelis ulama untuk meyakinkan orang. Supaya jangan sembarang percaya kepada orang yang menamakan dirinya kyai. Misalnya, dalam bentuk taushiyah, dengan mengarahkan masyarakat agar mereka lebih mempercayai orang yang memiliki kompetensi berbicara masalah agama.

 

Kalau melihat kepada latar belakang masalah. Mengapa MUI sampai mengeluarkan fatwa tentang tayangan mistik?

Saya kira itu sebenarnya bukan fatwa. Itu taushiyah saja. Menilai bahwa tayangan-tayangan televisi yang mengarah kepada memusyrikkan orang. Karena kita melihat dampak dari tayangan itu akan membuat orang percaya bahwa selain Allah, ada kekuatan yang bisa memberi madharat dan manfaat. Sedangkan iman yang benar itu ialah, tidak ada yang bisa memberi madharat atau manfaat kecuali Allah. Seperti misalnya ada orang kesurupan tiba-tiba menggunakan satu alat atau benda yang bisa menyembuhkan orang itu. Itukan menjadikan orang musyrik. Maka dari itu, yang kita harapkan supaya umat Islam ini lebih yakin kepada Allah.

Jadi kekhawatiran ini kita ingatkan kepada umat, kepada penyelenggara-penyelenggara acara mistik di TV supaya tayangan-tayangan tersebut, kalau bisa dihentikan. Karena kalau tidak, seperti yang saya katakan tadi, umat kita ini masih banyak yang belum memahami ajaran agama secara benar. Dan masih dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lama yang sumbernya bukan dari al-Qur’an maupun hadits, tapi sumbernya berdasar pada kepercayaan-kepercayaan yang disebut dengan kebatinan atau aliran kepercayaan.

 

Seandainya pihak penyelenggara tidak mengindahkan peringatan dari MUI, apa yang kemudian dilakukan MUI?

Kita coba meyakinkan dulu kepada mereka. Mungkin nanti akan ada reaksi-reaksi dari masyarakat bahwa taushiyah MUI itu lebih benar. Apalagi nanti kalau sudah bisa dibuktikan oleh kehidupan masyarakat kita lebih jauh. Bahwa apa yang ditayangkan tersebut tidak bisa dibenarkan oleh ilmu pengetahuan misalnya. Bila bertentangan dengan ilmu pengetahuan, itu kan orang tidak percaya lagi dengan tayangan mistik. Usaha-usaha tersebut, bisa kita lakukan dengan cara memberi penjelasan di majalah atau menerbitkan buku. Bisa juga sambil berdakwah di masjid, majlis ta’lim. Itu langkah-langkah yang ditempuh. Kita tidak bisa melakukan langkah kekerasan. Karena kekerasan itu tidak menyelesaikan masalah. Kita melakukannya dengan “ud’u ilo sabili rabbika bil hikmah….” Ajaklah orang ke jalan Islam dengan cara bijaksana.

Namun sampai saat ini kita belum tahu sejauh mana perkembangannya. Tapi kita harapkan mereka mematuhirnya.

 

Pada sisi lain, tayangan misteri itu memvisualkan keghoiban, seperti jin pocong, bagaimana menurut Anda?

Itu semua tidak benar. Itu justru perlu diberitahukan kepada umat bahwa itu tidak ada. Jangan nanti umat ini takut, sehingga nantinya ada pemahaman, bahwa ada kekuatan selain dari kekuatan Allah. Jangan kita takut kepada jin. Dan di dalam al-Qur’an juga kita minta berlindung dengan surat an-Nas.

 

Sebagai sebuah lembaga, apakah MUI tidak berusaha untuk mengadakan pertemuan dengan tokoh masyarakat?

Kita sudah pernah membuat pertemuan, namanya forum ukhuwah, memang kita belum pernah membuat kesepakatan tentang itu, karena kita minta kepada masing-masing kelompok organisasi Islam untuk melakukan kegiatan yang sama. Dan tidak ada satu pun organisasi Islam yang memberikan dukungan kepada apa yang ditayangkan di TV itu. Pada umumnya mereka menolak tayangan-tayangan yang menyesatkan tersebut. Tapi saya kira untuk mempressure hal tersebut, sangat efektif melalui khutbah-khutbah, melalui tulisan-tulisan. Saya kira dengan Majalah Ghoib ini, kita harapkan banyak peranannya. Bahwa kita diminta percaya kepada yang ghaib, tapi bukan berarti kita harus percaya kepada adanya kekuatan-kekuatan benda yang memusyrikan.

 

Bagaimana seharusnya kita menjelaskan ‘yu’minuuna bilghaib’ itu?

Itu merupakan percaya kepada kekuasaan Allah. Itu yang pertama yang harus kita fahami, sehingga kita tahu bahwa tidak ada yang bisa memberi madharat, tidak ada yang bisa memberi manfaat selain Allah. Tidak usah takut kepada jin. Jin itu tidak mungkin memadharotkan kita kalau Allah tidak menghendaki. Kalau kita takut kepada jin akhirnya kita takut kepada manusia. Akhirnya kita takut kepada benda. Dan ini sangat- sangat berbahaya. Bisa memusyrikkan orang. Ada orang punya permata dan ia takut kepada permata itu, atau dia meyakini permata itu bisa memberikan manfaat dan madharat ini bisa memusyrikan orang.

 

Dalam konteks mengimani keghaiban dunia jin sendiri itu bagaimana?

Kita percaya adanya jin. Tapi bukan berarti takut kepadanya. Jin itu ada di dalam rumah kita ini sehingga kita berusaha untuk mengusir jin itu. Jika takut kepada jin berarti tidak takut kepada Allah. Kita sudah tahu firman Allah “in tanshurullah yanshurkum wayutsabbit aqdadmakum” yang artinya “Jika kalian menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolong kalian. Dan Dia akan menegakkan kaki kalian di jalan yang benar.” Kita tidak usah takut kepada jin. Kenapa kita takut kepada jin. Ini yang perlu disampaikan kepada masyarakat.

 

Yang ironis, terkadang tayangan itu menggunakan beberapa potongan ayat dari al-Qur’an dan pemerannya menggunakan sorban?

Itu hanya digunakan untuk mengelabuhi masyarakat bahwa semua itu seolah-olah Islam. Padahal tidak berarti Islami dengan menggunakan bahasa Arab. Islam tidak hanya ditandai dengan simbol seperti itu. Apa Islam itu harus ditanda dengan sorban? Ditandai dengan jubah? Islam bukan itu. Itu tidak dilarang, tapi tidak seenaknya saja. Karena setiap orang bisa pakai jubah. Pencuri pun bisa pakai jubah, kalau pencuri pakai jubah, apakah kita bisa percaya bahwa dia seorang yang ahli agama misalnya?

 

Pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat?

Saya harapkan kepada para orang tua, supaya dapat mengajarkan Islam kepada anak-anaknya dengan benar. Yang kedua kepada kaum muslimin supaya berhati-hati jangan sampai terjerumus bahwa ada kekuatan selain kekuatan Allah. Dan yang ketiga kepada pimpinan TV, supaya berhati- hati sebagai wadah yang bisa mendidik. Jangan mendidik umat ke sesuatu yang negatif. Saya kira itu saja cukup.
Oleh : Prof. Dr. Umar Shihab (Ketua Umum MUI)
Ghoib, Edisi Bo. 36 Th. 2/ 1426 H/ 2005 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUBUNGI ADMIN